Metode Analisis Data Adopsi Teknologi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Yang Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal dan Pengembangannya di Kabupaten Aceh Jaya

Laôt saat itu sebagai Panglima Laôt Lhôk Abdullah et al. 2006. Peran Panglima Laôt setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu mengatur cara-cara untuk menyelesaikan konflik antara nelayan yang terjadi di Laut. Pada Tahun 1945 - 1982, Panglima Laôt berdiri sendiri-sendiri di tiap wilayah lhôk Panglima Laôt Lhôk. Pemilihan Panglima Laôt Lhôk dilakukan oleh masyarakat nelayan dan pilihan tersebut jatuh kepada Pawang Laôt fishing master yang memiliki pengalaman di bidang kelautan. Keberadaan Panglima Laôt dari awal pembentukan sampai sekarang sudah mengalamai berbagai fase, mulai dari sebagai pengutip pajak sampai mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah sebagai pemangku adat laôt di Aceh Tabel 2 Tabel 2 Fase keberadaan Panglima Laôt Periode Era Aspek 1607-1637 Kerajaan Islam Aceh, Dibawah Sultan Iskandar Muda - Pembentukan awal - Sebagai pengutip pajak 1904-1945 Era penjajahan Belanda dan Jepang Gerakan kemerdekaan. Mobilisasi orang untuk kemerdekaan 1966 – 1998 Rezim Orde Baru - Pemerintahan yang sentralistik - Implementasi terbatas 1982 Kongres pertama Pembentukan Panglima Laôt tingkat Kabupaten 1998 Era Reformasi Pengakuan penuh berdasarkan kebijakan 2002 Kongres kedua Pembentukan Panglima Laôt tingkat provinsi 2004 Tsunami Bantuan darurat, pemulihan dan rekonstruksi Mendapatkan pengakuan penuh 2005 Perjanjian Damai 2005 - Sekarang Revitalisasi Sumber: Utomo 2010 Kedudukan Panglima Laôt Lhôk yang berdiri sendiri-sendiri di setiap wilayah mengakibatkan hukum adat laôt yang berlaku di suatu wilayah belum tentu sama dengan hukum adat yang berlaku di wilayah lainnya. Hal ini sering memicu terjadi sengketa nelayan antar wilayah atau lhôk, sehingga Panglima Lhôk di seluruh wilayah Aceh mengadakan pertemuan di Kota Langsa pada tahun 1982 untuk membentuk Panglima Laôt Kabupaten. Panglima Laôt Kabupaten dibentuk atas dasar kesepakatan antar Panglima Laôt Lhôk yang diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa nelayan yang terjadi antar lhôk desa yang tidak dapat diselesaikan oleh Panglima Laôt Lhôk. Pada tahun 2000, pertemuan dilaksanakan kembali di Banda Aceh dan Sabang yang dihadiri oleh Panglima Laôt Kabupaten dan Panglima Laôt Lhôk. Hasil pertemuan tersebut berupa kesepakatan untuk membentuk Panglima Laôt Provinsi. Panglima Laôt Provinsi diberi tugas untuk mengkoordinasikan hukum adat Laôt, menjembatani kepentingan nelayan dengan pemerintah dan mengadvokasi kebijakan kelautan dan perikanan termasuk advokasi hukum dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat nelayan termasuk bagi nelayan yang terdampar Abdullah et al. 2006

3.3.2 Hukum positif dan Kelembagaan Panglima Laôt sebagai pemangku

nilai-nilai kearifan lokal di Aceh. Analisis hukum dilakukan untuk mengetahui dasar berlakunya hukum adat laôt dan melacak sejarah lembaga hukum adat laôt di Provinsi Aceh, sedangkan analisis kelembagaan dilakukan untuk mengetahui sistem kelembagaan Panglima Laôt serta melihat hubungan lembaga tersebut dengan lembaga lainnya. Berikut akan penjelasan lebih rinci dari hasil analisis hukum dan kelembagaan Panglima Laôt.

3.3.2.1 Pengakuan hukum positif terhadap hukum adat laôt

Hukum adat laôtkearifan lokal sudah ada sejak lama di Aceh dan terus berkembang bersamaan dengan tumbuhnya kebudayaan masyarakat adat nelayan di Aceh. Hukum adat laôtkearifan lokal tetap dipatuhi tanpa ada paksaan dan dijalankan sesuai dengan nilai budaya, norma-norma adat sesuai dengan syariat Islam oleh masyarakat adat nelayan di Aceh pada saat itu. Keberadaan hukum adat laôtkearifan lokal di Aceh diakui oleh hukum positif, yang merupakan hukum yang berlaku di Indonesia. Beberapa peraturan mengenai pengakuan hukum positif terhadap keberadaan hukum adat laôtkearifan lokal berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di Aceh sebagai berikut: 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juncto Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 1 Pasal 6 ayat 2 ”Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat danatau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.” 2 Pada Pasal 52 ”Pemerintah mengatur, mendorong, danatau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisibudaya lokal.” Berdasarkan pasal-pasal di atas diketahui bahwa kearifan lokal atau hukum adat menjadi salah satu pertimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di seluruh wilayah Perairan Indonesia. Pengakuan pemerintah terhadap kearifan lokal atau hukum adat laôt seiring dengan perubahan sistem pemerintahan yang otonom dan terdesentralisasi, sehingga keberadaan lembaga adat kembali diperhatikan. 2 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau pulau Kecil. 1 Pasal 60 ayat 1 butir c ”Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat mempunyai hak untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan