Perbandingan kepentingan subkriteriapembatas limiting factor

kepentingan yang ada, baik kepentingan sub kriteria atau pembatas kriteria pengembangan yang ada.

6.3.6 Prioritas strategi

pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal Selanjutnya untuk menentukan prioritas strategi pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya dilakukan analisis prioritas strategi. Analisis prioritas strategi merupakan tahapan akhir dari analisis AHP terkait penentuan prioritas strategi pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya. Prioritas strategi pengembangan ini dikembangkan dengan mempertimbangkan keenam aspek ekologi, ekonomi, biologi, teknologi, sosial dan aspek hukumkelembagaan. Tingkat kepentingan setiap kriteria dan setiap faktor pembatas tersebut mempengaruhi penilaian setiap alternatif strategi pengembangan teknologi yang ditawarkan. Gambar 14, dimana urutan pertama menunjukkan tingkat prioritas paling tinggi hingga ke paling rendah. menyajikan hasil analisis prioritas alternatif strategi pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya dapat dilihat pada Gambar 44 berikut: Gambar 44 Urutan prioritas strategi pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya. Berdasarkan Gambar 44 terlihat bahwa, dari hasil analisis prioritas, alat tangkap purse seine mempunyai indek rasio kepentingan RK tertinggi, yaitu sebesar 0,263 diikuti oleh alat tangkap pancing ulur 0,259, pancing tonda 0,218, bagan apung 0,151, gillnet 0,074, dan trammel net 0,034, dengan nilai inconsistency-nya 0,05. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa prioritas pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya diarah pada alat tangkap purse seine. Hal ini sesuai dengan keberadaan Kabupaten Aceh Jaya yang berada sebelah Samudera Hindia Barat SumateraWPP 572 yang masih sangat potensial tinggi jenis ikan pelagis atau ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan ramah lingkungan ekologinya. 6.4 Pembahasan 6.4.1 Konsep pengembangan teknologi pemanfaatan sumberdaya berbasis kearifan lokal Dalam hasil penelitian yang disajikan pada hasil diatas, bahwa konsep pengembangan teknologi dalam upaya pemanfaatan sumberdaya berbasis kearifan lokal yang dilihat dari berbagai dimensi yaitu dimensi ekologi, biologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan matriks IFAS skor 2.86, Artinya posisi internalnya berada pada taraf rata-rata. Kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Aceh Jaya memiliki lebih banyak kelemahan yang harus diatasi agar dapat meraih peluang dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal. Seperti harus sering melakukan kegiatan penyuluhan kepada nelayan agar para nelayan memahami teknologi untuk menangkap ikan serta lebih sering para stekholder melakukan patroli untuk mengetahui kegiatan nelayan setiap hari di wilayah perairan Kabupaten Aceh Jaya. Begitu pula dengan menggunakan matriks EFAS menghasilkan total skor 2.76, Artinya kondisi ekternal adopsi pengembangan teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya berada pada taraf rata-rata. Ancaman adopsi pengembangan teknologi di Kabupaten Aceh Jaya memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan peluang yang dapat diraih. Hal yang perlu dilakukan adalah menguatkan internal oleh instansi yang terkait untuk mempersiapkan mengatasi ancaman yang ada. Seperti naik harga BBM, semakin jauh fishing ground, masih kurang pengetahuan nelayan dalam mengoperasikan teknologi alat penangkapan ikan, kondisi seperti ini sangat perlu kerja keras semua pihak untuk mereduksi keadaan, sehingga dalam pengembangan teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal akan dapat dilakukan secara efektif nantinya.

