pemimpin. Ketika seorang pemimpin melakukan kesewenang- wenangan dengan jabatan dan kuasanya, maka ia akan berakhir dengan
kehancuran dirinya. Rangkaian peristiwa dan dialog tersusun secara integral dalam
tema. Kekuasaan dan penindasan menjadi latar penuh konstruksi naskah drama Cannibalogy. Dalam penyelenggaraan kekuasaan,
kadang penguasa melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma dan moral. Seperti halnya Suhar dalam melakoni
tugasnya harus menumbalkan banyak nyawa. Kenyataan demikian tentu menuai respon dan kritik dari
banyak kalangan. Cannibalogy mengandung pesan moral tentang kritik terhadap kekuasaan yang menumbalkanp rakyat. Sejatinya kritik
adalah upaya mengingatkan apa yang dikritik. Benjon lewat Cannibalogy sedang memaparkan apa yang terlupa oleh penguasa
jaman Orde Baru, yaitu bahwa tiap generasi selalu menyusun kelemahannya sendiri kepada generasi lanjut.
B. Analisis Kritik Sosial dalam Naskah Cannibalogy karya
Benny Yohanes
Setelah melakukan pengkajian unsur intrinsik yang terkandung dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon, penelitian ini menghasilkan data-
data yang berkaitan dengan penggambaran peristiwa masa Orde Baru. Kritik sosial yang dapat ditemukan dalam Cannibalogy karya Benjon adalah kritik
terhadap kekuasaan pada masa Orde Baru. Dalam naskah ini, kritik sosial tergambar di setiap fragmennya. Dalam
hal ini Benjon sangat jeli memilih peristiwa yang kemudian jika diperhatikan kembali mengandung kritik di dalamnya. Diawali dengan penggambaran
seorang tokoh super di negeri ini yang terkenal dengan sifat kepemimpinan “tangan besi”, tokoh tersebut adalah mantan
presiden RI ‘Soeharto’.
Penggambaran watak secara psikologis dan sosiologis penulis tuangkan dengan cerdas dan kreatif dalam tokoh Suhar.
Benjon menceritakan pemimpin masa Orde Baru dengan cara yang berbeda, naskah ini diciptakan dengan gaya interteks. Ia tidak hanya
menceritakan peristiwa di masa Orde Baru saja, tetapi juga menyatukan dengan peristiwa bersejarah lainnya melalui cuplikan-cuplikan peristiwa,
seperti saat kedatangan pasukan Belanda di Indonesia, tumbangnya masa penjajahan Belanda, hingga tragedi G–30-S, bukan dengan mengambarkan
peristiwa sejarah Indonesia secara utuh. Kritik sosial yang terkandung dalam naskah drama Cannibalogy
merupakan perwujudan dari tanggapan terhadap tindak penyimpangan yang kerap terjadi pada masa kekuasaan Soeharto, serta pada masa transisi dari
Orde Lama ke Orde Baru. Wujud kritik sosial yang didapati dalam naskah Cannibalogy di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Rekayasa di Seputar G-30-S peristiwa Lubang Buaya
Pada Oktober 1965, radio dan televisi Indonesia menyiarkan secara luas berita yang dapat membuat perasaan menjadi tidak menentu, “jasad
para jenderal yang dibunuh ditemukan di Lubang Buaya.” Sementara itu, anggota organisasi-organisasi yang terafiliasi PKI sedang berlatih di dekat
Lubang Buaya sebagai sukarelawan kasus konfrontasi Indonesia-Malaysia yang digagas Soekarno. Fakta ini dimanfaatkan dengan baik oleh militer
yang kemudian menuding PKI mencoba melakukan kudeta dan menyebut komunis adalah pembunuh yang kejam dan sadis. Dalam penalaran yang
tidak masuk akal ini, bukan hanya pemimpin PKI yang dinyatakan bersalah, melainkan seluruh anggota partai dan simpatisannya non-
partai.
78
Peristiwa ini kemudian menjadi salahsatu peristiwa yang diangkat sebagai bahan kritik yang disampaikan Benjon dalam naskah
Cannibalogy melalui laporan Solih kepada Suhar yang sedang berada di markas, Suhar digambarkan sebagai komandan divisi Jawa dengan
seragam militer yang dikenakannya lengkap dengan tongkat komando.
