surat izin penangkapan ikan, dan lain-lainnya. Panglima Laôt juga memberikan informasi kepada dinas terkait, jumlah armada penangkapan ikan beserta alat
tangkap yang digunakan di masing-masing lhôk untuk dapat dikeluarkan surat izin yang dibutuhkan oleh masyarakat nelayan.
3.4 Pembahasan
Kearifan lokal merupakan idenentitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan
ke dalam dua aspek, yaitu aspek berwujud nyata tangible dan aspek tidak berwujud intangible. Jenis kearifan lokal meliputi kelembagaan, nilai-nilai adat,
serta tata cara dan prosedur, Hak Ulayat Laut Adrianto 2010. Dalam kaitannya dengan penataan ruang, kearifan lokal menjadi landasan dalam penyelenggaraan
penataan ruang karena beberapa nilai yang terkandung dalam kearifan lokal terbukti masih relevan diaplikasikan hingga sekarang, baik dalam aspek
pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan,
serta aspek
pengawasan dalam
penyelenggaran penataan ruang Ridwan 2007. Bentuk dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Aceh disebut hukum adat
laôt dan Panglima Laôt. Hukum adat laôt dan Panglima Laôt ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Hukôm adat laôt adalah
aturannya, sedangkan Panglima Laôt adalah lembaga yang menegakkannya. Hukôm adat laôt tanpa Panglima Laôt ibarat hukum tanpa penegak hukum,
sebaliknya, Panglima Laôt tanpa hukôm adat laôt ibarat penegak hukum tidak memiliki hukum.
Panglima Laôt didefinisikan sebagai orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan laut dan
penyelesaian sengketa Pasal 1 ayat 13 Perda Nomor 7 Tahun 2000, Sedangkan konsep hukôm adat laôt tidak ditemukan secara spesifik. Dalam Musyawarah
Lembaga Hukôm Adat LaôtPanglima Laôt se-Aceh tanggal 6-7 Juni 2001 di Banda Aceh, dirumuskan bahwa hukôm adat laôt dan adat-istiadat merupakan
hukum-hukum adat yang diberlakukan oleh masyarakat nelayan untuk menjaga ketertiban dalam penangkapan ikan dan kehidupan masyarakat nelayan di pantai.
Dalam Perda dan Qanun hanya ditemukan konsep hukum adat, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan.
Peraturan Daerah Perda Nomor 7 Tahun 2000, Pasal 1 ayat 18, “hukum adat adalah Hukum Adat Aceh yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di
Daerah”. Padal 1 ayat 19, “adat istiadat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syariat Islam yang lazim dituruti, dihormati, dimuliakan sejak dahulu
dan dijadikan sebagai landasan hidup”. Pasal 1 ayat 20, “kebiasaan-kebiasaan adalah suatu kegiatan atau perbuatan yang pada dasarnya bukan bersumber dari
Hukum Adat atau Adat Istiadat akan tetapi hal tersebut telah diakui oleh umum dan telah dilaksanakan secara berulang-ulang dan terus menerus”. Dalam Pasal 1
ayat 12 Qanun Nomor 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam, ditemukan istilah masyarakat adat adalah “sekelompok orang yang tinggal dalam
kawasan tertentu secara turun-temurun berdasarkan kesamaan tempat tinggal dan atau hubungan darah yang memiliki wilayah adat dan pranata-pranata adat
tersendiri.”Pasal 1 ayat 8 Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Mukim, menyebutkan, “hukum adat adalah semua aturan adat, adat istiadat dan kebiasaan-
kebiasaan yang hidup dalam masyarakat Aceh, bersifat mengikat dan
menimbulkan akibat hukum”. Dalam Pasal 1 ayat 11, 12 dan 13 Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan adat dan adat-istiadat,
menyebut, “hukum adat adalah seperangkat ketentuan tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, memiliki sanksi apabila dilanggar”.
“Adat-istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi pendahulu yang dihormati dan dimuliakan sebagai warisan yang sesuai dengan
Syariat Islam”. “Kebiasaan adalah sikap dan perbuatan yang dilakukan secara berulang kali untuk hal yang sama, hidup dan berkembang serta dilaksanakan oleh
masyarakat”. Lihat juga Pasal 1 ayat 29, 30, dan 31 Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Dalam Qanun tersebut, “Panglima Laôt adalah orang
yang memimpin dan mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan”.
Panglima Laôt Lhôk di Aceh hanya dikenal oleh masyarakat pesisir, khususnya dalam struktur
lembaga hukum Adat LaôtPanglima Laôt. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Panglima Laôt sekarang
mempunya tiga tingkatan, yakni tingkat Lhôk, tingkat KabupatenKota, dan Provinsi. Terlihat jelas bahwa tingkat paling bawah bukan merupakan kecamatan,
tapi lhôk. satu lhôk, melingkupi satu gampong desa, lebih dari satu gampong, beberapa gampong dalam satu mukim gabungan beberapa gampong, beberapa
gampong dalam dua mukim, atau beberapa gampong dalam satu kecamatan, Panglima Laôt Aceh H. Bustaman, wawancara, 21 Oktober 2012.
Pelanggaran hukum adat laôt digolongan dalam dua bentuk yaitu, pelanggaran hukum dan perbuatan pelanggaran yang dalam keadaan tertentu tidak
dianggap pelanggaran. Perbuatan pelanggaran hukum adat laôt adalah semua perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat laôt, antara lain 3 hari hari
pantang melaut setelah khanduri laôt, hari Jumat, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, setiap tanggal 17 Agustus, dan setiap tanggal 26 Desember sebagai hari
berkabung Tsunami, hal ini sesuai dengan dengan Abdullah et al. 2006, Daud dan Adek 2010, Adrianto et al. 2011 yang menyatakan bahwa dalam kearifan
lokal di Aceh dikenal dengan hari-hari tentu dilarang melaut hari pantang laôt.
Ada beberapa alasan mengapa dikenal hari pantang melaut bagi seluruh nelayan Aceh. Pertama, alasan religius. Khusus hari Jumat, kalau nelayan tetap
melaut, hampir tak mungkin bagi mereka menunaikan shalat Jumat secara berjamaah. Alasan kedua, pertimbangan ekologis. diupayakan dalam seminggu
harus ada satu hari dimana seluruh biota laut hidup tenang, tanpa diusik oleh nelayan, sehingga memungkinkan ikan, udang, dan lainnya berpijah. Ketiga,
alasan reparasi. Nelayan memperbaiki jala, jaring, pukat, perahu, atau boatnya, sehingga ketika turun melaut lagi kondisi alat-alat tangkapnya dalam keadaan
baik. Keempat, pada masa mereparasi alat tangkap itu biasanya terjalin nilai-nilai komunal kerja sama atau kegotong-royongan, sebab pekerjaan memperbaiki alat
tangkap itu biasanya dilakukan bersama-sama oleh kelompok nelayan.
Pelaksanaan suatu ketentuan hukum adat laôt, selalu memiliki konteks masing-masing. Ini menjadi landasan dan latar belakang ketika menawarkan adat
laôt dapat menjadi sebuah paradigma pembangunan dimasa mendatang. Dalam adat laôt, yang sangat ditekankan adalah bahwa usaha memenuhi kebutuhan
ekonomi harus seimbang dengan kelestarian habitat dan keberlanjutan ekosistem Aarras et al. 2014. Intinya selalu ada keseimbangan antara proses berhubungan
secara vertikal Pencipta dan horizontal insani. Bisa jadi, salah satu alasannya karena di sanalah mereka hidup dan perlu menjaga lingkungannya