Peranan dalam menjagamengawasi pohon-pohon di tepi pantai.

menimbulkan akibat hukum”. Dalam Pasal 1 ayat 11, 12 dan 13 Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan adat dan adat-istiadat, menyebut, “hukum adat adalah seperangkat ketentuan tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, memiliki sanksi apabila dilanggar”. “Adat-istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi pendahulu yang dihormati dan dimuliakan sebagai warisan yang sesuai dengan Syariat Islam”. “Kebiasaan adalah sikap dan perbuatan yang dilakukan secara berulang kali untuk hal yang sama, hidup dan berkembang serta dilaksanakan oleh masyarakat”. Lihat juga Pasal 1 ayat 29, 30, dan 31 Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Dalam Qanun tersebut, “Panglima Laôt adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan”. Panglima Laôt Lhôk di Aceh hanya dikenal oleh masyarakat pesisir, khususnya dalam struktur lembaga hukum Adat LaôtPanglima Laôt. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Panglima Laôt sekarang mempunya tiga tingkatan, yakni tingkat Lhôk, tingkat KabupatenKota, dan Provinsi. Terlihat jelas bahwa tingkat paling bawah bukan merupakan kecamatan, tapi lhôk. satu lhôk, melingkupi satu gampong desa, lebih dari satu gampong, beberapa gampong dalam satu mukim gabungan beberapa gampong, beberapa gampong dalam dua mukim, atau beberapa gampong dalam satu kecamatan, Panglima Laôt Aceh H. Bustaman, wawancara, 21 Oktober 2012. Pelanggaran hukum adat laôt digolongan dalam dua bentuk yaitu, pelanggaran hukum dan perbuatan pelanggaran yang dalam keadaan tertentu tidak dianggap pelanggaran. Perbuatan pelanggaran hukum adat laôt adalah semua perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat laôt, antara lain 3 hari hari pantang melaut setelah khanduri laôt, hari Jumat, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, setiap tanggal 17 Agustus, dan setiap tanggal 26 Desember sebagai hari berkabung Tsunami, hal ini sesuai dengan dengan Abdullah et al. 2006, Daud dan Adek 2010, Adrianto et al. 2011 yang menyatakan bahwa dalam kearifan lokal di Aceh dikenal dengan hari-hari tentu dilarang melaut hari pantang laôt. Ada beberapa alasan mengapa dikenal hari pantang melaut bagi seluruh nelayan Aceh. Pertama, alasan religius. Khusus hari Jumat, kalau nelayan tetap melaut, hampir tak mungkin bagi mereka menunaikan shalat Jumat secara berjamaah. Alasan kedua, pertimbangan ekologis. diupayakan dalam seminggu harus ada satu hari dimana seluruh biota laut hidup tenang, tanpa diusik oleh nelayan, sehingga memungkinkan ikan, udang, dan lainnya berpijah. Ketiga, alasan reparasi. Nelayan memperbaiki jala, jaring, pukat, perahu, atau boatnya, sehingga ketika turun melaut lagi kondisi alat-alat tangkapnya dalam keadaan baik. Keempat, pada masa mereparasi alat tangkap itu biasanya terjalin nilai-nilai komunal kerja sama atau kegotong-royongan, sebab pekerjaan memperbaiki alat tangkap itu biasanya dilakukan bersama-sama oleh kelompok nelayan. Pelaksanaan suatu ketentuan hukum adat laôt, selalu memiliki konteks masing-masing. Ini menjadi landasan dan latar belakang ketika menawarkan adat laôt dapat menjadi sebuah paradigma pembangunan dimasa mendatang. Dalam adat laôt, yang sangat ditekankan adalah bahwa usaha memenuhi kebutuhan ekonomi harus seimbang dengan kelestarian habitat dan keberlanjutan ekosistem Aarras et al. 2014. Intinya selalu ada keseimbangan antara proses berhubungan secara vertikal Pencipta dan horizontal insani. Bisa jadi, salah satu alasannya karena di sanalah mereka hidup dan perlu menjaga lingkungannya Abdullah dan Muttaqin 2012. Sebagai lembaga adat, Panglima Laôt memiliki kekuatan utama dalam memobilisasi masyarakat nelayan melalui hubungan-hubungan masyarakat adat. Peran kunci yang teridentifikasi adalah: 1 mengidentifikasi berbagai permasalahan yang dihadapi nelayan; 2 mempromosikan program rekonstruksi yang berbasis pada permasalahan riil yang dihadapi masyarakat nelayan; 3 memastikan akuntabilitas pelaksanaan program; 4 menguatkan kapasitas lembaga otonom agar mampu menjadi lembaga yang dapat dipercaya credible, dipertanggung-gugatkan accountable dan berpegang teguh pada tatanan adat. Dalam peran tersebut, otomatis membutuhkan hubungan kemitraan dengan pihak lain yang merupakan stakeholders Pita et al. 2010, sehingga semua proses perencanaan dapat terlaksana sesuai dengan rencana. Secara konkret, semua stakeholders dapat dipetakan kedalam empat pihak yang sangat berkepentingan, yakni Pemerintah, Masyarakat Nelayan, Masyarakat berbagai elemen, dan Panglima Laôt sendiri. Para nelayan umumnya mentaati ketentuan-ketentuan adat nilai kearifan lokal sebagai suatu kewajiban, termasuk menjalankan keputusan yang diambil oleh Panglima laôt dalam mengadili suatu perkara. Jarang ditemui pihak yang kalah dalam suatu perkara menolak menjalani keputusan yang telah diambil oleh Panglima Laôt. Kondisi ini menurut Mahadi 1991 diacu dalam Daud dan Adek 2010, disebabkan masyarakat Indonesia umumnya menghormati dan mentaati hukum adat, karena mentaati hukum adat sama dengan menghargai diri sendiri dan masyarakat. Beberapa adat-istiadat di laut, seperti adat dalam operasional melaut, adat sosial-ekonomi nelayan, pemeliharaan lingkungan, adat khanduri laôt, dan adat yang berhubungan dengan penangkapan ikan di laut. Pelaksanaan hukôm adat laôt berimplikasi kepada sanksi bila tak dilaksanakan. Sanksi tersebut berbentuk, antara lain: penyitaan hasil laut, denda, perdamaian, pelarangan turun ke laut dalam jangka waktu tertentu. Ada hal penting lain yang sungguh luar biasa dari adat laôt, yakni adat laôt sebagai media resolusi konflik. Keberadaan adat laôt dapat menjadi alat penyelesaian sengketa, baik perdata maupun pidana. Keributan yang terjadi karena konflik dalam mengelola kekayaan alam antar masyarakat nelayan, adat laôt memiliki konsep tersendiri untuk menyelesaikannya dengan penuh kedamaian. Hukuman yang sangat berat dirasakan oleh seorang nelayan apabila mendapat pengucilan dari masyarakatlingkungan tempat mereka berdomisili apabila tidak menghormati hukum adat. Akibatnya, dapat berupa acuhnya masyarakat nelayan terhadap seseorang yang dipandang tidak tahu hukum adat. Dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat nelayan, orang tidak merasa malu kalau disebut tolol, bodoh. Akan tetapi seseorang nelayan akan sangat tersinggung dan marah besar kalau dikatakan tidak tahu adat atau tidak beradat, karena sejak kecil masyarakat di Aceh pada umumnya dan nelayan pada khususnya sudah diajari adat melalui suatu proses yang disebut process of socialization, Proses ini berjalan sepanjang hidup seseorang dalam masyarakat.