Alternatif Pengelolaan Kawasan Kapoposan

kelautan tidak dapat pulih relatif tidak memerlukan persyaratan kualitas lingkungan yang baik; 2 sumberdaya kelautan dapat pulih memiliki nilai ekonomi yang bersifat long term, sedangkan sumberdaya kelautan tidak dapat pulih memiliki nilai ekonomi yang bersifat short term; 3 sumberdaya kelautan dapat pulih memiliki peran dalam daya dukung kualitas dan kelestarian lingkungan, walaupun nilai ekonomi kontribusi tangible nya kurang signifikan dibandingkan dengan sumberdaya tidak pulih, namun nilai ekonomi kontribusi sumberdaya dapat pulih memiliki intangible dan indirect yang tinggi dan kontinyu, sehingga perlu dikelola secara hati-hati; dan 4 dalam proses pemanfaatan sumberdaya kelautan dapat pulih, relatif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap proses pemanfaatan sumberdaya kelautan tidak dapat pulih, sebaliknya pemanfaatan sumberdaya kelautan tidak dapat pulih akan memberikan dampak negatif terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan dapat pulih.

6.3.3 Alternatif Pengelolaan Kawasan Kapoposan

Beberapa kegiatan budidaya laut yang dikembangkan di pulau-pulau kecil diantaranya budidaya rumput laut umumnya dengan sistem rakit atau tali, budidaya ikan kerapu, beronang, dan lainnya umumnya berupa karamba jaring apung, dan budidaya mutiara. Budidaya rumput laut dengan sistem rakit atau karamba jaring apung tentunya membutuhkan keberadaan bangunan fisik yang nampak di atas permukaan air, yang bagi sebagian wisatawan khususnya wisatawan asing dapat dirasakan mengganggu keindahan dan estetika yang ingin dinikmati wisatawan. Berdasarkan pengamatan penulis dan hasil wawancara, pengembangan wisata bahari bersama kegiatan budidaya laut cenderung cukup sulit diimplementasikan di gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan, mengingat baik kegiatan wisata bahari maupun budidaya laut membutuhkan kriteria perairan yang sama. Retraubun 2003 menyatakan, bahwa kegiatan budidaya laut membutuhkan dan memanfaatakan perairan laut pulau-pulau kecil yang relatif dangkal, tenang, aman dari hantaman ombak dan gelombang serta memiliki kualitas perairan yang baik seperti perairan yang dibutuhkan oleh kegiatan wisata bahari, namun dengan cara pemanfaatan yang berbeda. Meskipun budidaya bandeng dan udang berhasil diterapkan di kawasan pesisir Kabupaten Pangkep melalui sistem tambak, namun belum tentu berhasil jika diterapkan di pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan karena budidaya laut dengan sistem tambak sangat sulit dilakukan disebabkan keterbatasan lahan daratan pulau kecil yang ada. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Wiryawan 2008 , yang menyatakan bahwa budidaya udang dan bandeng telah dilaksanakan Desa Batukumba Kabupaten Berau, namun saat diterapkan di area kawasan perairan pulau-pulau kecil Kepulauan Berau ternyata memiliki produktivitas yang relatif lebih rendah 100 kgha. Kegiatan wisata bahari yang dilakukan bersama kegiatan perikanan tangkap relatif lebih dapat diterima, mengingat secara sosial dan budaya, perikanan tangkap tentunya lebih dikenal dalam masyarakat gugusan pulau- pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang umumnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan pada kegiatan perikanan tangkap artisanal. Perikanan tangkap dimaksud adalah aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan khususnya ikan-ikan karang bernilai ekonomis dengan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan, misalnya dengan alat tangkap pancing. DKP 2001 menyatakan bahwa pengembangan perikanan selanjutnya dapat dilakukan bertahap sesuai dengan perkembangan wisata bahari itu sendiri, mengingat dalam meningkatkan perikanan artisanal di kawasan pulau-pulau kecil setidaknya harus mengakomodir isu-isu sebagai berikut: 1 adanya insentif bagi kaum generasi muda pulau kecil untuk mau jadi nelayan, 2 tingkat teknologi, sarana dan prasarana penangkapan yang minim dihadapkan pada kondisi wilayah kerja di laut yang cukup sulit, 3 kondisi alam berupa fluktuasi musiman, 4 ketidaksempurnaan pasar, 5 kurangnya fasilitas pelabuhan, serta 6 kurangnya fasilitas pengolahan. Pencanangan kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposan tetap harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, mengingat wisata bahari merupakan wisata yang memiliki ciri khas tersendiri, yang dapat menjadikan aktivitas yang positif maupun negatif bagi lingkungan perairan kawasan. Barani 2002 , menyatakan wisata bahari terdiri dari dua sistem yang komplek, yaitu sistem pariwisata yang erat kaitannya dengan sosial masyarakat, dan sistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan sistem lingkungan. Interaksi di antara kedua sistem ini dapat menjadi peluang pengembangan kawasan wisata apabila berjalan sinergis. Tetapi apabila kedua sistem itu sudah tidak dapat berjalan sinergis, maka dapat menghancurkan kawasan wisata bahari itu sendiri. Mengingat keterbatasan daya dukung lahan dan ketersediaan air tawar yang ada di pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan, maka kegiatan wisata bahari yang dikembangkan adalah wisata bahari dengan pasar tertentu minat khusus yang memang diperuntukkan bagi wisatawan pencinta lingkungan atau ekowisata. Kembudpar 2004 , menyatakan bahwa wisata bahari minat khusus adalah suatu bentuk perjalanan wisata yang berkaitan dengan kelautan, baik di atas permukaan laut marine maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan laut sub marine, karena wisatawan memiliki minat atau tujuan khusus mengenai sesuatu jenis obyek atau kegiatan yang dapat ditemui atau dilakukan di lokasi atau daerah tujuan wisata tersebut. Sedangkan ekowisata bahari adalah penyelenggaraan kegiatan wisata bahari berbasis konservasi yang bertanggung jawab di daerah lingkungan laut yang masih alami danatau daerah- daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan kebudayaan, bermuatan pendidikan dan pengajaran, serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposan dapat menjadi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat, yang dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan, dan meningkatkan pendapatan asli daerah serta devisa bagi negara. Retraubun 2006 menyatakan bahwa sektor wisata bahari relatif sangat signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap penerimaan devisa negara, meskipun kondisi ini belum menghitung berapa besar multiflier effect yang dihasilkan oleh sektor wisata bahari tersebut. Sektor ini memang mempunyai keunikan tersendiri dibanding dengan sektor-sektor lainnya, karena secara sederhana, sektor pariwisata dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan ekspor, dalam artian bahwa income atau devisa yang diperoleh adalah melalui resources yang dimiliki oleh masyarakat dari negara lain wisatawan asing, atau masyarakat dari daerah lain wisatawan nusantara. Uniknya, kegiatan ekspor dimaksud, tidak menimbulkan biaya ataupun fee yang dikeluarkan oleh negara lazimnya seperti kegiatan perdagangan komoditas dan barang, dan hampir sebagian besar biaya yang timbul akan diterima oleh negara yang merupakan tempat tujuan wisata tersebut. Bila dilihat dari segi perilaku behaviour, kegiatan wisata bahari adalah kegiatan yang bersifat konsumtif, dalam artian bahwa seseorang ataupun lembaga memang sengaja mengumpulkan uang untuk kemudian menghabiskannya dengan tujuan menikmati objek-objek wisata. Oleh karena itu, tranksaksi dan multiflier effect yang terjadi dalam sektor wisata bahari adalah merupakan transaksi dengan omset yang relatif sangat besar mencapai triliunan rupiah. Pitana dan Gayatri 2005 menyatakan, bahwa sebuah contoh kasus yang nyata dan menjadi cerminan dalam pengembangan wisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil adalah Kepulauan Karibia, dimana bagi negara-negara di Kepulauan Karibia kegiatan wisata bahari merupakan penyumbang terbesar dalam penciptaan pendapatan masyarakat dan negara. Kegiatan wisata bahari telah menciptakan 2,5 juta kesempatan kerja atau sekitar 25 dari total kesempatan kerja pada tahun 2001, serta menyumbang sekitar US 9,2 milyar atau sekitar 5,8 dari total GDP Kepulauan Karibia. Sedangkan bagi negara Fiji sebuah negara pulau di Samudra Pasific, pada tahun yang sama, kegiatan wisata bahari bahkan menjadi penghasil devisa kedua, yaitu sekitar 35 dari total nilai eksport negara ini, dan hanya sedikit di bawah hasil utamanya yaitu gula dan hasil pertanian lainnya. Tingkat kestabilan strategi pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan perlu diketahui dengan melakukan pemeriksaan sensitifitas berbagai intervensi dari stakeholder yang berperan. Tabel 14 menunjukkan bahwa strategi pengelolaan dengan kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dikembangkan berbasis konservasi sangat stabil terhadap intervensi apapun yang dilakukan para stakeholder Lampiran 6. Kondisi tersebut di atas sesuai dengan hasil FGD dimana semua stakeholders berpendapat bahwa pengelolaan yang paling sesuai di Kawasan Kapoposan adalah kegiatan wisata bahari yang dikembangkan berbasis konservasi. Intervensi stakeholders memiliki porsi masing-masing terhadap pengeloaan berdasar pengembangan kegiatan wisata bahari yang berbasis konservasi meliputi: Pemerintah Pusat adalah pembangunan sarana dan prasarana; Pemerintah Daerah adalah perijinan investasi; dunia usahainvestor dalam mengaplikasikan tanggungjawab korporat terhadap komunitas Company Social ResponsibilityCSR, Company Managerial ResponsibilityCMR, dan Company Environmental ResponsibilityCER; dan institusi non birokasi dalam hal pendampingan, penelitian dan jejaring net working. 