Latar Belakang Pola pengelolaan gugusan pulau pulau kecil di kawasan kapoposan yang berkelanjutan

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang sesungguhnya semakin mengukuhkan keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan archipelagic state terbesar di dunia, yang terdiri dari sekitar 17.480 buah pulau sebagian besar adalah pulau-pulau kecil, dengan panjang garis pantai sekitar 95.181 km. Persoalan pulau-pulau kecil adalah bagian dari persoalan bangsa dan negara yang sangat penting. Kebijakan alokasi ruang dan pengelolaan pulau- pulau kecil harus dirumuskan secara hati-hati, karena meliputi beberapa aspek, yaitu: 1 politik: menyangkut harga diri, moralitas Indonesia sebagai suatu bangsa yang beragam, serta bukti kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik Indonesia sebagai negara kepulauan; 2 ekonomi: sumberdaya pulau-pulau kecil memiliki potensi ekonomi sebagai salah satu prime mover pembangunan nasional; 3 sosial budaya: berkaitan dengan penegakan hak-hak masyarakat adat atau lokal sebagai unsur penting dalam struktur negara dan bangsa, serta 4 kelestarian sumberdaya alam atau lingkungan antar generasi. Kebijakan pembangunan masa lalu yang lebih berorientasi daratan land based oriented, telah menyebabkan sumberdaya pulau-pulau kecil terabaikan. Konsep pembangunan kontinental masa lalu dengan paradigma pertumbuhan yang seragam di seluruh Indonesia telah mengasingkan sumberdaya pulau-pulau kecil dari pengelolaan yang bijak, bahkan pemanfaatannya justru dilakukan dengan bertitik tolak pada eksploitasi sumberdaya secara besar-besaran, tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan dan pelibatan masyarakat lokal, sehingga sumber daya pulau-pulau kecil mengalami over exploited. Perburuan rente sumber daya dengan cepat dan mudah, perkembangan teknologi penangkapan yang cenderung destruktif, telah menyebabkan terjadinya penurunan stok dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Kondisi tersebut diindikasikan dengan kenyataan bahwa hampir 23 stok ikan ekonomis dunia telah ditangkap melebihi kapasitas regenerasinya, rusaknya hampir 80 terumbu karang, serta menghilangnya ekosistem mangrove yang digantikan dengan menjamurnya pemukiman. Konsep ini secara fisik mungkin dapat dikatakan berhasil, namun secara fundamental sangat rapuh karena tidak dapat menerapkan konsep pembangunan yang meyakinkan secara praktis, operasional dan berkelanjutan. Indonesia sebagai negara kepulauan, yang memiliki luas lautan 23 dari luas total wilayahnya serta memiliki ribuan pulau-pulau kecil, sesungguhnya memiliki keunggulan dalam kekayaan sumberdaya kelautan berikut jasa-jasa lingkungannya. Namun kebijakan pembangunan masa lalu yang cenderung keliru, secara logis telah menimbulkan situasi sektor kelautan, khususnya pulau- pulau kecil Indonesia dalam kondisi: 1 kemampuan sumberdaya manusia yang rendah sebagai akibat kurangnya sentuhan pendidikan formal walaupun kaya dengan pengetahuan tradisional, serta miskinnya masyarakat pada kawasan ini; dan 2 tidak dimanfaatkannya sumberdaya alam hayati maupun nir-hayati yang ada secara efisien dan efektif sehingga lingkungan laut maupun daratnya mengalami kerusakan serius, serta terjadinya kesenjangan pembangunan yang sangat besar antara pulau kecil dan kontinen. Kebijakan pembangunan masa lalu yang cenderung keliru dimaksud semakin menampakkan hasilnya di akhir tahun 1997, saat Bangsa Indonesia dilanda krisis multidimensi meliputi krisis ekonomi, krisis kepercayaan dan krisis politik yang berkepanjangan. Bangsa ini harus melakukan suatu upaya untuk lepas dari krisis tersebut, dengan melakukan reorientasi pembangunan ekonomi yang bertitik berat dengan penekanan fondasi yang kuat pada prioritas pengembangan sektor yang berbasis keunggulan komparatif sumberdaya domestik dan berakar pada ekonomi rakyat, yaitu pembangunan sektor kelautan dan pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai penggerak roda perekonomian nasional. Ketidakpedulian atas pulau-pulau kecil telah ditebus dengan mahal dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke tangan Malaysia, yang berimplikasi terhadap berkurangnya batas wilayah teritorial Indonesia. Hal ini terjadi karena Pulau Sipadan dengan luas 10,4 ha atau 0,104 km 2 dan Pulau Ligitan dengan luas 7,9 ha atau 0,079 km 2 merupakan pulau kecil di wilayah perbatasan antara Indonesia-Malaysia. Keputusan Makamah Internasional tanggal 17 Desember 2002, memutuskan bahwa Malaysia adalah pihak yang memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan doktrin effectivites prinsip penguasaan secara efektif dipandang merupakan wujud kepedulian dari