2 METODE PENELITIAN UMUM
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian lapang ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai sejak September 2012 sampai dengan Februari 2013, tempat penelitian
dilakukan di Kabupaten Aceh Jaya, meliputi Kecamatan Jaya, Setia Bakti, Krueng Sabee, Panga dan Teunom Lampiran 1
2.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Secara umum metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari populasi
dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data.
2.2.1 Jenis data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sumberdaya ikan, produksi
ikan, jenis dan jumlah unit penangkapan, rumah tangga perikanan RTP, sosial ekonomi masyarakat nelayan, kebijakan penangkapan ikan, dan kondisi
pembangunan penangkapan ikan ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya serta peranan Panglima Laôt dalam menunjang usaha pemanfaatan
sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya.
2.2.2 Metode pengumpulan data
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan, diskusi dan wawancara menggunakan kuisioner dengan stakeholders.
Wawancara dimaksud untuk mengetahui sejarahproses adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, persepsi masyarakat nelayan terhadap konsep
adopsi teknologi penangkapan ikan sebagai konsep yang perlu diambil untuk mengatasi permasalahan di Perairan Kabupaten Aceh Jaya. Data sekunder
diperoleh melalui studiliteratur dari berbagai laporan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah dan hasil penelitian-penelitian lainnya digunakan untuk
mendeskripsikan keadaan umum wilayah penelitian yang meliputi aspek teknologi, ekonomi, ekologi dan sosial budaya wilayah Kabupaten Aceh Jaya
sebagai dasar perumusan kebijakan.
Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan teknik purposive sampling dengan pertimbangan bahwa responden
adalah pelaku. Dalam hal ini, respondennya adalah; Panglima Laôt Aceh, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya, Panglima Laôt Kabupaten
Aceh Jaya, Panglima Laôt Lhôk masing-masing kecamatan, nelayan, motivator masyarakat dan peneliti. Masing-masing responden tersebut diharapkan akan
memberikan berbagai informasi sebagai berikut: 1 Panglima Laôt Aceh 1 orang, untuk mendapatkan informasi secara umum tentang hukum adat
Laôtkearifan lokal dan struktur lembaganya. Di samping itu berkaitan dengan
pemetaan kawasan hukum adat laôt di Aceh; 2 Panglima Laôt Kabupaten Aceh Jaya 1 orang, untuk mendapatkan gambaran tentang hukum adat laôtkearifan
lokal dan struktur lembaga Kabupaten, serta pemetaan kawasannya tingkat Kabupaten; 3 Panglima Laôt Lhôk masing-masing 1 orang, untuk menemukan
bagaimana hukum adat laôtkearifan lokal secara khusus berlangsung di masing- masing Lhôk kecamatan; 4 Nelayan masing-masing 5 orangalat penangkapan
ikan, untuk mengetahui sejauhmana mereka mengerti hukum adat laôtkearifan lokal dan menerimanya sebagai kenyataan hukum lokal; 5 Motivator masyarakat
1 orang, sebagai pihak yang mendampingi program penguatan hukum adat Laôtkearifan lokal, yang menggambarkan bagaimana penguatan tersebut
dilakukan, dalam hubungannya dengan eksistensi yang berhadapan dengan hukum negara; 6 Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh 1 orang, untuk
mendapatkan gambaran kebijakan tentang pemanfaatan sumberdaya ikan di Aceh; 7 Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya 1 orang, untuk
mendapatkan gambaran pemanfaatan sumberdaya ikan di Aceh Jaya.
2.3 Metode Analisis Data
Metode anaisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, RAPFISH, Chi-Square, Kontigensi, Logit, dan metode A’WOT AHP
dan SWOT. Metode ini didasarkan pada masing-masing tujuan penelitian Tabel 1.
Tabel 1 Metode analisis data
Tujuan Data yang diperoleh
Metode Analisis
Mengungkapkan peran kearifan lokal dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya
Peranan dan fungsi kelembagaan
Panglima Laôt beserta perangkat hukumnya
Deskriptif Menganalisis status
keberlanjutan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal
di Kabupaten Aceh Jaya Atribut ekologi
Atribut ekonomi Atribut sosial
Atribut teknologi Atribut kelembagaan
RAPFISH
Menganalisis proses dan tingkat adopsi teknologi dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal
Teknologi yang digunakan nelayan
Chi-Square Kontigensi
Logit Menyusun konsep
pengembangkan adopsi teknologi dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten
Aceh Jaya. Hasil analisis 1,2, dan
3 A’WOT
3 PERANAN KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN
3.1 Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku dan ras, terdapat kurang lebih 389 suku bangsa yang memiliki
adat istiadat, bahasa, tata nilai dan budaya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya Saptomo 2010. Adat istiadat, tata nilai dan budaya tersebut antara lain
mengatur beberapa aspek kehidupan, seperti; hubungan sosial kemasyarakatan, ritual peribadatan, kepercayaan, mitos-mitos dan sanksi adat yang berlaku di
lingkungan masyarakat adat yang ada. Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya
tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu,
keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan Ridwan 2007.