6.4 Strategi Pengelolaan Kawasan Kapoposan Strategi 1: Pengembangan wisata bahari berbasis konservasi Upaya pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang paling efektif dan efisien adalah dengan pengembangan wisata bahari berbasis konservasi karena mempertimbangkan: 1 wisata bahari dirasa efektif dan efisien karena mutlak membutuhkan dukungan dari masyarakat penghuni pulau tersebut; 2 wisata bahari diyakini dapat menimbulkan multiplier effect yang dapat membawa ekses positif dalam pemberdayaan masyarakat lokal terutama dalam meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, pengetahuan dan informasi; 3 pembangunan wisata bahari di pulau-pulau kecil berbasiskan laut marine base yang sangat berbeda dengan pembangunan pariwisata di darat pada umumnya land base. Pembangunan wisata bahari di pulau-pulau kecil terkait erat dengan berbagai keterbatasan di pulau kecil yang sangat memperhatikan konservasi kelestarian lingkungan, ketersediaan air bersih, carrying capacity, luas area, sosial budaya masyarakat, kelembagaan lokal, serta keberadaan sumberdaya pulau kecil sebagai aset terpenting bagi kelangsungan usaha wisata bahari. Sumberdaya alam adalah dynamic assets sehingga membutuhkan kehati- hatian dan upaya pelestarian dalam pemanfaatannya. Cara pandang konvensional yang memandang sumberdaya sebagai faktor produksi semata fixed assets harus disingkirkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep, karena cara pandang ini merupakan masalah besar dalam pemanfaatan sumberdaya, yang cenderung melakukan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran, terutama jika dikaitkan dengan target demi peningkatan pendapatan asli daerah atau PAD. Fauzi 2007 menyatakan, bahwa sumberdaya alam selayaknya dipandang sebagai faktor yang dinamis dynamic assets di mana modal alam tidak lagi hanya dianggap sebagai aset yang tetap fixed assets, namun memperlakukan modal alam natural capital bersama modal lainnya yaitu man made capital, human capital dan social capital sebagai empat pilar yang utuh dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kekayaan sumber daya alam laut pulau-pulau kecil Kawasan kapoposan dengan kualitas keindahan dan keasliannya berpotensi menjadi tujuan wisata bahari atau marine eco tourism. Kembudpar 2004 , menyatakan bahwa ekowisata bahari adalah penyelenggaraan kegiatan wisata bahari berbasis konservasi yang bertanggung jawab di daerah lingkungan laut yang masih alami danatau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan kebudayaan, bermuatan pendidikan dan pengajaran, serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. DKP 2004 , menyatakan bahwa kawasan pulau-pulau kecil sebagai target marine eco tourism, umumnya memiliki potensi wisata meliputi: 1 wisata bahari yang sangat besar yang didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan terumbu karang coral reef, khususnya hard corals. Kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, secara logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya; 2 wisata terrestrial, yaitu wisata yang merupakan satu kesatuan dengan potensi wisata perairan laut yang memanfaatkan lahan daratan pulau- pulau kecil sebagai daya tarik tersendiri bagi penikmat pariwisata; dan 3 wisata kultural, dimana masyarakat lokal sudah lama sekali berinteraksi dengan ekosistem pulau-pulau kecil, sehingga secara realitas di lapangan, masyarakat pulau-pulau kecil mempunyai budaya dan kearifan tradisional local wisdom tersendiri yang merupakan nilai komoditas wisata kultural yang tinggi. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sebagai bagian dari pengembangan industri wisata bahari, harus menganggap lingkungan laut sebagai bagian dari ekosistem global. Kriteria keberhasilan pengembangan industri wisata bahari, harus meliputi efisiensi ekonomi, pemerataan hasil pembangunan secara adil, terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya. Salah satu cara untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan adalah dengan menghitung besarnya daya dukung lingkungan terhadap aktivitas wisata bahari. Pratikto 2005, menyatakan bahwa kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil merupakan sumber pertumbuhan ekonomi di era perdagangan bebas, dengan tetap mempertimbangkan pelestarian lingkungan konservasi dalam berbagai aktivitas di