negara pemilik terhadap hak milik wilayahnya, sebagai pertimbangan utama untuk menyatakan kepemilikan atas kedua pulau tersebut. Pertimbangan keputusan atas sengketa kepemilikan atas pulau mensyaratkan pemenuhan bukti atas 3 tiga aspek utama, yaitu keberadaan secara terus menerus continuous presence di pulau tersebut, penguasaan secara efektif effective occupation termasuk aspek administrasi, serta perlindungan dan pelestarian ekologis maintenance and ecology preservation. Malaysia dalam hal ini sebelumnya Inggris secara efektivitas telah memenuhi ketiga aspek utama di atas dengan melakukan upaya administrasi dan pengelolaan konservasi di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berupa penerbitan ordonasi perlindungan satwa burung dan pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu pada Tahun 1930, yang dilanjutkan dengan membangun dan mengoperasikan Mercu Suar pada tahun 1960. Keputusan Mahkamah Internasional tersebut, pada dasarnya memberi pelajaran bagi bangsa Indonesia, bahwa jika perjanjian internasional tentang kedaulatan atas suatu daerah antara dua negara tidak begitu jelas, maka yang “berhak” adalah pihak “yang lebih peduli, yang lebih banyak melakukan aktivitas, dan lebih lama mengurusi daerah tersebut”. Kasus Pulau Sipadan Ligitan setidaknya membawa hikmah bagi komponen bangsa ini untuk lebih memberikan perhatian atas isu nasional yang sangat penting, yaitu pembangunan kelautan melalui pengelolaan pulau-pulau kecil termasuk pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan beserta kawasan perairan di sekitarnya. Penelitian mengenai kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil yang telah dilakukan diantaranya adalah Keberlanjutan Pembangunan Pulau Kecil dengan Studi Kasus Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu-DKI Jakarta oleh Susilo 2003 , yang bertitik berat pada analisis ekonomi-ekologis terhadap Pulau Panggang di Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari di Kelurahan Pulau Pari yang berarti kedua pulau dimaksud berada di dua kawasan yang berbeda. Abubakar 2004 melakukan penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Perbatasan dengan Kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan-Kalimantan Timur , yang bertitik berat pada fungsi strategis pertahanan keamanan di Pulau Sebatik sebagai pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan antara Indonesia-Malaysia. Asriningrum 2009 melakukan penelitian Pengelompokan Pulau Kecil dan Ekosistemnya Berbasis Geomorfologi di Indonesia, dengan titik berat penelitian pada desain pengelompokan pulau- pulau kecil berdasarkan analisis geomorfologi melalui data penginderaan jauh satelit. Far-far 2010 melakukan penelitian mengenai Model Pencegahan Perikanan Ilegal Melalui Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar: Pulau Lirang, Wetar dan Kisar di Provinsi Maluku, dengan titik berat pada karakteristik perikanan rakyat di kawasan pulau-pulau perbatasan, khususnya perikanan lintas batas negara oleh nelayan tradisional. Namun penelitian terdahulu dimaksud belum menyinggung bagaimana suatu pola pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil ada yang berpenduduk dan ada yang tidak berpenduduk, serta berada dalam kawasan konservasi dilakukan, sehingga tentunya membutuhkan suatu penelitian tersendiri, mengingat adanya perbedaan karakteristik setiap pulau kecil beserta lingkungannya. Pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses yang akan membawa suatu perubahan serta pengaruh pada sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Semakin tinggi intensitas pengelolaan dan pembangunan yang dilaksanakan, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya dan perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi di kawasan pulau- pulau kecil. Selain dari itu, dalam pengelolaan pulau-pulau kecil, terdapat beberapa ancaman yang diantaranya adalah terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti polusi, perusakan habitat-habitat ekosistem pulau-pulau kecil, serta penangkapan ikan yang berlebihan over exploited pada tingkat yang membahayakan daya dukung pulau-pulau kecil. Berdasarkan kondisi dimaksud, dibutuhkan suatu pengelolaan berdasarkan suatu pola atau model yang sesuai dengan karakteristik tipologinya, keruangan lahan, keberadaan dan penyelenggaraan kegiatan komersial, serta pelayanan dan berbagai kegiatan ekonomi di dalamnya, dengan tidak melupakan keberadaan potensi sumberdaya alam pulau-pulau kecil beserta jasa-jasa lingkungan yang ada di dalamnya. Pola pengelolaan pula-pulau kecil merupakan representasi dan penyederhanaan dari kondisi sebenarnya, sehingga dapat