49
Hal menarik yang juga tampak pada Tabel di atas adalah pada periode 1975 hingga 1989, laju rataan peningkatan produksi rokok jenis SKM sangat luar
biasa yaitu sebesar 587.99 persen. Namun pada periode 1990 hingga 2004, laju rataan produksi rokok jenis SKM menurun menjadi hanya sebesar 2.40 persen.
Sedangkan, rokok jenis SKT menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan pada periode 1990 hingga 2004 sebesar 5.18 persen, bila dibandingkan pada
periode 1975 hingga 1989 yang masih sebesar 1.84 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa, meskipun volume produksi rokok jenis SKT lebih kecil
daripada rokok jenis SKM, namun pertumbuhan produksinya cenderung meningkat. Dengan demikian, kekhawatiran akan berkurangnya konsumsi
cengkeh oleh PRK, menjadi tidak cukup beralasan karena rokok jenis SKT lebih tinggi kandungan cengkehnya bila dibandingkan dengan rokok jenis SKM, berarti
secara total penggunaan cengkehnya juga lebih banyak.
b. Perkembangan Konsumsi Rokok Kretek Per Kapita
Perkembangan konsumsi rokok penduduk I ndonesia tergambar dari hasil survei sosial ekonomi nasional SUSENAS yang dilakukan oleh BPS, sekali tiap
tiga tahun. Pada Gambar 8 disajikan perkembangan rataan konsumsi rokok per kapita selama seminggu untuk semua golongan pendapatan yang terdiri dari
rokok kretek jenis SKT dan SKM serta rokok putih. Secara rataan, konsumsi rokok kretek jenis SKT dan SKM, dari tahun ke
tahun cenderung meningkat. Namun, rokok jenis SKM dikonsumsi lebih banyak dibandingkan rokok jenis SKT. Menurut Gonarsyah 1996, hal ini tampaknya
berkaitan dengan kesadaran masyarakat mengenai bahaya tar dan nikotin pada rokok kretek non filter, terutama di daerah perkotaan. Sedangkan konsumsi
rokok putih sejak tahun 1975-2002 menunjukkan kecenderungan penurunan.
50
Lebih lanjut, Tjahjaprijadi dan I ndarto 2003 dalam bagian dari studinya tentang analisis pola konsumsi rokok kretek, menemukan bahwa harga rokok
kretek jenis SKT dan SKM berpengaruh nyata terhadap konsumsi masing-masing rokok tersebut, meskipun faktor selera ternyata lebih dominan daripada faktor
harga. Selain itu, faktor pendapatan ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi baik rokok jenis SKT maupun rokok jenis SKM.
Berdasarkan penjelasan di atas maupun dari hasil studi sebelumnya, kembali menegaskan dan sekaligus membuktikan bahwa peluang pasar rokok
kretek yang terbesar dan tetap terbuka adalah pasar rokok kretek dalam negeri, sehingga dapat dikatakan bahwa industri rokok kretek merupakan tuan rumah di
negaranya sendiri. Selain itu, semakin terbukanya peluang ekspor rokok kretek akhir-akhir inipun semakin menjanjikan untuk perkembangan industri rokok
kretek dimasa mendatang.
1 2
3 4
5 6
7
76 79
81 84
87 90
93 96
99 02
TAHUN BAT
ANG K
AP IT
A M
ING G
U
KONSUMSI SKT KONSUMSI SKM
KONSUMSI RP
Sumber: BPS, 2005
Gambar 8. Perkembangan Konsumsi Rokok Per kapita Menurut Jenisnya, Tahun 1975-2002
51
c. Perkembangan Ekspor Rokok Kretek
Perkembangan ekspor rokok kretek I ndonesia masih relatif kecil dan cenderung fluktuatif tapi menunjukkan kecenderungan meningkat, sebagaimana
tampak pada Tabel 11. Tampak bahwa, selama kurun waktu 1975-1988, volume ekspor rokok kretek kurang dari 500 ton, kemudian meningkat mencapai hampir
5 kali lipat pada tahun 1989, dan cenderung terus meningkat hingga mencapai 6 838 ton pada tahun 2004.
Tabel 11. Perkembangan Ekspor Rokok Kretek Nasional, Tahun 1975-2004
Ekspor RK Pertumbuhan
Ekspor RK Pertumbuhan
Tahun Ton
Tahun Ton
1975 47
-
1990 2 595 32.40
1976 39
-17.02 1991 3
683 41.93 1977
49 25.64
1992 3 537 -3.96
1978 58
18.37 1993 3
458 -2.23 1979
87 50.00
1994 1 306
-62.23 1980
124 42.53
1995 3 848
194.64 1981
203 63.71
1996 3 839 -0.23
1982 346
70.44 1997 3
240 -15.60
1983 501
44.80 1998 2
542 -21.54
1984 703
40.32 1999 6
318 148.54
1985 261
-62.87 2000 6
618 4.75 1986
355 36.02
2001 6 764 2.21
1987 333
-6.20 2002 6
783 0.28 1988
430 29.13
2003 6 810 0.4
1989 1 960
355.81 2004 6
838 0.4 1975-1989 366
49.33 1990-2004
4 545 21.32
1975-2004 2 456
34.84
Sumber: BPS, 2005
Tabel 11 menunjukkan bahwa secara umum, perkembangan ekspor rokok kretek meningkat secara signifikan, dengan laju pertumbuhan rataan sebesar
34.84 persen selama periode 1975-2004. Volume ekspor mengalami peningkatan lebih dari 12 kali lipat, yaitu dari 366 ton pada periode 1975-1989 menjadi 4 545
52
ton pada periode 1990-2004. Peningkatan ekspor rokok kretek, mengidikasikan bahwa meskipun pangsa pasar rokok kretek lebih dominan di dalam negeri, tapi
ke depan peluang ekspor rokok kretek semakin terbuka. Sebagaimana hasil studi Kim Hadden 1990 dalam Gonarsyah 1996, mengenai permintaan rokok di
Jepang yang menunjukkan bahwa rokok dari
rest of the world
termasuk I ndonesia bersifat substitusi dengan rokok buatan Jepang dan rokok buatan
Amerika di pasar Jepang. Beberapa negara di Asia adalah negara tujuan ekspor utama, namun
perkembangan terakhir menunjukkan bahwa terdapat negara-negara tujuan ekspor baru yang potensial seperti di Eropa Timur. Data yang dilansir BPS pada
tahun 2003, menunjukkan bahwa lima besar negara tujuan ekspor rokok kretek I ndonesia berdasarkan nilai ekspornya, berturut-turut adalah Malaysia, Kamboja,
Thailand, Singapura dan Amerika Serikat.
