Konsep prioritas pengembangan teknologi
sangat memprihatinkan yaitu berada pada kisaran 17,53 – 87,34 25 tingkat keberlanjutan buruk, 37,50 tingkat keberlanjutan cukup, 33,33 tingkat
keberlanjutan sedang, dan 4,17 tingkat keberlanjutan sangat baik. Ini menandakan bahwa rata-rata nelayan Kabupaten Aceh Jaya masih belum
menggunakan perangkat teknologi moderen dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan nelayan masih menggunakan kapal-kapal perikanan beserta mesin
pengeraknya yang berukuran kecil.
Sebagaimana dilaporkan pada penelitian-penelitan sebelumnya, hasil indeks keberlanjutan terkriteria pada dimensi teknologi yang tergolong rendah adalah
nilai indeks keberlanjutan perikanan pelagis di Ternate dan strategi pengembangannya dilaporkan ordinasi dimensi teknologinya berada pada posisi
nilai indeks antara 25 – 50 Abdullah 2011. Selanjutnya, nilai indeks keberlanjutan perikanan pukat cincin di Kota Manado dilaporkan ordinasi dimensi
teknologinya berada pada posisi nilai indeks 32,9 Mamuaya 2007. Demikian juga dengan perikanan di Selat Sunda Panimbang dan Lempasing yang berada
pada posisi sekitar nilai 45 Purnomo 2004, dan perikanan di Kabupaten Tegal yang berada pada nilai rata-rata indeks 44,40 Hermawan 2006. Selain itu, pada
perikanan di Kabupaten di Indramayu juga berada pada nilai sekitar 38,0 Hamdan 2007, dan pada 13 perikanan purse seine, payang, dan gillnet dari 21
perikanan pelagis kecil yang berbasis di pantai utara Jawa Subang, Indramayu, Pemalang, Pekalongan, Rembang, Tuban, Lamongan dan Gresik dengan nilai
rata-rata sebesar 46,70 Suyasa 2007.
Dilihat dari perspektif alat tangkap pada dimensi teknologi, perikanan gillnet dan trammel net merupakan jenis kegiatan perikanan tangkap yang sangat
lemah dalam pengelolaannya dengan indeksnya yaitu berkisar antara 17,53 – 23,68 untuk gillnet dan 17,53 – 22,69 untuk trammel net, diikuti oleh perikanan
pancing tonda dengan indeks pengelolaannya berkisar antara 25,41 – 29,53, selanjutnya perikanan pancing ulur memiliki indeks antara 40,23 – 44,13.
perikanan Rawai memiliki indeks pengelolaanya sebesar 42,76, perikanan bagan apung memiliki indeks keberlanjutan berkisar antara 49,09 - 49,50, dan alat
tangkap yang memiliki indeks pengelolaannya paling kuat adalah perikanan purse seine di kecamatan Krueng Sabee dengan indeksnya sebesar 87,34.
Nilai indeks yang kurang berkelanjutan ini pengelolaannya masih lemah, maka menurut Pitcher 1999 perlu mendapatkan perhatian serius pada
pengembangan dan pengelolaan nanti dalam rangka memperbaiki status keberlanjutannya. Nilai indeks yang terkategori cukup berkelanjutan perlu
dipertahankan atau malah ditingkatkan dalam pengelolaannya.
Atribut lain dari dimensi teknologi yang pengaruhnya sangat dominan terhadap keberlanjutan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di Kabupaten
Aceh Jaya adalah penanganan ikan hasil tangkapan diatas kapalperahu dan pre- sale processing pengolahan pra-jual. Sebagaimana diketahui bahwa hasil
penangkapan ikan dikenal sebagai produk yang mudah rusak, bila tidak ditangani misalnya dengan menggunakan es. Selain itu, produk ikan ini juga dapat
ditransformasi melalui sejumlah teknik pengolahan, seperti penggaraman, dan pengeringan. Pemasaran produk yang dihasilkan perikanan di Kabupaten Aceh
Jaya sebagian besar pengolahan pra-jual tidak dilakukan baik penanganan diatas kapal maupun pengolahan di pelabuhan. Pengolahan pra-jual sangat dianjurkan
karena semakin baik penanganan ikan sebelum dijual maka semakin meningkatkan keuntungan nelayan.