1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia setelah Republik Rakyat Cina RRC,
India, dan Amerika Serikat AS, yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2000 hingga 2010 sebesar 1,49 persen per
tahun BPS 2010. Hal itu juga terlihat dari hasil proyeksi BPS 2009 yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia akan terus mengalami
peningkatan, yaitu dari 219,8 juta pada tahun 2005 menjadi 247,6 juta pada tahun 2015. Tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahunnya itu
menyebabkan permintaan terhadap kebutuhan hidup manusia juga terus mengalami peningkatan, salah satunya adalah kebutuhan pangan. Seiring dengan
perkembangan zaman, peran pangan tidak pernah mengalami penurunan, sebaliknya pangan terus mengalami peningkatan nilai yang searah dengan
peningkatan kebutuhan dari kualitas dan kuantitas pangan itu sendiri. Pangan yang dikonsumsi sehari-hari diharapkan mengandung nutrisi serta asupan gizi yang
cukup bagi tubuh manusia, seperti karbohidrat, vitamin, protein, kalsium, lemak, dan kandungan gizi lainnya.
Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang menghasilkan pangan. Pangan yang dihasilkan dari subsektor peternakan ini dikenal sebagai
penghasil protein hewani yang bernilai gizi tinggi. Usahaternak di Indonesia selain berkontribusi dalam mendukung kebutuhan protein hewani juga berperan
sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang cukup potensial, seperti meningkatkan pendapatan, memperluas lapangan kerja, maupun menopang sektor
industri. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, serta kesadaran terhadap makanan bergizi menyebabkan permintaan
terhadap produk utama peternakan, seperti daging, telur, dan susu semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 mengenai kandungan gizi dan
konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia per kapita per tahun.
2
Tabel 1 . Kandungan Gizi dan Konsumsi Protein Hewani Masyarakat Indonesia
per Kapita per Tahun
Keterangan:
e
Angka perkiraan
x
Angka sementara Sumber:
a
Manfaat daging, telur, dan susu sapi, http:jiwocore.wordpress.com 2010
b
Publikasi Statistik Indonesia, BPS 2011
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsumsi protein hewani menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, termasuk susu. Saat ini, konsumsi susu
masyarakat Indonesia sebagian besar berasal dari susu sapi. Susu sapi memiliki kandungan gizi protein sebesar 3,2 persen yang bermanfaat untuk mempercepat
pertumbuhan tubuh dan mencerdaskan otak. Oleh karena itu, peningkatan konsumsi protein dari susu sapi menyebabkan jumlah permintaan terhadap
komoditas tersebut semakin meningkat. Peningkatan tersebut ditandai dengan peningkatan konsumsi susu nasional per kapita, yaitu pada tahun 2008 sebesar
6,91 kgkapita menjadi 8,90 kgkapita pada tahun 2009 Direktorat Jenderal Peternakan 2010. Adapun konsumsi susu nasional adalah mencakup konsumsi
susu segar, susu cair pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk bayi, keju, dan produk olahan dari susu sapi lainnya. Berdasarkan asumsi tingkat
konsumsi susu nasional per kapita tersebut, dapat diproyeksikan bahwa kebutuhan susu nasional juga mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2008 sebesar 1,64
juta ton menjadi 2,11 juta ton pada tahun 2009. Permintaan terhadap susu dari tahun ke tahun yang terus mengalami
peningkatan itu tidak diikuti oleh peningkatan jumlah produksi susu. Jumlah produksi susu dari tahun 2004 hingga 2009 menunjukkan perkembangan yang
fluktuatif. Jumlah produksi susu tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 776.343 ton, sedangkan jumlah produksi susu pada tahun 2005 dan 2007 sempat
mengalami penurunan secara berturut-turut menjadi sebesar 535.960 dan 567.682 ton dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 549.945 dan 616.549 ton. Jumlah
populasi sapi perah, produksi susu segar, dan konsumsi susu nasional dari tahun 2004 hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.
