menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis di perairan.
Gambar 23 Kapasitas asimilasi TSS di Waduk Cirata
3. Kapasitas Asimilasi BOD dan COD
Hasil perhitungan kapasitas asimilasi untuk BOD diperoleh dari persamaan regresi y= 3,8901x + 1,1618 dan nilai R
2
= 0,9982. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
5810,28 tonbulan. Nilai kapasitas asimilasi untuk COD ditentukan berdasarkan persamaan regresi y= 2,2669x + 9,8744 dan R
2
Nilai kandungan BOD dan COD di perairan menggambarkan jumlah bahan organik yang terkandung. BOD dan COD yang tinggi menunjukkan besarnya
bahan organik yang terdekomposisi menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Tingginya pencemaran BOD dan COD di perairan Waduk Cirata diduga akibat
= 0,9956. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi
sebesar 11.158,57 tonbulan. Gambar 24 dan 25 memperlihatkan nilai kapasitas asimilasi BOD dan COD berada pada posisi kuadran IV yang berarti perairan
Waduk Cirata sudah tercemar berat oleh parameter BOD dan COD karena beban pencemaran sudah melewati kapasitas asimilasi dan sudah di atas baku mutu air
golongan B. Fenomena nilai kapasitas asimilasi BOD dan COD tersebut diduga karena self purification di perairan Waduk Cirata sudah tidak berjalan secara
optimal diduga karena banyaknya beban N dan P serta bahan pencemar organik lainnya yang masuk ke perairan Waduk Cirata sudah melebihi kapasitas
asimilasinya.
tingginya aktivitas penduduk di DAS-nya pembuangan limbah domestik, limbah pasar, dan aktivitas pertanian serta dari Waduk perikanan budidaya dengan
KJA. Pada perairan yang relatif tenang seperti Waduk Cirata, limbah organik yang masuk dimungkinkan akan mengendap dan terakumulasi pada subtrat dasar
perairan sehingga proses dekomposisi meningkat dan menyebabkan kandungan oksigen terlarut menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggoro 1996 yang
menyatakan bahwa menumpuknya bahan pencemar organik di perairan akan menyebabkan proses dekomposisi organisme pengurai semakin meningkat
sehingga konsentrasi BOD juga meningkat. Kapasitas asimilasi suatu perairan menjadi pertimbangan penting dalam
upaya pendayagunaan lingkungan. Kesulitan pada alternatif ini adalah kapasitas asimilasi dari sumberdaya alam dan lingkungan hidup adalah terbatas. Limbah
yang berlebihan tidak mungkin dapat diasimilasi sehingga apabila oksigen yang larut dalam lingkungan perairan habis, maka perairan akan menjadi kotor dan
berbau busuk.
Gambar 24 Kapasitas asimilasi BOD di Waduk Cirata
Gambar 25 Kapasitas asimilasi COD di Waduk Cirata
4. Kapasitas Asimilasi PO
4
Berdasarkan persamaan regresi y= 2,2751x + 0,1904 dan R
³ ˉ-P
2
= 0,9955, maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi PO
4
³ ˉ-P di perairan Waduk Cirata.
Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan kapasitas asimilasi sebesar 64,28 tonbulan. Dari Gambar 26 terlihat bahwa kondisi perairan
Waduk Cirata sudah tercemar oleh parameter PO
4
³ ˉ-P. Kandungan PO
4
³ ˉ-P di
perairan mengindikasikan suatu kesuburan perairan. Perairan alami pada umumnya mempunyai kandungan fosfat yang tinggi Kevern 1982. Tingginya
kandungan PO
4
³ ˉ-P
diakibatkan oleh tingginya rendah aktivitas manusia. Keberadaan kegiatan perikanan budidaya pada KJA di Waduk Cirata yang sudah
melewati daya dukung perairan menyumbang kandungan PO
4
³ ˉ-P di perairan
tersebut. Kandungan PO
4
³ ˉ-P yang berlebihan berkaitan dengan kesuburan
perairan yang dapat mengakibatkan eutrofikasi di perairan. Eutrofikasi mengakibatkan blooming algae sehingga penetrasi matahari ke dalam perairan
menjadi terhambat selanjutnya proses fotosintesa di perairan terganggu, terjadi persaingan penggunaan oksigen perairan dengan organisme lainnya sehingga
mengakibatkan penurunan kandungan oksigen terlarut pada malam hari. Organisme yang tidak tahan terhadap kekurangan oksigen akan mati. Masuknya
PO
4
³ ˉ-P yang berlebih di perairan berasal dari erosi lahan pertanian dan akumulasi
hasil limbah budidaya ikan dapat mengakibatkan alga hijau tumbuh dengan subur selanjutnya jika menutupi perairan maka dapat memusnahkan organisme akuatik
aerob. Tingginya beban pencemaran PO
4
³ ˉ-P di Waduk Cirata menyebabkan
waduk ini sudah mencapai tingkat hipertrof Garno 2002.
Gambar 26 Kapasitas asimilasi PO
4
di Waduk Cirata
5. Kapasitas Asimilasi NO
3
Nilai kapasitas asimilasi untuk NO
3
ditentukan berdasarkan persamaan regresi y = 3,3551x + 0,1248 dan R
2
Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan yang merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga Effendie 2003. Nitrat dan nitrit
merupakan hasil dari proses nitrifikasi. Beban pencemaran nitrat dan nitrit sudah melewati kapasitas asimilasi diduga karena adanya pemukiman, kegiatan
pertanian, peternakan dan tempat pembuangan akhir yang membuang limbahnya secara berlebihan ke DAS dan waduk. Kegiatan perikanan budidaya karamba
jaring apung di perairan waduk juga ikut andil menyumbang beban pencemaran nitrat dan nitrit.
= 0,9987. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
2904,47 tonbulan. Dari Gambar 27 terlihat bahwa kondisi perairan Waduk Cirata
sudah tercemar berat oleh parameter NO
3
karena perpotongan nilai kapasitas asimilasi berada pada kuadraan IV yang berarti daya dukung parameter NO
3
sudah melebihi kapasitas asimilasi walaupun masih dibawah baku mutu air golongan I.
Gambar 27 Kapasitas asimilasi NO
3
di Waduk Cirata.
6. Kapasitas Asimilasi NO
2
Gambar 28 memperlihatkan kondisi perairan Waduk Cirata sudah tercemar berat oleh parameter NO
2
. Hal ini karena nilai hasil perpotongan garis regresi berada di atas garis baku mutu kuadran III. Nilai kapasitas asimilasi untuk NO
2
ditentukan berdasarkan persamaan regresi y= 4,0065x – 0,1131 dan R
2
= 0,9097.
Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 0,27 tonbulan.
Gambar 28 Kapasitas asimilasi NO
2
di Waduk Cirata tahun 2007.
7. Kapasitas Asimilasi Logam Berat
Menurut PJB 2007 keberadaan logam berat di perairan Waduk Cirata diduga berasal dari limbah sejumlah industri di daerah aliran Sungai Citarum dan
Cisokan di Bandung, Cimahi, Bandung Barat, dan Cianjur ditengarai mengalir kedua sungai dan masuk ke Waduk Cirata. Menurut Boline 1981, dalam
Mustarudin 2005, diantara logam berat yang masuk ke perairan logam berat Hg, Cd, dan Pb sangat berbahaya karena dapat mengganggu fungsi normal enzim atau
struktur selular ikan dan biota lainnya. Selanjutnya dikatakan ke tiga logam tersebut mempunyai afinitas yang besar terhadap sulfidril yang merupakan gugus
fungsi pada asam amino organisme yang mengikat logam berat. Menurut Darmono 1995, Hg, Cd, dan Pb tidak mempunyai fungsi biologis tetapi
menyebabkan keracunan pada makhluk hidup karena mempunyai sifat terakumulasi dengan cepat pada tubuh organisme akibat interaksi seljaringan
tubuh dengan logam berat dari lingkungan. Oleh sebab itu, keberadaan logam berat di perairan Waduk Cirata yang
sudah melewati ambang batas dapat membahayakan kehidupan organisme perairan dan manusia, juga dapat meningkatkan laju korosi sehingga
meningkatkan biaya pemeliharaan turbin.
a. Fe
Berdasarkan persamaan regresi y= 8,0456x + 2,2949 dan R
2
= 0,9989 maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi Fe di perairan Waduk Cirata. Hasil
perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 11,32 tonbulan. Dari Gambar 29 terlihat bahwa
kondisi perairan Waduk Cirata sudah tercemar oleh Fe.
