81 pemanfaatan suatu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang ada di
suatu daerah otonom, khususnya dalam kerangka pembangunan pertanian dan sektor ekonomi lain pada umumnya.
4.2. Dinamika Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia
4.2.1. Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian
Tujuan pembangunan pertanian pada masa orde lama lebih dititik beratkan pada peningkatan produksi pangan dengan menggunakan instrumen penyuluhan
pertanian sebagai ujung tombak penerapan kebijakan. Sementara pada masa orde baru secara konseptual dapat dilihat pada setiap Repelita. Apabila diperhatikan
secara seksama, unsur yang dikandung pada setiap Repelita mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan saat itu. Namun demikian dapat dilihat bahwa dalam lima Repelita terakhir terdapat unsur-unsur tujuan yang d ipertahankan, yaitu meningkatkan
produksi pertanian, memperluas kesempatan kerja dan produksi yang berorientasi kepada ekspor.
Selain dari ketiga unsur tujuan, pada masing-masing Repelita mengalami peru bahan sebagai berikut
1. Repelita I tujuannya masih sangat sederhana yang berkisar pada peningkatan pro duksi beras, melakukan diversifikasi tanaman ekspor dan
memperluas kesempatan kerja. 2. Pada Repelita II tujuan pembangunan diperluas, yaitu selain ketiga unsur
di atas, ditambah juga dengan unsur lainnya meliputi peningkatan kemampuan petani dan neIayan dalam berproduksi, meningkatkan bahan
pertanian yang dapat mendukung perkembangan industri dan meningkatkan
82 pemanfaatan sumber alam yang ada.
3. Tujuan pembangunan pada Repelita berikutnya III unsur tujuan pembangunan pertanian selain meningkatkan hasil dan kesempatan kerja,
juga ditambah dengan usaha pemerataannya, peningkatan produktivitas
tenaga kerja. Tujuan lainnya adalah memperluas areal irigasi dan membuka areal pertanian baru.
4. Pada Repelita IV unsur-unsur pembentukan devisa melalui ekspor makin digalakkan, adanya perhatian terhad ap peningkatan pendapatan,
pengkaitan dengan pembangunan pedesaan, serta telah dilakukan upaya memelihara kelestarian sumberdaya manusia dan lingkungan hidup.
5. Pada Repelita V tujuan pembangunan pertanian dilakukan juga antara lain diversifikasi atau penganekaragaman hasil pertanian yang berorientasi pada
perluasan pasar. Unsur lain yang menjadi tujuan adalah peningkatan peran serta petani dalam kelembagaan.
6. Pada Repelita VI tujuan pembangunan pertanian adalah meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani dan nelayan, meningkatkan diversifikasi
usaha dan hasil pertanian, serta meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang didukung oleh industri pertanian.
Swasembada beras dicapai pada tahun 1984. Tahap ini dipandang sebagai tahap keberhasilan pembangunan pertanian, yaitu bangsa Indonesia telah berhasil
merubah dirinya dari negara pengimpor beras terbesar dunia menjadi negara yang mampu menyediakan sebagian besar kebutuhan pangannya dengan hasil swadaya.
Sebagai contoh, pad a tahun 1980, Indonesia membeli beras sekitar 2 juta ton dengan nilai devisa sebesar US 690 juta. Pencapaian swasembada beras
dimungkinkan oleh berhasil ditingkatkannya produksi padi dari 17.1 juta ton pada tahun 1968 menjadi 38.1 juta ton pada 1984 dan 47.8 juta ton pada 1992.
83 Setelah swasembada beras terwujud, maka permasalahan berikutnya yang
dipandang besar oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana memperluas, menjaga keman tapan dan melestarikan swasembada pangan. Strategi yang dinilai penting
adalah diangkatnya diversifikasi pertanian sebagai prioritas sejalan dengan atau bahkan lebih dipentingkan dari intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi.
Dengan menggunakan strategi diversifikasi maka pengertian swasembada pangan menjadi makin luas.
