media pemersatu bangsa, perhubungan, sumberdaya, pertahanan dan keamanan, serta media membangun pengaruh di dunia internasional.
3. Kepemimpinan Nasional
Era Orde Baru 1968-1997 adalah era yang mengukuhkan paradigma pembangunan land base oriented, yang pada akhirnya menjadi permasalahan
dan hambatan paling krusial dalam upaya membangkitkan pembangunan sektor kelautan dan perikanan Indonesia karena semakin terabaikannya paradigma
archipelagic base oriented. Presiden Soeharto sebagai pemimpin nasional pada waktu itu cenderung mengabaikan sektor kelautan dan perikanan, yang
dibuktikan dengan kenyataan bahwa pada rentang waktu era kepemimpinannya yang begitu panjang selama hampir 30 tahun atau tiga dekade, ternyata masa
pemerintahan Orde Baru hanya melahirkan sebuah undang-undang yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan, yaitu UU Nomor 9 Tahun 1985
tentang Perikanan. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa Indonesia membutuhkan seorang
sosok pemimpin nasional yang dengan visi dan misinya berani dengan etika tanggungjawab melakukan terobosan, improvisasi, kreasi dan inovasi yang tidak
hanya disampaikan dengan kata-kata, tetapi dalam kebijakan yang berisikan semangat tidak melawan hukum meskipun bergerak di luar kotak normatif untuk
mewujudkan visi dan misi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Bangsa ini patut bersyukur, bahwa pada akhirnya memiliki seorang pimpinan
yang visioner dalam memandang kondisi obyektif bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yaitu Presiden RI Ke-4 K.H Abdurachman
Wahid yang memberikan komitmen politik dengan membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan 1999, seiring dengan terbentuknya Dewan Kelautan
Indonesia. DKP 2007
menyatakan bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan dan Dewan Kelautan Indonesia merupakan dua institusi pemerintah yang baru
dengan tugas utama memperjuangkan eksistensi kondisi obyektif bangsa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sehinga sektor kelautan beserta
sumberdayanya dapat menjadi prime mover pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Perjuangan untuk kembali menjadi bangsa bahari
semakin mendapatkan titik terang saat Presiden RI Ke-5 Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan ‘Seruan Sunda Kelapa’ untuk membangun kekuatan di laut,
dan menerbitkan Keppres No. 1262001 yang menetapkan tanggal 13 Desember
sebagai Hari Nusantara, sebagai sebuah hari bagi bangsa ini untuk menoleh sejarah bahari Indonesia, cita-cita dan perjuangan dalam mewujudkan kejayaan
maritim yang berwawasan nusantara. Pimpinan nasional memiliki tanggung jawab untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional bangsa ini, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, serta keadilan sosial. Oleh karena itu, pemimpin nasional yang meninggalkan paradigma pembangunan daratan land base oriented dan
menggantinya dengan paradigma pembangunan sesuai kondisi obyektif bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan archipelegic state adalah suatu dambaan
bagi terwujudnya suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi saat ini. Menurut
Syakrani dan Syahriani 2009, sejarah
memberi kesaksian bahwa tumbuhnya budaya unggul dalam masyarakat senantiasa bersumber dari keunggulan kepemimpinan dari seseorang danatau
sekelompok pemimpin sebagai inspirator, pemberdaya, penyelaras, teladan, benchmark, dan buku besar bagi orang yang mengikuti atau dipimpinnya.
Pemimpin yang hasilnya biasa-biasa saja, maka ia tidak menjalankan kepemimpinan, tetapi manajemen. Pemimpin harus berhasil mewujudkan
sesuatu yang luar biasa sehingga seorang pemimpin harus memiliki kejujuran, ketulusan, trust atau amanah, kompetensi, berwawasan ke depan visioner, dan
mampu memberi inspirasi kepada pengikut atau yang dipimpinnya.
4. Peraturan dan Perundang-undangan