Dalam upaya mengharmonisasikan, menjaga, dan melestarikan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dalam konteks penataan ruang, pemerintah perlu
melakukan beberapa upaya pada berbagai aspek pada tingkatan penyelenggaraan penataan ruang Markus 2010. Selain itu, karena keterkaitan yang erat antara
potensi budaya dan penyelenggaraan penataan ruang, diperlukan upaya untuk mengakomodasi nilai budaya lokaladat istiadat ke dalam hukum positif, yaitu ke
dalam regulasi penataan ruang, yaitu melalui proses adopsi, adaptasi, dan asimilasi. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah
kehidupan moderen serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya
Busilacchi et al. 2013. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai- nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat
relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.
Kaidah-kaidah tersebut ada yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu. Selain aspek fisik dan
visual, keanekaragaman budaya, sosial kemasyarakatan yang terkandung di dalam kearifan lokal umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi
dengan baik Pita et al. 2010. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu bentuk knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal tersebut agar dapat
digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan dan perancangan suatu bentuk kearifan lokal yang berkelanjutan khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya
ikan. Oleh karena itu, penelitian ini membahas berbagai peranan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya ikan kearifan lokal di Aceh pada umumnya dan
Kabupaten Aceh Jaya pada khususnya. sehingga nilai-nilai kearifan lokal dapat diakomodasikan dengan baik dalam regulasi ataupun perencanaan dalam
pemanfaatan
sumberdaya ikan.
Penelitian ini
bertujuan untuk;
1 mengungkapkan pengakuan hukum positif dan kelembagaan Panglima Laôt
sebagai pemangku adat nilai-nilai kearifan lokal di Aceh; 2 mengungkapkan
peran kearifan lokal dalam mewujudkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan di Kabupaten Aceh Jaya.
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam peneitian ini adalah metode survei dibantu daftar pertanyaan kuesioner. Data yang dikumpulkan dalam penelitian
berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan responden, penentuan responden ditentukan secara purposive
sampling ditentukan. Respondennya adalah pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Jaya, Panglima Laôt Aceh provinsi, Panglima Laôt Kabupaten, Panglima
Laôt Lhôk Gambar 3, nelayan dan pedagang ikan. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, seperti Lembaga Panglima Laôt Aceh, Dinas Kelautan dan
Perikanan serta laporan hasil-hasil penelitian. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah;
1
Aspek kelembagaan, meliputi sejarah lahir kelembagaan Panglima Laôt 2
Aspek hukum, meliputi dasar hukum kelembagaan Panglima Laôt dan aturan atau ketentuan Panglima Laôt dalam Pemanfaatan sumberdaya ikan
Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis isi content analysis,
untuk memberikan gambaran tentang peranan Panglima Laôt sebagai pemangku hukum adat laôt kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di
Kabupaten Aceh Jaya. Metode content analysis ini, digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita radio maupun semua bahan-
bahan dokumentasi yang lain tentang Panglima Laôt.
3.3 Hasil Penelitian 3.3.1 Sejarah Panglima Laôt
Panglima Laôt adalah lembaga hukum adat laôt yang telah ada sejak abad ke-16 yaitu pada zaman Kerajaan Samudera Pasai 1607-1636. Pada mulanya
Panglima Laôt merupakan perpanjangan tangan Sultan Iskandar Muda, yang berperan memungut pajak dari kapal-kapal dagang di pelabuhan dan memobilisasi
massa untuk berperang Abdullah et al. 2006. Menurut Hoven 1979 diacu dalam Abdullah et al. 2006, Panglima Laôt adalah lembaga adat resmi dan
diatur oleh negara. Kekuasaan ini diberikan oleh Sultan melalui surat kepada pembesar wilayah. Hal ini menggambarkan bahwa Panglima Laôt pada masa itu
diberi kekuasaan oleh Sultan untuk menguasai wilayah maritim di Aceh. Pemungutan diberlakukan pada kapal-kapal atau pengunjung yang berlabuh di
sekitar wilayah Aceh. Pajak tersebut digunakan oleh kerajaan, seperti untuk bantuan perang. Peran lain Panglima Laôt, yaitu mengumpulkan massa untuk
berperang yang hampir sebagian besar berasal dari masyarakat nelayan sendiri.
Panglima Laôt tidak lagi berperan sebagai perpanjangan tangan Sultan, melainkan pemimpin adat nelayan yang mengatur segala praktik kenelayanan dan
kehidupan sosial di suatu wilayah pada zaman kolonial Belanda 1904 – 1942. Hal ini menunjukkan bahwa Panglima Laôt memiliki kekuasaan penuh untuk
memimpin dan mengatur segala hal yang berhubungan dengan kegiatan nelayan. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 - 1945, peran Panglima Laôt tidak
terlalu berbeda jauh dengan perannya saat zaman kolonial Belanda. Apabila dilihat perannya saat zaman kolonial Belanda dan Jepang, maka tugas Panglima