2.3.2.2. Perkembangan Konsumsi Cengkeh
Secara nasional, konsumsi cengkeh dapat dikelompokkan berdasarkan konsumennya, yaitu : industri rokok kretek, rumah tangga serta industri farmasi
dan industri kosmetik. Namun, hingga saat ini, industri rokok kretek masih tetap merupakan konsumen utama karena menyerap sekitar 95 persen produksi
cengkeh nasional untuk digunakan sebagai bahan baku utama dalam memproduksi rokok kretek. Sementara itu, konsumsi cengkeh oleh rumah tangga
serta industri farmasi dan industri kosmetik masih relatif kecil, karena rumah tangga hanya menggunakan cengkeh untuk kebutuhan bumbu masak dan
industri farmasi dan industri kosmetik menggunakan cengkeh hanya sebagai bahan penolong.
53
Tabel 12. Perkembangan Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Menurut Berbagai Penelitian dan Laporan, Tahun 1989-2003
mg batang Jenis Rokok Kretek
Penelitian Laporan SKT SKM KLB
GAPPRI 1989 800
600 1000
1995 640 480 880
2004 640 350 880
LPEM UI 1989
690 385 880 1992
445 325 638 Dirjen I HP, Depperin
1995 590 520 480
Balitro 1995
590 330 -
Sumber: Gonarsyah, 1996 dan Gappri, 2005
Gonarsyah 1996, mengemukakan bahwa konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek dipengaruhi oleh besarnya kandungan cengkeh dalam setiap jenis
rokok kretek yang diproduksinya. Pada dasarnya, besarnya kandungan cengkeh dalam sebatang rokok, tergantung pada beberapa faktor, berikut ini: 1 jenis,
2 ukuran batang, 3 merek rokok kretek, dan 4 harga cengkeh. Pada rokok jenis SKM, kadar kandungan cengkehnya paling rendah, diikuti rokok jenis SKT,
dan yang paling tinggi adalah rokok jenis klobot. Ukuran yang meliputi besar kecil dan panjang pendek batang rokok kretek akan mempengaruhi bobot rokok
kretek serta kandungan cengkehnya. Umumnya rokok jenis SKM paling ringan, kemudian rokok jenis SKT dan klobot yang paling berat. Keragamaman
kandungan cengkeh antar berbagai jenis merek rokok kretek bertujuan untuk mengakomodasi perbedaan selera dan preferensi konsumen. Tingkat harga
cengkeh dapat mempengaruhi besarnya kandungan cengkeh dalam rokok kretek. Selanjutnya, kandungan cengkeh yang terdapat pada rokok kretek jenis SKT dan
KLB, lebih tinggi dibandingkan rokok jenis SKM. Bahwa rentangan campuran
blending
cengkeh-tembakau dalam rokok kretek ada batasnya. Kurang dari
54
batas terendah, dikawatirkan kekhasan aroma cengkeh akan hilang dari rokok kretek. Dengan demikian kekhawatiran akan terus menurunnya kadar kandungan
cengkeh dalam rokok kretek tampak kurang beralasan, ini berarti konsumsi cengkehpun akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya volume
produksi rokok kretek.
2.3.2.3. Perkembangan Ekspor Cengkeh
Perkembangan ekspor cengkeh I ndonesia sebagaimana tampak pada Tabel 13, ternyata sangat fluktuatif dan relatif sedikit, terutama pada periode
1975-1989. Pada masa itu produksi cengkeh nasional relatif rendah sementara kebutuhan cengkeh pabrik rokok kretek meningkat sejalan dengan peningkatan
produksi rokok kretek, sehingga tampak bahwa pada dasarnya produksi nasional ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Temuan ini sama halnya
dengan yang dikemukakan oleh Gonarsyah 1996, bahwa relatif sedikitnya ekspor cengkeh I ndonesia, paling tidak disebabkan dua hal, yakni 1 produksi
cengkeh nasional terutama ditujukan untuk memenuhi keperluan domestik dan 2 rendahnya daya saing cengkeh I ndonesia di pasar I nternasional yang
didominasi oleh cengkeh Zanzibar. Selanjutnya, setelah tercapainya swasembada cengkeh pada tahun 1982
hingga 1983, bahkan setelah terjadinya kelebihan pasokan cengkeh di pasar domestik, ekspor cengkeh tidak langsung melonjak dengan tajam. Hal ini
menunjukkan bahwa, pada dasarnya produksi cengkeh nasional, terutama untuk memenuhi kebutuhan pabrik rokok kretek. Sementara itu, pada periode 1990
hingga 2004 atau pada masa pasca beroperasinya BPPC, ekspor cengkeh cenderung mengalami peningkatan, seperti yang tampak pada tahun 2003.
