Institusi Non Birokrasi Lembaga yang Terlibat dalam Pengelolaan Kawasan Kapoposan

dari suatu korporat terutama investor asing di kawasan pesisir atau pulau-pulau kecil maka berakhir pula kegiatan usaha yang dilakukan. Tidak dapat dipungkiri adanya suatu kegiatan usaha dapat berjalan baik saat para investor masih berada dalam masa kontrak. Namun pada saat masa kontrak ini habis, para investor terutama investasi asing meninggalkan negara ini, maka usaha dimaksud tidak dapat dijalankan lagi, karena masyarakat lokal dan aparat pemerintah daerah tidak dibekali oleh transfer ilmu dan cara-cara manajemen yang baik management knowledge oleh investor terdahulu.

6.2.4 Institusi Non Birokrasi

Pengembangan pulau-pulau kecil melibatkan cukup banyak aktor pemanfaat sumberdaya yang terkadang kehadirannya cenderung diabaikan, namun pada kenyataannya para pemanfaat dimaksud terlibat langsung di lapangan serta ikut serta memberikan pengaruh dalam penentuan kebijakan pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Institusi non birokrasi dalam penelitian ini adalah wadah yang menjadi tempat para aktor pemanfaat dimaksud yang meliputi lembaga pendidikan atau perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat atau non goverment institution, serta para tokoh masyarakat atau tokoh agama sebagai para tokoh lokal, yang keseluruhannya bukanlah aparat birokrasi pemerintahan. Lembaga pendidikan atau perguruan tinggi dengan Tri Dharma-nya, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian pada masyarakat, menduduki peran yang penting dan strategis, khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan penelitian-penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penelitian-penelitian berkesinambungan meliputi potensi ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari, teknologi penangkapan dan budidaya ramah lingkungan, serta penelitian atas perilaku sosial budaya masyarakat pulau-pulau kecil dalam menerima dan melaksanakan program-program pembangunan, merupakan kajian yang selayaknya diterapkan dalam mendukung pengelolaan Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan. Lembaga pendidikan atau perguruan tinggi berfungsi pula sebagai wadah yang mempersiapkan kader pemimpin bangsa, mempersiapkan sumberdaya manusia yang berjiwa penuh pengabdian dan tanggung jawab bagi masa depan bangsa, sekaligus merupakan gudang dari para ilmuwan yang telah menghasilkan begitu banyak karya ilmiah bagi kemajuan bangsa, sehingga sudah selayaknya keterlibatan pihak perguruan tinggi menjadi penting bagi upaya pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang menjadi tanggung jawab sosial para ilmuwan dimaksud. Suriasumantri 2007, menyatakan bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab sosial yang terpikul di bahunya, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup yang bermanfaat bagi masyarakat. Tugas dan fungsi lembaga pendidikanperguruan tinggi dalam mendukung pembangunan kelautan dan perikanan diantaranya adalah: 1 mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK tepat guna melalui teknologi penangkapan yang produktif, efisien serta ramah lingkungan; 2 meningkatkan produk dan jasa kelautan Indonesia sehingga mampu menghasilkan nilai tambah dan berdaya saing tinggi di era globalisasi: 3 penerapan bioteknologi untuk pengelolaan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil ; 4 melakukan penelitian mengenai peningkatan nilai tambah dan kualitas produk kelautan melalui teknologi saat prapanen maupun pascapanen; 5 mencari teknik serta manajemen pemasaran produk yang lebih efisien, sehingga dapat meningkatkan posisi tawar di pasar dalam negeri dan luar negeri ; 6 melakukan penelitian atas teknologi eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam tidak dapat pulih pertambangan yang berwawasan lingkungan; 7 mencari teknologi pendayagunaan potensi sumberdaya energi non konvensional seperti OTEC, energi kinetik dari pasang surut dan gelombang laut yang berwawasan lingkungan; dan 8 mencari teknologi pengelolaan limbah di kawasan pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan serta pengendaliannya. Dahuri 2000 , menyatakan lembaga pendidikan yang berfungsi pula sebagai lembaga penelitian dalam mendukung pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia