Model SAMUDRA Potensi Kawasan Kapoposan

5 jejaring 6 perubahan perilaku masyarakat 7 sosial dan keagamaan 8 kultural 9 hak ulayat Gambar 26 menunjukkan bahwa pendidikan, pengajaran, penelitian, pengabdian pada masyarakat, pendampingan dan jejaring yang umumnya dimiliki oleh institusi non birokrasi dalam hal ini perguruan tinggi serta lembaga swadaya masyarakat termasuk peubah linkages, dimana setiap tindakan pada tujuan tersebut akan menghasilkan keberhasilan dalam model pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di suatu kawasan dari aktor institusi non birokrasi. Sub elemen pendidikan, pengajaran, penelitian, pengabdian pada masyarakat, pendampingan dan jejaring merupakan sub elemen yang memiliki daya dorong yang besar dalam keberhasilan sistem. Pada kuadran II terlihat bahwa sub elemen perubahan perilaku pada masyarakat, sosial dan keagamaan, kultural dan hak ulayat memiliki ketergantungan besar dari sistem, namun memiliki daya dorong yang rendah.

5.8 Model SAMUDRA

Melalui pendekatan segitiga keterpaduan pengelolaan dan pendekatan interpretative structural modelling, dapat dihasilkan suatu model pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, yaitu Model SAMUDRA Gambar 27, tujuan utama adalah peningkatan kesejahteraan melalui pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil. Sedangkan faktor-faktor yang secara umum paling mempengaruhi para aktorsubyek sebagai lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program adalah: 1 Pemerintah Pusat: pemerataan pembangunan dan pembangunan terpadu; 2 Pemerintah Daerah: kepemimpinan daerah dan potensi unggulan daerah; 3 Dunia Usaha: kepastian hukum, aksesibilitas dan daya tarik investasi dari suatu kawasan; 4 Institusi Non Birokrasi: pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, pendampingan dan jejaring net working. Gambar 27 Model SAMUDRA 6 PEMBAHASAN

6.1 Potensi Kawasan Kapoposan

Potensi sumberdaya alam kelautan, perikanan dan jasa-jasa lingkungan keenam pulau kecil di Kawasan Kapoposan adalah sebaran terumbu karang coral reefs sebagai ekosistem khas pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayah tropis yang menjadi daya dukung ekologis kawasan. Nilai keanekaragaman terumbu karang dari keenam pulau Kapoposan, Papandangan, Gondongbali, Tambakulu, Pamanggangan, dan Suranti berkisar antara 55-70, yang menunjukkan kondisi terumbu karang di kawasan ini dalam kondisi relatif baik, dengan ikan-ikan karang yang ditemukan adalah ikan betok Pomacentridae, ikan ekor kuning Caesionidae, Acanthuridae, Siganidae, dan Lutjanidae sebagai ikan konsumsi, dan ikan kepe-kepe Chaetodontidae sebagai ikan indikator. Berhimpon et al., 2007, menyebutkan bahwa sebaran terumbu karang beserta asosiasinya di perairan pulau-pulau kecil umumnya memiliki nilai keanekaragaman sekitar 50-70, yaitu suatu kondisi yang relatif masih baik dengan indikasi masih banyaknya dijumpai ikan indikator dari famili Chaetodontidae, komunitas ikan karang yang berasosiasi dengan terumbu karang yakni, Pomacentridae, Scaridae, Caesionidae, Siganidae, dan Lutjanidae, serta ditemukannya Tridacnide kima dan seagrasses. Sebaran terumbu karang antar keenam pulau bervariasi, dan kondisinya relatif berbeda tergantung pada kedalaman tempat tumbuhnya terumbu. Pada, kedalaman 4-8 meter, kisaran presentase tutupan karang hidup berkisar 80- 90, sedangkan pada kedalaman 12-14 meter presentase tutupan karang hidup sekitar 60. Hal ini dapat terjadi karena terumbu karang yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu karang hermatipik dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae memiliki faktor pembatas bagi pertumbuhannya. Semakin dalam suatu perairan, maka daya tembus cahaya matahari yang dibutuhkan Zooxanthellae untuk berfotosintesis semakin terbatas, dan suhu perairan akan semakin dingin, yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan terumbu karang