Pendekatan Segitiga Keterpaduan Pengelolaan

5.6 Pendekatan Segitiga Keterpaduan Pengelolaan

Hasil pendekatan segitiga keterpaduan pengelolaan sumberdaya terhadap peran antar subyek Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha dan institusi non birokrasi dalam mengembangkan Pola Cakram Hubungan Interdepedensi Pengelolaan CHIP kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposang yang berkelanjutan untuk menjadi sebuah model pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan disampaikan pada Gambar 18. Gambar 18 Peran antar subyek melalui pendekatan segitiga pengelolaan. PEMERINTAH PUSAT OPTIMASI PERAN DKP KONDISI OBYEKTIF BANGSA GLOBALISASI Pemerataan Pembangunan Undang2 Peraturan Pembangunan Terpadu Kepemimpinan Nasional Sejarah Wawasan Nusantara Lingkungan Ekonomi IPTEK PEMERINTAH DAERAH SUMBER DAYA PPK OTONOMI DAERAH PELAYANAN PUBLIK Sumber Daya Buatan Sumber Daya Alam Sumber Daya Manusia Kepemimpinan Daerah Mekanisme Perizinan Investasi Pola Investasi Peningkatan PAD Potensi Unggulan Tata Ruang Zonasi DUNIA USAHA INFRASTRUKTUR DASAR INVESTASI TANGGUNG JAWAB KORPORAT Pertumbuhan Ekonomi Daya Tarik Investasi Aksessibilitas Efisien Efektif Kepastian Hukum Insentif CER CSR CMR INSTITUSI NON BIROKRASI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT LEMBAGA PENDIDIKAN TOKOH MASYARAKAT AGAMA Jejaring Pendampingan Perubahan Perilaku Masyarakat Penelitian Pendidikan Pengajaran Pengabdian Masyarakat Sosial dan Keagamaan Kultural Hak Ulayat Gambar 18 menunjukkan adanya empat segitiga masing-masing aktor yang pada proses hirarki memiliki pengaruh dalam pengelolaan pulau-pulau kecil, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha dan institusi non birokrasi. Setiap segitiga aktor dimaksud, dalam keterkaitannya dengan pengelolaan pulau- pulau kecil, dipengaruhi dan mempengaruhi faktor lingkungan internal maupun lingkungan eksternal, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi tindakan atau kebijakan yang diambil atau diputuskan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Pada segitiga Pemerintah Pusat, dasar kebijakan nasional selayaknya mempertimbangkan: 1 kondisi obyektif bangsa sebagai negara kepulauan, karena berdasarkan sejarah, telah terbukti bahwa bangsa Indonesia memiliki kejayaan bahari di era Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit berkat para pimpinan nasional raja-raja pada masa itu, yang sesungguhnya telah mengimplementasikan konsep wawasan nusantara, yaitu memandang laut bukanlah pemisah, namun perekat bagi bangsa yang terdiri ribuan pulau ini; 2 optimasi peran Departemen Kelautan dan Perikanan DKP, karena sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia, DKP dengan dukungan berbagai peraturan dan perundang-undangan yang ada dapat berfungsi secara optimal, khususnya dalam melakukan sinergi pembangunan secara terpadu dengan instansi terkait lainnya, dalam mencapai pemerataan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan 3 era globalisasi yang tidak mungkin dapat dihindari dalam menghadapi isu-isu yang berkembang khususnya isu ekonomi perdagangan bebas, lingkungan global warming dan sea level rise, serta penguasaan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada segitiga Pemerintah Daerah, kebijakan yang diambil diharapkan dilakukan dengan mempertimbangkan: 1 bahwa di era otonomi daerah dibutuhkan keberadaan para pemimpin daerah yang memiliki entrepreneurial spirit dalam mengidentifikasi potensi unggulan dan nilai ekonomi sumberdaya kelautan, perikanan dan pulau-pulau kecil di wilayahnya, yang pemanfaatannya sesuai dengan tata ruang dan zonasi yang telah ditentukan; 2 keberadaan sumberdaya pulau-pulau kecil yang selayaknya tidak semata-mata dipandang sebagai sumber peningkatan pendapatan asli daerah, namun dengan mempertimbangkan bahwa pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil yang terdiri atas sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan 3 peningkatan pelayanan publik dengan penyediaan pola investasi dan melanisme perizinan investasi di pulau-pulau kecil sebagai bukti kualitas tata kelola kepemerintahan yang baik good governance dan praktik-praktik birokrasi yang baik best practice dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Pada segitiga dunia usaha, selayaknya perhatian lebih difokuskan kepada: 1 kawasan pulau-pulau kecil membutuhkan keberadaan investasi dari dunia usaha, oleh karena itu adanya kepastian hukum, pelayanan investasi yang efisien dan efektif, serta insentif yang ditawarkan bagi dunia usaha adalah pendorong bagi masuknya investasi di pulau-pulau kecil; 2 laju investasi dari dunia usaha tidak dapat terlepas dari ketersediaan infrastruktur dasar khususnya sektor transportasi, ketersediaan air bersih dan ketersediaan fasilitas penerangan di pulau-pulau kecil merupakan daya tarik bagi investasi, karena selain memudahkan aksesibilitas antar pulau dapat pula memacu pertumbuhan ekonomi kawasan; dan 3 sesuai perkembangan zaman, korporat pada masa kini sadar bahwa keberhasilannya dalam mencapai tujuan bukan hanya dipengaruhi oleh faktor internal melainkan juga oleh komunitas yang berada di sekelilingnya, sehingga dunia usahakorporat yang melakukan usahanya di pulau-pulau kecil dituntut untuk memberikan tanggung jawabnya dalam bentuk Corporate Social Responsibility CSR, Corporate Environmental Responsibility CER dan Corporate Managerial Responsibility CMR. Sedangkan pada segitiga institusi non birokrasi, dalam pengelolaan pulau- pulau kecil diharapkan keterlibatan dan kemitraan secara aktif dari berbagai pihak, yaitu: 1 lembaga pendidikan perguruan tinggi yang memiliki fungsi pendidikan dan pengajaran, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat; 2 lembaga swadaya masyarakat dengan jejaringnya, yang dapat berfungsi dalam melakukan pendampingan serta mendorong perubahan perilaku masyarakat pulau-pulau kecil; dan 3 tokoh masyarakattokoh agama yang keberadaannya secara kultural, sosial dan keagamaan di wilayah pulau-pulau kecil merupakan tokoh panutan, yang seringkali para tokoh masyarakattokoh agama dimaksud adalah pemegang hak ulayat di pulau-pulau kecil.

5.7 Pendekatan Interpretative Structural Modelling