Gambar 29 Kapasitas asimilasi Fe di Waduk Cirata.
b. Cd
Gambar 30 memperlihatkan bahwa kondisi perairan Waduk Cirata belum tercemar oleh parameter Cd, nilai kapasitas asimilasi untuk Cd ditentukan
berdasarkan persamaan regresi y= 5,2413x – 0,0003 dan R
2
= 0,9998. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan
kapasitas asimilasi sebesar 1,98 tonbulan.
Gambar 30 Kapasitas asimilasi Cd di Waduk Cirata
c. Cu
Gambar 31 memperlihatkan keberadaan perpotongan garis regresi dengan kapasitas asimilasi dan baku mutu kuadran III yang berarti bahwa parameter Cu
belum melewati kapasitas asimilasi dan masih di bawah ambang batas baku mutu.
Nilai kapasitas asimilasi untuk Cu ditentukan berdasarkan persamaan regresi y= 8,6778x + 0,0061 dan R
2
= 0,998. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar -30,3 tonbulan.
Hasil ini memperlihatkan bahwa perairan Waduk Cirata belum tercemar oleh Cu.
Gambar 31 Kapasitas asimilasi Cu di Waduk Cirata
d. Zn
Berdasarkan persamaan regresi y= 3,4544x + 0,0213 dan R
2
= 0,9944 Gambar 30 maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi Zn. Hasil perpotongan
garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 42,86 tonbulan. Gambar 32 menunjukkan beban pencemaran
kondisi perairan Waduk Cirata tercemar Zn, walaupun masih di bawah baku mutu kuadran II.
Gambar 32 Kapasitas asimilasi Zn di Waduk Cirata
e. Mn
Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi logam berat Mn sebesar 40,64 tonbulanGambar
31. Perhitungan tersebut berdasarkan persamaan regresi y= 2,1651x + 0,0106 dan R
2
= 0,9628. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perairan tersebut belum tercemar oleh Mn, 1 titik di kuadran I dan ada 2 titik yang berada di kuadran III.
Gambar 33 Kapasitas asimilasi Mn di Waduk Cirata tahun 2008.
f. Pb
Berdasarkan persamaan regresi y= 5,196 x - 0,000dan R
2
= 0,998 Gambar 34 maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi Pb. Hasil perpotongan garis regresi
dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 5,8214
tonbulan. Dari Gambar 34 terlihat bahwa kondisi perairan Waduk Cirata belum tercemar oleh parameter Pb karena nilai kapasitas asimilasi masih di bawah
ambang batas nilai baku mutu.
Gambar 34 Kapasitas asimilasi Pb di Waduk Cirata.