memudahkan dalam melakukan pengkajian karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya. Pola pengelolaan dimaksud selayaknya tidak diprioritaskan menurut jumlah penduduk yang menghuni, namun dilakukan dengan mempertimbangkan keberadaan dan keterlibatan penduduk dalam kewenangan pengelolaan sumberdaya yang ada secara lestari tanpa mengejar pertumbuhan ekonomi semata. Pulau-pulau kecil sebagai isu nasional yang baru, pada dasarnya membutuhkan pola pengelolaan yang bertitik tolak dari kekhususan yang menjadi ciri khas pulau kecil tersebut, yaitu kondisi sumberdaya alam hayati dan nir hayati, sumberdaya manusia kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal, sumberdaya buatan ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum serta kelembagaan, serta jasa-jasa lingkungan seperti misalnya kegiatan pariwisata, khususnya wisata bahari. Gugusan pulau-pulau kecil atau pulau-pulau kecil adalah kumpulan pulau kecil yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya, yang secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya. Penelitian ini dilakukan mengingat terdapat gugusan pulau yang terdiri dari enam pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan, yang meskipun memiliki sumberdaya alam daratan teresterial yang terbatas, namun memiliki potensi sumberdaya kelautan, perikanan dan jasa-jasa lingkungan yang melimpah sebagai aset yang strategis dan komparatif yang dapat menjadi aset kompetitif dalam mengisi pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Namun karena pilihan pengelolaan sumberdaya pulau- pulau kecil yang suistainable secara ekologis maupun ekonomi sangat terbatas, mengakibatkan pengembangan ekonomi hampir sulit dilakukan jika hanya mengandalkan kemampuan pulau untuk mengembangkan dirinya self suffiency, sehingga membutuhkan adanya dorongan big push dan kepedulian good political will dari berbagai pihak luar, khususnya Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha dan instansi atau lembaga terkait lainnya. Penelitian mengenai pola pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan, diharapkan dapat menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan dimaksud dapat dilakukan melalui pendekatan sistem yang dapat membantu memecahkan permasalahan secara lebih sistematis dan sistemik menyeluruh, namun tetap terfokus kepada tujuan semula yang hendak dicapai, yaitu pola pengelolaan Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan, dimana pengelolaan yang berkelanjutan adalah suatu pengelolaan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasinya di masa mendatang. Pemilihan lokasi penelitian di gugusan pulau kecil Kawasan Kapoposan, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan dipilih karena beberapa alasan sebagai berikut: 1 Kabupaten Pangkajene Kepulauan lebih dikenal dengan Kabupaten Pangkep adalah kabupaten yang memiliki 114 pulau kecil dengan luas keseluruhan pulau kecil 35.150 ha, luas laut 71.000 km 2 , panjang garis pantai 250 km dengan luas terumbu karang 36.000 km 2 2 Dari 114 pulau kecil yang dimiliki Kabupaten Pangkep, enam pulau kecil diantaranya berada dalam satu gugusan Kawasan Kapoposan, yaitu Pulau Kapoposan berpenduduk, Gondongbali berpenduduk, Papandangan berpenduduk, Suranti tidak berpenduduk, Tambakulu tidak berpenduduk, dan Pamanggangan tidak berpenduduk, sehingga merupakan lokasi yang tepat untuk dijadikan obyek penelitian dalam menyusun pola pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil berbasis kawasan yang berkelanjutan. , sehingga merupakan kabupaten yang memiliki tantangan tersendiri dalam pengembangan daerahnya, terutama dalam upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah PAD di era otonomi daerah. 3 Tahun 2009, Kawasan Kapoposan merupakan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang pengelolaannya diserahkan dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan DKP. Pada tahun yang sama, Bupati Kabupaten Pangkep mengeluarkan Keputusan Bupati No. 1802009 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep, yang menyatakan beberapa bagian dari Kawasan Kapoposan termasuk dalam zona inti dan zona perikanan berkelanjutan, yang semakin dikukuhkan oleh DKP dengan disusunnya Rencana Zonasi Pulau-pulau Kecil di Kabupaten Pangkep. 4 Hingga saat ini, informasi yang tersedia mengenai kawasan Kapoposan adalah tentang rencana zonasi pulau-pulau kecil di Kabupaten Pangkajene Kepulauan yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan DKP pada tahun 2009, sehingga diperlukan suatu penelitian khusus mengenai pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan secara sistematis.

1.2 Perumusan Masalah