manusia, tidak seorangpun yang akan tertarik. Massa hanya perduli pada partai tempatmu bernaung.” Komunis digambarkan sebagai sosok yang
tidak manusiawi; yang harus dimusnahkan, disapu bersih, diberantas, diganyang. Mengutip metafora dari pemimpin Angkatan Bersenjata
mengenai pembantaian tersebut, “Reaksi publik terhadap komunisme sungguh ekstrem.”
82
Rumor dan isu yang sengaja disebar dengan mengklaim seperti peristiwa di atas merupakan cara efektif dalam propaganda. Justifikasi
kelompok pembantai elit militer di Lubang Buaya digunakan oleh Soeharto untuk meyakinkan masyarakat bahwa PKI memiliki keterlibatan
dengan kelompok tersebut. Terlebih gelar pahlawan yang melekat pada para korban akan lebih menarik simpati masyarakat untuk ikut melakukan
“pembersihan”.
2. Lahirnya Supersemar
Supersemar Surat Perintah 11 Maret merupakan catatan sejarah yang sampai saat ini keabsahannya masih menjadi kontroversi. Secara
umum, isi Supersemar adalah perintah Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto yang mengalihkan tanggung jawab kepresidenan. Dalam
Cannibalogy pun terdapat fragmen yang tampak mengacu pada peristiwa 11 Maret 1966 tersebut. Dengan sentuhan imajinasi kreatifnya Benjon
menyisipkan peristiwa penting dengan cara yang terlihat sepele. Landless :
Well... Suhar, mulai 11 Maret, kau resmi panglima. Kamu boleh tumpas habis semua gerombolan pengacau keamanan zonder
pengadilan. En jalan pos terpanjang harus lahir di Jawa. En akan kuberi nama Pos Landless straat. Kerja baik, upahmu baik.
Bersumpahlah Suhar. Landless menjabat tangan Suhar. Suhar bersimpuh di depan Landless
83
82
Julie Southwood- Patrick Flanagan. Op. cit., h. 86.
83
Benny Yohanes, op.cit.,h. 33.
Dialog di atas menandakan betapa besarnya pengaruh Supersemar dalam praktik kekuasaan Suhar. Supersemar menjadi simbol sakti Suhar
untuk melancarkan ambisinya. Dalam kenyataan sejarah Indonesia, Supersemar menjadi titik balik Soeharto untuk secara politis
“membersihkan” saingan-saingan dari kubu PKI dan upaya penuh untuk memegang kekuasaan.
Keterkaitan yang dibuat Benjon bukan kebetulan semata, penanggalan yang dimaksudkan dalam kenaikan jabatan Suhar tak hanya
penanggalan sembarang, namun menjadi suatu kritik tersendiri ketika dikaitkan dengan sejarah yang terjadi pada tanggal yang sama, yakni
peristiwa Supersemar Surat Perintah 11 Maret yang menjadi titik tolak Soeharto sebagai penguasa RI.
84
Dengan lahirnya supersemar, Soekarno selaku presiden pertama Negara ini tak lagi memiliki daya, langkah
Soeharto semakin mulus untuk menjadi seorang penguasa dan terbukti hingga tiga puluh dua tahun masa jabatan digenggamnya. Keadaan sosial
dan politik berubah setelah naiknya Soeharto sebagai presiden. Pada perawalan Orde Baru, Soeharto mampu memenuhi dua dari tiga tuntutan
rakyat Tritura, yaitu pembubaran PKI dan pembersihan kabinet dari unsurunsur PKI. Sementara itu, tuntutan ketiga, yaitu penurunan harga
yang berarti perbaikan bidang ekonomi belum diwujudkan. Hal itu terjadi karena syarat mewujudkannya perlu dilakukan dengan pembangunan
secara terus-menerus dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pelaksanaan pembangunan agar lancar dan mencapai hasil maksimal
memerlukan stabilitas nasional.
84
Isi Supersemar itu antara lain Presiden Soekarno memberikan kekuasaan kepada Letjen Soeharto unruk mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan,
keamanan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan PresidenPanglima TertinggiPanglima
Besar RevolusiMandataris MPRS, serta demikian kebutuhan bangsa dan Negara RI dan melaksanakan dengan pasti ajaran-ajaran Panglima Besar Revolusi.
3. Pembatasan Kebebasan Berbicara Pembungkaman Publik
Reformasi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998, merupakan transisi demokrasi dari otoritarian menuju liberatarian, demokrasi di
Indonesia di era tahun 1968-1998 cenderung menganut sistem otoritarian dimana media massa dan kebebasan pers dibatasi oleh undang-undang dan
peraturan pemerintah dibawah kendali orde baru, sehingga media massa tunduk dibawah kekuasaan pemerintah. Begitu besarnya kontrol
pemerintah terhadap media massa pada saat Orde Baru tersebut, seolah kran-kran pers dikunci rapat oleh pemerintah, akibatnya pers tidak dapat
memberikan informasi yang akurat dan terbuka transparancy kepada masyarakat, media tidak dapat mengkritik kebijakan pemerintah yang
menyimpang, kritik dibungkam dan sistem oposisi diharamkan, yang ahirnya penyimpangan yang dilakukan pemerintahan itu berakibat seperti
semakin merajarelanya koncoisme korupsi, kolusi nepotisme, pembangunan yang tidak merata, bertambahnya kesenjangan sosial, ketika
media massa tidak bebas untuk menyampaikan informasi maka pengetahuan masyarakat tentang informasi yang sebenarnya
termarjinalisasikan. Kasus yang paling terlihat dengan banyaknya surat kabar dan majalah yang dibredel, seperti kasus majalah Tempo dan
majalah Detik pada tahun 1997, karena tidak tunduk pada pemerintah yang berkuasa, maka kedua koran dan majalah tersebut dibreidel, begitu
ketatnya pengawasan pemerintahan yang otoriterian terterhadap kebebasan pers, namun tidak semua hal yang buruk pada teori otoriterian, ada sisi
kebaikan yang dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia, meskipun saat itu media massa dan persnya seolah-olah dibungkam dan
dikontrol oleh pemerintah yang berkuasa.
85
Dalam naskah Cannibalogy
85
Jamhur Poti. Demokratisasi Media Massa Dalam Prinsip Kebebasan, Jurnal Ilmu Pemerintah,
2011, 19.https:www.google.co.idurl?sa=trct=jq=esrc=ssource=webcd=1cad=rja
uacElet=8ved=0ahUKEwjcsaPQ46rPAhVJK48KHZwkDfcQFggaMAAurl=http 3A2F2Ffisip.umrah.ac.id2Fwp-
content2Fuploads2F20122F032FJURNAL-ILMU-PEMERINTAHAN-BARU- KOREKSI-
sindiran mengenai pembatasan kebebasan berbicara disampaikan melalui dialog Suhar pada fragmen VI.I.
Suhar : Amir, Yusuf. Tak boleh ada yang tahu berita ini Kontrol surat
kabar Amir :
Perempuan-perempuan ini bisa kasih informasi. Kita apakan ? Suhar :
Hemmh Mereka pantas jadi tumbal untuk kesialan ini. Habisi
86
Dalam naskah ini, pembatasan kebebasan publik untuk berbicara digambarkan dalam fragmen IV. 1. Peristiwa pada kutipan di atas
membawa ingatan pembaca untuk kembali pada peristiwa pembungkaman publik di masa Orde Baru. Pada masa itu, terdapat banyak media yang
dicabut izin terbitnya serta beberapa sastrawan yang ditangkap serta diasingkan karena menyampaikan informasi yang dianggap mengancam
keamanan negara. Sepert dilansir dalam situs online harian Kompas, jurnalisme
dibelenggu dengan penerbitan surat izin usaha penerbitan pers. Kritik terhadap pemerintah, dipastikan menjadi jalan untuk dicabutnya SIUPP,
yang berarti perusahaan pers dipaksa berhenti beroperasi. Belenggu yang dihadirkan rezim Orde Baru malah menumbuhkan aktivis demokrasi.
Sejumlah gerakan perlawanan muncul, yang kemudian segera dibungkam pemerintah dengan cepat. Salah satu tonggaknya adalah Tragedi 27 Juli
last.2335.pdfusg=AFQjCNG9mesSlr6F_tt28tclMSh1ECbuEQsig2=QL_cY7pYZQ SlfB8GCjs43Qbvm=bv.133700528,d.dGo. Diakses pada 25 September 2016 pukul
22:35.
86
Benny Yohanes, op.cit., h. 58.