78
Julie Southwood – Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum Propaganda 1965-1981, Depok: Komunitas Bambu, 2012, ter. Komunitas Bambu, h.
86.
Solih : Mayat-mayat sudah diangkat dari lubang.Tujuh orang. Korban
diiris-iris. Mereka masih hidup waktu dikubur paksa di sumur kering. Orang-orang terbaik yang kita punya.
Suhar : Ya..ya. Itu kerjaan BTI. Pengacau Mereka komplotan si Suman
juga. Makamkan semuanya dengan baik. Kasih gelar sebagai pahlawan revolusi. Biar rakyat seneng.
Solih : Harus kita tangkap gembongnya.
Suhar : Pasti. Aidil dan Untung. Kejar mereka sampai Madiun.
Solih : Tangkap hidup atau mati ?
Suhar : Tenang. Tersenyum Tembak saja. Paling adil buat gerombolan.
79
Peristiwa Lubang Buaya menjadi latar dalam dialog tersebut. Kekejaman BTI yang digambarkan Solih dalam naskah Cannibalogy
semacam kritikan tajam yang dilakukan Benjon dalam karyanya. Penyampaian peristiwa yang sebenarnya disampaikan secara gamblang
pada kutipan di atas. Peristiwa dalam kutipan tersebut Seperti pernyataan yang dilontarkan Soeharto selaku Pangkostrad yang disiarkan langsung
oleh RRI dan TVRI setelah pengangkatan jasad para korban pembunuhan G-30-S di Lubang Buaya, Senin 4 Oktober 1965, sekitar pukul 15.00,
“jelas betapa kejam dan biadabnya aniaya yang dilakukan petualang- petualang G-30-S. Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi, 6 Jendral dan
79
Benny Yohanes, op.cit, h. 34.
seorang Perwira pertama, ditemukan dalam keadaan tubuh yang jelas penuh luka karena siksaan. Bekas luka di sekujur tubuh pahlawan kita”.
80
Selain pemberitaan yang disampaikan RRI dan TVRI, media- media cetak pun gencar memberitakan peristiwa tersebut dengan kabar
bahwa ketujuh korban disiksa di luar batas kemanusiaan. Pada edisi 5 Oktober, Harian Angkatan Bersendjata bahkan
menampilkan foto kabur dari mayat-mayat yang mulai membusuk, lalu menggambarkan kematian mereka sebagai “perbuatan barbar dalam
bentuk penyiksaan yang diluar batas-batas kemanusiaan “. Sementara itu Berita Yudha menyebutkan, mayat-mayat itu tertutup dengan tanda-tanda
yang mengindikasikan adanya penyiksaan. Dalam suatu penjelasannya kepada pers, Soeharto sendiri mengatakan bahwa dengan mata kepala
sendiri dia melihat bekas penyiksaan biadab telah dilakukan oleh segerombolan manusia barbar yang menamakan dirinya “Gerakan 30
September”. Pada edisi 9 Oktober 1965, Berita Yudha bahkan melaporkan
bahwa jasad Lettu Tendean mengalami luka sayatan pisau di dada sebelah kiri dan perutnya, lehernya telah dipenggal, dan kedua matanya dicungkil
keluar. Pada edisi 11 Oktober Harian Angkatan Bersendjata menulis Piere Tendean sebelumnya diperlakukan sebagai “barang mainan” Gerwani.
81
Berlainan dengan pemberitaan yang disampaikan oleh media, pemeriksaan yang dilakukan oleh tim forensik yang terdiri dari dua orang
dokter tentara beserta tiga ahli forensik sipil dan Fakultas Kedokteran UI. Tim forensik sama sekali tidak menemukan bekas siksaan di tubuh para
korban, sebelum mereka terbunuh. Pengumuman sengaja dibuat untuk memprovokasi hiruk-pikuk anti
komunis, mengompori orang lain untuk melakukan tindakan gegabah membunuh ‘PKI’, memancing amarah tanpa alasan atau kesetiakawanan:
“jika kamu berdiri di depan pintu dan kamu berkata bahwa kamu hanyalah
80
Eros Drarot, dkk, Siapa Sebenarnya Soeharto - Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-SPKI, Jakarta: PT. TransMedia, 2008, Cet. 10, h.16.
81
Ibid., h.17.