55
Tabel 13. Perkembangan Ekspor Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004 Ekspor Pertumbuhan
Ekspor Pertumbuhan Tahun
Ton Tahun
Ton 1975 47
-
1990 1 105
-11.95 1976 125 165.96
1991 1 118
1.18 1977 86 -31.20
1992 794 -28.98
1978 16 -81.40 1993 700
-11.84 1979 17 6.25
1994 670 -4.29
1980 39 129.41 1995 690
2.99 1981 51 30.77
1996 230 -66.67
1982 81 58.82 1997 356
54.78 1983 341 320.99
1998 20
157 5562.08
1984 1 584
364.52 1999
1 776 -91.19
1985 1 071
-32.39 2000
4 655 162.11
1986 1 818
69.75 2001
6 324 35.85
1987 1 836
0.99 2002
9 399 48.62
1988 2 568
39.87 2003
15 687 66.90
1989 1 255
-51.13 2004
7 570 -51.74
1975-1989 729 70.80
1990-2004 4 749
377.86 1975-2004
2 921 245.09
Sumber: BPS, 2005
2.3.4. Perkembangan Harga Cengkeh dan Harga Rokok Kretek 2.3.4.1. Perkembangan Harga Cengkeh
Perkembangan tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik dan di pasar dunia, disajikan pada Tabel 14, tampak bahwa, pada periode 1975-1989, tingkat
harga riil cengkeh di pasar domestik selalu lebih tinggi dari harga riil cengkeh di pasar dunia. Sedangkan pada periode 1990-2004, harga riil cengkeh di pasar
dunia telah melampaui tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik, yaitu pada tahun 1992 dan 1993 serta 1997 hingga 2001.
Pada Tabel 14, tampak pula bahwa dalam periode 1975-1988, rataan harga riil cengkeh di pasar domestik Rp.13 255, lebih tinggi daripada rataan
harga cengkeh riil di pasar dunia Rp.8 227. Sedangkan, dalam periode 1989
56
Keterangan: RPC
= harga riil cengkeh di pasar domestik RPCW
= harga riil cengkeh di pasar dunia Harga riil
= menggunakan deflator indeks harga konsumen tahun dasar 1988
hingga 2002 terjadi kebalikannya dimana rataan harga riil cengkeh di pasar domestik Rp.6 534, lebih rendah dibandingkan rataan harga riil cengkeh di
pasar dunia Rp.6 815. Dampak dari lebih tingginya harga riil cengkeh di pasar dunia daripada harga riil cengkeh di pasar domestik, menyebabkan ekspor
cengkeh pada saat itu menunjukkan peningkatan yang signifikan. Tabel 14. Perkembangan Harga Riil Cengkeh di Pasar Domestik dan Dunia,
Tahun 1975-2004
RPC RPCW RPC RPCW
Tahun Rp Rp
Tahun Rp Rp
1975 17 290
- 10 374
- 1990
5 730 21.1
4 962 36.1
1976 15 118
-12.6 13 915
34.1 1991
5 138 -10.3
3 024 -39.1
1977 13 466
-10.9 8 250
-40.7 1992
2 840 -44.8
4 019 32.9
1978 12 819
-4.8 12 151
47.3 1993
1 723 -39.3
3 663 -8.9
1979 25 466
98.7 10 611
-12.7 1994
1 747 1.4
1 094 -70.1
1980 19 964
-21.6 11 391
7.4 1995
1 620 -7.3
1 476 34.9
1981 16 272
-18.5 6 758
-40.7 1996
1 556 -3.9
1 436 -2.7
1982 15 838
-2.7 8 869
31.2 1997
1 967 26.4
2 387 66.2
1983 11 043
-30.3 8 859
-0.1 1998
3 535 79.7
5 235 119.3
1984 11 971
8.4 6 358
-28.2 1999
7 915 123.9
8 360 59.7
1985 13 819
15.4 4 898
-23.0 2000
11 775 48.8
16 547 97.9
1986 8 309
-39.9 6 197
26.5 2001
19 736 67.6
25 283 52.8
1987 6 995
-15.8 6 431
3.9 2002
19 664 -0.4
14 777 -41.6
1988 5 720
-18.2 4 701
-26.9 2003
3 613 -81.6
4 406 -70.2
1989 4 733
-17.3 3 647
-22.4 2004
9 451 161.6
5 560 26.2
1975-1989 13 255
-5.0 8 227
-3.2 1990-2004
6 534 22.9
6 815 17.5
1975-2004 9 894
9.4 7 521
7.54
Sumber: BPS, 2005
2.3.4.2. Perkembangan Harga Rokok Kretek
Perkembangan tingkat harga riil rokok kretek dan harga riil rokok putih di pasar domestik, disajikan pada Tabel 15. Tampak bahwa, selama kurun waktu
57
tahun 1977-1999, tingkat harga riil rokok kretek per bungkus yang berisi 10 batang, lebih tinggi daripada harga riil rokok putih per bungkus yang berisi 20
batang. Sementara pada tahun 1975 dan 1976 dan 2000-2004, berlaku kondisi sebaliknya, dimana harga riil rokok putih yang lebih mahal daripada rokok kretek.