dalamnya. Pendekatan dalam pengembangan wisata bahari berbasis konservasi setidaknya mengacu pada tiga prinsip utama meliputi: 1 prinsip co- ownership, yaitu kawasan yang akan dikembangkan untuk wisata bahari adalah milik bersama, dengan pemanfaatan dan perlindungan yang dilakukan secara bersama berdasarkan nilai kearifan dan budaya lokal; 2 prinsip cooperation, yaitu dalam pengelolaan kawasan untuk wisata bahari dilakukan dengan prinsip mengatur peranan masing-masing yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan seluruh stakeholders; dan 3 prinsip co-responsibility, yaitu dalam pengelolaan kawasan untuk wisata bahari, kegiatan perlindungan dan pembinaan kawasan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, pengusaha dan seluruh stakeholders. Strategi 2: Penyediaan infrastruktur dasar oleh Pemerintah Salah satu upaya untuk mendorong laju investasi serta guna mendukung berkembangnya wisata bahari di Kawasan Kapoposan adalah dengan meningkatkan daya saing berupa penyediaan infrastruktur dasar yang memadai sebagai tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Daerah. DKP 2004 menyatakan bahwa infrastruktur dasar pendukung berkembangnya wisata bahari di pulau-pulau kecil adalah semua kegiatan pengadaan dan pembangunan fisik yang terkait dengan dukungan terhadap kegiatan wisata bahari antara lain transportasi darat, laut dan udara, komunikasi, dermaga, air strip, akomodasi hotel, resort, home stay, energi, peralatan olah raga laut, air bersih, fasilitas kesehatan, tempat ibadah, serta pendukung lainnya seperti souvenir centre dan dive centre. Aksesibilitas dari Kota Makassar untuk mencapai Kabupaten Pangkep relatif mudah, mengingat telah tersedianya infrastruktur dasar berupa jalan kabupaten yang memadai, sehingga waktu tempuh Kota Makassar-Kabupaten Pangkep melalui jalan darat hanya membutuhkan sekitar 90 menit 1,5 jam. Namun kendala umum yang dijumpai dalam pengelolaan pulau-pulau kecil ditemukan saat ingin mencapai Kawasan Kapoposan, yaitu tidak tersedianya sarana dan prasarana transportasi kapal reguler yang berdampak pada terisolasinya Kawasan Kapoposan, dan pada akhirnya menghambat akses informasi, teknologi, komunikasi, serta pertumbuhan ekonomi kawasan. Ketersediaan infrastruktur dasar, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan aksesibilitas seperti ketersediaan bandara, transportasi laut reguler dan dermagajety adalah salah satu yang menjadi pertimbangan para investor wisata bahari untuk menanamkan investasinya di suatu kawasan. DKP 2008 , menyatakan bahwa ketersediaan infrastruktur dasar berupa bandara di dua kabupaten yang terdiri dari pulau-pulau kecil seperti Kabupaten Raja Ampat-Papua Barat dan Kabupaten Wakatobi-Sulawesi Tenggara, ternyata memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara, seiring semakin tingginya minat dunia usaha untuk berinvestasi di kedua kabupaten tersebut. Sektor perhubungan dan telekomunikasi merupakan pendukung bagi sektor riil dalam pelayanan jasa transportasi dan telekomunikasi. Penyediaan sistem perhubungan perintis dalam mendukung stabilitas, pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pembangunan yang berkelanjutan di kawasan pulau-pulau kecil sangat penting. Pengembangan perhubungan dan telekomunikasi di pulau-pulau kecil diharapkan akan meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, yang pada gilirannya akan merangsang minat para investor untuk berinvestasi di pulau-pulau kecil. Strategi 3: Kepastian hukum, mekanisme perizinan investasi dan pelayanan publik Pemerintah pusat dan daerah memiliki anggaran yang terbatas, sehingga diharapkan dapat menjadi fasilitator dan promotor bagi kehadiran dan keterlibatan pihak dunia usaha sebagai pemodal investor. Pengelolaan wisata bahari berbasis konservasi di Kawasan Kapoposan membutuhkan volume investasi dan resiko finansial yang cukup besar, sehingga penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan investasi, terutama yang berkaitan dengan kepastian hukum yang melindungi investasi yang ditanamkan, keberadaan mekanisme perizinan yang efektif dan efisien, serta pelayanan publik Pemerintah Daerah dalam transparansi penyelenggaraan kepemerintahan akan dapat menumbuhkan dan meningkatkan kepercayaan di antara pelaku dunia usaha baik dari dalam maupun luar negeri. Retraubun 2002 menyatakan bahwa, peraturan bagi investasi di pulau- pulau kecil melalui pendekatan hak, setidaknya memiliki tiga tujuan yang ingin dicapai, meliputi 1 adanya pengakuan dan perlidungan hukum atas hak-hak masyarakat atas tanah dan wilayah perairan pulau-pulau kecil; 2 terjalinnya kerjasama usaha yang setara antara masyarakat dengan pengusahainvestor dalam pemanfaatan ekosistem pulau-pulau kecil dalam kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak kerjasama yang pelaksanaan hak dan kewajibannya diawasi dan ditegakkan oleh pemerintah; dan 3 kepastian berusaha bagi pengusahainvestor yang sudah mendapatkan hak pakai atas tanah dan wilayah perairan pulau-pulau kecil yang dikuasai oleh negara. Salah satu upaya guna menghindari terjadinya ketimpangan dan konflik kepentingan dalam pengelolaan investasi di pulau-pulau kecil dalam hal ini investasi di sektor wisata bahari, diperlukan adanya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan di pusat dan daerah, serta memperhatikan hukum adat dan hak ulayat di daerah. Keberadaan perangkat hukum, dukungan dan komitmen institusi-institusi negara seperti TNI, POLRI, kejaksaan dan pengadilan sebagai lembaga penegak hukum dan peraturan mutlak diperlukan. Penegakan hukum harus dilakukan secara holistik, menghindari tumpang tindih kebijakan dan kepentingan, serta seminimal mungkin menghindari konflik horisontal dan vertikal. Keberadaan perangkat hukum yang memadai dan penegakan hukum yang tegas, akan membawa dampak yang positif secara ekonomi, politik, sosial, budaya serta pertahanan dan keamanan DKP, 2004 . Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep telah membentuk Kantor Perizinan Satu Atap sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam menyediakan informasi dan memberikan pelayanan kepada calon investor mengenai mekanisme perizinan investasi bagi yang berminat menanamkan investasinya di pulau-pulau kecil wilayah Kabupaten Pangkep. Mekanisme perizinan investasi yang sederhana, efisien dari segi waktu, serta transparan adalah hal yang dibutuhkan oleh para calon investor. Soetarto 2003, menyatakan bahwa pengembangan investasi di pulau-pulau kecil setidaknya harus didukung oleh: 1 kepastian hukum bagi investasi yang ditanamkan; 2 terpeliharanya stabilitas sosial, politik dan keamanan di daerah; 3 adanya sistem insentif yang menarik yang diberikan kepada para investor; 4 pelayanan investasi prima yang cepat, murah, mudah dan transparan melalui sistem pelayanan satu atap one stop service; dan 5 menghapus segala bentuk peraturan dan pungutan yang memberatkan dunia usaha investor. Menurut Retraubun 2003 , pengembangan investasi di pulau-pulau kecil diharapkan mampu memberikan terobosan dalam meningkatkan kontribusi sektor kelautan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Perspektif ekonomi makro, menyiratkan bahwa peranan investasi ditentukan oleh kebijakan yang mengatur tingkat investasi dan pengembalian sosial serta penyerapan tenaga kerja. Kondisi dimaksud menunjukkan bahwa pembangunan pulau-pulau kecil sesungguhnya merupakan upaya membangun ekonomi lokal, sehingga komoditas yang akan dikembangkan harus berbasis pada permintaan pasar lokal, nasional dan regional. Hal ini perlu didukung dengan pemberian kemudahan dalam berinvestasi, penyediaan sarana dan prasarana, kemudahan administrasi, adanya kejelasan peraturan dan kepastian hukum, sampai pada tersedianya jaminan kelayakan investasi. Sedangkan dalam kerangka otonomi daerah, adanya pedoman dan peraturan investasi mutlak diperlukan untuk menjaga kesalahan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Otonomi daerah membuka kesempatan Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep untuk langsung melakukan transaksi dengan para investor. Tersedianya mekanisme perizinan investasi dan pola pengelolaan investasi dalam pengembangan wisata bahari di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan merupakan hal yang sangat membantu untuk mendukung kelancaran dunia usaha yang berminat berinvestasi. Salah satu daya dorong investasi di era otonomi daerah adalah adanya pelayanan publik yang prima bagi para pelaku dunia usaha. Syakrani dan Syahriani 2009 , menyebutkan bahwa salah satu motivasi meningkatkan mutu pelayanan publik adalah keinginan untuk meningkatkan daya tarik daerah sebagai tujuan utama investasi domestik dan asing. Namun indeks daya saing bangsa yang disusun oleh Forum Ekonomi Dunia untuk pengembangan manajemen menunjukkan bahwa daya saing negara Indonesia masih rendah, yang salah satunya diakibatkan oleh birokrasi pemerintah dalam pelayanan publik melayani penduduk termasuk investor yang tidak efisien, sehingga menyebabkan biaya tinggi dalam berinvestasi. Menyikapi hal tersebut, dalam mendukung masuknya investasi di Kawasan Kapoposan Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep harus mendorong aparat birokrasi terkait untuk semakin meningkatkan pelayanan publik bagi para calon investor, dengan merubah kultur minta dilayani dengan