dapat melakukan penelitian yang berkaitan dengan: 1 pemanfaatan sumberdaya alam pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan secara optimal dan lestari; 2 tata ruang, rancang-bangun dan konstruksi wilayah pesisir, pulau- pulau kecil dan lautan; 3 pengendalian pencemaran perairan pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan; 4 penentuan daya dukung lingkungan bagi kegiatan pembangunan: tambak udang, pariwisata, pemukiman, kawasan industri, kawasan budidaya pertanian, dan sebagainya; dan 5 penentuan komposisi dan laju tingkat kegiatan pembangunan yang optimal secara ekologis dan sosial-ekonomis di suatu wilayah pesisir pulau-pulau kecil. Peran lembaga swadaya masyarakat dan tokoh masyarakattokoh agama dalam mendukung aktivitas wisata bahari di Kawasan Kapoposang diantaranya adalah mendampingi masyarakat kawasan untuk terlibat dalam kegiatan wisata bahari, sebagai salah satu upaya untuk mensejahterakan masyarakat pulau, yang diindikasikan dengan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, terhindarnya dari resiko-resiko kerusakan lingkungan, dan tetap lestarinya aset pendukung kehidupan, sehingga masyarakat pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposang akan menjadi masyarakat yang maju dan mandiri, tidak lagi dalam kondisi miskin dan termajinalkan. Dahuri 2001 menyatakan penyebab kemiskinan dan termajinalkannya masyarakat pulau-pulau kecil antara lain karena: 1 tidak tersedianya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar serta rendah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah alasan-alasan kemiskinan; 2 adanya dampak kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu sendiri, yang ditambah dengan dampak pembangunan atau eksternalitas kegiatan di daerah daratan yang berhubungan langsung dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 3 faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan berkembangnya kriminalitas; dan 4 kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil, lemahnya perencanaan spasial yang berakhir pada tumpang tindih berbagai sektor di suatu kawasan; serta 5 terjadinya degradasi lingkungan. Era demokrasi telah membuka pintu bagi kiprah peran serta lembaga swadaya masyarakat LSM sebagai organisasi non pemerintah non goverment organization yang menjadi mitra pemerintah, khususnya dalam upaya pengelolaan sumberdaya dan pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil di daerah. Langkah-langkah pendampingan dari LSM dalam pengelolaan kawasan Kepulauan Kapoposan di lapangan, diharapkan dapat menjadi motivator bagi perubahan perilaku masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pulau- pulau kecil berbasis masyarakat atau community based management CBM dan cooperative management atau co-management. Nikijuluw 2002, menyatakan bahwa pengelolaan berbasis masyarakat atau community based management CBM merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam, yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu, mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya religion. Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional, di mana akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya. Sedangkan co-management adalah rezim derivatif yang berasal dari rezim pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat dan rezim pengelolaan sumberdaya oleh pemerintah yang berada pada skenario ideal yaitu pemerintah dan masyarakat adalah mitra yang sejajar yang bekerjasama untuk melaksanakan semua tahapan dan tugas proses pengelolaan sumberdaya. Kawasan Kapoposan seperti juga kawasan pulau-pulau kecil pada umumnya, secara kultural memiliki tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh agama yang memiliki peran penting sebagai panutan atau yang diberi mandat oleh masyarakat lokal sebagai wakil masyarakat pulau-pulau kecil dalam hubungannya dengan pembangunan masyarakat. Para tokoh dimaksud biasanya bersama-sama lembaga swadaya masyarakat berperan dalam membantu mengorganisir masyarakat dalam menerima teknologi baru, pengembangan pendidikan dan pelatihan, pengembangan modal dan kredit masyarakat, perbaikan lingkungan, penetapan kawasan konservasi, pelaksanaan pemantauan dan pengawasan, perencanaan dan pengelolaan, serta perumusan