Tabel 15. Perkembangan Harga Riil Rokok Kretek dan Rokok Putih, Tahun 1975-2004
RPRK RPRP RPRK RPRP
Tahun Rp Rp
Tahun Rp Rp
1975 355
-
371 - 1990
446 5.44
380 21.79 1976 333
-6.20 362
-2.43 1991 495
10.99 398
4.74 1977 332
-0.30 328
-9.39 1992 521
5.25 371
-6.78 1978
350 5.42 335 2.13 1993 468
-10.17 409 10.24
1979 452 29.14
360 7.46
1994 438 -6.41
391 -4.40
1980 604 33.63
389 8.06
1995 498 13.70
383 -2.05
1981 626 3.64 370
-4.88 1996 491 -1.41 386 0.78
1982 586 -6.39
354 -4.32
1997 490 -0.20
401 3.89
1983 556 -5.12
338 -4.52
1998 699 42.65
635 58.35
1984 526 -5.40
324 -4.14
1999 766 9.59
765 20.47
1985 503 -4.37
313 -3.40
2000 833 8.75
975 27.45
1986 490 -2.58
317 1.28
2001 978 17.41
1 362
39.69 1987
480 -2.04
330 4.10
2002 1 155
18.10 1 585
16.37 1988
443 -7.71
304 -7.88
2003 1 172
1.47 1 612
1.70 1989
423 -4.51
312 2.63
2004 1 185
1.11 1 628
0.99 1975-1989
471 1.94 340 -1.09
1990-2004 709 7.75 779
12.88 1975-2004
590 4.95
560 5.93
Sumber: BPS, 2005
Pada Tabel 15 tampak pula bahwa dalam periode 1975-1989, rataan harga riil per bungkus untuk rokok kretek dan rokok putih, masing-masing
sebesar Rp. 471 dan Rp. 340, ternyata lebih rendah daripada periode 1990-2004 masing-masing sebesar Rp. 709 dan Rp. 779. Begitu juga dengan rataan laju
pertumbuhannya, periode 1975 hingga 1989 ternyata lebih kecil, masing-masing
Keterangan : RPRK
= harga riil rokok kretek Rp bungkus RPRP
= harga riil rokok putih Rp bungkus Harga riil
= menggunakan deflator indeks harga konsumen tahun dasar 1988
58
sebesar 1.94 persen dan –1.09 persen, daripada periode 1990-2004, masing- masing sebesar 7.75 persen dan 12.88 persen. Namun, yang penting untuk
dicatat adalah, pada periode 1990-2004, peningkatan pertumbuhan harga riil rokok kretek lebih rendah dibandingkan harga riil rokok putih, dengan lebih
rendahnya harga riil rokok kretek tersebut menjadikannya lebih kompetitif dimata konsumennya dibandingkan dengan rokok putih, apalagi harga rokok kretek tidak
berpengaruh terhadap konsumsi rokok kretek, sebagaimana temuan Tjahjaprijadi dan I ndarto 2003.
I I I . TI NJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini, akan dipaparkan tinjauan penelitian terdahulu, serta tulisan maupun makalah tentang perkembangan dan kebijakan percengkehan
nasional yang terkait dengan penelitian ini, juga sekaligus dengan aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian baik dari ruang lingkup maupun metodologinya.
3.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Tentang Percengkehan Nasional
Penelitian tentang komoditas cengkeh di I ndonesia telah pernah dilakukan oleh para peneliti baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Pada
bagian ini, akan diuraikan beberapa hasil penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Studi-studi tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian, menyangkut aspek yang ditelaahnya yaitu, aspek permintaan dan penawaran cengkeh, aspek kebijakan dalam produksi cengkeh, aspek tataniaga
dan kebijakan dalam tataniaga cengkeh, serta aspek industri rokok kretek.
3.1.1. Aspek Permintaan dan Penaw aran Cengkeh
Studi tentang permintaan dan penawaran cengkeh pernah dilakukan antara lain oleh Gwyer, Chaniago dan Wachyutomo. Penelitian Gwyer 1976,
bertujuan untuk memproyeksikan penawaran dan permintaan cengkeh I ndonesia. Penawaran cengkeh diproyeksikan melalui produksi menggunakan
metode peramalan rata-rata bergerak
moving average
, sedangkan permintaan cengkeh diproyeksikan dengan menggunakan dua metode yaitu metode pertama
adalah berdasarkan data yang lama kemudian membuat ekstrapolasi dan metode kedua membuat fungsi permintaan. Hasil penelitiannya, menyatakan bahwa pada
60
tahun 1983, terjadi keseimbangan antara produksi dan kebutuhan cengkeh domestik.
Penelitian Chaniago 1980 menggunakan model ekonometrik dalam bentuk persamaan simultan. Tujuannya untuk mengetahui hubungan penawaran
dan permintaan rokok kretek, menilai pengaruh perubahan peubah-peubah utama yang terkandung di dalamnya, dan menentukan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap permintaan cengkeh, sehingga dapat membuat proyeksi permintaan cengkeh. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kuantitas rokok
kretek yang ditawarkan tergantung pada tersedianya bahan baku cengkeh baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor, sedangkan perubahan
harga rokok kretek tidak berpengaruh. Faktor penghambat bagi perkembangan industri rokok kretek adalah harga tembakau dan pita cukai yang tinggi.
Sedangkan yang mempengaruhi permintaan rokok kretek adalah perubahan harganya dan kenaikan pendapatan.
Kemudian, Wachyutomo 1996 yang menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap penawaran dan permintaan cengkeh di I ndonesia, juga
menggunakan model ekonometrik dalam bentuk persamaan simultan. Hasil penelitiannya antara lain menunjukkan bahwa satu-satunya kebijakan yang
berdampak terhadap peningkatan surplus dan penerimaan petani produsen cengkeh dan produsen sigaret kretek adalah kenaikan harga cengkeh di tingkat
petani. Pada penelitian Gwyer dan Chaniago, peubah-peubah dalam model
diklasifikasikan menjadi peubah endogen dan eksogen dan model dibangun dalam struktur kausalitas. Perbedaan kedua studi tersebut dengan penelitian
61
Wachyutomo, adalah untuk menganalisis dampak kebijakan dalam percengkehan nasional disusunlah beberapa alternatif kebijakan yang dianggap relevan.
3.1.2. Aspek Kebijakan dalam Produksi Cengkeh
Penelitian menyangkut
kebijakan dalam produksi cengkeh pernah dilakukan oleh Dumais, Ruaw dan Talumingan 2002. Studi ini bertujuan untuk
mengevaluasi dampak yang dapat ditimbulkan apabila diterapkannya usulan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Minahasa berupa pajak terhadap
komoditas cengkeh. Penelitian ini menggunakan analisis PAM
Policy Analysis Matrix
. Penelitian ini bertujuan untuk: 1 mengukur efek dari kebijakan pemerintah yang ada dan yang baru diusulkan dalam memproduksi cengkeh
dengan tingkat teknologi tertentu pada beberapa sistem pola tanam dengan zone ekologi yang berbeda dan 2 menentukan I RR
internal rate return
pada teknologi yang ada sehubungan dengan pernyataan pemerintah bahwa pajak
keuntungan dapat digunakan untuk meningkatkan teknologi dalam pertanaman cengkeh.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: 1 perbedaan antara harga privat dan harga sosial dalam produksi cengkeh sangat kecil mungkin disebabkan
datanya yang kurang akurat dan 2 dalam beberapa zone ekologi yang berbeda dan dengan menggunakan sumberdaya yang ada, produksi cengkeh di
Kabupaten Minahasa sangat efisien.
3.1.3. Aspek Tataniaga dan Kebijakan dalam Tataniaga Cengkeh
Studi tentang implementasi kebijakan dalam tataniaga cengkeh di Provinsi Sulawesi Utara, pernah dilakukan oleh Sarijowan dan Rumondor, pada
kurun waktu yang berbeda.
62
Penelitian Sarijowan 1986, mengkaji tentang keberhasilan KUD di Sulawesi Utara dalam pelaksanaan tataniaga cengkeh berkaitan dengan Keppres
RI Nomor 8 Tahun 1980 tentang Tataniaga Cengkeh Produksi Dalam Negeri. Analisis data yang digunakan adalah analisis fungsi diskriminan dan analisis
regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 beberapa keragaan KUD koperasi seperti, perkembangan jumlah anggota, pelayanan kepada
anggota dan peran serta anggota melunasi simpanan wajib dan pokok, akan menentukan keberhasilannya dalam melaksanakan tataniaga cengkeh dan 2
pemasaran cengkeh melalui KUD koperasi belum mampu meningkatkan peran serta anggota menjual cengkeh ke KUD koperasi, karena petani anggota belum
menerima harga yang ditetapkan pemerintah. Selanjutnya, Rumondor 1993 mengkaji secara lebih komprehensif
perkembangan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara. Dalam studinya tersebut, dibahas bagaimana perkembangan sistem tataniaga cengkeh sejak awal Repelita
I serta bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap efisiensi tataniaga dan tingkat pendapatan petani cengkeh. Analisis data yang digunakan
menggabungkan pendekatan deskriptif dan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitiannya menegaskan bahwa perkembangan pelaksanaan tataniaga cengkeh
di Sulawesi Utara sejak awal Repelita I sampai tahun 1990 didominasi oleh lembaga tataniaga pedagang pengumpul dan pedagang antar pulau PAP yang
merupakan perpanjangan tangan dari pabrik rokok kretek PRK. Namun, sejak diberlakukan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, peran lembaga tersebut
cenderung berkurang digantikan oleh lembaga formal seperti KUD, PUSKUD dan BPPC. Namun, dampak kebijakan pemerintah tersebut, ternyata kurang berhasil
apalagi pada saat panen raya tahun 1991-1992 diakibatkan belum efisiennya
63
tataniaga cengkeh sehingga pendapatan petani cenderung turun karena masih kurang disiplinnya para pelaksana tataniaga dalam menjalankan fungsinya serta
tidak dilibatkannya PRK secara aktif dalam pelaksanaan tataniaga cengkeh. Selain studi-studi yang dikemukakan di atas, terdapat juga studi yang
dilakukan oleh Gonarsyah
et al
. 1995 guna mengevaluasi pelaksanaan tataniaga cengkeh dalam negeri khususnya pelaksanaan tataniaga cengkeh
menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992. Analisis data yang digunakan bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Beberapa kesimpulan penting yang
diperoleh adalah: 1 pelaksanaan tataniaga cengkeh yang berlaku di lapangan, ternyata tidak sesuai dengan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992 dan 2 sistem
tataniaga cengkeh cenderung menjadi semakin tidak efisien karena rantai tataniaga menjadi lebih panjang. Sementara, saran yang dikemukakan adalah
memberikan beberapa alternatif kebijakan yang dapat ditempuh yaitu: 1 membatasi kegiatan penyanggaan dan 2 membatasi kegiatan penyanggaan
dengan mengikut sertakan Gappri. Sebagai lanjutan dari studi di atas, Gonarsyah 1996 kembali
menganalisis penyempurnaan kebijakan tata niaga cengkeh TNC untuk mengantisipasi periode pasca GATT. Data dianalisis dengan menggunakan dua
pendekatan yaitu : 1 PAM dan 2 ekonometrik berupa persamaan simultan. Temuan yang diperoleh adalah pengendalian pasokan cengkeh dapat dilakukan
dengan menggunakan 4 instrumen kebijakan yaitu: 1 pengendalian impor, 2 pemantauan harga dasar cengkeh, 3 pengendalian luas areal, dan 4
mengarahkan kawasan timur I ndonesia sebagai wilayah pengembangan cengkeh.