melayani. Syakrani dan Syahriani 2009 menyatakan bahwa kemampuan menyediakan pelayanan publik sesuai dengan preferensi dan kebutuhan setidaknya melukiskan dua hal meliputi: 1 terjadinya pergeseran mind set, kultur kerja, dari berorientasi pada diri sendiri menjadi fokus kepada orang lain, dan 2 terjadinya peningkatan kompetensi baik dalam melakukan need assessment, perencanaan dan targeting maupun dalam penyediaan pelayanan publik. Strategi 4: Peningkatan kapasitas kelembagaan lokal dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya Tujuan utama pengelolaan pulau-pulau kecil adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuninya, sehingga keterlibatan aktif masyarakat akan membangun rasa memiliki terhadap sumberdaya yang ada. DKP 2004 menyatakan bahwa pembinaan wilayah dan kualitas sumberdaya manusia secara optimal dilakukan terhadap berbagai aspek kehidupan yang dinamis melalui pembinaan dan pendidikan formal dan non formal, seperti penyuluhan, pelatihan dan pendampingan masyarakat oleh aparat keamanan, guru sekolah, pemuka agama dan aparat pemerintahan daerah secara bersama-sama. Kelembagaan Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swastadunia usaha secara umum masih perlu ditingkatkan baik kualitas maupun peran sertanya dalam proses pembangunan. Peningkatan kelembagaan pemerintah di daerah diarahkan dalam rangka kerjasama yang harmonis antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah kabupatenkota, serta peningkatan kemampuan daerah dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil secara mandiri. Keberhasilan pengembangan industri wisata bahari di pulau-pulau kecil berkaitan pula dengan kondisi sosial budaya para pelaku di dalamnya, baik subyek maupun obyek. Retraubun 2007 menyatakan bahwa untuk mencapai keberhasilan dari aktivitas wisata bahari, maka setidaknya diperlukan pemenuhan atas lima kriteria yang meliputi: 1 meningkatkan kegiatan yang berkelanjutan yang didasarkan pada kemampuan lokal; 2 memperkuat partisipasi masyarakat dalam kerangka pengembangan industri wisata bahari yang berbasis pada masyarakat; 3 mengembangkan potensi untuk gerakan keswadayaan; 4 memperluas proses pengembangan yang diorientasikan pada pendekatan berbagai kemitraan; dan 5 kemungkinan adanya replikasi dari kondisi lokal sebagai fokus daya tarik wisata bahari. Peran Pemerintah Daerah untuk memberikan pendampingan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia adalah keharusan. Pembinaan dan sosialisasi harus dilakukan secara kontinyu kepada masyarakat lokal akan arti penting keberadaan aktivitas wisata bahari di Kawasan Kapoposan, terutama dalam meningkatkan peran keberadaan kelembagaan lokal yang memiliki fungsi sosial, ekonomi dan budaya yang lebih mengetahui teknis dan mekanisme pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil secara berkelanjutan sebagai warisan dari nenek moyang masyarakat lokal. Retraubun 2007 menyebutkan bahwa kelembagaan masyarakat pulau-pulau kecil bertitik berat pada tiga aspek meliputi: 1 batas yuridiksi, yaitu batas kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya pulau-pulau kecil yang relatif lebih sukar dibandingkan dengan sumberdaya yang ada di daratan, dikarenakan sulitnya untuk melakukan pembatasan wilayah perairan tempat masyarakat beraktivitas; 2 hak kepemilikan, yaitu konsep yang mengandung makna sosial mencakup hak rights dan kewajiban obligations yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya; dan 3 aturan representasi rules of representation yang mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap kinerja performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. DKP 2007 , menyatakan bahwa berbagai inisiatif pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilihat dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan kepentingan pembangunan ekonomi serta geopolitik nasional secara lebih luas yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil yang harus dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah KabupatenKota dan dunia usahaswasta, yaitu eksistensi pulau kecil harus dipertahankan sesuai dengan karakteristik dan fungsi yang dimilikinya, efisien dan optimal secara ekonomi economically sound, berkeadilan dan dapat diterima secara sosial-budaya socio-culturally just and accepted, dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan environmentally friendly. Strategi 5: Wisata bahari sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat pulau-pulau kecil Gugusan pulau-pulau Kecil di Kawasan Kapoposan terdiri dari enam pulau kecil, yang tiga diantaranya merupakan pulau kecil berpenduduk, yaitu Pulau Kapoposan, Pulau Papandangan, dan Pulau