Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan istiadat. Peranan dalam mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut

dan selanjutnya akan mengancam kehidupan fauna. Panglima Laôt dalam mengawasimenjaga pohon mangrove dan pohon lainnya, agar tidak di tebang oleh masyarakat di wilayah pesisir Kabupaten Aceh Jaya tidak mendapatan hambatan, karena kondisi mangrove di Kabupaten Aceh Jaya saat ini banyak yang mati Gambar 5 dan baru ditanam kembali setelah bencana tsunami melanda Aceh Gambar 6. Hal ini mungkin berbeda dengan daerah pesisir di kabupaten lain, dimana Panglima laôt mengalami hambatan dalam mengawasinya, karena faktor ekonomi masyarakat nelayan yang tidak stabil. Pohon-pohon yang ditebang oleh masyarakat nelayan dipergunakan untuk membuat rumah, dan keperluan lain. Gambar 5 Kondisi mangrove akibat tsunami Aceh Gambar 6 Kondisi mangrove pasca tsunami Aceh

3.3.3.6 Peranan sebagai penghubung.

Peran Panglima Laôt sebagai penghubung antara masyarakat nelayan dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, pawang laôt fishing master dan lain-lainya, guna untuk pengembangan sumberdaya masyarakat nelayan. Hubungan tersebut, dari tingkat aparat desa hingga pemerintah kabupaten. Panglima Laôt menjadi mitra Kepala Gampong kepala desa. Kemitraan ini mendapat legelitas adat, sehingga dalam hal kenelayanan khususnya dalam usaha penangkapan ikan dilaut mutlak dibawah kendali Panglima Laôt. Kepala desa bertanggung jawab masalah administrasi pemerintahan seperti pembuatan KTP, surat tanah, dan lain-lainya. Sebagai pengayom masyarakat nelayan, Panglima Laôt sebagai penghubung dengan pemerintah, diantaranya dalam pembuatan surat izin berlayar, surat izin penangkapan ikan, dan lain-lainnya. Panglima Laôt juga memberikan informasi kepada dinas terkait, jumlah armada penangkapan ikan beserta alat tangkap yang digunakan di masing-masing lhôk untuk dapat dikeluarkan surat izin yang dibutuhkan oleh masyarakat nelayan.

3.4 Pembahasan

Kearifan lokal merupakan idenentitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu aspek berwujud nyata tangible dan aspek tidak berwujud intangible. Jenis kearifan lokal meliputi kelembagaan, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, Hak Ulayat Laut Adrianto 2010. Dalam kaitannya dengan penataan ruang, kearifan lokal menjadi landasan dalam penyelenggaraan penataan ruang karena beberapa nilai yang terkandung dalam kearifan lokal terbukti masih relevan diaplikasikan hingga sekarang, baik dalam aspek pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, serta aspek pengawasan dalam penyelenggaran penataan ruang Ridwan 2007. Bentuk dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Aceh disebut hukum adat laôt dan Panglima Laôt. Hukum adat laôt dan Panglima Laôt ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Hukôm adat laôt adalah aturannya, sedangkan Panglima Laôt adalah lembaga yang menegakkannya. Hukôm adat laôt tanpa Panglima Laôt ibarat hukum tanpa penegak hukum, sebaliknya, Panglima Laôt tanpa hukôm adat laôt ibarat penegak hukum tidak memiliki hukum. Panglima Laôt didefinisikan sebagai orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan laut dan penyelesaian sengketa Pasal 1 ayat 13 Perda Nomor 7 Tahun 2000, Sedangkan konsep hukôm adat laôt tidak ditemukan secara spesifik. Dalam Musyawarah Lembaga Hukôm Adat LaôtPanglima Laôt se-Aceh tanggal 6-7 Juni 2001 di Banda Aceh, dirumuskan bahwa hukôm adat laôt dan adat-istiadat merupakan hukum-hukum adat yang diberlakukan oleh masyarakat nelayan untuk menjaga ketertiban dalam penangkapan ikan dan kehidupan masyarakat nelayan di pantai. Dalam Perda dan Qanun hanya ditemukan konsep hukum adat, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan. Peraturan Daerah Perda Nomor 7 Tahun 2000, Pasal 1 ayat 18, “hukum adat adalah Hukum Adat Aceh yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Daerah”. Padal 1 ayat 19, “adat istiadat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syariat Islam yang lazim dituruti, dihormati, dimuliakan sejak dahulu dan dijadikan sebagai landasan hidup”. Pasal 1 ayat 20, “kebiasaan-kebiasaan adalah suatu kegiatan atau perbuatan yang pada dasarnya bukan bersumber dari Hukum Adat atau Adat Istiadat akan tetapi hal tersebut telah diakui oleh umum dan telah dilaksanakan secara berulang-ulang dan terus menerus”. Dalam Pasal 1 ayat 12 Qanun Nomor 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam, ditemukan istilah masyarakat adat adalah “sekelompok orang yang tinggal dalam kawasan tertentu secara turun-temurun berdasarkan kesamaan tempat tinggal dan atau hubungan darah yang memiliki wilayah adat dan pranata-pranata adat tersendiri.”Pasal 1 ayat 8 Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Mukim, menyebutkan, “hukum adat adalah semua aturan adat, adat istiadat dan kebiasaan- kebiasaan yang hidup dalam masyarakat Aceh, bersifat mengikat dan