Metode pengumpulan data Jenis dan Metode Pengumpulan Data

peran kearifan lokal dalam mewujudkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan di Kabupaten Aceh Jaya.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam peneitian ini adalah metode survei dibantu daftar pertanyaan kuesioner. Data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan responden, penentuan responden ditentukan secara purposive sampling ditentukan. Respondennya adalah pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Jaya, Panglima Laôt Aceh provinsi, Panglima Laôt Kabupaten, Panglima Laôt Lhôk Gambar 3, nelayan dan pedagang ikan. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, seperti Lembaga Panglima Laôt Aceh, Dinas Kelautan dan Perikanan serta laporan hasil-hasil penelitian. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah; 1 Aspek kelembagaan, meliputi sejarah lahir kelembagaan Panglima Laôt 2 Aspek hukum, meliputi dasar hukum kelembagaan Panglima Laôt dan aturan atau ketentuan Panglima Laôt dalam Pemanfaatan sumberdaya ikan Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis isi content analysis, untuk memberikan gambaran tentang peranan Panglima Laôt sebagai pemangku hukum adat laôt kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Aceh Jaya. Metode content analysis ini, digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita radio maupun semua bahan- bahan dokumentasi yang lain tentang Panglima Laôt. 3.3 Hasil Penelitian 3.3.1 Sejarah Panglima Laôt Panglima Laôt adalah lembaga hukum adat laôt yang telah ada sejak abad ke-16 yaitu pada zaman Kerajaan Samudera Pasai 1607-1636. Pada mulanya Panglima Laôt merupakan perpanjangan tangan Sultan Iskandar Muda, yang berperan memungut pajak dari kapal-kapal dagang di pelabuhan dan memobilisasi massa untuk berperang Abdullah et al. 2006. Menurut Hoven 1979 diacu dalam Abdullah et al. 2006, Panglima Laôt adalah lembaga adat resmi dan diatur oleh negara. Kekuasaan ini diberikan oleh Sultan melalui surat kepada pembesar wilayah. Hal ini menggambarkan bahwa Panglima Laôt pada masa itu diberi kekuasaan oleh Sultan untuk menguasai wilayah maritim di Aceh. Pemungutan diberlakukan pada kapal-kapal atau pengunjung yang berlabuh di sekitar wilayah Aceh. Pajak tersebut digunakan oleh kerajaan, seperti untuk bantuan perang. Peran lain Panglima Laôt, yaitu mengumpulkan massa untuk berperang yang hampir sebagian besar berasal dari masyarakat nelayan sendiri. Panglima Laôt tidak lagi berperan sebagai perpanjangan tangan Sultan, melainkan pemimpin adat nelayan yang mengatur segala praktik kenelayanan dan kehidupan sosial di suatu wilayah pada zaman kolonial Belanda 1904 – 1942. Hal ini menunjukkan bahwa Panglima Laôt memiliki kekuasaan penuh untuk memimpin dan mengatur segala hal yang berhubungan dengan kegiatan nelayan. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 - 1945, peran Panglima Laôt tidak terlalu berbeda jauh dengan perannya saat zaman kolonial Belanda. Apabila dilihat perannya saat zaman kolonial Belanda dan Jepang, maka tugas Panglima Laôt saat itu sebagai Panglima Laôt Lhôk Abdullah et al. 2006. Peran Panglima Laôt setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu mengatur cara-cara untuk menyelesaikan konflik antara nelayan yang terjadi di Laut. Pada Tahun 1945 - 1982, Panglima Laôt berdiri sendiri-sendiri di tiap wilayah lhôk Panglima Laôt Lhôk. Pemilihan Panglima Laôt Lhôk dilakukan oleh masyarakat nelayan dan pilihan tersebut jatuh kepada Pawang Laôt fishing master yang memiliki pengalaman di bidang kelautan. Keberadaan Panglima Laôt dari awal pembentukan sampai sekarang sudah mengalamai berbagai fase, mulai dari sebagai pengutip pajak sampai mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah sebagai pemangku adat laôt di Aceh Tabel 2 Tabel 2 Fase keberadaan Panglima Laôt Periode Era Aspek 1607-1637 Kerajaan Islam Aceh, Dibawah Sultan Iskandar Muda - Pembentukan awal - Sebagai pengutip pajak 1904-1945 Era penjajahan Belanda dan Jepang Gerakan kemerdekaan. Mobilisasi orang untuk kemerdekaan 1966 – 1998 Rezim Orde Baru - Pemerintahan yang sentralistik - Implementasi terbatas 1982 Kongres pertama Pembentukan Panglima Laôt tingkat Kabupaten 1998 Era Reformasi Pengakuan penuh berdasarkan kebijakan 2002 Kongres kedua Pembentukan Panglima Laôt tingkat provinsi 2004 Tsunami Bantuan darurat, pemulihan dan rekonstruksi Mendapatkan pengakuan penuh 2005 Perjanjian Damai 2005 - Sekarang Revitalisasi Sumber: Utomo 2010 Kedudukan Panglima Laôt Lhôk yang berdiri sendiri-sendiri di setiap wilayah mengakibatkan hukum adat laôt yang berlaku di suatu wilayah belum tentu sama dengan hukum adat yang berlaku di wilayah lainnya. Hal ini sering memicu terjadi sengketa nelayan antar wilayah atau lhôk, sehingga Panglima Lhôk di seluruh wilayah Aceh mengadakan pertemuan di Kota Langsa pada tahun 1982 untuk membentuk Panglima Laôt Kabupaten. Panglima Laôt Kabupaten dibentuk atas dasar kesepakatan antar Panglima Laôt Lhôk yang diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa nelayan yang terjadi antar lhôk desa yang tidak dapat diselesaikan oleh Panglima Laôt Lhôk. Pada tahun 2000, pertemuan dilaksanakan kembali di Banda Aceh dan Sabang yang dihadiri oleh Panglima Laôt Kabupaten dan Panglima Laôt Lhôk. Hasil pertemuan tersebut berupa kesepakatan untuk membentuk Panglima Laôt Provinsi. Panglima Laôt Provinsi diberi tugas untuk mengkoordinasikan hukum adat Laôt, menjembatani kepentingan nelayan dengan pemerintah dan mengadvokasi kebijakan kelautan dan perikanan termasuk advokasi hukum dalam