Peranan sebagai penghubung. Peranan kearifan lokal dalam mewujudkan pembangunan perikanan berkelanjutan

Abdullah dan Muttaqin 2012. Sebagai lembaga adat, Panglima Laôt memiliki kekuatan utama dalam memobilisasi masyarakat nelayan melalui hubungan-hubungan masyarakat adat. Peran kunci yang teridentifikasi adalah: 1 mengidentifikasi berbagai permasalahan yang dihadapi nelayan; 2 mempromosikan program rekonstruksi yang berbasis pada permasalahan riil yang dihadapi masyarakat nelayan; 3 memastikan akuntabilitas pelaksanaan program; 4 menguatkan kapasitas lembaga otonom agar mampu menjadi lembaga yang dapat dipercaya credible, dipertanggung-gugatkan accountable dan berpegang teguh pada tatanan adat. Dalam peran tersebut, otomatis membutuhkan hubungan kemitraan dengan pihak lain yang merupakan stakeholders Pita et al. 2010, sehingga semua proses perencanaan dapat terlaksana sesuai dengan rencana. Secara konkret, semua stakeholders dapat dipetakan kedalam empat pihak yang sangat berkepentingan, yakni Pemerintah, Masyarakat Nelayan, Masyarakat berbagai elemen, dan Panglima Laôt sendiri. Para nelayan umumnya mentaati ketentuan-ketentuan adat nilai kearifan lokal sebagai suatu kewajiban, termasuk menjalankan keputusan yang diambil oleh Panglima laôt dalam mengadili suatu perkara. Jarang ditemui pihak yang kalah dalam suatu perkara menolak menjalani keputusan yang telah diambil oleh Panglima Laôt. Kondisi ini menurut Mahadi 1991 diacu dalam Daud dan Adek 2010, disebabkan masyarakat Indonesia umumnya menghormati dan mentaati hukum adat, karena mentaati hukum adat sama dengan menghargai diri sendiri dan masyarakat. Beberapa adat-istiadat di laut, seperti adat dalam operasional melaut, adat sosial-ekonomi nelayan, pemeliharaan lingkungan, adat khanduri laôt, dan adat yang berhubungan dengan penangkapan ikan di laut. Pelaksanaan hukôm adat laôt berimplikasi kepada sanksi bila tak dilaksanakan. Sanksi tersebut berbentuk, antara lain: penyitaan hasil laut, denda, perdamaian, pelarangan turun ke laut dalam jangka waktu tertentu. Ada hal penting lain yang sungguh luar biasa dari adat laôt, yakni adat laôt sebagai media resolusi konflik. Keberadaan adat laôt dapat menjadi alat penyelesaian sengketa, baik perdata maupun pidana. Keributan yang terjadi karena konflik dalam mengelola kekayaan alam antar masyarakat nelayan, adat laôt memiliki konsep tersendiri untuk menyelesaikannya dengan penuh kedamaian. Hukuman yang sangat berat dirasakan oleh seorang nelayan apabila mendapat pengucilan dari masyarakatlingkungan tempat mereka berdomisili apabila tidak menghormati hukum adat. Akibatnya, dapat berupa acuhnya masyarakat nelayan terhadap seseorang yang dipandang tidak tahu hukum adat. Dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat nelayan, orang tidak merasa malu kalau disebut tolol, bodoh. Akan tetapi seseorang nelayan akan sangat tersinggung dan marah besar kalau dikatakan tidak tahu adat atau tidak beradat, karena sejak kecil masyarakat di Aceh pada umumnya dan nelayan pada khususnya sudah diajari adat melalui suatu proses yang disebut process of socialization, Proses ini berjalan sepanjang hidup seseorang dalam masyarakat.

3.5 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1 Panglima Laôt sebagai pemangku hukum adat laôtkearifan lokal mendapatkan pengakuan hukum positif, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 2 Hukum adat laôtkearifan lokal yang ada di Aceh dan Kabupaten Aceh Jaya pada khususnya sangat berperan dalam mewujudkan pembangunan perikanan tangkap yang berkelanjutan, karena dalam nilai-nilai kearifan lokal tersebut banyak mengandung unsur-unsur perikanan tangkap berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.