Kerangka Pemikiran Design based on the model of sustainable management of reservoir fisheries floating cage (reservoir case Cirata West Java)

jumlah individu yang sangat banyak sehingga dapat menyebabkan kematian pada ikan.

2.3 Pencemaran Waduk

Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan, pencemaran merupakan faktor yang paling dominan. Hal ini disebabkan karena pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik perairan tetapi dapat pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan manusia yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar. Pencemaran ekosistem perairan didefinisikan sebagai perubahan fungsi normal dari suatu ekosistem perairan akibat masuk atau dimasukannya benda-benda lain. Pada ekosistem perairan seperti sungai, danau, waduk, pesisir, serta tambak, pencemaran dapat terjadi karena masuknya limbah dari berbagai kegiatan manusia seperti: rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian, dan perikanan. Limbah yang masuk ke ekosistem perairan dikategorikan dalam 2 jenis; yakni limbah anorganik yang sulit atau tidak-dapat terurai oleh mikroorganisme dan limbah organik yang mudah terurai oleh mikroorganisme Garno 2002 Waduk sebagai penampung air, adanya pencemaran di DAS nya akan menumpuk ke dalam perairan, sehingga kualitas lingkungan perairan waduk tersebut menjadi terdegradasi. Secara langsung maupun tidak langsung pencemaran perairan akan mempengaruhi komunitas di waduk karena akan mengurangi produktivitas perairan, menimbulkan perusakan habitat, dan menurunkan kualitas lingkungan perairan sebagai media hidup organisme perairan. Bahan pencemar seperti pestisida dari aktivitas pertanian dan logam berat limbah dari industri dapat terakumulasi dan melalui proses pemangsaan akan mengalami magnifikasi biologis. Melalui sistem rantai makanan, semakin tinggi tingkatan tropiksi pemangsa maka semakin besar pula tingkat akumulasi bahan pencemar dalam tubuh organisme Dahuri 2003. Terjadinya peningkatan logam berat di lingkungan perairan telah menyebabkan efek toksik pada biota-biota yang berada di perairan tersebut. Logam berat bersifat akumulatif, maka logam berat cenderung untuk terpartisi pada lemaklipid pada biota air atau karbon organik yang menyelubungi partikel sedimen. Butiran polen dan spora yang mengendap dalam sedimen dapat menggambarkan kondisi vegetasi pada suatu masa. Hal tersebut disebabkan oleh lapisan sporopolenin pada dinding sel polen dan spora yang memiliki laju dekomposisi yang sangat lambat. Oleh karena itu dapat digunakan untuk melihat proses sedimentasi yang terjadi pada suatu diwilayah tertentu. Kandungan logam berat yang tinggi di perairan waduk dapat mempercepat korositas dari turbin PLTA, sehingga jika tidak dikendalikan akan merusak peralatan mesin turbin yang harganya mahal. Eutrofikasi adalah pengayaan suatu perairan akibat masuknya nutrien N dan P sehingga terjadi peningkatan produktivitas primer. Adanya N dan P yang berlebihan dan didukung oleh kondisi perairan lentik menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Menurut Siska 2002, masalah eutrofikasi merupakan salah satu permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan suatu waduk yang sudah bersifat hipertrofik seperti Waduk Jatiluhur, sehingga dalam memecahkan permasalahan tersebut sebaiknya digunakan kesisteman. Eutrofikasi mengakibatkan blooming algae, penetrasi matahari ke dalam perairan menjadi terhambat sehingga proses fotosintesa dalam perairan terganggu, terjadinya persaingan penggunaan oksigen perairan antara algae dengan organisme lainnya sehingga mengakibatkan penurunan kandungan oksigen terlarut pada malam hari, organisme yang tidak tahan terhadap kekurangan oksigen akan mati. Masuknya N dan P yang berlebih di perairan berasal dari erosi lahan pertanian dan akumulasi hasil limbah budidaya ikan, dapat mengakibatkan alga hijau tumbuh dengan subur, selanjutnya jika menutupi perairan dapat memusnahkan organisme akuatik aerob. Midlen and Redding 2000 menyatakan bahwa dari pakan ikan yang diberikan maka hanya 25 P dan 25 N yang dimanfaatkan oleh ikan, sisanya masuk ke lingkungan perairan. Selanjutnya dikatakan bahwa pakan ikan yang masuk ke lingkungan perairan 10 P dan 65 N berada dalam bentuk terlarut, sedangkan 65 P dan 10 N berada dalam bentuk partikel. Pakan ikan dalam bentuk partikel akan masuk ke sedimen tergantung kondisi perairan dan dinamika dari dasar perairan. Di perairan air tawar, pada keadaan di dasar perairan tidak ada oksigen, sejumlah P dilepaskan ke perairan sehingga mempercepat terjadinya eutrofikasi. Pada kegiatan budidaya ikan dengan pemberian pakan buatan seperti kegiatan budidaya ikan di karamba jaring apung di waduk, maka buangan pakan ikan yang tidak termakan oleh ikan serta feces yang terbuang ke perairan merupakan limbah bahan organik yang pada jumlah berlebih dapat mencemari dan mengganggu ekosistem lingkungan perairan tersebut. Kehadiran bahan beracun seperti amonia, nitrit dan H 2 S ini yang berada di dasar perairan mengganggu pernapasan organisme perairan, karena hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen pada akhirnya akan mengangkut gas-gas beracun. Hal ini diduga disebabkan hemoglobin mempunyai affinitas yang jauh lebih tinggi terhadap gas beracun dibandingkan terhadap oksigen, akibatnya biota air mengalami hipoksia Dahuri 2003.

2.4 Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung

Kegiatan perikanan di waduk merupakan salah satu alternatif pemanfaatan sumberdaya perairan tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 1974 di Waduk Jatiluhur mulai dilakukan penelitian dan uji coba pemeliharaan ikan di karamba. Dasar hasil penelitian tersebut maka dimulai budidaya ikan di Waduk Saguling, selanjutnya berkembang ke Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, dan Waduk Kedung Ombo. Budidaya ikan dalam karamba di Waduk secara intensif mulai dilakukan pada tahun 1986 Hardjamulia et al. 1991 dan perkembangan yang paling pesat baru mulai pada tahun1988 Kartamiharja 1995. Perkembangan yang pesat budidaya ikan dalam KJA karena terdapatnya potensi produksi ikan yang dihasilkan, luas perairan yang tersedia, kelestarian sumberdaya, kemudahan melaksanakannya, sudah tersedianya paket teknologi budidaya serta adanya informasi bahwa budidaya ikan dalam KJA memberikan hasil secara ekonomis menguntungkan Hardjamulia et al. 1991. Budidaya ikan dalam keramba jaring apung di Waduk Cirata telah memberikan keuntungan yang cukup besar, terbukti dari jumlah KJA di Waduk Cirata dari waktu ke waktu makin meningkat. Kegiatan budidaya ikan di Waduk Cirata termasuk ke dalam kegiatan budidaya intensif karena pakan ikan yang diberikan 100 adalah pakan buatan pelet. Frekuensi pemberian pakan rata-rata tiga kali sehari bahkan lebih dan penggunaan pakan komersial pelet mengandung protein tinggi lebih dari 20 dengan kandungan nutrisi lainnya cukup lengkap. Melimpahnya limbah organik yang berasal dari sisa pakan ini mengakibatkan Waduk Cirata menghadapi masalah yang cukup serius antara lain proses sedimentasi yang tinggi dan penurunan kualitas perairan. Pertambahan jumlah KJA budidaya ikan di Waduk Cirata yang dimulai tahun 1987, sampai tahun 2002 semakin meningkat. Peningkatan jumlah KJA sampai tahun 1997 dapat meningkatkan produksi total ikan tetapi mulai tahun 1998 peningkatan jumlah KJA tidak sejalan dengan peningkatan produksinya. Hal ini diduga karena kualitas air di Waduk Cirata yang mulai menurun setelah tahun 1997 sampai tahun 2002, serta akibat sering terjadinya kematian massal ikan budidaya akibat pencemaran dan terserang virus herpes Prihadi et al. 2005. Ryding dan Rast 1989 mengemukakan bahwa budidaya ikan dalam karamba jaring apung merupakan budidaya di wilayah perairan yang disekat, biasanya mengapung dan dibatasi oleh jaring. Wilayah tersebut melindungi karamba yang digunakan untuk produksi ikan. Di awal masa pertumbuhan, karamba ditebari ikan kecil, selanjutnya ikan diberi pakan pelet yang kaya hara dan diberikan pada interval waktu tertentu. Di dalam wilayah perlindungan karamba tersebut, ikan tumbuh cepat dan biasanya dipanen pada akhir masa pertumbuhan. Menurut Sukadi et al. 1989 KJA merupakan tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air dengan leluasa sehingga terjadi pertukaran air dari karamba ke perairan sekitarnya, serta pembuangan sisa pakan dengan mudah. Hardjamulia et al. 1991 mengemukakan prinsip dasar pada KJA yaitu sebagai wadah yang semua sisi samping dan dasarnya dibatasi jaring yang dapat menampung ikan di dalamnya, terjadi pertukaran air dari dalam dan luar keramba serta kotoran dan sisa-sisa pakan ke luar dari karamba ke lingkungan perairan sekitarnya. Kartamiharja 1998 mengemukakan bahwa sejak tahun 1988 budidaya KJA berkembang pesat di beberapa perairan waduk dan danau. Fenomena ini digambarkan dengan keadaan di Jawa Barat yaitu di Waduk Saguling, Cirata dan