6.4.2 Konsep prioritas pengembangan teknologi

dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal Berdasarkan hasil penelitian diatas dengan menggunakan teknik AHP Analytical Hierarchy Process pada konsep prioritas, hirarki untuk pemilihan alternatif konsep pengembangan teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal dalam penelitian ini terfokus pada; factor, tujuan dan alternatif. Variabel sangat penting yang mempengaruhi pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya adalah Purse seine 0,263, Pancing Ulur 0,259, Pancing Tonda 0,218 dan Bagan Apung 0,151 dan yang terendah adalah alat tangkap Trammel net 0,034. Hasil analisis pendapat pakar menunjukkan bahwa jenis alat tangkap purse seine memiliki rasio tertinggi yang dapat mengembangkan teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya. Alat tangkap ini terpilih karena sesuai dengan keberadaan Kabupaten Aceh Jaya yang berada sebelah Samudera Hindia WPP 572 Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda. Berdasarkan konsep dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan data Badan Statistik Perikanan Tangkap, bahwa Kabupaten Aceh Jaya diharapkan mengembangkan alat tangkap purse seine, sehingga dari hasil penelitian ini juga mendapatkan hasil yang sama, yaitu konsep pengembangan teknologi pemanfaatan sumberdaya berbasis kearifan lokal yang utama adalah alat tangkap purse seine. Kelebihan alat tangkap ini dapat menjaga lingkungan ekologi sumberdaya ikan dengan baik, tidak merusak terumbu karang, dapat mempekerjakan banyak nelayan, hasil tangkap bernilai ekonomis tinggi serta mensejahterakan para nelayan. Sehingga para stakeholder dalam mengambil kebijakan dan pengelolaan terkait dengan pengembangan teknologi tangkap sudah ada referensi yang baik, sehingga implementasinya di lapangan akan lebih efektif dan efisien. Sedangkan kedua alat tangkap yang memiliki rasio tertinggi dalam konsep pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya berbasis kearifan lokal adalah pancing ulur, karena alat tangkap ini memiliki selektivitas tinggi dan tidak merusak terumbu karang. Kemudian yang ketiga adalah alat tangkap pancing tonda, alat ini dominan juga digunakan oleh nelayan karena dapat menangkap jenis-jenis ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga nelayan mendapatkan income yang lebih besar dan bagus. Oleh sebab itu konsep pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal berkelanjutan berjalan dengan baik, seperti menurut pendapat Wilsom 2006 dengan memperhatikan sisi ekologi yang lebih baik akan memperoleh lingkungan bagus berkelanjutan.

6.5 Kesimpulan

1 Faktor internal memiliki nilai 2,86 yang berarti secara internal pengembangan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya masih bisa dilakukan dikembangkan. 2 Strategi – SO atau strategi dengan menggunakan kekuatan yang dimilik dengan memanfaatkan peluang yang menjadi prioritas utama. Dalam strategi ini, kebijakan pembangunan yang harus dilaksanakan adalah peningkatan koordinasi antara institusi terkait dengan melibatkan masyarakat nelayan setempat, dan adopsi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan disesuaikan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang ada. 3 Strategi kebijakan yang mendapat prioritas kedua adalah strategi dengan menggunakan seluruh kekuatan yang ada, untuk menghindari ancaman menjadi prioritas utama strategi – ST. Adapun kebijakan pembangunan dalam strategi ini adalah Peningkatan kapasitas kelembagaan Panglima Laôt sebagai pemangku adat laôt kearifan lokal, Peningkatan pengawasan di laut, Peningkatan sumberdaya manusia yang terampil, Pengembangan kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan, dan penegakan hukum 4 Prioritas pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis kearifan lokal di Aceh Jaya berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, biologi, sosial, hukum dan kelembagaan dan wilayahnya adalah alat tangkap purse seine dengan rasio 0,263. dan sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dianut di kabupaten Aceh Jaya 7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Peranan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya ikan Indonesia memiliki warisan multibudaya dan bahasa yang kaya dan beragam. Lebih dari 700 bahasa digunakan oleh sekitar 300 kelompok etnis yang berbeda. Dari semua populasi, 26 persen orang yang terdiri dari berbagai kelompok, yang merupakan bagian utama dari keragaman etnis di Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, mencerminkan pengakuan pemerintah dan penerimaan keragaman budaya, etnis, bahasa dan agama rakyatnya Czermak et al. 2003. Di beberapa tempat di Indonesia, ada pengaturan tradisional hak atas wilayah laut yang telah dikembangkan oleh masyarakat setempat sebagai mata pencaharian mereka serta aspek konservasi. Jenis-jenis sistem memiliki fitur khusus termasuk berwenang mengatur kontrol akses terdiri dari pembatasan, dilarang atau larangan dan mekanisme sanksi sudah ditetapkan. Sistem ini sebagian besar tidak tertulis dan ditransfer dalam kelompok-kelompok etnis, untuk mengatur sumber daya alam Nurasa et al. 1993; Satria dan Matsuda 2004. Panglima Laôt di Aceh merupakan salah satu kelembagaan yang paling tua di dunia, dalam bidang perikanan tangkap. Kelembagaan Panglima Laôt ini telah hidup selama lebih dari 400 tahun yang lalu dan telah memainkan peran dominan dalam mengatur industri perikanan di Aceh. Saat ini ada sekitar 173 Panglima Laôt di Aceh menurut tingkatannya dengan 400.000 anggota mulai dari Panglima tingkat Laôt Lhôk sampai pada Panglima Laôt tingkat Provinsi Panglima laôt.net. Saat ini, terutama setelah tsunami, Panglima Laôt mendapatkan pengakuan penuh oleh pemerintah. Pemberlakuan Qanun UU Nomor 9 tahun 2008 tentang pelestarian hukum adat dan Qanun Nomor 10 tahun 2008 tentang lembaga hukum adat secara eksplisit mengakui peran Panglima Laôt dan wewenangnya untuk mengatur hukum adat laut nilai-nilai kearifan lokal di Aceh. Pelaksanaan suatu ketentuan hukum adat laôt nilai-nilai kearifan lokal, selalu memiliki konteks masing-masing. Ini menjadi landasan dan latar belakang ketika menawarkan adat laôt dapat menjadi sebuah paradigma pembangunan dimasa mendatang. Dalam adat laôt, yang sangat ditekankan adalah bahwa usaha memenuhi kebutuhan ekonomi harus seimbang dengan kelestarian habitat dan keberlanjutan ekosistem. Intinya selalu ada keseimbangan antara proses berhubungan secara vertikal Pencipta dan horizontal insani. Bisa jadi, salah satu alasannya karena di sanalah mereka hidup dan perlu menjaga lingkungannya. semua aturanhukum yang diterapkan oleh Panglima Laôt selalu dijalankan oleh seluruh nelayan, karena aturan tersebut merupakan aturan yang mereka rumuskan secara bersama-sama untuk kepentingan pengelolaan perikanan tangkap yang berbudaya. Sejarah telah membuktikan bahwa penerapan hukôm adat laôtkearifan lokal di Aceh yang sudah berumur hampir empat abad yang dijalankan oleh Panglima Laôt sampai saat ini telah terbukti dapat menyelesaikan konflik antarnelayan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan. Dalam hukum adat laôtkearifan lokal ada pengaturan tentang hari-hari pantang tidak boleh melaut seperti setiap hari jumat, setiap hari peringatan tsunami, setiap hari raya idul fitri, idul adha, dan lainnya yang tenyata secara tidak sadar para ahli menyebutkan hal itu sangat baik untuk re-stocking ikan memberi kesempatan ikan untuk besar secara alami karena ketika penangkapan secara besar-besaran maka jumlah ikan yang ditangkap akan berkurang. Dalam hukôm adat laôtkearifan lokal juga ada makna untuk memelihara dan memuliakan laut untuk anak cucu dimasa yang akan datang. Nelayan Aceh dan turunan lainnya yang terlibat dalam perikanan termasuk mugee, toke bangku, supaya bersiap berganti profesi, jika laut Aceh tidak dikelola bersama secara baik. Banyak kapal-kapal perikanan yang diparkir dipinggir dermaga, tempat pendaratan ikan TPI yang dibangun dengan megah dari dana takziah orang yang meninggal akibat tsunami akan sepi dari pengunjung, dan banyak anak Aceh yang bodoh akibat tidak sanggup membeli ikan sebagai sumber protein serta omega 3 dan 6 karena harga ikan mahal akibat dari tidak ada lagi ikan di laut.