menjadi lebih lambat dan sedikit. Nybakken 1988 , menyebutkan bahwa faktor pembatas perkembangan terumbu karang adalah suhu optimal pada 23-25ºC, kedalaman optimal kurang dari kedalaman 25 meter, cahaya matahari optimal pada intensitas 15-20, salinitas 32-35º oo Sesuai pengamatan dan wawancara, masyarakat Kawasan Kapoposan sangat mendukung diberlakukannya Surat Keputusan Bupati Pangkep No. 1802009 yang menetapkan Kawasan Kapoposan menjadi bagian dari Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep. Masyarakat menyadari, bahwa dengan keberadaan kegiatan konservasi wilayah area penangkapan menjadi berkurang, yang dapat diartikan mengurangi pula pendapatan secara ekonomi, namun masyarakat telah bersepakat bahwa mencegah kerusakan lingkungan pulau-pulau kecil di mana mereka tinggal, lebih baik daripada memperbaiki, karena selain biaya mencegah jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya perbaikannya, kerusakan lingkungan yang terjadi akan sangat merugikan mereka yang mengandalkan hidup dari ketersediaan sumberdaya dan lingkungan yang lestari. Hal dimaksud menyebabkan masyarakat mengangap konservasi sebagai kegiatan yang penting, yang didukung oleh kearifan lokal ramah lingkungan yang secara sosial budaya telah tumbuh dari generasi ke generasi dalam masyarakat Kawasan Kapoposan. Rais et al., 2004 , menyatakan bahwa konservasi yang berasal dari kata to conserve memiliki arti menyelamatkan, melindungi, melestarikan dan menyimpan, sehingga dalam konteks pengelolaan sumberdaya , dan sedimentasi. Kondisi terumbu karang yang banyak mengalami kerusakan pada umumnya dijumpai di ketiga pulau kosong Pamanggangan, Suranti dan Tambakulu. Hal ini terjadi karena ketiga pulau kosong dimaksud kurang mendapatkan pengawasan masyarakat, dan seringkali digunakan sebagai tempat persinggahan oleh nelayan di luar Kawasan Kapoposan yang ditenggarai banyak melakukan aktivitas penangkapan dengan menggunakan bom dan racun. Kegiatan penangkapan dengan cara destruktif dimaksud sangat dihindari oleh masyarakat kawasan, karena masyarakat Kawasan Kapoposan masih terikat oleh kearifan lokal berupa aturan sosial budaya ‘digompoi’, yaitu hukuman sosial bagi anggota masyarakat dan keluarganya yang terbukti melakukan aktifitas penangkapan yang merusak lingkungan. Nikijuluw 2002 menyatakan bahwa kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat yang ramah lingkungan merupakan adat istiadat atau tradisi yang sesuai aspirasi dan budaya lokal, serta masih dipegang dan dianut masyarakat berdasarkan aturan-aturan tidak tertulis yang ditransfer dari generasi tua ke generasi yang lebih muda dalam memanfaatkan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya. alam konservasi berarti menghemat pemanfaatan sumberdaya alam sehingga ketersediaanya selalu terjaga. Salah satu upaya untuk mendukung berlangsungnya kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposan adalah ketersediaan rencana zonasi kawasan, karena suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil bila didasarkan kepada empat aspek yaitu: mempertahankan kelestarian lingkungannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut, menjamin kepuasan pengunjung, dan meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan rencana zonasi pengembangannya. UU No. 272007 menyatakan bahwa definisi rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Nilai sumberdaya empat zona inti Kawasan Kapoposan Gambar 12 adalah sebagai berikut: 1 Selatan Pulau Kapoposan, dengan luas 152,792 ha meliputi luasan karang hidup 102,516 ha; karang mati 15,942 ha; padang lamun 0, 563 ha; pasir 0,017 ha dan pasir campur alga 0,563 ha. 2 Utara Pulau Suranti, dengan luas 515,085 ha meliputi luasan karang hidup 204,633 ha; karang mati 30,618 ha; dan padang lamun 63,536 ha. 3 Non pulau di Utara Pulau Suranti, dengan luas 412,183 ha meliputi luasan karang hidup 130,937 ha; karang mati 18,154 