64
3.1.4. Aspek I ndustri Rokok Kretek
I ndustri rokok kretek menarik perhatian Bird, dengan melakukan studi pada tahun 1999. Tujuannya penelitiannya adalah untuk menguji hubungan
antara struktur pasar, persaingan perusahaan dan intervensi pemerintah dalam sektor manufaktur I ndonesia selama periode 1975 hingga 1995. Terdapat dua
metodologi empiris yang digunakan, yaitu: 1 pendekatan
Structure-Conduct- Performance
S-C-P untuk organisasi industrinya dan 2 studi kasus untuk industri rokok dan industri semen. Temuannya antara lain: 1 pada tahun 1994,
industri rokok kretek terkonsentrasi pada empat pabrik rokok besar, yaitu PT Gudang Garam, PT Djarum, PT Sampoerna dan PT Bentoel, dengan rasio
konsentrasi empat perusahaan tersebut CR4 ratio pada pasar rokok kretek adalah sebesar 85 persen dari 144 perusahaan rokok kretek. Terbentuknya
struktur pasar yang oligopsonistik, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: mekanisasi produksi dalam skala besar, perubahan dalam kondisi permintaan,
dan persaingan yang intensif diantara pabrik-pabrik tersebut dan 2 hasil estimasi pengaruh pengeluaran iklan dari tujuh perusahaan yang memiliki
pangsa pasar terbesar berdasarkan data iklan bulanan dan pangsa pasarnya, menunjukkan bahwa persaingan dalam periklanan merealokasikan penjualan
diantara perusahaan-perusahaan tersebut. Bahwa meningkatnya iklan dalam persentase yang sama akan mengubah distribusi pangsa pasar masing-masing
perusahaan, namun dalam jangka panjang ternyata perusahaan besar akan lebih sukses karena perusahaan besar memiliki keuntungan dari segi
image
, bila dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Selanjutnya, Wibowo 2003 menggambarkan potret industri rokok di I ndonesia melalui perkembangan perusahaan, perkembangan produksi rokok,
65
perkembangan tenaga kerja serta produtivitas tenaga kerja. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan data yang digunakan adalah data
deret waktu antara tahun 1981-2002. Beberapa kesimpulan yang dikemukakannya, adalah: 1 produksi industri rokok mengalami masa kejayaan
pada tahun 1998, dengan total produksi hampir 270 milyar batang, namun tahun 2002 hanya mencapai 207 milyar batang, atau menurun sebesar 5 persen per
tahun, 2 penyerapan tenaga kerja industri rokok selama tahun 1998 hingga 2002, secara keseluruhan masih mengalami pertumbuhan yang signifikan yaitu
rata-rata 4 persen per tahun. Dari total tenaga kerja tersebut, industri rokok kretek mendominasi tenaga kerja hingga mencapai 95 persen dari total tenaga
kerja dalam keseluruhan industri rokok, 3 peningkatan penyerapan tenaga kerja tidak diikuti dengan peningkatan produksi rokok, dengan demikian
produktivitas tenaga kerja mengalami penurunan, dimana pada tahun 1998 produksi mampu mencapai 4 570 batang per orang per hari, namun pada tahun
2002 mengalami penurunan menjadi 3 131 batang per orang per hari, dan 4 produktivitas per perusahaan dalam industri rokok justru lebih tinggi dimasa
krisis, dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Kemudian, Sumarno dan Koncoro 2002 meneliti tentang struktur,
kinerja dan kluster industri rokok kretek I ndonesia, dari tahun 1996 hingga 1999, dengan menggunakan pendekatan
Structure-Conduct-Performance
SCP serta kluster industri. Berikut ini adalah beberapa temuannya: 1 berdasarkan
klasifikasi Bain 1956, industri rokok kretek I ndonesia memiliki struktur oligopoli dengan tingkat konsentrasi yang tinggi, hal ini ditunjukkan oleh nilai konsentrasi
rasio CR4 8 industri rokok kretek yang tinggi, 2 krisis ekonomi yang berlangsung pada tahun 1998 tidak lantas membuat struktur industri rokok
66
kretek mengalami perubahan drastis, 3 secara umum, kinerja industri rokok kretek mengalami pertumbuhan walaupun perekonomian I ndonesia mengalami
krisis. I ndikasi pertumbuhan kinerja ditunjukkan oleh adanya pertumbuhan sumbangan nilai tambah dan tenaga kerja industri terhadap industri manufaktur
I ndonesia, 4 industri rokok memiliki empat daerah utama yang dikategorikan sebagai kluster industri rokok kretek di I ndonesia, yakni Kudus untuk PT Djarum,
Kediri untuk PT Gudang Garam, Surabaya untuk PT HM Sampoerna dan Malang untuk PT Bentoel, 5 industri rokok kretek di I ndonesia merupakan pangsa pasar
tenaga kerja yang tinggi, terlebih di keempat daerah utama tersebut, dan 6 industri rokok kretek merupakan salah satu tulang punggung industri manufaktur
di I ndonesia. Sementara itu, analisis pola konsumsi rokok sigaret kretek mesin SKT,
sigaret kretek tangan SKT dan sigaret putih mesin SPM, dilakukan oleh Tjahjaprijadi dan I ndarto 2003. Tujuannya penelitiannya adalah: untuk
mengetahui, 1 pengaruh harga rokok dan harga rokok substitusi terhadap konsumsi rokok jenis SKM, SKT dan SPM dan 2 pengaruh pendapatan
konsumen rokok terhadap konsumsi rokok jenis SKT, SKM dan SPM. Hasil penelitiannya adalah: 1 konsumsi rokok jenis SKM, SKT dan SPM, mempunyai
hubungan yang negatif dengan harganya masing-masing, namun bersifat inelastis. Artinya, harga rokok jenis SKT, SKM dan SPM tidak berpengaruh nyata
terhadap konsumsi masing-masing rokok tersebut karena faktor selera lebih dominan daripada faktor harga, 2 pendapatan tidak berpengaruh terhadap
konsumsi rokok jenis SKM dan SKT, sedangkan berpengaruh positif pada konsumsi jenis SPM, dan 3 Rokok jenis SKM tidak dapat disubstitusi oleh rokok
jenis SKT dan SPM, sedangkan rokok jenis SKT disubstitusi oleh rokok jenis SPM.
67
3.2. Tinjauan Tulisan dan Makalah Tentang Percengkehan Nasional 3.2.1. Aspek Usahatani Cengkeh
Husodo 2006, menyatakan bahwa untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan, agar dicapai harga yang layak dan menguntungkan
petani melalui mekanisme pasar, tetapi juga tidak memberatkan industri rokok kretek, maka perlu dilakukan regulasi yang menyangkut agribisnis percengkehan
nasional. Ada dua strategi dan kebijakan yang seyogyanya ditempuh, yaitu: 1 intensifikasi dan rehabilitasi kebun cengkeh di daerah sentra produksi seluas
70.000 hektar dan penggantian tanaman tua atau tanaman rusak TT TR melalui peremajaan seluas 35 000 hektar dan 2 mendorong keterlibatan swasta
dalam kegiatan
on farm
agribisnis percengkehan seperti pada dekade 1970-an, baik yang tergabung dalam GAPPRI maupun Perkebunan Besar Negara Swasta.
Porsi keterlibatan swasta tersebut perlu ditingkatkan dari 5 persen menjadi 10 persen, dengan catatan total areal yang dikembangkan tidak lebih dari 250 000
hektar. I ni dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
over supply
. Keterlibatan swasta ini diharapkan dapat menjadi stabilisator, dinamisator dan motivator
agribisnis percengkehan. Sedangkan keterlibatan Perkebunan Besar Negara dan Swasta diharapkan dapat menjadi prime mover agribisnis percengkehan
termasuk dalam adopsi dan rekayasa teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saingnya.
Dukungan kebijakan dimaksud, antara lain mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1 pemberdayaan penyuluhan dan organisasi petani
perkebunan untuk memprioritas pengembangan cengkeh di 10 provinsi sentra produksi, 2 penciptaan iklim yang kondusif untuk mendorong kemudahan
swasta ikut berinvestasi, dalam kegiatan
on farm
dan produksi minyak cengkeh,
68
eugenol dan pestisida nabati serta penyediaan bibit untuk keperluan
replanting
peremajaan, 3 pengaturan kembali regulasi berbagai peraturan perundang- undangan yang menyangkut harga, tata niaga, perizinan dan permodalan, 4
mendorong upaya pengembangan agribisnis cengkeh. Kegiatan ini perlu didukung penelitian dan pengembangan serta intensifikasi, rehabilitasi maupun
peremajaan tanaman. Dalam lima tahun ke depan, kegiatan tersebut perlu difokuskan pada penelitian produk-produk berbahan baku cengkeh serta
pengembangan program intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan di 16 provinsi sentra penghasil cengkeh, 5 untuk mendukung pembiayaan kegiatan tersebut,
disamping APBN, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pungutan dana yang bersumber dari CESS, 6 menciptakan hubungan kemitraan yang adil dan
harmonis antara petani dan industri rokok pedagang agar tercapai kesepakatan harga yang menguntungkan semua pihak, dan 7 untuk melindungi,
meningkatkan pendapatan dan memperkuat posisi tawar petani cengkeh, perlu segera dibentuk Dewan Cengkeh Nasional.
3.2.2. Aspek Kebijakan dalam Percengkehan Nasional
Simatupang 2004, dalam salah satu tulisannya, mengemukakan bahwa pada kondisi normal, anjloknya harga cengkeh tidak semestinya terjadi karena
neraca cengkeh I ndonesia masih defisit dalam arti kebutuhan dalam negeri masih lebih besar dari produksi dalam negeri, sementara volume perdagangan
cengkeh di pasar dunia amat kecil pasar tipis. Oleh karena itu, akar penyebab gejolak harga cengkeh adalah perubahan kebijakan tataniaga yang menimbulkan
perubahan mendasar pada struktur pasar cengkeh, yaitu: 1 pencabutan hak monopsonistik dan monopolistik Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh
69
BPPC serta liberalisasi perdagangan cengkeh pada akhir tahun 1998 kesepakatan dengan I MF. Kebijakan ini mendorong meningkatnya impor
cengkeh dari sebelumnya tidak ada menjadi sekitar 20 000 ton per tahun atau sekitar 70 persen dari volume perdagangan dunia. Akibatnya harga dunia
langsung melonjak tajam dari US 0.99 per kg tahun 1997 menjadi US 7.8 per kg pada awal tahun 2002 sehingga harga cengkeh dalam negeri sempat
mencapai Rp. 80 000 per kg dan 2 pembatasan importir cengkeh hanya oleh importir produsen dan importir terbatas Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 528 MPP Kep 7 2002 tanggal 5 Juli 2002. Tanpa disadari, kebijakan ini memberikan hak oligopsonistik kepada pabrik rokok sehingga
mampu mengendalikan harga cengkeh di tingkat petani, tak ubahnya seperti BPPC pada periode tahun 1990 hingga 1998. Dengan rasional untuk meraih laba
sebesar-besarnya, pabrik rokok menghentikan impor cengkeh yang menjadi hak eksklusifnya, sehingga harga cengkeh dunia anjlok dan bertahan sekitar US 1.8
per kg, yang berarti sepadan dengan harga di tingkat petani Rp. 15 000 per kg pada akhir-akhir ini.