kebijakan yang tidak jarang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Peran para tokoh masyarakattokoh agama menjadi kian kuat, tatkala Kawasan Kapoposan diarahkan bagi pengembangan kegiatan wisata bahari, terutama dalam hal menghindari terjadinya konflik atau benturan antara budaya lokal dengan budaya asing akibat kehadiran para wisatawan. Retraubun 2000 menyebutkan bahwa peran para tokoh masyarakat di pulau- pulau kecil menjadi penting keberadaannya sebagai masyarakat pulau dalam mengkampanyekan arti penting penggunaan peralatan yang ramah lingkungan, cara-cara yang arif dalam memanfaatkan sumberdaya, pelestarian lingkungan pulau kecil, dengan cara formal maupun informal. Secara formal dapat dilakukan dalam pertemuan diskusi di desa dan pertemuan adat, sedangkan secara informal dilakukan dalam forum-forum tidak resmi seperti diskusi keagamaan dan obrolan-obrolan sehari-hari masyarakat. Diagram model struktural pada institusi non birokrasi sebagai salah satu elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program terdiri atas tiga level Gambar 25. Elemen kunci key element adalah pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, pendampingan dan jejaring. Subelemen-subelemen tersebut dapat mempengaruhi atau menggerakkan subelemen-subelemen lain pada elemen insitutusi non birokrasi. Dengan adanya penelitian, pendidikan, pengabdian masyarakat, pendampingan dan jejaring, maka kondisi sosial dan keagamaan, kultural dan perubahan perilaku masyarakat dapat terorganisir dan beradaptasi dengan adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil, sehingga hak ulayat masyarakat di pulau-pulau kecil dapat terjaga. Sub elemen dari institusi non birokrasi terdistribusi pada sektor II dan III Gambar 26. Sub elemen pendidikan, pengajaran, penelitian, pengabdian pada masyarakat, pendampingan dan jejaring yang umumnya dimiliki oleh institusi non birokrasi dalam hal ini perguruan tinggi serta lembaga swadaya masyarakat termasuk peubah linkages, dimana setiap tindakan pada tujuan tersebut akan menghasilkan keberhasilan dalam model pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di suatu kawasan. Sub elemen pendidikan, pengajaran, penelitian, pengabdian pada masyarakat, pendampingan dan jejaring merupakan sub elemen yang memiliki ketergantungan yang rendah terhadap sistem, akan tetapi memiliki daya dorong yang besar dalam keberhasilan sistem. Pada sektor II terlihat bahwa sub elemen perubahan perilaku pada masyarakat, sosial dan keagamaan, kultural dan hak ulayat memiliki ketergantungan besar dari sistem, namun memiliki daya dorong yang rendah. 1 Pendidikan, Penelitian, Pengabdian Masyarakat, Pendampingan dan Jejaring Eksistensi lembaga penelitianperguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan tokoh masyarakatagama bagi masyarakat pulau-pulau kecil di tidak dapat terlepas dari keinginan bersama untuk merubah kondisi sosial- ekonomi masyarakat pulau-pulau kecil. Menurut DKP 2006 , kondisi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil akibat pembangunan paradigma land base oriented masa lalu berada pada kondisi: 1 sebagai nelayan sub sisten yang memperoleh hasil tangkapan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena minimnya penguasaan teknologi penangkapan perahukapal penangkapan atau alat tangkap dan keterbatasan modal; 2 berada pada rantai tata niaga terbawah akibat posisi tawar bargaining position yang sangat rendah ketika menjual hasil tangkapan produk, maupun pada saat membeli input produksi seperti bahan bakar, jaring, es dan bahan serta peralatan lainnya; 3 penguasaan dan penerapan teknologi pasca panen penangananhandling dan pengolahanprocessing yang minim sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan produkyang memiliki nilai tambah added value; 4 kesulitan mendapatkan akses terhadap informasi, teknologi, pasar, permodalan kapital, dan manajemen usaha; 5 memiliki budaya dan pola pikir mindset yang belum responsif dan kondusif dalam mengelola ekonomi keluarga; 6 ketidaktersediaan prasarana dan sarana dasar berupa pendidikan, air bersih, jalan, dermaga, listrik, komunikasi, sanitasi lingkungan dan lainnya. Menurut Retraubun 2002 , kawasan pulau-pulau kecil meskipun memiliki kekayaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang masih melimpah, namun memiliki beberapa keterbatasan, seperti aksesibitas rendah, susah dijangkau, serta adanya musim yang menyebabkan daerah ini sulit berinteraksi dengan daerah lain, sehingga perlu dikembangkan kelembagaan dan teknologi yang dapat dijadikan sebagai pegangan masyarakat pulau kecil dalam membantu usahanya untuk memenuhi kehidupannya. Tri Dharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian pada masyarakat, merupakan jembatan bagi transfer ilmu pengetahuan dan teknologi melalui berbagai penelitian yang sifatnya ilmiah. Meskipun menyangkut anggaran yang besar, Pemerintah selayaknya bertanggungjawab atas pendanaan penelitian yang berkesinambungan tidak menurut proyek, pendanaan implementasi di lapangan, dan monitoring serta evaluasi, mengingat hasil-hasil penelitian dimaksud dapat menjadi bagian pertimbangan pengambilan kebijakan dalam mengelola kawasan pulau-pulau kecil menuju pulau kecil yang mandiri. Pihak perguruan tinggi adalah pihak yang paling berkompeten untuk mendampingi secara teknis di lapangan atas implementasi temuan-temuan atau pun teknologi baru, khususnya teknologi penangkapan ikan serta teknologi budidaya laut yang ramah lingkungan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil pada khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya. Lembaga Swadaya Masyarakat LSM adalah Non Goverment Organization dengan jejaring yang luas net working baik di tingkat domestik maupun di luar negeri, selayaknya dijadikan mitra pemerintah dalam upaya pendampingan masyarakat advokasi dalam mendorong perubahan perilaku masyarakat, khususnya masyarakat pulau-pulau kecil. Pendekatan pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil berbasis masyarakat atau community based management, yaitu suatu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dengan meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya, menurut penulis akan lebih tepat sasaran dan efektif dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat serta tokoh masyarakatagama, dibandingkan dengan jika dilakukan oleh Pemerintah. LSM beserta tokoh masyarakatagama diharapkan dapat menjaga dan menyuburkan kearifan lokal, hukum adat dan kelembagaan lokal yang umumnya bersifat bottom up namun berperan lebih aktif, efisien dalam mengikat masyarakat. Jika dibandingkan dengan hukum positif bersifat top down yang seringkali berbenturan dengan masyarakat lokal, bahkan adakalanya menimbulkan terjadinya konflik-konflik horizontal, kelembagaan lokal adalah aturan yang dianut oleh masyarakat yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat dalam mengadakan transaksi satu sama lainnya, yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam sebuah masyarakat di wilayah tertentu. Purwaka 2003, menegaskan bahwa kelembagaan lokal memiliki kapasitas potensial, kapasitas daya dukung, dan kapasitas daya tampungdaya lentur, dengan kinerja yang merupakan fungsi dari tata kelembagaan, mekanisme, dan kapasitas kelembagaan yang dimilikinya. 2 Perubahan Perilaku Masyarakat, Sosial Keagamaan, dan Kultural Tokoh masyarakat atau tokoh agama di kawasan pulau-pulau kecil pada umumnya adalah para tokoh yang secara kultural dan turun temurun menjadi panutan oleh masyarakat kawasan pulau-pulau kecil dalam berperilaku sesuai aturan agama dan adat budaya setempat. Para tokoh dimaksud seharusnya difasilitasi oleh Pemerintah untuk bersama-sama LSM dan perguruan tinggi dalam mengorganisir masyarakat di kawasan pulau-pulau kecil untuk beradaptasi dan menerima teknologi yang baru, mengembangkan pendidikan dan pelatihan, melakukan berbagai upaya konservasi, pengawasan berbasis masyarakat, serta sosialisasi dampak ganda dari pembangunan pulau-pulau kecil bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, seiring dengan terjaganya kelestarian lingkungan pulau-pulau kecil itu sendiri. Selain itu, peran para tokoh masyarakat atau tokoh agama memiliki andil dalam menghindari atau menekan terjadinya konflik atau benturan budaya antara masyarakat lokal dengan budaya asing para wisatawan yang memiliki adat dan budaya berlainan dengan adat dan budaya setempat. Tokoh masyarakat atau tokoh agama di kawasan pulau-pulau kecil dapat menjadi fasilitator dalam menjembatani adanya suatu wacana pelimpahan