Latar Belakang Hubungan Pola Makan Dengan Metabolic Syndrome Dan Gambaran Aktivitas fisik Anggots Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH TAHUN 2013

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

World Health Organization WHO 2013 mengemukakan bahwa Non Communicabable Diseases NCDs merupakan tantangan kesehatan terbesar pada abad ke 21 karena membunuh lebih dari 36 juta orang setiap tahunnya. Dari seluruh kematian NCDs, jumlah penyakit kardiovaskular atau cardiovascular disease CVD merupakan yang terbesar yaitu 17,3 juta jiwa tahun, diikuti kanker sebanyak 7,6 juta jiwa tahun, penyakit pernafasan 4,2 juta jiwatahun dan diabetes sebanyak 1,3 juta jiwatahun. Berkaitan dengan diabetes, pada sebagian besar penderita diabetes tipe dua atau intoleransi glukosa, didapatkan serangkaian faktor risiko yang muncul bersamaan dengan faktor risiko CVD. Fenomena ini disebut dengan kejadian metabolic syndrome. Metabolic syndrome dipengaruhi oleh pola makan, aktivitas fisik, faktor genetik, umur, jenis kelamin, etnis, menopause dan faktor endokrin Christopher et al., 2005. Pola makan dan aktivitas fisik merupakan faktor risiko yang dapat diubah. Keduanya sering berkaitan dengan risiko penyakit degeneratif secara umum. Disamping itu, berkaitan dengan pola makan, beberapa penelitian mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara pola makan berdasarkan asupan energi, total protein, total lemak, total karbohidrat, protein hewani, dan karbohidrat sederhana yang dikonsumsi melebihi Angka Kecukupan Gizi AKG terhadap kejadian metabolic syndrome Sudarminingsih et al., 2007; Kasiman, 2011. Di dunia, prevalensi metabolic syndrome cukup tinggi karena mencapai 10-25 pada kelompok umur dewasa IDF, 2006. Di Amerika Serikat, prevalensi metabolic syndrome sebanyak 22, 8 terjadi pada pria dan 22, 6 terjadi pada wanita. Di Eropa, prevelensi metabolic syndrome meningkat seiring umur. Pada pria didapatkan sebesar 13,2 pada kelompok umur 30-39 tahun dan 42,7 pada umur 60-69 tahun, sedangkan pada wanita didapatkan sebesar 10,3 pada kelompok umur 30-39 tahun, dan 45,9 pada kelompok umur 60 – 69 tahun Dellios, 2005. Di tingkat regional, beberapa daerah di Asia Tenggara juga menunjukan prevalensi metabolic syndrome yang cukup tinggi Soewondo et al., 2006 seperti di Malaysia didapatkan prevalensi metabolic syndrome sebesar 49, 4 pada umur 20 tahun Chan, 2005, di Thailand sebanyak 21,9 Deerochanawong, 2000 serta Filipina dan Singapura 20 Deerochanawong, 2000 ; Chan, 2005. Di Indonesia, belum terdapat data prevalensi metabolic syndrome secara nasional, meskipun demikian di beberapa daerah telah menunjukan prevalensi metabolic syndrome yang cukup tinggi : Surabaya sebanyak 34,0 Pranoto et al., 2005, Semarang sebanyak 16,6 Suhartono et al., 2005, Depok sebanyak 25,3 Soewondo, 2005, Jakarta sebanyak 28,4 Soewondo et al., 2006, Bogor sebanyak 36, 2 Muherdiyantiningsih et al., 2008 dan Bali sebanyak 18,2 Dwipayana et al., 2011. Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu kota di Indonesia, yang pada tahun 2007 masih bergabung dengan Kota Tangerang, diduga memiliki prevalensi metabolic syndrome yang cukup tinggi seiring dengan tingginya kejadian obesitas umum 21,8 diatas rata-rata rasional 20 , obesitas sentral 22,4 di atas rata-rata nasional 18,4, perilaku konsumsi kurang buah sayur 97,3 dan perilaku kurang aktivitas fisik 52,8 Depkes RI, 2007. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan FKIK UIN Syarif Hidayatullah sebagai lembaga pendidikan kesehatan di wilayah Kota Tangerang Selatan seyogyanya turut berpartisipasi melakukan upaya kesehatan untuk menyelesaikan metabolic syndrome di Kota Tengerang Selatan, dimulai dari lingkungan sekitar kampus. Partisipasi ini sebagai bentuk pengamalan tridarma perguruan tinggi. Salah satu lingkungan sekitar kampus dan merupakan sarana yang tepat untuk upaya kesehatan adalah Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah.

B. Rumusan Masalah