Pendahuluan Adopsi Teknologi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Yang Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal dan Pengembangannya di Kabupaten Aceh Jaya

mewujudkan kesejahteraan masyarakat nelayan termasuk bagi nelayan yang terdampar Abdullah et al. 2006

3.3.2 Hukum positif dan Kelembagaan Panglima Laôt sebagai pemangku

nilai-nilai kearifan lokal di Aceh. Analisis hukum dilakukan untuk mengetahui dasar berlakunya hukum adat laôt dan melacak sejarah lembaga hukum adat laôt di Provinsi Aceh, sedangkan analisis kelembagaan dilakukan untuk mengetahui sistem kelembagaan Panglima Laôt serta melihat hubungan lembaga tersebut dengan lembaga lainnya. Berikut akan penjelasan lebih rinci dari hasil analisis hukum dan kelembagaan Panglima Laôt.

3.3.2.1 Pengakuan hukum positif terhadap hukum adat laôt

Hukum adat laôtkearifan lokal sudah ada sejak lama di Aceh dan terus berkembang bersamaan dengan tumbuhnya kebudayaan masyarakat adat nelayan di Aceh. Hukum adat laôtkearifan lokal tetap dipatuhi tanpa ada paksaan dan dijalankan sesuai dengan nilai budaya, norma-norma adat sesuai dengan syariat Islam oleh masyarakat adat nelayan di Aceh pada saat itu. Keberadaan hukum adat laôtkearifan lokal di Aceh diakui oleh hukum positif, yang merupakan hukum yang berlaku di Indonesia. Beberapa peraturan mengenai pengakuan hukum positif terhadap keberadaan hukum adat laôtkearifan lokal berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di Aceh sebagai berikut: 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juncto Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 1 Pasal 6 ayat 2 ”Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat danatau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.” 2 Pada Pasal 52 ”Pemerintah mengatur, mendorong, danatau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisibudaya lokal.” Berdasarkan pasal-pasal di atas diketahui bahwa kearifan lokal atau hukum adat menjadi salah satu pertimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di seluruh wilayah Perairan Indonesia. Pengakuan pemerintah terhadap kearifan lokal atau hukum adat laôt seiring dengan perubahan sistem pemerintahan yang otonom dan terdesentralisasi, sehingga keberadaan lembaga adat kembali diperhatikan. 2 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau pulau Kecil. 1 Pasal 60 ayat 1 butir c ”Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat mempunyai hak untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.” 2 Pasal 61 ayat 1 “Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun- temurun.” 3 Pasal 61 ayat 2 ”Pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.” Berdasarkan pasal-pasal di atas dapat diketahui bahwa masyarakat nelayan di Aceh diberikan hak untuk mengelola wilayah pesisir seperti mengelola kegiatan perikanan tangkap sesuai dengan hukum adat laôt yang berlaku, yaitu yang disebut Panglima Laôt. Hak ini diberikan kepada masyarakat adat nelayan karena pemerintah mengakui, menghormati dan melindungi kearifan lokal yang berlaku di suatu wilayah, salah satunya adalah hukum adat laôt yang berlaku di Aceh. 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 1 Pasal 162 ayat 1 ”Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota berwenang untuk mengelola sumberdaya alam yang hidup di Laôt wilayah Aceh.” 2 Pasal 162 ayat 2 huruf e “Kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam yang hidup di Laôt sebagaimana dimaksud pada ayat 1, yaitu pemeliharaan hukum adat Laôt dan membantu keamanan Laôt.” Pada pasal di atas diketahui bahwa pemerintah provinsi dan kabupatenkota di Aceh diberi kewenangan untuk memelihara hukum adat laôt, Pengakuan Pemerintah Aceh dan kabupatenkota terhadap lembaga adat bertujuan agar menjaga dan memelihara hukum adat laôt sebagai salah satu kearifan lokal di Aceh.” 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 2 ayat 9 ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Berdasarkan Pasal 2 ayat 9 di atas dapat diketahui keberadaan masyarakat nelayan di Aceh sebagai bagian dari masyarakat hukum adat sangat diakui dan dihormati oleh Negara, bahkan, masyarakat nelayan juga diberikan hak untuk tetap menjalankan hukum adat laôt sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5 Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Pasal 11 ayat 2 “Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, pemerintah provinsi mengakui keberadaan Lembaga Panglima Laôt dan hukum adat laôt yang telah ada dan eksis dalam kehidupan masyarakat nelayan di Provinsi.”