ha; dan vegetasi campuran 253,048 ha. 4 Non pulau di Selatan Pulau Tambakulu, dengan luas 374,564 ha meliputi luasan karang hidup 49,960 ha; karang mati 23,730 ha; dan padang lamun 0,977 ha. DKP 2009 , menyatakan bahwa peraturan pengelolaan zona inti di Kawasan Kapoposan meliputi: 1 kegiatan yang diijinkan hanya kegiatan pendidikan dan penelitian terbatas, rehabilitasi, serta pemantauan oleh petugas pengelola taman wisata alam laut; 2 dilarang keras untuk mengambil, menggali atau mengganggu atau memindahkan setiap sumberdaya alam hayati maupun non hayati; dan 3 ijin penelitian diberikan oleh petugas pengelola taman wisata alam laut, tergantung pada terpenuhinya semua persyaratan yang ditetapkan, termasuk persetujuan atas usulan penelitian tersebut tertulis oleh kepala pengelola taman wisata alam laut atau pejabat yang ditunjuk. Sedangkan untuk nilai sumberdaya enam zona perikanan berkelanjutan di Kawasan Kapoposan Gambar 13 adalah sebagai berikut: 1 Utara Pulau Kapoposan dengan luas 1.354,411 ha meliputi luasan karang hidup 313,728 ha; karang mati 45,63 ha; padang lamun 288,709 ha; vegetasi campuran 92,806 ha; pasir 83,840 ha dan pasir campur alga 113, 121 ha. 2 Non pulau di Selatan Pulau Kapoposan dengan luas 350,797 ha meliputi luasan karang hidup 75,565 ha; karang mati 24,793 ha; dan padang lamun 7,479 ha. 3 Utara dari zona inti di Pulau Suranti dengan luas 845,967 ha meliputi luasan karang hidup 141,122 ha; karang mati 18,869 ha; dan vegetasi campuran 34,131 ha. 4 Antara Pulau Suranti, Pulau Pamanggangan dan Pulau Tambakulu dengan luas 2.296,812 ha meliputi luasan karang hidup 596,029 ha; karang mati 150,804 ha; padang lamun 159,118 ha; vegetasi campuran 42,471 ha; dan pasir campur alga 70,659 ha. 5 Selatan Pulau Gondong Bali dengan luas 179,004 ha meliputi luasan karang hidup 58,767 ha; karang mati 13,690 ha; padang lamun 41,393 ha; vegetasi campuran 12,254 ha; dan pasir campur alga 2,065 ha. 6 Non pulau di Selatan Pulau Papandangan dengan luas 2.881,148 ha meliputi luasan karang hidup 807,57 ha; karang mati 328,697 ha; dan padang lamun 167,055. Peraturan pengelolaan zona perikanan berkelanjutan di Kawasan Kapoposan meliputi: 1 kegiatan perikanan tangkap yang diperkenankan bersifat terbatas dan tradisional, dan penangkapan oleh nelayan dari luar kawasan harus seijin pengelola taman wisata alam laut; 2 peralatan penangkapan perikanan yang diperkenankan berupa pancing, dan dilarang keras menggunakan alat tangkap yang merusak, seperti: kompresor, bom ikan dan bius ikan; 3 dilarang keras mengambil atau mengganggu semua sumberdaya alam, termasuk penambangan karang mati, batu atau pasir; 4 dilarang melakukan marikultur atau budidaya atau pemeliharaan ikan hidup atau organisme hidup dalam kurungan; 5 penyelenggaraan atraksi wisata bahari, dikelola oleh operator wisata dengan melibatkanmemberdayakan masyarakat setempat; 6 jumlah dan ijin wisatawan yang berkunjung disesuaikan dengan daya dukung kawasan yang dikelola oleh pengelola taman wisata alam laut; 7 penambatan kapal dilarang kecuali pada mooring buoy yang dipasang khusus atau diperairan dengan dasar 100 pasir atau perairan yang lebih dalam dari 30 meter; 8 ijin khusus dapat diberikan untuk tujuan rehabilitasi, penelitian dan pengembangan; 9 penutupan musiman atau minimisasi tekanan wisata ditetapkan jika diperlukan untuk mencegah ganguan pembiakan atau proses pemijahan ikan; dan 10 ijin penelitian diberikan oleh pengelola taman wisata alam laut, tergantung pada terpenuhinya semua persyaratan yang ditetapkan, termasuk persetujuan atas usulan penelitian tersebut tertulis oleh kepala pengelola taman wisata alam laut atau pejabat yang ditunjuk. Jumlah kunjungan wisatawan bagi di wisata bahari Tabel 9 menunjukkan suatu perbandingan jumlah kunjungan dan pemasukan yang diperoleh dari kegiatan wisata pegunungan, wisata budaya dan wisata bahari pada tahun 2007. Wisata pegunungan