Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
conflict yaitu faktor pekerjaan work stressor perceived organizational support dan personal usia, pendidikan dan masa kerja karyawan. Work stressor
merupakan faktor yang memiliki pengaruh yang positif terhadap work-family conflict. Semakin tinggi work stressor yang dirasakan karyawan, maka akan
semakin tinggi pula work-family conflict nya. Begitu pula sebaliknya semakin rendah work stressor yang dialami karyawan, maka akan semakin rendah pula
work-family conflict yang dirasakan. Ada berbagai macam work stressor yang ada di lingkungan pekerjaan, yaitu role conflict, role ambiguity dan role overload
Foley, Ngo Lui, 2005. Dimana ketiga work stressor ini akan di bahas dalam penelitian ini.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa work stressor memiliki efek yang negatif bagi sikap kerja karyawan serta meningkatan ketegangan ODriscoll
Beehr, 1994, bahkan sampai memicu terjadinya work-family conflict Greenhaus Beuteull, 1985. Seperti penelitian yang dilakukan Poelmans 2001 dengan
judul “work family conflict as a mediator work stress-mental health relationship”, yang menerangkan bahwa work-family conflict memiliki pengaruh yang positif
dengan work stress baik dalam dunia kerja maupun masyarakat. Selain itu, penelitian yang dilakukan Foley et al. 2005 di Hongkong, juga menjelaskan
bahwa work stressor menjadi variabel yang memiliki pengaruh sebesar 16 terhadap work-family conflict yang dirasakan individu. Work stressor sendiri
didefinisikan sebagai kondisi yang tidak menyenangkan akibat adanya tekanan yang muncul karena tuntutan dalam pekerjaan dan organisasi.
Selain work stressor, faktor lain yang mempengaruhi work-family conflict adalah perceived organizational support. Dalam meminimalisir konflik yang
terjadi pada dua peran yang berbeda pekerjaan dan keluarga sangat dibutuhkan dukungan dari salah satu peran seperti adanya dukungan dari organisasi Kahya
Kesen, 2014. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh perceived organizational support terhadap work-family conflict.
Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan Kahya dan Kesen 2014 mengenai the effect of perceived organizational support on work to family
conflict: a Turkish case menjelaskan bahwa perceived organizational support memiliki pengaruh yang negatif r = -.442, p .01 terhadap work-family conflict .
Hasil ini menunjukan bahwa karyawan di Bayburt University memiliki tingkat perceived organizational support yang tinggi. Artinya disaat karyawan sudah
merasakan tingkat perceived organizational support yang tinggi, karyawan akan mengerjakan pekerjaannya dengan baik sehingga dapat meningkatkan kepuasan
kerja, suasana hati yang lebih positif dan berkurangnya stres pada karyawan Rhoades Eisenberger, 2002.
Hasil penelitian Kahya dan Kesen 2014 sejalan dengan penelitian yang dilakukan Foley et al. 2005 di Hongkong, yang melaporkan bahwa perceived
organizational support memiliki pengaruh yang negatif terhadap work-family conflict. Menurutnya work-family conflict akan tinggi disaat perceived
organizational support yang dirasakan karyawan rendah. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan Listyanti Dewi, 2014 mengenai pengaruh perceived
organizational support terhadap work-family conflict pada karyawati PT. PLN
Distribusi Jawa Tengah DIY. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang negatif antara perceived organizational support POS terhadap
work-family conflict WFC. Hal ini disebabkan karena, mayoritas karyawan PT. PLN Distribusi Jawa Tengah DIY merasakan tingkat perceived organizational
support yang tinggi, sehingga keadaan ini dapat meminimalisir terjadinya work- family conflict pada karyawan.
Perceived organizational support sendiri didefinisikan sebagai sejauh mana karyawan menilai bahwa organisasi menghargai kontribusi dan peduli
tentang kesejahteraan karyawan Eisenberger, Huntington, Hutchison, Sowa, 1986. Menurut Elloy dan Mackie dalam Kusendi, 2013 organisasi yang tidak
produktif dan tidak memberi keuntungan yang cukup bagi karyawan dapat menyebabkan permasalahan bagi karyawan yang dapat terbawa ke lingkungan
keluarga. Oleh karena itu, karyawan harus mendapatkan perlakuan dan prosedur
pelaksanaan kerja dalam kondisi yang nyaman, sehingga ada faktor human resources practice dalam perceived organizational support yang dapat dirasakan
oleh karyawan dalam organisasi tersebut. Kondisi ini jelas akan membuat karyawan lebih merasa berharga keberadaannya dalam sistem kinerja organisasi
tersebut Einsberger et al., 1986. Jika pola perceived organizational support ini sudah terbentuk dan dapat dirasakan secara keseluruhan oleh setiap anggota
organisasi, maka hal ini dapat menciptakan efek positif yang berkaitan dengan lingkungan kerja karyawan Rhoades Einsberger, 2002.
Selain kedua variabel yang telah disebutkan diatas, terdapat variabel lain yang diduga menjadi penyebab terjadinya work-family conflict, yaitu variabel
demografi Adam, 2008. Cohen dan Liani 2009 menyebutkan terdapat tiga variabel demografi yang memiliki pengaruh terhadap work-family conflict yaitu;
usia, pendidikan dan masa kerja karyawan. Dalam penelitian ini, ketiga variabel demografi akan diteliti untuk melihat pengaruhnya terhadap work-family conflict.
Menurut Malone 2011 usia ibu yang bekerja dapat mempengaruhi persepsi-nya terhadap work-family conflict. Hal ini didukung oleh penelitian Mjoli
et al. 2013 mengenai demographic determinants of work-family conflict among female factory workers in South Africa. Dalam penelitian tersebut menunjukan
bahwa usia memiliki pengaruh yang positif terhadap work-family conflict. Menurutnya semakin bertambah usia seseorang, maka perhatian terhadap keluarga
akan bertambah, sehingga kepuasan terhadap karir akan lebih menurun. Hasil ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan Abdulqader 2005 di
Yament yang melaporkan bahwa usia tidak memiliki pengaruh terhadap work- family conflict.
Selanjutnya faktor yang dapat mempengaruhi work-family conflict adalah pendidikan. Dalam penelitian Razak, Yunus Nasurdin 2011 dijelaskan bahwa
pendidikan memiliki pengaruh terhadap work-family conflict. Semakin tingginya tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin rentan mengalami work-family
conflict. Namun, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Anafarta dan Kuuruzum 2012 yang menyebutkan bahwa level education seseorang tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap work-family conflict.
Begitu pula dengan masa kerja karyawan yang memiliki dampak pada work-family conflict Adalikwu, 2013. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh La
Brooy 2013 menemukan bahwa masa kerja karyawan memiliki pengaruh yang positif terhadap work-family conflict, karena, dengan adanya pengalaman dan
kompetensi yang diperoleh selama menjadi karyawan, diharapkan dapat mengembangkan strategi formal dan informal untuk mengatasi masalah yang
diciptakan oleh work-family conflict WFC dan family-work conflict FWC Anafarta Kuruuzum, 2012.
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul pengaruh work stressor, perceived organizational support dan faktor demografi terhadap work-family conflict.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dilakukan agar peneliti lebih terfokus, terarah dan tidak menyimpang dari pembahasan. Oleh karena itu, peneliti memfokuskan pada
pembahasan atas beberapa masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalahan yang terdiri dari:
1. Work-family conflict
Work-family conflict merupakan bentuk konflik interrole di mana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara mutual saling bertentangan dalam beberapa hal,
sehingga partisipasi dalam satu peran membuatnya lebih sulit untuk berpartisipasi dalam peran lainnya. Dilihat dari tiga aspek: time-based conflict, strain-based
conflict dan behaviour-based conflict Greenhaus dan Beutell, 1985.
2. Work stressor
Work stressor didefinisikan sebagai tekanan yang dialami oleh individu sebagai akibat dari adanya tuntutan pekerjaan dan organisasi. Dilihat dari role conflict,
role ambiguity dan role overload Kahn, Wolfe, Quinn Snoek, 1964. 3.
Perceived organizational support Perceived organizational support merupakan persepsi karyawan mengenai sejauh
mana organisasi menilai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan. Dilihat dari tiga aspek, fairness, supervisor support dan organizational reward
and job condition Rhoades Eisenberger, 2002. 4.
Faktor demografi Faktor demografi terdiri dari, usia, tingkat pendidikan dan masa kerja.