kekuasaan belum bisa mentolerir hadirnya kebaruan pemikiran pada saat itu.
4. Sistem ketakutan Sebagai Kontrol
Sistem ketakutan diciptakan melalui ancaman dan intimidasi dengan tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan, hingga bahkan
kematian. Eksekusi dijadikan sebagai contoh bagi pihak-pihak yang melawan kekuasaan, sehingga menimbulkan ketakutan dan memberikan
pertimbangan pada pihak lain untuk tidak melawan penguasa. Sistem ketakutan sebagai kontrol dalam naskah ini terlihat pula melalui gambaran
lingkungan korban pembantaian. Oleh Benjon, lingkungan korban digambarkan sebagai lingkungan
yang antisipatif. Lingkungan bersikap tanggap terhadap situasi tersebut dengan cara bungkam dan menjauhi keluarga korban pembantaian, seperti
yang digambarkan pada dialog warga Mojokuto ketika hari penghakiman Suhar berikut.
Penduduk 4 : Saya melaporkan nasibnya mas Suranto, kepala sekolah di Pare.
Istrinya sedang hamil sembilan bulan. Yang laki dipenggal, istri dan bayinya dicincang. Tak ada yang berani menolong kelima anak
mereka yang masih kecil-kecil, karena kami diancam.
89
Sistem ketakutan sebagai kontrol dibangun oleh pemerintah masa Orde baru untuk mengontrol gerak warga. Dengan rasa takut dan ancaman
warga-warga dikontrol agar tidak memberontak terhadap tindakan yang mengatasnamakan pemerintah negara. Penggambaran Benjon dalam
kutipan tersebut yakni mengenai nasib kelima anak korban pembantaian yang mengalami kondisi sulit, para tetangga justru menjauhi setelah
orangtua mereka dibunuh. Hal ini tidak lain adalah karena sistem ketakutan seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tetangga-tetangga korban
memilih menjauh karena rasa takut akan mengalami nasib yang sama jika menolong kelima anak korban. Jika diingat kembali, peristiwa tersebut
89
Benny Yohanes, op.cit.,h. 65.
membawa kita kembali pada sejarah kelam bangsa Indonesia dalam peristiwa G-30-S di mana banyak nyawa-nyawa menjadi korban akibat
tuduhan sebagai mata-mata atau terduga anggota PKI yang kepastiannya masih samar.
Kritik demikian disampaikan Benjon dalam naskahnya melalui penggambaran yang disampaikan oleh seorang warga yang mengadukan
perbuatan Suhar kepada Mas Ageng selaku pemimpin Mojokuto pada hari pengadilan Suhar. Terlalu banyak orang yang memilih bungkam karena
takut turut menjadi korban.
5. Pembantaian di Bengawan Solo
Ki Butho : Menempelkan ujung keris ke kepala SuharKau dan aku akan
mengikat sebuah perjanjian. Setiap kali nasibmu membaik, kau harus kembali ke Bengawan Solo. Memberi makan sungai besar
ini. Bukan dengan darah ayam, Suhar. Kau harus memberi makan Bengawan Solo dengan darah segar yang sesungguhnya. Satu
kepala baru untuk setiap kali alam mengangkatmu ke derajat lebih tinggi. Nada suaranya berubah, tekanan dan ancaman
Sanggup?
90
Kutipan di atas menggambarkan pertemuan Suhar dengan Ki Butho di kali Solo. Dalam naskah Canniballogy, kali Solo digambarkan
sebagai tempat keramat untuk bertapa meminta berkah dan kekayaan, namun untuk mendapatkan kesemuanya Suhar harus mengikat perjanjian
dengan Ki Butho, Suhar harus memberikan persembahan kepada Kali Solo setiap kali nasibnya membaik.
Membaca kembali peristiwa yang terjadi dalam kutipan tersebut, terselubung pengungkapan sejarah pembantaian di Sungai Bengawan Solo
dan Sungai Brantas pada sekitaran 1965. Pada masa itu Sungai Bengawan Solo dan sungai Brantas menjadi saksi bisu atas pembantaian yang
dilakukkan kepada orang-orang terduga anggota PKI.
90
Benny Yohanes. Op. cit., h. 7.
Pada saat itu, selama enam bulan, tiap 2-3 hari sekali ada eksekusi terhadap aktivis PKI. Jika bunyi dor senjata api menyalak, penduduk
sekitar jembatan memilih mengunci pintu. “Kalau ada di luar rumah takut dituduh PKI” kata Suyek saksi hidup. Penduduk baru berani keluar
rumah ketika pagi menjelang. Kerap, pada pagi hari, ia menyaksikan mayat terdampar di tepi Bengawan Solo. Lalu beberapa orang menggeser
mayat bergelimpangan itu ke tengah sungai agar terbawa arus. Jembatan yang berjarak empat kilo meter dari jantung kota Solo itu
memang merupakan salah satu tempat yang sering dijadikan sebagai tempat pengeksekusian. Sejarawan Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta, Sudharmono, mengatakan eksekusi mati orang-orang PKI di atas Jembatan Bacem terjadi pada sekitar Oktober 1965. Akibat
pembantaian itu, air Bengawan Solo berwarna darah. Kadang penduduk mendapati jari manusia di perut ikan. Ketika terjadi banjir besar pada
1966, bekas eksekusi di Bengawan Solo hilang. “Sungai kembali jernih,” kata Sudharmono.
91
Namun jika diperhatikan pada perjanjian Ki Butho “satu kepala baru setiap kali alam mengangkatmu ke derajat yang lebih tinggi”,
kejadian tersebut merujuk pada peristiwa di Sungai Brantas Kediri, di mana banyak jasad tanpa kepala merintangi sungai tersebut. Berbeda
dengan eksekusi yang dilakukan di Bengawan Solo, eksekusi yang dilakukan di Sungai Berantas jauh labih sadis, yakni dengan memenggal
kepala terduga anggota PKI. Salah satu lokasi yang sering kali digunakan untuk membantai
adalah gisikan atau sepanjang pinggiran Sungai Brantas, yang membelah wilayah Kediri. Kepala para korban dipenggal dan lantas dilempar ke
sungai. Kediri diduga menjadi ladang pembantaian paling besar di Jawa
Timur. Belum ada angka pasti jumlah korban pembantaian kala itu.
91
Kurniawan et.al, Pengakuan Algojo 1965, Jakarta: PT Tempo Inti Media, 2013, cet. IV, h. 51.
Namun, sejak operasi penumpasan dimulai, Sungai Berantas menjadi kuburan terapung. Mayat-mayat yang sebagian besar tanpa kepala
mengambang di sepanjang sungai. Bau busuk menguar. Tidak ada orang yang berani menangkap ikan serta bersedia makan ikan dari sungai
terbesar dan terpanjang di Jawa Timur itu.
92
Hal tersebut diungkapkan juga dalam dialog naskah Cannibalogy.
Penduduk 5 : Sungai Brantas mampet akibat mayat-mayat. Tubuh tanpa kepala
merintangi sungai-sungai di Semarang. Dan kepala-kepala manusia berjejer di atas pagar kayu sepanjang jalan di Solo.
Pengarang memunculkan dialog di atas untuk menjelaskan kesalahan yang telah dilakukan Suhar. Kutipan tersebut menggambarkan
keadaan sosial yang mengerikan semasa Suhar berkuasa. Banyak nyawa yang menjadi korban atas keberingasannya. Dengan alasan untuk
“kebersihan” dan keamanan, nyawa dan jiwa banyak ditumbalkan. Deskripsi suasana yang dipaparkan Benjon mengindikasikan
peristiwa Bengawan Solo adalah tragedi. Mayat-mayat yang mengambang tidak direspon sebagai suatu yang mengerikan atau kejahatan, tetapi
sebaliknya, seakan pajangan atau ornamen kekuasaan. Kenyataan pahit yang dialami oleh korban dengan atribut PKI meniadakan hukum, baik
hukum positif maupun moral.
6. Pelengseran Penguasa
Keberhasilan dan kejayaan yang dicapai oleh Soeharto dengan rezim Orde Baru pada akhirnya mengalami keruntuhan. Keburukan yang
dilakukan oleh rezim Soeharto mulai nampak ke permukaan semenjak rezim ini mengalami kemunduran. Periode 1989-1998 merupakan masa
92
Ibid., h. 12.