dan wisata budaya yang kegiatannya dihitung sejak bulan Januari sampai dengan bulan Desember, untuk wisata pegunungan memperoleh jumlah kunjungan wisatawan 69.910 orang dengan pemasukan Rp. 464.880.000,00 dengan rata-rata pemasukan selama 12 bulan adalah Rp. 6.650,00 per-orang. Untuk wisata budaya, jumlah kunjungan wisatawan 115.007 orang dengan pemasukan Rp. 445.165.000,00 dengan rata-rata pemasukan selama 12 bulan adalah Rp. 3.871,00 per-orang. Sedangkan untuk kegiatan wisata bahari yang dihitung baru pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember, jumlah kunjungan wisatawan adalah 117 orang dengan pemasukan Rp. 4.441.000,00 dengan rata-rata pemasukan selama tujuh bulan adalah Rp. 37.957,00per-orang. Kondisi dimaksud menunjukkan bahwa kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposan cukup memiliki peluang yang menjanjikan di masa depan, baik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pulau melalui berkembangnya mata pencaharian alternatif, maupun bagi pemerintah daerah setempat melalui peningkatan pendapatan asli daerah atau PAD. Aktivitas wisata bahari berbasis konservasi di Kawasan Kapoposan merupakan pengelolaan yang selaras dengan pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, karena wisata bahari meskipun berupa suatu bisnis, namun dilakukan dengan menerapkan suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah yang sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak dan tetap terjaga. Kepmenbudpar 2004 menyatakan bahwa kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil berbasis konservasi telah terbukti ditopang oleh perencanaan dan pengelolaan lingkungan yang komprehensif, pengelolaan sistem yang efisien, bersih dan aman, yang dilakukan demi menjaga eksistensi industri wisata bahari itu sendiri, seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat lokal atas pentingnya arti pelestarian lingkungan, karena wisata bahari berjalan dalam kerangka konservasi lingkungan sejak lahir hingga mati from cradle to grave. Kawasan Kapoposan yang memiliki potensi keunikan alam berupa karakteristik ekosistem terumbu karang serta kekhasan sosial budaya berupa kearifan lokal yang ramah lingkungan merupakan faktor yang mendukung berlangsungnya kegiatan wisata bahari berbasis konservasi, yang dapat menjadi salah satu sumber mata pencaharian alternatif bagi masyarakat. Kawasan ini memiliki daya tarik tersendiri karena memiliki beberapa titik spot untuk kegiatan snorkling dan penyelaman diving yang telah dikenal para penyelam dan wisatawan manca negara Gambar 28. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pemanfaatan potensi wisata bahari di Kawasan Kapoposan harus dilakukan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan harapan terjadinya efek ganda multiplier effect dari kegiatan wisata bahari berupa: 1 penyerapan tenaga kerja lokal guna menekan pengangguran; 2 memacu pertumbuhan ekonomi melalui industri perikanan rumah tangga pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, pembelian sembilan bahan pokok dan kerajinan tangan, penyediaan jasa pemandu wisata, penyewaan perahu dan alat selam, pemanfaatan home stay dan warung makan milik masyarakat setempat; 3 terbukanya jalur transportasi yang membuka keterisolasian kawasan; serta 4 pelestarian lingkungan perairan yang mendukung kelimpahan sumberdaya ikan bagi perikanan tangkap dan terjaganya kualitas perairan. DKP 2006 menyatakan bahwa wisata bahari marine tourism dapat menjadi program utama dalam memulihkan kerusakan sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, mengembalikan peranan masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan, serta berperan dalam menyumbangkan devisa bagi negara dan bagi peningkatan pendapatan asli daerah. Gambar 28 Beberapa titik spot selam-snorkling di Kawasan Kapoposan Sumber: DKP, 2009.

6.2 Lembaga yang Terlibat dalam Pengelolaan Kawasan Kapoposan