292 Kelas XII SMA
berusha menta kenyataan duniawi tanpa Allah. Akan tetapi bula kenyatan kenyataan itu tertutup bagi Allah, akhirnya justru akan berbalik melaswan
manusia. Humanisme yang tertutup bagi kenytaan lain jadi tidak manusiawi. Humanisme yang sejati menunjukkan jalan kepada Allah serta mengakui
tugas yagn menjadi pokok panggilan kita, tugas yang menyajikan kepada kita makna sesungguhya hidup manusiawi. Bukan manuasialah norma mutakhir
manusia. Manusia hanya menjadi sungguh manusiawi bila melampaui diri sendiri. Menurut Blaise Pascal, “ Manusia secara tidak terbatas mengungguli
martabatnya” Paulus VI, Populorum Progressio art. 42
d. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia
Dari segi lemahnya penegakan hukum, kita harus berusaha mengubah mind-set peranan hukum dalam masyarakat, bahwa hukum bukan sarana
untuk mempermudah agar “kasus-kasus” Pidana dan Perdata diperlakukan sebagai “komoditi”, tetapi hukum berfungsi untuk mempermudah
pelaksanaan hidup bersama yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan umum. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “Pelaksanaan kekuasaan
politik, baik dalam masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara, selalu harus berlangsung dalam batas-batas tata moral,
untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata perundang-undangan yang telah dan harus ditetapkan secara
sah. Maka para warganegara wajib patuh-taat berdasarkan hati nurani mereka. Dari situ jelas jugalah tanggung jawab, martabat dan kewibawaan
para penguasa. KV II GS art. 73.
Dalam Kitab Suci, kita dapat melihat bagaimana Yesus menuntut bangsa Yahudi supaya taat kepada hukum Taurat sebab pada dasarnya hukum
Taurat dibuat demi kebaikan dan keselamatan manusia bdk. Mat 5: 17- 43. Satu titik pun tidak boleh dihilangkan dari hukum Taurat. Ia hanya
menolak hukum Taurat yang sudah dimanipulasi, di mana hukum tidak diabdikan untuk manusia, tetapi manusia diabdikan untuk hukum. Segala
hukum, peraturan, dan perintah harus diabdikan untuk tujuan kemerdekaan manusia. Maksud terdalam dari setiap hukum adalah membebaskan atau
menghindarkan manusia dari segala sesuatu yang dapat menghalangi manusia untuk berbuat baik. Demikian pula tujuan hukum Taurat. Sikap
Yesus terhadap hukum Taurat dapat diringkas dengan mengatakan bahwa Yesus selalu memandang hukum Taurat dalam terang hukum kasih.
Mereka yang tidak peduli dengan maksud dan tujuan hukum, hanya asal menepati huruf hukum, akan bersikap legalistis: pemenuhan hukum secara
lahiriah sedemikian rupa sehingga semangat hukum kerap kali dikurbankan. Misalnya, ketika kaum Farisi menerapkan peraturan mengenai hari Sabat
dengan cara yang merugikan perkembangan manusia, Yesus mengajukan protes demi tercapainya tujuan peraturan itu sendiri, yakni kesejahteraan
Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti 293
manusia: jiwa dan raga. Menurut keyakinan awal orang Yahudi sendiri, peraturan mengenai hari Sabat adalah karunia Allah demi kesejahteraan
manusia bdk. Ul 5: 12-15; Kel 20: 8-11; Kej 2: 3. Akan tetapi, sejak pembuangan Babilonia 587-538 SM, peraturan itu oleh para rabi
cenderung ditambah dengan larangan-larangan yang sangat rumit. Memetik butir gandum sewaktu melewati ladang yang terbuka tidak dianggap sebagai
pencurian. Kitab Ulangan yang bersemangat perikemanusiaan mengizinkan
perbuatan tersebut. Akan tetapi, hukum seperti yang ditafsirkan para rabi melarang orang menyiapkan makanan pada hari Sabat dan karenanya juga
melarang menuai dan menumbuk gandum pada hari Sabat. Dengan demikian, para rabi menulis hukum mereka sendiri yang bertentangan dengan semangat
perikemanusiaan Kitab Ulangan. Hukum ini menjadi beban, bukan lagi bantuan guna mencapai kepenuhan hidup sebagai manusia.
Oleh karena itu Yesus mengajukan protes. Ia mempertahankan maksud Allah yang sesungguhnya dengan peraturan mengenai Sabat itu. Yang dikritik Yesus
bukanlah aturan mengenai hari Sabat sebagai pernyataan kehendak Allah, melainkan cara hukum itu ditafsirkan dan diterapkan. Mula-mula, aturan
mengenai hari Sabat adalah hukum sosial yang bermaksud memberikan kepada manusia waktu untuk beristirahat, berpesta, dan bergembira setelah
enam hari bekerja. Istirahat dan pesta itu memungkinkan manusia untuk selalu mengingat siapa sebenarnya dirinya dan untuk apakah ia hidup.
Sebenarnya, peraturan mengenai hari Sabat mengatakan kepada kita bahwa masa depan kita bukanlah kebinasaan, melainkan pesta. Dan, pesta itu
sudah boleh mulai kita rayakan sekarang dalam hidup di dunia ini, dalam perjalanan kita menuju Sabat yang kekal. Cara unggul mempergunakan hari
Sabat ialah dengan menolong sesama bdk.Mrk 3: 1-5. Hari Sabat bukan untuk mengabaikan kesempatan berbuat baik. Pandangan Yesus tentang
Taurat adalah pandangan yang bersifat memerdekakan, sesuai dengan maksud yang sesungguhnya dari hukum Taurat.
e. Berbagai bencana dan kerusakan alam