Gondongbali. Sedangkan tiga pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Pamanggangan, Pulau Tambakulu, dan Pulau Suranti merupakan pulau yang tidak berpenduduk. Berdasarkan pembagian zona di atas dan pengamatan di lapangan, Pulau Kapoposan memiliki pendukung yang lebih memadai dibandingkan dengan kelima pulau lainnya sehingga layak dijadikan pusat centre dalam kegiatan wisata bahari berbasis konservasi. Pendukung dimaksud antara lain ketersediaan empat pondok wisata yang lahannya memiliki batas pagar dengan perumahan penduduk, ketersediaan air tawar yang cukup ditemukan adanya sekitar sembilan sumur yang digunakan untuk air minum dan mencuci, penduduk yang memiliki kearifan lokal, serta memiliki jarak tempuh yang relatif tidak terlalu lama sekitar 15-30 menit untuk menjangkau kelima pulau lainnya. Pengembangan industri wisata bahari merupakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam non ekstraktif, yang dapat membuka penyerapan tenaga kerja masyarakat pulau-pulau kecil melalui mata pencaharian alternatif seperti penyediaan cidera mata, makanan, jasa angkutan, pemandu wisata, bagi para wisatawan. Depbudpar 2009, menyatakan bahwa wisata bahari memiliki dua tolok ukur yaitu peningkatan mass traveler jumlah wisatawan dan yield spending pengeluaran melakukan perjalanan. Untuk mencapai peningkatan jumlah mass traveler dan yield spending, maka wisata bahari di pulau-pulau kecil memiliki karakter jenis produk, market spesifik dan nilai jual tinggi sehingga diprioritaskan bagi pencapain yield spending yang tinggi, daripada jumlah mass traveler. Kondisi dimaksud menjadi relevan bagi pertumbuhan ekonomi kawasan dan penyerapan tenaga kerja, karena semakin lama waktu yang digunakan para wisatawan, akan semakin banyak pula kebutuhan jasa yang diperlukan seperti jasa penyewaan perahu, jasa penyewaan alat selam, penyediaan makanan, pemandu wisata, yang keseluruhannya itu merupakan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan. DKP 2004 , menyatakan bahwa dalam mendukung upaya pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil melalui kegiatan wisata bahari, pembentukan kelompok-kelompok usaha sejenis yang menjadi mata pencaharian alternatif masyarakat lokal menjadi penting, karena akan mempermudah dalam melakukan pengarahan, pembinaan dan pelatihan yang akan diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat lokal. Kelompok-kelompok tersebut dapat dibagi berdasarkan jenis usaha yang dijalankan misalnya pedagang kecil makanan-minuman, kiostoko cindera mata, pedagangpengrajin souvenir, pemilik rumah makanhotelresort, pemandu wisataguide lokal, perusahaan transportasi, dive centre, dan sebagainya, yang dapat dikoordinasikan di bawah suatu lembagabadan usaha berupa koperasi bahari dengan anggota-anggota yang sekaligus pemilik sahammodal, yang dikelola secara profesional dengan manajemen modern. Ruang lingkup usaha pengembangan mata pencaharian alternatif yang dikelola koperasi bahari tersebut dapat meliputi: 1 penyediaan peralatan dan bahan-bahan yang dibutuhkan oleh hotel dan restoran; 2 pengelolaan dive centre penyewaan peralatan selam; 3 distributor makanan- minuman untuk pedagang kecil; dan 4 penyediaan media informasi dan promosi pariwisata. Mempertimbangkan peran ekonomi, sosial budaya dan ekologi, maka pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dengan strategi pengembangan wisata bahari berbasis konservasi diyakini merupakan kegiatan yang memberikan efek ganda dalam pelestarian sumberdaya, yang berjalan seiring dengan pemberdayaan masyarakat lokal yang pada akhirnya secara sadar dan sukarela melakukan berbagai upaya pelestarian lingkungan setempat dalam mendukung usaha wisata bahari itu sendiri. Strategi 6: Kebijakan pimpinan nasional dan daerah berbasis negara kepulauan Pimpinan nasional maupun daerah yang memiliki kebijakan atau good political will berbasis negara kepulauan sesuai kondisi obyektif yang ada, merupakan kebijakan pendorong utama pembangunan di pulau-pulau kecil baik secara umum, maupun secara khusus dalam pengembangan wisata bahari di Kawasan Kapoposan. Mengingat pengelolaan wisata bahari di Kawasan Kapoposan tidak dapat terlepas dari berbagai minat dan kepentingan para pemanfaat sumberdaya alam, maka pengelolaannya selayaknya dilakukan dengan pendekatan pembangunan secara terpadu. Retraubun 2002, menyebutkan bahwa pengelolaan secara terpadu adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dengan cara melakukan penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, kemudian merencanakan kegiatan pembangunan, yang meliputi: 1 Keterpaduan wilayahekologis. Secara keruangan dan ekologis kawasan pulau-pulau kecil memiliki keterkaitan dengan kawasan pesisir dan laut yang lebih besar serta kawasan pulau-pulau di sekitarnya, sehingga pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak kerusakan lingkungan yang mengganggu keseimbangan dan keberadaan sumberdaya kawasan pulau-pulau kecil sebagian besar akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan laut serta pulau-pulau besar sekitarnya, seperti industri, pemukiman dan sebagainya disamping adanya kegiatan yang dilakukan di laut lepas itu sendiri, seperti kegiatan perhubungan laut. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan pulau- pulau kecil harus diintegrasikan dengan wilayah pesisir dan laut yang lebih luas dan pulau-pulau besar sekitarnya, menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil yang baik akan hancur dalam sekejap, jika tidak diimbangi dengan perencanaan pembangunan di kedua wilayah tersebut dengan baik pula. Keterkaitan antar ekosistem yang ada harus selalu diperhatikan. 2 Keterpaduan sektoral. Sebagai konsekuensi dari beragamnya pelaku pembangunan di kawasan pulau-pulau kecil adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya di kawasan itu. Akibatnya, sering kali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya yang ada antar satu sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka dalam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektor. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara horisontal antar sektor dan keterpaduan secara vertikal dalam satu sektor. Oleh karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan dan pengelolaan di kawasan pulau-pulau kecil sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya. 3 Keterpaduan disiplin limu. Sumberdaya di kawasan pulau-pulau kecil memiliki sifat dan karakteristik yang unik, baik sifat dan karakteristik ekosistemnya maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dengan sistem dinamika sumberdaya di pulau-pulau kecil yang khas, pembangunan dan pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil menuntut keahlian yang perlu dimiliki para perencana dan pengelola dengan melibatkan pihak perguruan tinggi, seperti ilmu pertanian, antropologi, analisis kebijakan, ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi. 4 Keterpaduan stakeholders . Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku pemanfaatan dan pengelola kawasan pulau-pulau kecil. Seperti diketahui bahwa pelaku pemanfaataan dan pengelola sumberdaya hayati di kawasan pulau-pulau kecil antara lain terdiri dari pemerintah Pusat dan Daerah, masyarakat dan tokoh masyarakat pulau-pulau kecil, dunia usahaswastainvestor, dan juga lembaga swadaya masyarakat LSM yang masing-masing memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Kebijakan pemimpin nasional dan daerah yang berbasis kelautan diharapkan mampu mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan yang ada, khususnya dalam kebijakan ekonomi pemanfaatan sumberdaya yang mendukung masuknya investasi di pulau-pulau kecil. Kusumastanto 2003 menyatakan, bahwa kebijakan ekonomi sumberdaya dalam investasi pengembangan pulau-pulau kecil seharusnya didasarkan pada nilai net incremental benefit yang positif, sehingga pemanfaatan kawasan pulau-pulau kecil dapat memberikan dua keuntungan secara simultan, yaitu dari sisi pembangunan lingkungan konservasi dan ekonomi, yang diharapkan dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah yang secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Berbagai kegiatan pembangunan di pulau-pulau kecil akan berfungsi sebagai sabuk ekonomi economic belt dan sabuk pengaman security belt terhadap ancaman keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Selain itu, para pimpinan nasional dan daerah selayaknya memandang pulau-pulau kecil sebagai milik rakyat yang harus dikelola secara co- management kemitraan masyarakat dan pemerintah dalam praktek pengelolaan industri wisata bahari, yang meliputi kombinasi bottom up dan top down approaches, desentralisasi pengelolaan aspek-aspek tertentu, dan menghidupkan kembali pengelolaan berbasis masyarakat community-based management, sehingga kebijakan yang dikeluarkan bagi pengembangan potensi ekonomi pulau-pulau kecil diarahkan pada pengembangan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dimiliki oleh pulau kecil tersebut. Peran Departemen Kelautan dan Perikanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep sebagai instansi teknis yang bertanggungjawab atas pengelolaan pulau-pulau kecil harus terus diupayakan secara optimal, seiring dengan kebijakan atas proporsi anggaran pembangunan yang berimbang bagi sektor kelautan.

6.5 Pola Exclusive Tourism