Keberhasilan meningkatkan produksi padi selama ini telah berhasil meningkatkan ketersediaan energi pangan dari 2.035 kilo kalorikapitahari pada
awal Repelita I menjadi 2.701 kilo kalorikapitahari pada tahun 1990 dimana jumlah ini telah melampaui rata-rata energi yang d ibutuhkan oleh rata-rata orang
Indonesia, yaitu 2.150 kilo kalorikapitahari. Peranan beras dalam menyediakan energi tersebut di atas adalah sekitar 58 persen pada 1986 - 1988, lebih tinggi dari
keadaan 1968 - 1970, yaitu 54.7 persen Silitonga, et al, 1995. Ketergantungan kepada beras yang tinggi juga berbahaya mengingat
lahan dan air serta input spesifik Iainnya untuk menghasil padi juga makin torbatas. Oleh karena itu diversifikasi atau keanekaragaman konsumsi menjadi
demikian penting dalam upaya memperluas, menjaga kemantapan dan melestarikan swasembada pangan di Indonesia.
Pembangunan pertanian lebih diarahkan pada pengembangan sistem pertanian, dimana pangan merupakan salah satu subsistem, bukan pengembangan
agribisnis. Agribisnis dengan sendirinya sebagai sistem yang digerakkan oleh sistem insentif melalui mekanisme pertukaran atau pasar. Hal ini berbeda dengan
pola yang dikembangkan pada tahap menuju swasembada beras, yaitu pada pola ini tampak menonjol upaya mobilisasi sumberdaya untuk mencapai satu tujuan
84 yaitu peningkatan produksi padi, o leh karena itu pemerintah memposisikan
sebagai leader atau agent pembangunan. Perkembangan selanjutnya dalam kebijaksanaan pangan ini adalah
dipertegasnya dimensi kebijaksanaan pangan yaitu : 1 kecukupan pangan food adequacy, 2
ketahanan pangan food security, dan 3 keamanan pangan food safety.
Aspek kecukupan pangan sering lebih ditafsirkan sebagai aspek kuantitas dari ketersediaan pangan ; ketahanan pangan merupakan aspek ketahanan sistem
pangan dalam meredam atau mengatasi kejutan-kejutan shocks terhadap sistem pangan seperti kekeringan atau gejolak harga ; dan keamanan pangan bukan hanya
merupakan dimensi kesehatan tetapi juga menyangkut aspek hubungan antara keyakinan, kepercayaan atau asumsi dari golongan masyarakat terhadap pangan
yang d isediakan oleh pasar. Dalam hubungannya dengan hal ini, Menteri Pangan dan Kabulog diberi kewenangan untuk mengkoordinasikan keseluruhan aspek
pangan di atas dan Menteri Pertanian lebih berperan dalam aspek ketersediaan pangan.
Era pertanian pada masa datang dihadapkan pada suasana lingkungan perekonomian dunia yang makin kompetitif. Sudut pandang pemikiran
pembangunan pertanian telah bergeser dari cara pandang yang melihat pembangunan pertanian sebagai proses meansends scheme mechanism ke
pandangan yang melihat pertanian sebagai self regulating system. Dalam pandangan meansends scheme mechanism keberadaan para pelaku ekonomi
diabstraksikan sehingga peubah yang keluar adalah target atau sasaran dan upaya mencapai target. Unsur kepentingan individu atau kelompok baik dalam hal pre-
ferensi atau keuntungan kurang mendapat perhatian sebab sasaran utama dalam pembangunan pertanian adalah meningkatkan produksi seperti tercermin dalam
program-program peningkatan produksi. Pandangan ini menghasilkan suatu
85 organisasi produksi pertanian, khususnya pangan, dimana peranan pemerintah
memegang peranan dan fungsi yang sangat tepat. Dalam banyak hal peranan dan fungsi pemerintah dalam pembangunan pertanian bukan hanya sudah pada
tempatnya, melainkan pula memegang peranan yang sangat penting. Fungsi dan peran pemerintah tersebut antara lain adalah dalam pengembangan infrastruktur
seperti irigasi, penelitian dan pengembangan pertanian, dan kebijaksanaan harga output dan input pertanian.