wewenang pengelolaan decentralization sumberdaya pulau-pulau kecil kepada masyarakat komunal pulau lembaga lokal sehingga diharapkan akan lebih dapat diterima masyarakat komunal yang lebih mengetahui teknis dan mekanisme pemanfatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan yang merupakan warisan dari nenek moyangnya. Retraubun 2003 menyatakan bahwa pelimpahan wewenang pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan cara: 1 pelimpahan hak-hak dalam memperoleh akses sumberdaya pulau-pulau kecil yang dapat menjamin kepentingan masyarakat nelayan; 2 menumbuhkembangkan sikap kemandirian masyarakat pulau dalam mengatasi berbagai persoalan terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya; 3 dikembangkannya suatu zona tangkapan yang ekslusif yang lazim diistilahkan dengan hak ulayat atau hak pakai teritorial territorial use right untuk pengelolaan yang berkelanjutan, bila memungkinkan. Peningkatan kapasitas kelembagaan lokal dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya merupakan strategi untuk memposisikan masyarakat pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposang memiliki posisi tawar bargaining position serta melindungi masyarakat lokal dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas wisata bahari di Kawasan Kapoposang. Retraubun 2003 menyebutkan bahwa kelembagan masyarakat pulau-pulau kecil merupakan wadah atau institusi lokal yang terbentuk dari aspirasi masyarakat dalam upaya pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil, dengan harapan dapat membantu kelancaran proses pengaturan alokasi sumberdaya baik dalam penerapan teknologi, modal, tenaga kerja, serta pemecahan permasalahan-permasalahan lain yang kadang kala timbul dalam usaha pengembangan wilayah pulau-pulau kecil. 6.3 Persepsi Pemangku Kepentingan 6.3.1 Kriteria Pengaruh politik masa lalu dalam pembangunan pulau-pulau kecil dapat dikatakan membawa pengaruh yang signifikan atas kondisi pulau-pulau kecil, terutama jika ditinjau dari ketidakmerataan pembangunan selama ini yang cenderung tidak menyentuh pulau-pulau kecil, yang pada akhirnya mencapai puncaknya pada kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi milik Malaysia. Keputusan Makamah Internasional pada intinya berdasarkan logika sederhana, yaitu berdasarkan doktrin effectivites prinsip penguasaan secara efektif dipandang merupakan wujud kepedulian dari negara pemilik terhadap hak milik wilayahnya, yang sayangnya tidak dapat dipenuhi oleh Indonesia. Retraubun 2003 menyebutkan bahwa Malaysia adalah pihak yang memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan karena dapat memenuhi bukti atas 3 tiga aspek utama yaitu: keberadaan secara terus menerus continuous presence di pulau tersebut, penguasaan secara efektif effective occupation termasuk aspek administrasi, serta perlindungan dan pelestarian ekologis maintenance and ecology preservation. Malaysia secara efektif telah memenuhi ketiga aspek utama di atas dengan melakukan upaya administrasi dan pengelolaan konservasi di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berupa penerbitan ordonasi perlindungan satwa burung dan pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu pada Tahun 1930, yang dilanjutkan dengan membangun dan mengoperasikan Mercu Suar pada tahun 1960. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan secara logis berdampak pada berkurangnya wilayah kedaulatan Indonesia karena kedua pulau tersebut adalah pulau kecil di wilayah perbatasan yang memiliki based point atau titik dasar TD. Abubakar 2004 menyatakan bahwa peristiwa Pulau Sipadan dan Ligitan telah menimbulkan permasalahan baru bagi Indonesia dengan hilangnya tiga TD, yaitu satu di Pulau Sipadan dan dua di Pulau Ligitan, yang akhirnya berdampak pada berkurangnya wilayah perairan Indonesia yang diperkirakan seluas Propinsi Jawa Barat termasuk di dalamnya potensi sumberdaya kelautan, perikanan, serta minyak dan gas. DKP 2004 , menyatakan pula bahwa pemeliharaan 92 Titik Dasar Base Point di pulau-pulau kecil terluar yang terletak di perbatasan dengan negara lain, sesungguhnya memiliki arti bahwa pulau-pulau kecil tersebut memiliki arti penting sebagai garda depan dalam menjaga dan melindungi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI.