II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gerakan Menabung Pohon
Program Gerakan Menabung Pohon yang merupakan program CSR dari PT. Pertamina Persero melalui Pertamina Foundation PF. Menurut PF sebagai
organisasi yang menginisiasi program tersebut, GMP merupakan bukti konkret upaya penyelamatan lingkungan melalui konservasi lahan kritis. GMP disebut
juga sebagai salah satu solusi ideal mengentaskan kemiskinan, meningkatkan ekonomi, serta kesejahteraan hidup masyarakat. Melalui program GMP ini, PF
ingin mengubah bentuk pendekatan yang ada sebelumnya, agar masyarakat ingin dan mau menanam pohon. Program GMP ini turut mendukung juga program
Pertamina 100 Juta Pohon dan Gerakan Menanam 1 Miliar Pohon yang telah dicanangkan oleh PT. Pertamina dan juga pemerintah Pertamina Foundation,
2012b. Menurut Ermasari dan Rudito 2014, PT. Pertamina Persero sendiri
menginvestasikan dana CSR programnya dalam program penghijauan ini dengan beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya: memproduksi oksigen sebagai
kompensasi dari kegiatan industri dari PT. Pertamina, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, dan mempertahankan keberlanjutan
lingkungan. Serta tujuan terpenting adalah menjaga stabilitas alam, seperti mengkonservasi sumberdaya air, mencegah erosi, dan sebagai tempat untuk
menampung makhluk hidup. Beberapa manfaat yang dirasakan masyarakat dari program GMP ini dengan studi kasus Lombok Timur adalah memberantas
kemiskinan, meningkatkan etos kerja, mengurangi pengangguran, membantu menyelamatkan alam, mendidik masyarakat untuk menghasilkan uang dari
menanam pohon, meningkatkan kualitas hidup, mengelola tanah tandus, dan menambah pemasukan bagi keluarga di sekitar kawasan program.
Menurut Atun, salah satu relawan program GMP seperti yang dikutip oleh Green Life Inspiration
2014, sampai bulan Januari tahun 2014 sendiri sudah 79.537.828 pohon yang ditanam pada lahan seluas 538.908 hektar yang berada di
934 desa di seluruh Indonesia. Pohon-pohon tersebut dipelihara oleh petani yang berdampingan dengan relawan sampai dengan tahap pemanenan. Relawan
tersebut secara sukarela melakukan sosialisasi, mencari lahan, mengajak, serta meyakinkan petani dan pemilik lahan untuk bergabung dalam program GMP.
Hasil panen dari program GMP 80 dikembalikan kepada masyarakat, dengan rincian 70 bagi petani dan pemilik lahan, 5 untuk desa, dan 5 untuk
Pertamina Foundation. Pertamina Foundation nantinya akan menyalurkan kembali dana 5 tersebut kepada masyarakat sebagai dana bergulir Wulandari,
2012. Menurut Febri, anggota komunitas twitgreen.com seperti dikutip oleh
Seputar Jabar Online 2014 dalam satu siklus aksi menabung pohon terdapat dua belas tahapan. Tahapan GMP tersebut yaitu: 1 0-Draft; 2 1-Offering; 3 2-Plan;
4 3-Ready to Plant; 5 4-Planting; 6 5-Planted; 7 6-Verified; 8 7-Saving Trees; 9 8-Growing; 10 9-Production; 11 10-Sustained; dan 12 11-Growth. Pada
tahap 0-6 maksimal 1 tahun program GMP diharapkan akan menghasilkan manfaat sosial, pada tahap 7-8 maksimal 5 tahun program GMP diharapkan akan
menghasilkan manfaat lingkungan, dan pada tahap 9-11 maksimal 1 tahun program GMP diharapkan akan menghasilkan manfaat ekonomi untuk lanjut dan
berkembang. Pertamina Foundation menargetkan dalam 1 siklus atau putaran akan menghasilkan 1 lot hijau dan minimal ada 1 lot baru yang berkembang untuk
diputar selanjutnya. Salah satu permasalahan yang menjadi kelemahan dari program
penanaman pohon baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak lainnya adalah lemahnya pendataan yang dilakukan terhadap keberadaan pohon-pohon
yang ditanam tersebut, seperti disampaikan oleh Febri, anggota komunitas twitgreen.com yang dikutip oleh Seputar Jabar Online 2014. Berdasarkan hal
tersebut, dilakukan pendekatan teknologi informasi untuk mendata pohon-pohon yang ditanam melalui program GMP dalam situs twitgreen.com. Twitgreen
melakukan pendataan pohon-pohon yang ditanam melalui program GMP dengan menggunakan teknik Geotagging. Para relawan pula melakukan pemotretan
terhadap tiap pohon untuk kemudian diunggah ke dalam database twitgreen.com. Dalam situs twitgreen.com pula jumlah dan letak pohon yang ditanam melalui
program GMP tersebut dapat diakses dan dilacak oleh masyarakat luas melalui jaringan internet.
2.2 Hutan Lindung
Kehutanan sebagai sistem secara fungsional meliputi subsistem perencanaan kehutanan; subsistem pengelolaan hutan; subsistem penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, dan penyuluhan kehutanan; serta subsistem pengawasan kehutanan Kemenhut, 2014. Kawasan hutan lindung
seringkali dianggap serupa dengan kawasan lindung, padahal kedua hal tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Kawasan lindung menurut Keputusan Presiden
nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup
yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan, nilai sejarah, serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan kawasan hutan
lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata
air, pencegah banjir dan erosi, serta memelihara kesuburan tanah. Pemerintah dalam hal ini menteri yang terkait dengan bidang kehutanan
bisa menetapkan suatu kawasan hutan menjadi hutan lindung berdasarkan usulan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Penetapan hutan lindung diatur secara
teknis dalam Keputusan Menteri. Peraturan tersebut mengatur metode skoring dalam menentukan kawasan hutan. Terdapat tiga faktor utama dalam menentukan
scoring , diantaranya kemiringan lahan, kepekaan terhadap erosi, dan intensitas
curah hujan di daerah terkait. Metode skoring biasanya diterapkan pada kawasan
hutan produksi, dimana dalam kawasan tersebut terdapat area-area yang harus dilindungi. Metode skoring tidak bisa dilakukan pada kawasan yang telah
ditetapkan sebagai hutan konservasi seperti cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan taman buru Keputusan
Menteri Pertanian nomor 837KptsUm1180 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010
tentang Penggunaan Kawasan Hutan, penggunaan kawasan hutan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi danatau kawasan hutan lindung.
Penggunaan kawasan hutan tersebut dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok