Sub Kriteria Persepsi Pemangku Kepentingan .1 Kriteria

memberikan suatu tekanan terhadap lingkungan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, sehingga di waktu mendatang, dalam pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil perlu adanya kebijakan yang mencoba menginternalisasikan nilai kerusakan ini terhadap kegiatan- kegiatan ekonomi, karena selama ini, kerusakan dimaksud hanya merupakan biaya eksternalitas yang menjadi beban masyarakat. Oleh karena itu upaya pelestarian lingkungan dan teknologi ramah lingkungan tepat guna selayaknya dikembangkan di Kawasan Kapoposan, terutama dalam menghadapi isu-isu lingkungan yang terus menerus diangkat di era globalisasai, yaitu global warming dan sea level rise. DKP 2004 menyatakan bahwa kenaikan suhu permukaan bumi yang dikenal dengan fenomena pemanasan global global warming telah menyebabkan naiknya permukaan air laut karena ekspansi thermal permukaan air laut dan terjadinya pencairan es di kutub akibat berbagai aktivitas di daratan seperti industrialisasi, penebangan dan kebakaran hutan, pencemaran udara dan penggunaan gasbahan-bahan kimia lainnya. Kecenderungan global naiknya permukaan air laut mencapai 13 cm per 10 tahun, sedangkan kenaikan suhu dunia mencapai 0,019 o C per tahun. Gejala kenaikan permukaan air laut sea level rise di Indonesia mencapai 1-3 cm per tahun dan kenaikan suhu mencapai 0,03 o

6.3.2 Sub Kriteria

C per tahun. Naiknya permukaan air laut dapat menyebabkan dampak yang serius terhadap keberadaan pulau-pulau kecil, karena sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia berupa dataran rendah dan memiliki ketinggian hanya beberapa meter di atas permukaan laut dpl. Dengan naiknya permukaan laut beberapa cm, akan berdampak pada berkurangnya luasan daratan pulau-pulau kecil secara signifikan. Implementasi wawasan nusantara, pemberdayaan pulau-pulau kecil sebagai isu Nasional, kebijakan berbasis kelautan, dan kesenjangan pembangunan Pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan tidak dapat terlepas oleh pengaruh kebijakan makro tingkat nasional. Jika kebijakan makro dimaksud masih tetap mempertahankan arah pembangunan ke arah daratan, maka pembangunan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dan juga kawasan pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia akan tetap mengalami kesulitan, bahkan dimungkinkan jalan di tempat. Oleh karena itu secara mendasar, para pimpinan nasional selayaknya mengubah kebijakan politik yang ada saat ini dengan politik yang sesuai dengan kondisi obyektif bangsa sebagai negara kepulauan, dengan kembali menengok sejarah bangsa ini sebagai bangsa bahari, dan mengimplementasikan konsep wawasan nusantara dalam kebijakan yang diambil, dimana laut menjadi penghubung antar pulau dan bukan pemisah. Djalal 2009 menyebutkan bahwa wawasan nusantara sesuai Deklarasi Djuanda tahun 1957 adalah cara pandang Bangsa Indonesia yang dijiwai nilai-nilai Pancasila dan berdasarkan UUD 1945, serta memperhatikan sejarah dan budaya tentang diri dan lingkungan keberadaannya yang sarwanusantara kondisi terhubung, menyatu dan diapit dalam memanfaatkan kondisi dan konstelasi geografi, yang menekankan bahwa bangsa Indonesia yang hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut berada dalam kesatuan kewilayahan berbentuk kepulauan nusantara yang merupakan satu kesatuan dari seluruh wilayah darat, laut antara darat, termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya, udara di atasnya, beserta seluruh kekayaannya merupakan suatu kesatuan kewilayahan yang harus dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk mencapai tujuan nasional, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, serta keadilan sosial. Kebijakan politis di tingkat nasional untuk berkomitmen mengimplementasikan wawasan nusantara secara logis akan menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk melakukan hal yang sama dalam menyusun kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil yang berada di wilayahnya, mengingat pemberdayaan pulau-pulau kecil merupakan ‘isu baru’ bagi kebijakan berbasis kelautan baik di tingkat pusat maupun daerah, khususnya bagi Kabupaten Kepulauan Pangkajene yang memiliki sekitar 114 pulau dengan komposisi 90 pulau diantaranya berpenduduk dan 24 pulau lainnya kosong tidak berpenduduk, dengan luas perairan laut sekitar 17.100 km 2 . Kebijakan berbasis kelautan yang dapat dilakukan oleh Pemda Kab. Pangkep diantaranya adalah dengan mendorong pemanfaatan potensi perikanan di kawasan perairan antar pulau Tabel 3 dan 4, khususnya penangkapan bagi ikan-ikan bernilai ekonomis tinggi seperti ikan layang, kembung, cakalang, udang, kerapusunu, dan cumi- cumi. Penangkapan ikan layang yang telurnya menjadi salah satu ikon Kabupaten Pangkep di Kawasan Kapoposan dapat lebih ditingkatkan produktivitasnya dengan melakukan pendampingan pada penanganan pasca panen saat ikan layang akan diambil telurnya. Hal ini karena berdasarkan pengamatan dan wawancara, ikan layang merupakan potensi perikanan primadona di sekitar Kawasan Kapoposan, yang cara penangkapannya telah dipahami benar oleh masyarakat kawasan, mengingat selain memiliki harga jual yang ekonomis, ikan ini dapat ditangkap dengan berbagai alat tangkap yang sederhana dengan tingkat eksploitasi yang relatif tinggi. Irham et al., 2008, menyebutkan bahwa ikan layang adalah jenis ikan pelagis kecil yang mudah ditangkap dengan menggunakan beragam jenis alat tangkap, umumnya daerah penangkapan berada pada daerah operasi penangkapan in shoreartisanal fishery, tingginya minat konsumsi masyarakat terhadap jenis ikan ini, dan memiliki permintaan pasar yang relatif tinggi. Sedangkan pengembangan perikanan tangkap lainnya yang dapat dilakukan di Kawasan Kapoposan adalah upaya peningkatan produktivitas penangkapan cumi-cumi, dengan memperkenalkan alat tangkap tepat guna yang ramah lingkungan. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara, penangkapan cumi-cumi merupakan komoditas yang relatif baru diupayakan masyarakat kawasan karena adanya permintaan yang cukup tinggi dari pasar di Kota Makassar. Penangkapan cumi-cumi masih dilakukan secara sporadis dan masih merupakan target penangkapan sampingan dari ikan target, yaitu ikan sunu. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengenalan terhadap alat seperti halnya atraktor cumi-cumi, yang selain dapat berfungsi sebagai sarana pengumpul cumi juga dapat berfungsi sebagai terumbu karang buatan. Baskoro et al,. 2008 , atraktor cumi-cumi dikembangkan dengan tujuan utama untuk memperkaya sumberdaya cumi-cumi di suatu kawasan perairan, dengan manfaat meliputi: 1 dapat berperan sebagai terumbu buatan, sehingga dapat membentuk suatu ekosistem baru; 2 dapat menciptakan suatu pemandangan bawah laut yang unik berupa pemandangan hamparan telur cumi-cumi; 3 sebagai daerah asuhan dan pembesaran yang dapat mendorong kawasan perairan menjadi daerah penangkapan yang potensial; 4 dapat menjadi atraksi wisata bahari berupa penyelaman dan sport fishing; serta 5 merupakan alih tekhnologi yang aplikatif dan ramah lingkungan. Untuk pengembangan potensi budidaya seperti ikan bandeng, udang windu dan udang putih Tabel 6, yang telah dilakukan di kawasan pesisir Kabupaten Pangkep selayaknya pemerintah daerah menyiapkan pendampingan dan pelatihan yang intensif dalam proses pemberian makan feeding rate dan waktu makan feeding frequency, cara-cara pengecekan kualitas air dan kesehatan komoditas, serta penanganan pasca panen untuk menjaga kondisi kualitas komoditas yang dipanen tetap terjaga sehingga tidak menyebabkan jatuhnya harga. Berkaitan dengan isu nasional yang baru, yaitu isu pemberdayaan pulau- pulau kecil, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep diharapkan dapat melihatnya sebagai peluang dalam membangun pulau-pulau kecil di wilayahnya, termasuk Kawasan Kapoposan, dengan harapan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat kawasan, pendapatan asli daerah PAD, menekan pengaruh negatif dari terjadinya kesenjangan pembangunan antara pulau kecil dan daratan main land, bahkan dapat pula menyumbang bagi devisa negara melalui pemanfaatan jasa-jasa kelautan melalui pengembangan pariwisata bahari. Retraubun 2007 menyatakan bahwa pemberdayaan pulau- pulau kecil merupakan arah kebijakan baru di bidang kelautan karena kawasan ini menyediakan sumberdaya alam yang produktif, baik sebagai sumber pangan dari kekayaan ekosistemnya mangrove, lamun dan terumbu karang beserta biota yang hidup di dalamnya, media komunikasi, kawasan rekreasi, pariwisata, serta konservasi, sehingga kawasan pulau-pulau kecil menjadi tumpuan Bangsa Indonesia di masa mendatang. Sebagai arah kebijakan baru, maka ada tiga alasan utama untuk menjawab pentingnya pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil, yaitu: 1 pulau-pulau kecil umumnya belum atau kurang disentuh program dan kegiatan pembangunan; 2 pengembangan sosial ekonomi masyarakat masih sangat terbatas; dan 3 meningkatnya degradasi ekosistem pulau-pulau kecil karena perilaku yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya Kawasan Kapoposan selayaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil di sekitar kawasan dan mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan sehingga dapat mengurangi pengaruh negatif akibat kesenjangan pembangunan antara pulau kecil dan daratan main land yang terjadi akibat adanya miss management pembangunan masa lalu. Retraubun 2001 , menyatakan bahwa penerapan konsep pembangunan kontinental di seluruh wilayah Indonesia secara seragam pada masa lalu jika dibandingkan dengan pembangunan model pulau-pulau kecil sesungguhnya merupakan dua pendekatan yang ekstrim berbeda. Kebijakan pembangunan masa lalu yang lebih berorientasi daratan land based oriented, telah menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan yang sangat besar antara pulau-pulau kecil dengan pulau induk atau kontinen. Konsep pembangunan kontinental dengan paradigma pertumbuhannya selain menimbulkan kesenjangan pembangunan, juga telah mengasingkan sumberdaya pulau-pulau kecil dari pengelolaan yang bijak, serta membawa konsekuensi logis bagi keberadaan kawasan pulau-pulau kecil dalam kondisi: 1 miskinnya masyarakat pada kawasan ini; 2 kemampuan sumberdaya manusia yang rendah sebagai akibat kurangnya sentuhan pendidikan formal walaupun kaya dengan pengetahuan tradisional; 3 sumberdaya alam hayati maupun nir- hayatinya tidak dimanfaatkan secara efisien dan efektif; dan 4 lingkungan laut maupun daratnya mengalami kerusakan serius. Infrastruktur dasar, proporsi anggaran pembangunan kelautan, ketersediaan lapangan kerja, dan minat investasi di pulau-pulau kecil Pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan harus didukung oleh penyediaan dan perbaikan infrastruktur dasar dalam upaya menunjang pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat kawasan yang lebih baik. Berdasarkan pengamatan di lapangan, infrastruktur dasar yang mendesak untuk disediakan adalah tranportasi reguler kapal laut dari daratan Kabupaten Pangkep ke Kawasan Kapoposan dan sebaliknya. Sedangkan baik di Pulau Kapoposan, Gondongbali dan Papandangan, yang sangat dibutuhkan secara cepat adalah penyediaan sarana penerangan berupa listrik tenaga surya, karena generator yang mensuplai kebutuhan listrik sudah tidak mampu lagi beroperasi rusak, dan adanya perbaikan sarana pendidikan bangunan sekolah dasar. Oleh karena itu, pemerintah baik pusat maupun daerah harus menyediakan anggaran yang proporsional bagi penyediaan dan perbaikan infrastruktur dasar di Kawasan Kapoposan, sehingga keterbatasan infrastruktur dasar tidak merupakan penghalang atau kendala bagi masyarakat untuk melaksanan kegiatan-kegiatan produktifnya. DKP 2003 menyebutkan bahwa kegiatan pembangunan di pulau-pulau kecil meskipun ada, pada umumnya dicirikan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan yang bersifat merusak lingkungan pulau itu sendiri atau memarjinalkan penduduk lokal. Maraknya kegiatan pembangunan pulau-pulau kecil di sekitar Batam, Tanjung Pinang, dan Bintan, serta kepulauan Seribu merupakan potret pembangunan pulau-pulau kecil di masa lalu yang sarat dengan kerusakan lingkungan yang tidak mendatangkan manfaat bagi masyarakat lokal. Pembangunan infrastruktur dasar di Kawasan Kapoposan dapat mendatangkan berbagai manfaat meliputi: memacu pertumbuhan ekonomi kawasan, menyediakan lapangan pekerjaan guna menekan pengangguran, sebagai tambahan penghasilan bagi masyarakat lokal yang umumnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, serta dapat menjadi pendukung dalam menarik minat investasi di Kawasan Kapoposan. Kualitas sumberdaya manusia, globalisasi, pengaruh negatif budaya asing, dan kearifan lokal masyarakat Sumberdaya manusia di Kawasan Kapoposan memiliki tingkat pendidikan yang minim Lampiran 12 dan 13, yaitu umumnya hanya tamat sekolah dasar, bahkan lebih banyak lagi yang tidak tamat sekolah dasar, sehingga dibutuhkan suatu upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang memiliki produktivitas tinggi dan dapat diharapkan berperan penting dalam melestarikan pembangunan ekonomi kawasan dan daerah, dengan langkah-langkah yang dikhususkan kepada peningkatan etos dan budaya kerja yang rendah, yang selama ini seolah-olah menjadi ‘stempel’ masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil pada umumnya. Dahuri 2001 , menyatakan bahwa pengembangan kualitas sumberdaya manusia masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai subyek dan obyek dari pembangunan sangat lemah, karena adanya sejumlah faktor pembatas meliputi: 1 kurangnya pendekatan terpadu dan interdisipliner dalam pendidikan dan latihan ilmu kelautan dan perikanan; 2 tidak adanya program yang khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 3 kurangnya koordinasi di antara lembaga-lembaga yang menawarkan program; 4 secara tradisional pendidikan, pelatihan dan kursus-kursus diarahkan untuk pembangunan yang berbasis di darat; dan 5 kurangnya kemitraan baik dari segi pembinaan keterampilan maupun pendanaan dari kalangan investor terhadap masyarakat lokal sehingga seringkali mengakibatkan pemindahanpengungsian masyarakat lokal dari lokasi-lokasi strategis. Pemerintah Daerah selayaknya mengantisipasi masalah kualitas sumberdaya manusia di Kawasan kapoposan secara bijak, mengingat hal dimaksud pada dasarnya dapat pula menjadi salah satu upaya penanggulangan kemiskinan kultural di kalangan masyarakat sekitar kawasan. Dahuri 2003 menyebutkan bahwa penanggulangan kemiskinan kultural masyarakat pulau- pulau kecil dapat dilakukan melalui pemberdayaan dan pembinaan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya kelautan, khususnya dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam kelautan meliputi: 1 menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat lokal; 2 menerapkan teknologi ramah lingkungan dan mendorong pengembangan teknologi asli indogenous knowledge and technology; dan 3 membangun kesadaran akan pentingnya nilai strategis sumberdaya alam kelautan yang dimiliki bagi generasi mendatang. Sedangkan langkah peningkatan kualitas sumberdaya manusia pulau-pulau kecil dapat dilakukan meliputi: 1 investasi pada modal manusia human capital yaitu dalam bidang pendidikan dan kesehatan; 2 peningkatan kapasitas organisasi dan kelompok baik formal maupun informal sebagai suatu cara untuk mensinergikan dan memadukan kekuatan individu; 3 memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi bisa dicapai; 4 memperbaiki budaya kerja; dan 5 menghilangkan sifat dan mental negatif yang memasung produktivitas dan menghambat pembangunan. Berdasarkan wawancara kelompok terfokus, Kabupaten Pangkep pada umumnya dan Kawasan Kapoposan pada khususnya diharapkan dapat mempersiapkan diri menghadapi era globalisasi yang memiliki implikasi sangat luas terhadap pembangunan kelautan, sehingga untuk mengantisipasi dampak globalisasi, arah dan strategi pembangunan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan harus dilakukan secara berbeda dengan apa yang telah dilakukan di masa lalu, dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya kelautan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan merupakan keunggulan komparatif yang memiliki peluang yang besar untuk dimanfaatkan baik melalui pemanfaatan sumberdaya hayati, nir hayati, maupun pemanfaatan jasa-jasa lingkungan kelautan, sehingga dapat menjadi keunggulan kompetitif. Dahuri 2002 , menyatakan bahwa dalam era globalisasi yang ditandai berlakukannya liberalisasi perdagangan internasional, maka potensi keunggulan komparatif Indonesia yang dimiliki oleh sumberdaya kelautan harus dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif, sehingga upaya menciptakan nilai tambah value added merupakan hal yang penting dalam proses pembangunan kelautan di masa depan. Liberalisasi perdagangan merupakan pedang bermata dua double-edged swords, dimana di satu sisi liberalisasi menyodorkan peluang opportunities, melalui penurunan hambatan-hambatan tarif dan non tarif dan meningkatkan akses produk-produk domestik ke pasar internasional, namun di sisi lainnya liberalisasi perdagangan juga sekaligus menjadi ancaman threat, karena perdagangan bebas menuntut penghapusan subsidi dan proteksi sehingga proses liberalisasi sekaligus meningkatkan akses produk-produk asing di pasar dalam negeri. Selain itu perkembangan budaya global seperti budaya instan, budaya hedonistik, kapitalistik, dan budaya anarkisme sebagai efek liberalisme tetap harus diantisipasi, mengingat masyarakat Kawasan Kapoposan umumnya merupakan masyarakat yang relegius seluruhnya adalah pemeluk agama Islam. Retraubun 2008, menyatakan bahwa perkembangan budaya global yang memunculkan pengaruh negatif seperti budaya instan, budaya hedonistik, kapitalistik, liberalistik, dan budaya anarkisme merupakan salah satu budaya yang diciptakan oleh kaum liberalis untuk menyebarluaskan gaya hidup hura- hura kepada masyarakat dunia termasuk di Indonesia yang menimbulkan efek negatif terhadap kehidupan bangsa Indonesia yang memegang budaya ketimuran yang berpegang teguh pada norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat. Dampak dari budaya ini sudah menyebar dimasyarakat Indonesia terutama dikalangan generasi muda, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan, yang tidak mustahil telah menyebar pula pada masyarakat pulau- pulau kecil, yang meniru kebiasaan kaum liberalis yang senang berhura-hura dengan menghabiskan uang secara percuma. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan dalam mempertahankan kearifan lokal masyarakat Kawasan Kapoposan seperti ‘sipakalalo dan sipakatau’ serta digompoi, merupakan penangkal masuknya budaya-budaya luar yang negatif yang dapat mengikis budaya dan adat masyarakat lokal kawasan. Retraubun 2003 menyatakan bahwa masyarakat pulau-pulau kecil memiliki kebudayaan yang potensial bagi pembangunan, yaitu kearifan lokal local wisdom berupa sistem pengetahuan sendiri indogenous knowledge yang sangat berharga bagi kegiatan usaha penangkapan ikan dan sangat berharga bagi upaya konservasi sumberdaya alam. Namun demikian, potensi tersebut selama ini tidak mendapat perhatian sehingga mengakibatkan tidak termanfaatkannya potensi ekonomi serta pudarnya berbagai institusi sosial dan nilai-nilai lokal yang kemudian berujung pada makin rusaknya sumberdaya pesisir dan lautan di wilayah pulau- pulau kecil dan berakhir pada kondisi yang membuat masyarakat pulau-pulau kecil relatif tertinggal. Konservasi, pulau-pulau kecil rentan terhadap perubahan lingkungan, tata ruang dan zonasi, serta sumberdaya jasa kelautan Pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan sesuai dengan wawancara dengan key person maupun wawancara kelompok terfokus mengingat salah satu karakteristik yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil adalah kerentanannya terhadap perubahan lingkungan. DKP 2001 , menyatakan kerentanan pulau kecil terhadap perubahan lingkungan adalah karena: 1 terbuka dari pukulan ombak dari semua sisi; 2 memiliki massa daratan yang relatif lebih kecil; 3 memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kekeringan karena kemampuan menahan air yang sangat minim sehingga sering kekurangan air tawar; serta 4 memiliki daya dukung yang sangat terbatas. Mengingat rentannya ekosistem pulau-pulau kecil dan gugus pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang sudah terbukti menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pengelolaan pulau-pulau kecil untuk konservasi, budidaya laut mariculture, ekowisata, serta usaha penangkapan ikan dan industri perikanan yang lestari. Berkaca dari miss management masa lalu, maka pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan selayaknya tidak diperuntukkan hanya bagi pertumbuhan ekonomi semata, namun diarahkan kepada pertumbuhan ekonomi yang sustainable yang menyeimbangkan antara hubungan masyarakat kawasan dan lingkungan, yang diwujudkan dalam upaya pencegahan kerusakan lingkungan. Bengen dan Retraubun 2006 menyatakan bahwa opsi pembangunan pulau-pulau kecil yang tersedia terbatas, dan pada umumnya hanya ada tiga jenis opsi pembangunan yang tersedia yaitu: 1 aktivitas pembangunan yang tidak berdampak negatif samasekali pada