Jenis Kandungan Gizi
Protein
a
Konsumsi Protein gkapitatahun
b
2006 2007
2008 2009
x
2010
e
Daging 19,0 981,9 1084,1
1109,6 1146,1
1182,6 Telur 13,0
547,5 620,5
591,3 573,1
587,7 Susu Sapi
3,2 346,8
379,6 303,0
368,7 386,9
3
Tabel 2 . Jumlah Populasi Sapi Perah, Produksi Susu Segar, dan Konsumsi
Susu Nasional Tahun 2004 – 2009
Tahun Jumlah Populasi Sapi
Ekor Produksi Susu
Ton Konsumsi Susu
Ton
2004 364.062 549.945 1.237.986
2005 361.351 535.960 1.291.294
2006 369.008 616.549 1.354.235
2007 374.067 567.682 1.758.243
2008 457.577 646.953 1.641.810
2009 474.701 776.343 2.114.640
Keterangan: Angka Sementara Sumber: Statistik Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan 2010, diolah
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah populasi sapi perah dan jumlah produksi susu dalam negeri tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan
setiap tahunnya, yaitu tidak lebih dari 20 persen sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya permintaan susu dalam negeri. Hal ini dapat terjadi karena
rendahnya harga beli susu di tingkat peternak. Selama hampir 11 tahun susu segar dalam negeri dihargai IPS lebih rendah dibandingkan dengan bahan baku susu
impor. Pada tahun 2011, harga bahan baku susu impor mencapai Rp 4.700 per liter, sedangkan susu segar lokal hanya dihargai sebesar Rp 3.020 per liter oleh
IPS. Susu lokal hanya diberi insentif antara Rp 380 – Rp 850 per liter Dewan Persusuan Nasional 2012. Harga susu saat ini telah menurunkan animo peternak
sehingga mereka tidak memiliki keinginan untuk menambah populasi sapi perahnya. Hal tersebut dikarenakan peternak tidak memiliki sisa dana untuk
investasi dan pengembangan usahaternak sapi perahnya, artinya hasil penjualan susu segar tidak sebanding dengan biaya produksi terutama harga pakan yang
sangat tinggi. Rata-rata tingkat kepemilikan sapi perah peternak lokal hanya satu sampai
tiga ekor per peternak dengan produktivitas susu rata-rata hanya mencapai 12 – 13 literekorhari. Hal tersebut menyebabkan pasokan susu dari peternak lokal saat ini
baru mencapai 25 – 30 persen dari kebutuhan susu nasional Direktorat Jenderal Peternakan 2009. Produktivitas susu yang rendah tersebut menyebabkan tidak
terpenuhinya kebutuhan susu nasional. Hal itulah yang mendorong terjadinya
4 peningkatan volume impor terhadap komoditas susu. Tabel 3 menunjukkan
besarnya volume ekspor dan impor susu nasional pada tahun 2005 hingga 2009.
Tabel 3 . Volume Ekspor dan Impor Susu Indonesia Tahun 2005 – 2009
Tahun Ekspor Susu Ton
Impor Susu Ton
2005 45.018,4 173.084,4 2006 35.241,2 188.128,4
2007 30.739,1 198.216,8 2008 55.773,6 180.932,8
2009 41.728,9 166.504,3
Sumber: Statistik Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan 2010
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa Indonesia dalam perdagangan internasional lebih cenderung mengimpor susu dengan volume yang cukup besar
untuk menutupi kekurangan pasokan susu lokal dibandingkan mengekspor susu ke luar negeri. Ekspor susu yang dilakukan Indonesia pada umumnya hanya
dalam bentuk susu segar dan susu cair pabrik, sedangkan impor susu yang dilakukan Indonesia lebih banyak dalam bentuk produk olahan, misalnya susu
bubuk, susu bubuk bayi, keju, dan produk olahan dari susu sapi lainnya. Impor susu yang dilakukan Indonesia merupakan substitusi dari produk ekspornya. Hal
ini menunjukkan bahwa peternakan sapi perah di Indonesia tidak hanya rendah dalam memproduksi susu segar pada tingkat peternak saja, tetapi juga tidak
berkembang dalam menghasilkan produk olahan susu pada tingkat Industri Pengolahan Susu IPS.
Tabel 3 tersebut juga menunjukkan bahwa volume impor susu mengalami peningkatan yang cukup besar dari tahun 2005 hingga 2007, yaitu sebesar
173.084,4 ton pada tahun 2005 menjadi 198.216,8 ton pada tahun 2007. Besarnya volume impor susu menunjukkan prospek pasar yang sangat besar dalam usaha
peternakan sapi perah di Indonesia, baik di tingkat peternak maupun IPS untuk menghasilkan susu sapi segar serta produk olahannya sebagai produk substitusi
susu impor. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang menjadi sentra peternakan
sapi perah di Indonesia. Dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia, Jawa Barat menempati posisi ketiga terbesar dalam penyebaran populasi ternak sapi perah di
Indonesia BPS 2007. Hal ini juga diperkuat oleh data produksi susu yang diperoleh dari GKSI 2009, yaitu sebesar 32 persen susu segar nasional
5 dihasilkan oleh Provinsi Jawa Barat. Salah satu sentra peternakan sapi perah di
Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung Barat dengan jumlah populasi sapi perah sebanyak 30.146 ekor atau diperkirakan sekitar 37.000 liter susu segar dihasilkan
setiap harinya, sehingga Kabupaten Bandung Barat berperan sebagai salah satu kabupaten penghasil susu terbesar di Indonesia. Di samping itu, agroklimat di
Kabupaten Bandung Barat memiliki ketinggian rata-rata sebesar minimum 110 meter dan maksimum 2.429 meter di atas permukaan laut Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Bandung Barat 2009. Kondisi tersebut membuat Kabupaten Bandung Barat memiliki prospek yang baik dan sangat potensial untuk menjadi
salah satu sentra peternakan sapi perah dan produksi susu baik di Jawa Barat maupun nasional.
Sebagian besar peternak sapi perah yang ada di Indonesia terhimpun dalam sebuah koperasi. Koperasi mempunyai peran yang cukup strategis untuk
menopang perkembangan persusuan di Indonesia. Koperasi persusuan merupakan wadah yang digunakan oleh para peternak untuk memenuhi kebutuhan produksi
dan distribusinya, dimana koperasi bertugas memberikan suplai input produksi berupa konsentrat, obat-obatan, Inseminasi Buatan IB, dan memberikan
fasilitas penyaluran kredit, serta menampung susu dari peternak untuk dijual ke Industri Pengolahan Susu IPS. Koperasi persusuan sangat menentukan posisi
tawar peternak terhadap IPS dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan, dan harga yang akan diterima.
Kemitraan yang dibangun antara IPS dan koperasi persusuan tidak selamanya berjalan dengan lancar. Peranan IPS sangat strategis mengingat
koperasipeternak sapi perah tidak memiliki pilihan lain dalam menyalurkan produksi susunya, hanya ke beberapa IPS. Dampaknya, segala inisiatif berkaitan
dengan kebijakan perdagangan susu segar banyak muncul dari IPS, di antaranya dalam menetapkan harga beli dan standar baku kualitas susu segar. Koperasi telah
menanggapi kebijakan tersebut dengan meningkatkan kualitas susu mulai dari tingkat peternak sampai dengan penanganan susu di koperasi. Namun, hingga saat
ini harga beli susu IPS dari koperasi masih rendah, yaitu berkisar antara Rp 3.100 – Rp 3.500 per liter sehingga berimplikasi terhadap penetapan harga beli susu di
tingkat peternak yang juga rendah, yaitu berkisar antara Rp 2.800 – Rp 3.050 per
6 liter. Padahal, harga beli yang layak dan mampu memberikan kesejahteraan
koperasi dan peternak sebagai anggotanya, yaitu sekitar Rp 4.500 per liter Dewan Persusuan Nasional 2012. Dampak penetapan harga beli susu yang rendah di
tingkat peternak terhadap koperasi dapat beragam mulai dari menurunnya kredibilitas pengurus koperasi di mata peternak sebagai anggota, alasan untuk
tidak patuh terhadap kewajiban sebagai anggota, dan banyak reaksi negatif lainnya. Sangat mudah bagi peternak mengambil keputusan untuk menjual aset-
aset ternak sapi perahnya ketika menghadapi penetapan harga beli susu yang rendah dari koperasi. Dampak turunannya sangat luas, mulai dari penurunan
populasi sapi perah di wilayah kerja koperasi, produksi dan suplai susu segar ke koperasi menurun, skala koperasi menjadi tidak ekonomis, keberlanjutan bisnis
koperasi dan sektor hulu menjadi terancam. Seiring dengan dampak yang dirasakan koperasi persusuan terhadap
penetapan harga beli susu yang rendah dari anggota, banyak IPS yang memanfaatkan kondisi tersebut dengan menciptakan saluran pemasaran susu
melalui agen pengumpulkolektor susu. Agen kolektor susu menampungmembeli susu dari peternak dengan harga lebih tinggi dari harga yang ditetapkan koperasi
primer, terkadang mereka menampung susu dengan mengabaikan tingkat kualitas susu yang dihasilkan. Kondisi ini tentu saja dapat menekan perkembangan
koperasi perususuan di Indonesia. Oleh karena itu, koperasi persusuan perlu mengembangkan usahaternak sapi perahnya agar dapat lebih meningkatkan
kesejahteraan para peternak sebagai anggotanya, sehingga anggota tidak beralih memasarkan susunya ke agen kolektor susu. Adapun perkembangan populasi sapi
perah dan produksi susu dari seluruh koperasi persusuan yang ada di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan bahwa koperasi-koperasi, seperti KPSBU Lembang, KSU Tandangsari, KPBS Pangalengan, KUD Puspa Mekar, KUD Sarwa Mukti,
KUD Cikajang, dan KUD Bayongbong merupakan koperasi persusuan yang mampu memproduksi susu segar diatas 8.000 ton per tahun. Data tersebut
menunjukkan bahwa peternak rakyat mendominasi peternakan sapi perah di Jawa Barat dan dengan adanya koperasi-koperasi tersebut diharapkan peternak rakyat di
Jawa Barat dapat memberikan kontribusi terhadap total produksi susu nasional.