Pendekatan pembangunan pertanian perlu lebih diarahkan pada pembangunan yang mampu meningkatkan peran serta, efisiensi dan produktivitas
rakyat. Dengan perkataan lain, pendekatan pembangunan yang menekan peran serta, prakarsa, dan kreativitas petani dan para pelaku ekonomi lainnya perlu
diganti oleh pendekatan baru. Untuk maksud tersebut pendekatan agribisnis diharapkan dapat digunakan sebagai strategi dalam pembangunan pertanian pada
masa yang akan datang. Pendekatan agribisnis dapat ditafsirkan sebagai pendekatan yang
didasarkan atas pandangan kesisteman dimana sistem tersebut hanya akan bekerja dan berjalan secara berkelanjutan apabila didasarkan atas hubungan kemitraan
antar para pelaku dalam sistem tersebut. Pendekatan agribisnis juga mementingkan peranan pasar dalam alokasi dan distribusi sumberdaya. Oleh
karena itu inisiatif dan peranan individu atau organiasasi ekonomi menjadi demikian penting. Dengan demikian peranserta petani, dunia usaha, dan
masyarakat menjadi unsur utama dalam sistem agribisnis, sedangkan pemerintah perannya menjadi terbatas pada aspek-aspek tertentu yang memang telah menjadi
tugas dan wewenang pemerintah seperti merumuskan dan melaksanakan kebi- jaksanaan, menyusun peraturan perundang -undangan dan mengembangkan
penelitian dan pengembangan pertanian. Ekonomi itu sendiri diprakarsai dan
86 digerakkan oleh masyarakat terutama petani dan dunia usaha.
Dalam pendekatan agribisnis sasarannya bukanlah meningkatnya produksi pertanian melainkan Iebih menekankan pada meningkatnya
kesejahteraan petani dan tangguhnya sektor pertanian secara keseluruhan. Oleh karena itu, komoditas lebih dipandang sebagai instrumen, bukan tujuan, untuk
mewujudkan sasaran di atas. Pengertian komoditas menjadi sangat luas. Komoditas apa yang diusahakan adalah tergantung pada keputusan para petani
dan pelaku ekonomi lainnya. Kebebasan petani memilih jenis tanaman dalam usahataninya ini dijamin oleh UU No. 12 Tahun 1992.
Konsep agribisnis itu sendiri telah dipakai oleh para pakar pemasaran hasil per tanian sejak tahun 1970-an, keadaan ini didorong oleh sifat natural dari
komoditas per tanian itu sendiri yaitu mudah rusak, bersifat musiman dan sulit dikontrol oleh manusia. Dengan diaplikasikannya pendekatan agribisnis maka
simpul-simpul usahatani, agroin dustri, dan pemasaran diharapkan dapat berintegrasi dengan baik. Untuk melancarkan pelaksanaan sistem agribisnis di
Indonesia, maka pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian telah membentuk Badan Agribisnis molalui Kep pres No. 83 Tahun 1993. Adapun tugas
utama dari badan ini antara lain adalah meng koordinasikan, membina dan melaksanakan pengembangan agribisnis sesuai dengan peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku. Selain itu badan ini diharapkan dapat meciptakan suatu keadaan yang dap at mencip takan sistem, pola dan struktur agribisnis secara
sistematis, sehingga perbaikan dalam sistem perekonomian di Indonesia dapat segera tercapai, yaitu keadaan pertumbuhan yang seimbang antar sektor dalam
perekonomian Indonesia. Badan agribisnis yang dibentuk tidak memiliki jaringan organisasi yang
berada di daerah. Oleh karena itu, dalam mengaplikasikan produk-produknya,
87 perlu koordinasi yang maksimal antar pihak yang berkepentingan. Konsekuensi
dari apa yang telah diuraikan diatas adalah perlunya menghilangkan hambatan struktural yang seringkali dijumpai di lapangan. Salah satu upaya pemerintah
untuk menuju era industrialisasi adalah menciptakan sistem yang dapat mengintegrasikan berbagai usaha yang berorientasi pada semua aspek
pembangunan pertan ian, mulai dari kegiatan di hulu hingga di hilir, termasuk aspek konsumsi Silitonga, et al, 1995.
4.2.2. Pergeseran Tenaga Kerja Pertanian