5.2 Analisis Kelembagaan untuk Pengelolaan Waduk Berbasis Perikanan
Budidaya KJA Berkelanjutan Kasus Waduk Cirata
Sesuai dengan UU. No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air yang terdiri dari 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya
rusak air. Waduk merupakan sumber daya air yang telah banyak mengalami penurunan fungsi dan kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan
waduk yang banyak mengalami kendala karena permasalahannya bersifat kompleks. Dalam UU sumberdaya air telah mengamanatkan untuk melakukan
pengelolaan waduk dengan melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada peraturan lain seperti PP. No. 51 Tahun 1997
tentang Lingkungan Hidup; PP. No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; PP. No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan
Lindung; Kep. Pres No.1232001 tentang koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten dan Kota serta Keputusan
Menteri yang terkait tentang pengelolaan sumberdaya air. Walaupun sudah banyak undang–undang atau peraturan yang dibuat tentang
pengelolaan sumber daya air dan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air akan tetapi pada kenyataannya konservasi sumber daya air, pengendalian daya
rusak air terhadap sumber daya air pada waduk masih jauh dari harapan, hal ini diduga akibat lemahnya penegakan hukum. Fenomena tersebut terjadi di perairan
Waduk Cirata dimana sebagai waduk dengan fungsi tunggal PLTA sudah berubah menjadi waduk multifungsi diantaranya untuk kegiatan perikanan
budidaya di KJA. Keberadaan KJA di waduk merupakan salah satu permasalahan besar yang sampai sekarang belum dapat dipecahkan. Sampai saat ini jumlah KJA
sudah melebihi daya dukung perairan sehingga mengganggu fungsi utama dari waduk tersebut. Oleh sebab itu, perlu segera dicari suatu strategi pengelolaan
perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata secara berkelanjutan. Tabel 16 memperlihatkan jumlah KJA di perairan Waduk Cirata tahun 2007. Jumlah KJA
tahun 2007 sebanyak 51.418 petak, jumlah tersebut sudah melebihi batas jumlah yang direkomendasikan oleh Balitkanwar yaitu 2.727 petak. Sedangkan
Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 412002 tanggal 29 Nopember 2002 ditetapkan sebanyak 12.000 petak 1 dari luas perairan waduk. Hamparan KJA
di Waduk Cirata dibagi dalam 3 wilayah kabupaten yaitu zona 1 wilayah Kabupaten Bandung Barat, zona 2 wilayah Kabupaten Purwakarta, dan zona 3
wilayah Kabupaten Cianjur. Wilayah Kabupaten Cianjur mempunyai jumlah petak terbanyak dibandingkan Kabupaten Bandung Barat dan Purwakarta. Hal ini
disebabkan luasan perairan yang masuk ke wilayah kabupaten Cianjur lebih besar dibandingkan dua kabupaten lainnya.
Berdasarkan hasil diskusi dengan pakar dan hasil analisa lapangan maupun studi literatur, dipilih 4 elemen yang dipakai untuk mengukur pengelolaan waduk
berbasis perikanan KJA berkelanjutan di Waduk Cirata yaitu 1. Tujuan program yang ingin dicapai,
2. Kebutuhan program yang diperlukan, 3. Lembaga yang terlibat serta
4. Kendala progam. Pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata
mempunyai tujuan yang diharapkan dapat membantu dalam keberhasilan pengelolaan Waduk Cirata. Adapun elemen tujuan terdiri 12 elemen yaitu 1
Rasionalisasipenurunan jumlah KJA, 2 Penyesuaian tata letak KJA dengan zonasi peruntukan, 3 Kelestarian sumberdaya perairan waduk, 4 Produksi ikan
berkelanjutan, 5 Lapangan pekerjaan bersinambungan, 6 Terjaganya keseimbangan ekosistem perairan, 7 Kelestarian sumber daya perikanan, 8
Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk, 9 Monitoring perubahan perairan waduk, 10 Penegakan regulasi pemerintah, 11 Terjadinya koordinasi
antar institusi dan 12 Membuat strategi pengelolaan perikanan bersama masyarakat.
Elemen kebutuhan program yaitu: 1 Penetapan zonasi budidaya KJA dan areal penangkapan suaka perikanan, 2 Penentuan kepemilikan sumberdaya
waduk, 3 Pemilihan unit pengelola yang tepat, 4 Keberadaan lembaga penyuluh, 5 Pelatihan pelaku pengelola, 6 Penetapan jumlah KJA sesuai daya
dukung perairan waduk, 7 Kerja sama lintas sektoral, 8 Kemudahan birokrasi, 9 Pemacuan stok ikan, 10 Pemodalan dan fasilitas pinjaman, 11 Pemasaran
yang baik, 12 Monitoring dan evaluasi pengelolaan.
Dengan adanya tujuan serta kebutuhan program dalam pengelolaan waduk, ternyata ditemukan 12 elemen kendala yaitu: 1 Masih terdapat perbedaan
persepsi dalam pengelolaan waduk, 2 Lokasi dan batas wilayah pengelolaan belum jelas, 3 Masih rendahnya kemampuan untuk pengelolaan bersama, 4
Belum adanya partisipasi aktif masyarakat, 5 Belum terbinanya kemitraan yang menguntungkan semua pihak, 6 Tanggung jawab kepemilikan waduk tidak jelas,
7 Kerjasama lintas sektoral masih lemah, 8 Tidak adanya penyuluhan terhadap masyarakat, 9 Belum adanya sistem peringatan dini, 10 Belum adanya
monitoring secara aktif terhadap pengaruh setiap intervensi, 11 Belum adanya pengembangan strategi berkelanjutan, dan 12 Penegakan regulasi.
Dalam pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan akan melibatkan berbagai lembaga baik pusat maupun daerah. Pengelolaan waduk
berbasis perikanan budidaya KJA akan melibatkan berbagai instansi yang terkait dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian. Untuk mewujudkan
keberhasilan pengelolaan tersebut maka dibutuhkan lembaga yang dapat menghadapi berbagai kendala. Selanjutnya lembaga yang terlibat membutuhkan
tujuan program yang akan dipakai untuk menghilangkan kendala tersebut.
Keterkaitan antar program dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam pengelolaan waduk berbasi perikanan budidaya KJA Gambar 35.
Tujuan program
Kendala program
Kebutuhan program
Lembaga yg terlibat
Gambar 35 Hubungan keterkaitan parameter pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata
Selanjutnya keempat parameter tersebut dianalisis untuk mendapatkan elemen kunci dan faktor yang menjadi penggerak keberhasilan pengelolaan waduk
berbasis perikanan budidaya Kasus Waduk Cirata.
5.2.1 Tujuan yang Ingin Dicapai
Elemen tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan perikanan budidaya KJA berkelanjutan kasus di Waduk Cirata dijabarkan dalam 12 sub elemen
Tabel 17. Sub elemen tersebut dibuat dengan pertimbangan jumlah karamba jaring apung di Waduk Cirata sudah melebihi daya dukung waduk dan tata letak
sudah tidak sesuai dengan zonasi peruntukan. Menurut BPWC 2003, pada awal pembangunan waduk jumlah petakan KJA yang dianjurkan 12.000 petak dengan
jumlah pemilik 2.472 orang tetapi pada kenyataannya sampai tahun 2007 tercatat 51.000 petak dari jumlah pemilik 3.899 orang Tabel 16. Perkembangan KJA di
perairan Waduk Cirata sudah tidak terkendali, mulai tahun 1988-1994 meningkat 140 per tahun Krismono 1999. Menurut Garno 2000, pada tahun 1999
terdapat 27.786 KJA dan telah menutupi 136 ha atau 2,2 permukaan waduk.
Tabel 16 Jumlah KJA di perairan Waduk Cirata hasil sensus tahun 2007 Wilayah
No Nama Desa
Jumlah Petani [RTP]
Jumlah KJA [Petak Kolam]
Zona 1 Bandung
1 Margalaksana
497 8.403
2 Margaluyu
262 6.337
3 Nanggeleng
51 586
4 Nyenang
128 1.794
5 Bojong Mekar
20 328
Jumlah 958
17.448
Zona 2 Purwakarta
1 Citamiang
93 1.487
2 Sinar Galih
83 2.288
3 Tegal Datar
302 5.822
4 Pasir Jambu
87 1.573
Jumlah 565
11.170
Zona 3 Cianjur
1 Bobojong
220 2.614
2 Mande
413 8.140
3 Cikidang
Bayangbang 250
3.374 4
Kertajaya 174
2.790 5
Gunung Sari 54
1.078 6
Kamurang 204
4.804 Jumlah
1.315 22.800
Total 2.838
51.418
Sumber: BPWC 2008.
Tabel 17 Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk berkelanjutan
No. Sub Elemen
1 Rasionalisasipenurunan jumlah KJA
2 Penyesuaian tata letak KJA dengan zonasi peruntukan
3 Kelestarian sumberdaya perairan waduk
4 Produksi ikan berkelanjutan
5 Lapangan pekerjaan bersinambungan
6 Terjaganya keseimbangan ekosistim perairan
7 Kelestarian sumber daya perikanan
8 Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk
9 Monitoring perubahan perairan waduk
10 Penegakan regulasi pemerintah
11 Terjadinya koordinasi antar institusi
12 Membuat strategi pengelolaan perikanan bersama masyarakat
Menurut Schmittou dalam Adnyana 2001, KJA di Waduk Cirata kondisinya sudah sangat tidak teratur dan telah melampaui batas lestari 1 dari
total area yang tersedia. Menurut Goldburg et al. 2001, dampak negatif dari aktifitas budidaya ikan di KJA di waduk adalah adanya buangan limbah budidaya
selama operasional, limbah tersebut adalah sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan serta feses yang larut ke dalam perairan, sehingga berakibat pencemaran
terhadap perairan tersebut. Dari gambaran di atas memperlihatkan bahwa perlu segera dibuat rancangan strategi pengelolaan perikanan budidaya KJA di Waduk
Cirata dengan mengumpulkan pendapat pakar. Hasil kajian dari pakar, pihak terkait dan peneliti di lapangan ,elemen tujuan
yang ingin dicapai dalam pengelolaan perikanan budidaya KJA berkelanjutan di Waduk Cirata dijabarkan menjadi 12 sub elemen seperti terlihat pada Tabel 17.
Interpretasi dalam bentuk hierarki hasil analisis dengan ISM disajikan pada Gambar 35. Gambar 36 adalah hasil pengelompokkan ke dalam empat sektor
yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Hasil analisis dengan metode ISM pada elemen tujuan diperoleh 3 level
hierarki. Level 3 adalah rasionalisasipenurunan jumlah KJA, penyesuaian tata letak KJA dengan zonasi peruntukan, kelestarian sumberdaya perairan waduk,
terjaganya keseimbangan ekosistim perairan, kelestarian sumber daya perikanan, penegakan regulasi pemerintah, terjadinya koordinasi antar institusi, dan membuat
strategi pengelolaan perikanan bersama masyarakat. Pada level 2 adalah produksi ikan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk.
Sedangkan pada level 1 adalah lapangan pekerjaan berkesinambungan dan monitoring perubahan perairan waduk.
Gambar 36 Diagram hierarki dari tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk berkelanjutan Kasus di Waduk Cirata.
Selanjutnya hasil analisis ISM berdasarkan Driver Power DP dan Dependence ke 12 sub elemen dikelompokkan ke dalam 4 sektor Gambar 36.
Dari Gambar 36 terlihat bahwa sub elemen yang masuk ke dalam sektor linkage III adalah 1 Rasionalisasipenurunan jumlah KJA, 2 Penyesuaian tataletak
KJA dengan zonasi peruntukan, 3 Kelestarian sumberdaya perairan waduk, 6 Terjaganya keseimbangan ekosistim perairan, 7 Kelestarian sumber daya
perikanan, 10 Penegakan regulasi pemerintah, 11 Terjalinnya koordinasi antar institusi, 12 Membuat strategi pengelolaan perikanan bersama masyarakat. Hal
ini berarti bahwa sub elemen tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan pengelolaan perikanan budidaya KJA berkelanjutan di Waduk Cirata
tetapi tingkat keterkaitan dengan faktor lainnya tinggi. Menurut Mutiari 2005 dalam penegakan regulasi pemerintah untuk
masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk pelaksanakannya saja. Penetapan suatu Undang-Undang yang
mengandung instrumen hukum masih harus diuji dengan pelaksanaan dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan pengelolaan lingkungan. Dalam
merumuskan kebijakan lingkungan, pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan
cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Level 1
Level 2
Level 3
5 9
4 8
1 2
3 6
7
10 11
12