menyelidiki isi atau materi hadis. Apakah hadis itu mengandung keanehan, dari segi bahasa, rasionalitas maupun pertentangan dengan al-Qur’an.
3
B. Penelitian Kualitas Matan Hadis
Dalam hubungannya dengan status kehujahan hadis, maka penelitian sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama pentingnya. Karena menurut
ulama hadis, suatu hadis barulah dinyatakan berkualitas shahih apabila sanad
dan matan hadis tersebut sama-sama berkualitas shahih.
Adapun langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matan hadis ada tiga, yaitu:
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya 2. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna
3. Meneliti kandungan matan Sedangkan yang menjadi unsur-unsur acuan utama yang harus dipenuhi
oleh suatu matan yang berkualitas shahih adalah terhindar dari syuzuz kejangggalan dan terhindar dari ‘illat cacat.
Dalam kegiatan kritik matan naqd al-matan ini, penulis akan berusaha mengikuti langkah-langkah tersebut.
3
Cecep Sumarna dan Yusuf Saefullah, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004, h.99
1. Meneliti Matan Dengan Melihat Kualitas Sanad
Pada langkah pertama menunjukan bahwa telaah matan tidak dapat dilepaskan dari telaah sanad sebagai satu kesatuan hadis, sehingga matan yang
sahih tetapi tidak didukung dengan sanad yang sahih tidak dapat dinyatakan sebagai hadis yang sahih.
Dari hasil penelitian sanad hadis yang terdapat pada bab keutamaan malam nisfu sya’ban dalam kitab Fadail al-Awqaat di atas, hadis yang diteliti
ada tiga hadis memiliki predikat sahih. Keshahihan sanad Imam Baihaqi tersebut dapat mewakili dari para mukharrij lainnya. Dimana antara sanad-
sanad lainnya berkualitas shahih juga karena tak ada seorang kritikus pun yang mencela mukharrij lainnya. Pujian orang yang diberikan kepadanya adalah
pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Dan sanad mukharrij antara satu dengan lainnya dalam keadaan bersambung muttasil.
Dengan demikian jika dilihat dari sanadnya, maka semua hadis dapat dijadikan hujjah karena memiliki predikat sahih. Sedangkan hadis-hadis
lainnya hanya dapat dijadikan sebagai pelajaran dan tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah. Hal
itu karena
dikhawatirkan masyarakat
awam akan
menganggap bahwa hadis tersebut disyar’iatkan, padahal hadis tersebut sama sekali tidak ada dalam syar’iat, atau didengar oleh orang yang tidak tahu
sehingga ia mengira hadis tersebut sahih.
4
4
Asyraf ibn Sa’id, Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if, Penerjemah Neni Kurniati Jakarta: Pustaka Azzam, 2004 h.80