7 Salah satu koperasi persusuan di Kabupaten Bandung Barat yang sangat
potensial untuk dikembangkan adalah KUD Puspa Mekar. Hal ini terlihat pada Tabel 4 yang menunjukkan bahwa jumlah produksi susu segar yang dihasilkan
oleh KUD Puspa Mekar pada tahun 2004 adalah sebesar 11.586,121 ton atau sekitar 7,7 persen dari total produksi susu secara keseluruhan. Hal ini
menunjukkan bahwa KUD Puspa Mekar tidak hanya diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap total produksi susu di Jawa Barat tetapi juga
nasional.
Tabel 4 . Perkembangan Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Berdasarkan
Wilayah Koperasi Persusuan di Jawa Barat Tahun 2004
No. Nama Koperasi
Jumlah Peternak Orang
Total Populasi Ekor
Total Produksi Tonper Tahun
1. KPSBU Lembang
4.618 14.816
34.689,435 2.
Cikajang Karya Utama Sejahtera
1.683 4.089 9.639,830
3. Cisurupan 1.372
3.711 5.753,710
4. Bayongbong 1.504
4.064 8.129,493
5. Cilawu 534
1.717 2.385,660
6. Tani Mukti Ciwidey
855 1.028
3.227,356 7.
Dewi Sri Kuningan 1.228
3.777 5.086,156
8. Sinar Jaya Ujung Berung
533 2.683
2.934,320 9. Tandang
Sari 1.589
5.159 10.183,082
10. Ciparay 338
639 1.194,126
11. Cipanas, Cianjur
120 794
619,220 12.
KPS, Gunung Gede 86
877 1.241,259
13. Gemah Ripah
200 1.122
1.174,663 14. Makmur,
Selabintana 50
496 1.009,581
15. Bakti Sukaraja I
13 152
308,107 16.
Cipta Karya, Samarang 55
90 77,803
17. KPBS Pangalengan
6.704 15.286
29.253,260 18.
Mitrayasa, Pageur Ageung 400
1.157 1.478,770
19. Balebat, Banjaran
Majalengka 126 437
354,043 20.
Giri Tani, Bogor 694
956 1.582,410
21. Sarwa Mukti
1.200 3.215
12.304,308 22. Pasir
Jambu 1.800
1.298 2.414,066
23.
Puspa Mekar 1.030
3.779 11.586,121
24. KPS Bogor
268 2.868
4.233,540
Jumlah 27.000
74.210 150.860,319
Sumber: GKSI Jawa Barat 2004
KUD Puspa Mekar saat ini telah berasosiasi dengan Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara KPSBU Jawa Barat sebagai upaya pengembangan KUD
Puspa Mekar yang merupakan salah satu koperasi yang bergerak di bidang usahaternak sapi perah yang dapat memberikan peluang besar terhadap sektor
peternakan sapi perah di Jawa Barat dan nasional. Upaya pengembangan
8 usahaternak sapi perah KUD Puspa Mekar tentunya membutuhkan sarana dan
prasarana yang memadai, mulai dari penerapan pengelolaan teknis peternakan sapi perah yang baik serta peran pengurus yang berjalan dengan efektif. Hal ini
akan berdampak terhadap perkembangan KUD Puspa Mekar selanjutnya terutama terhadap perkembangan populasi sapi perah dan produksi susu di Jawa Barat dan
nasional.
1.2. Perumusan Masalah