lingkungan misalnya dengan menentukan suatu pulau kecil dengan perairannya sebagai kawasan wildlife sunctuary; 2 aktivitas yang hanya sedikit dampak negatifnya misalnya pengembangan ekonomi subsisten untuk pemenuhan kebutuhan lokal melalui penggunaan sumberdaya alam lokal secara lestari; dan 3 aktivitas yang berakibat perubahan radikal dalam lingkungan seperti pertambangan skala besar, kegiatan militer dan pengujian nuklir dan pengembangan tourisme yang intensif. Berdasarkan ketiga opsi dimaksud, maka pencegahan terhadap kerusakan ekosistem pulau-pulau kecil merupakan alternatif terbaik walaupun modifikasi lingkungan untuk meningkatkan penyediaan barang dan jasa berharga bagi manusia tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, manajemen lingkungan merupakan syarat pencapaian pertumbuhan ekonomi yang sustainable dan manajamen pertumbuhan ekonomi merupakan bagian dari manajemen lingkungan. Manajemen lingkungan umumnya meliputi pemantauan, dan modifikasi sumberdaya alam sebagaimana dibutuhkan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai tambah. Walaupun demikian, sumberdaya manusia merupakan komponen penentu pemanfaatan sumberdaya alam sehingga manajemen lingkungan dapat disebut sebagai manajemen hubungan antara manusia dan lingkungan man-environment management. Pengelolaan Kawasan Kapoposan yang berbasis konservasi tidak hanya mendatangkan manfaat bagi lingkungan, namun juga bagi masyarakat kawasan dan daerah. DKP 2003, menyebutkan beberapa manfaat kawasan konservasi laut antara lain adalah: 1 manfaat biologi, ekonomi dan sosial; 2 keaneka ragaman hayati; 3 perlindungan terhadap spesies endemik; 4 pengurangan mortalitas akibat penangkapan; 5 perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam pertumbuhan; 6 peningkatan produksi dan perlindungan pemijahan; 7 manfaat penelitian; 8 ekoturisme; 9 pembatasan hasil samping ikan juvenil juvenile by catch; serta 10 peningkatan produktivitas perairan productivity enchancement. Berdasarkan kondisi ini, maka alokasi tata ruang dan zonasi Kawasan kapoposan harus didasarkan pada daya dukung ekologis, keberadaan jaringan sosial budaya antara masyarakat, serta integrasi kegiatan sosial ekonomi yang sudah berlangsung selama ini, yang pada akhirnya akan memberikan pilihan investasi yang tepat dalam menjaga keamanan dan keselamatan sosial budaya dan ekologis dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan, khususnya dalam pemanfaatan jasa-jasa lingkungan melalui kegiatan wisata bahari. Pengembangan sumberdaya kelautan jasa-jasa lingkungan di Kawasan Kapoposan merupakan sumberdaya yang memiliki keunggulan kompetitif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional dengan tetap mendukung pada kecenderungan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang dapat pulih, dibandingkan dengan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang tidak dapat pulih seperti pertambangan. DKP 2005 , menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya dapat pulih menjadi pilihan didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1 sumberdaya kelautan dapat pulih memerlukan persyaratan kualitas lingkungan yang baik untuk pengembangannya, sedangkan sumberdaya kelautan tidak dapat pulih relatif tidak memerlukan persyaratan kualitas lingkungan yang baik; 2 sumberdaya kelautan dapat pulih memiliki nilai ekonomi yang bersifat long term, sedangkan sumberdaya kelautan tidak dapat pulih memiliki nilai ekonomi yang bersifat short term; 3 sumberdaya kelautan dapat pulih memiliki peran dalam daya dukung kualitas dan kelestarian lingkungan, walaupun nilai ekonomi kontribusi tangible nya kurang signifikan dibandingkan dengan sumberdaya tidak pulih, namun nilai ekonomi kontribusi sumberdaya dapat pulih memiliki intangible dan indirect yang tinggi dan kontinyu, sehingga perlu dikelola secara hati-hati; dan 4 dalam proses pemanfaatan sumberdaya kelautan dapat pulih, relatif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap proses pemanfaatan sumberdaya kelautan tidak dapat pulih, sebaliknya pemanfaatan sumberdaya kelautan tidak dapat pulih akan memberikan dampak negatif terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan dapat pulih.

6.3.3 Alternatif Pengelolaan Kawasan Kapoposan