7.2 Status keberlanjutan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di

Kabupaten Aceh Jaya Analisis keberlanjutan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya, dilakukan dengan menggunakan pendekatan model Rapfish. Pada pendekatan Rapfish, analisis ordinansi merupakan diagnosa terhadap kondisi kegiatan perikanan tangkap yang dievaluasi, dimana sumbu horizontal menunjukkan perbedaan kegiatan perikanan tangkap dalam ordinansi jelek 0 sampai baik 100 untuk setiap dimensi yang dianalisis. Sementara sumbu veritikal menunjukkan perbedaan dari skor atribut atau indikator diantara kegiatan perikanan tangkap yang dievaluasi. Adapun aspek yang diukur meliputi 5 lima dimensi, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan dimensi kelembagaan. Berhasil atau tidaknya pengelolaan sumberdaya ikan menjadi faktor penting dalam memberikan jaminan pembangunan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Pengelolaan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap pada hakekatnya mencari kemungkinan tindakan pengelolaan yang tepat secara ekologi disatu sisi, dan kegiatan penangkapan ikan yang mampu memberikan keuntungan ekonomi di sisi lain. Dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan haruslah mampu mencegah terjadinya konflik antar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam mencapai tujuan ekonomi, termasuk adanya keadilan hukum dalam distribusi pemanfaatan yang dihasilkan oleh sumberdaya perikanan tangkap tersebut, dan upaya konservasi sumberdaya ikan untuk kepentingan generasi mendatang. Charles 2001 memberikan elaborasi tentang komponen dasar dari keberlanjutan perikanan tangkap yang terdiri dari keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan keberlanjutan kelembagaan. Tiga komponen keberlanjutan yang pertama merupakan titik dalam segi tiga keberlanjutan, sedangkan komponen keberlanjutan yang keempat dan kelima akan memberikan pengaruh diantaranya. Dengan demikian, keberlanjutan sistem perikanan merupakan hasil kerja secara simultan dari kelima komponen tersebut diatas. Hasil analisis ordinansi dapat dikemukakan bahwa secara umum kondisi keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap berbasis kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya sangat mengembirakan yaitu berada pada kisaran antara 60,86 - 95,82 tingkat keberlanjutan baik – sangat baik, kecuali pada dimensi teknologi yang