Opsi kebijakan yang dapat dipilih antara lain: 1 menetapkan harga pembelian di tingkat petani cengkeh dengan dukungan dana talangan dari
pemerintah, 2 menetapkan tarif dan liberalisasi impor cengkeh, 3 meminta asosiasi pabrik rokok menetapkan harga pembelian cengkeh minimum di tingkat
petani, dan 4 membentuk wadah masyarakat dan kemitraan strategis tripartit Petani- Gappri- Pemerintah Dewan Percengkehan Nasional.
Sementara itu, Siregar dan Suhendi 2006 dalam makalahnya, menyatakan bahwa cengkeh merupakan salah satu komoditas pertanian yang
erat keterkaitannya dengan beberapa sektor ekonomi, terutama industri rokok
70
kretek. Permasalahan yang terkait dengan agribisnis cengkeh yaitu ketidakpastian harga fluktuasi harga. Selain dari sisi teknis, permasalahan juga
dapat terjadi dari sisi kebijakan. Pada kondisi fiskal yang cukup ketat defisit anggaran, terdapat kecenderungan bahwa pemerintah menaikkan penerimaan
negara, termasuk yang bersumber dari cukai dan salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah menaikkan Harga Jual Eceran HJE rokok.
Beberapa kesimpulan yang dikemukakan dalam makalah tersebut adalah: 1 dengan melihat potensi lahan yang tersedia cukup besar dan persyaratan
tumbuhnya relatif terpenuhi serta indikator finansial yang cukup baik maka dapat disimpulkan bahwa komoditas cengkeh layak diusahakan. Agribisnis cengkeh
memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan mengingat besarnya peranan komoditas tersebut dalam menggerakkan perekonomian nasional. I ndustri rokok
sebagai salah satu subsistem dalam agribisnis cengkeh memberikan sumbangan penting bagi penerimaan negara, 2 I ndonesia merupakan ”negara besar” dalam
perdagangan internasional cengkeh, sehingga fluktuasi produksi dan konsumsi, yang bisa terjadi karena aspek alam, aspek perilaku industri, maupun aspek
kebijakan domestik, dapat mempengaruhi tatanan perdagangan tersebut. Dengan kata lain, perubahan yang tidak diingingkan pada ketiga aspek tersebut
dapat menjadi sumber ketidakstabilan fluktuasi yang dapat merugikan para pelaku pasar terutama petani sebagai pelaku terlemah, dan 3 kebijakan
pemerintah untuk menaikkan penerimaan negara dengan menaikkan HJE diperkirakan akan mengganggu peran agribisnis cengkeh terhadap
perekonomian. Setidaknya jumlah produksi rokok dan pembelian cengkeh dan tembakau akan berkurang, sehingga pendapatan petani kedua tanaman tersebut
diperkirakan akan berkurang. Penyerapan tenaga kerja juga akan berkurang,
71
baik dalam usahatani cengkeh dan tembakau maupun dalam industri rokok kretek.
3.2.3. Aspek Kesehatan
I ndonesia berada pada urutan ke 5 negara-negara dengan konsumsi tembakau tertinggi di dunia, hal ini disebabkan oleh besarnya populasi penduduk
I ndonesia dan tingginya prevalensi merokok. Sebagian besar atau sebesar 88 persen perokok I ndonesia memilih rokok kretek yaitu rokok yang
mengandung cengkeh. Survey remaja sekolah
Global Youth Tobacco Survey
di Jakarta tahun 2000 menunjukkan bahwa 83.5 persen remaja sekolah terpapar
asap tembakau di tempat-tempat umum. Walaupun 90.0 persen dari mereka setuju adanya pelarangan merokok di tempat umum, tetapi hanya 43.0 persen
yang tahu bahaya asap rokok orang lain bagi kesehatan. Selanjutnya, beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi
dampak negatif dari konsumsi rokok adalah: 1 peningkatan harga dan pajak, 2 larangan menyeluruh terhadap iklan, promosi dan pemberian sponsor pada
tembakau, 3 penyuluhan dan pemberian informasi kepada masyarakat, 4 undang-undang tentang udara bersih, dan 5 pengepakan dan pelabelan.
Framework Convention on Tobacco Control
FCTC WHO adalah traktat atau konvensi internasional yang pertama dalam pengendalian tembakau.
Tujuannya adalah untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap kerusakan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi karena
penggunaan tembakau. FCTC merupakan instrumen yang mengikat secara hukum dalam strategi kesehatan masyarakat global untuk membantu negara-
negara anggota WHO dalam penyusunan program nasional pengendalian
72
tembakau. Pemerintah I ndonesia ikut serta selama empat tahun penuh dalam serangkaian negosiasi sebelum FCTC disepakati secara aklamasi dalam sidang
WHA
World Health Assembly
tahun 2003 Badan Litbang Depkes, 2004.
3.3. Aspek yang Dikaji dalam Penelitian I ni
Sebagaimana yang
diuraikan pada
bagian sebelumnya, maka secara umum, penelitian ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan penelitian-
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dalam mengkaji permasalahan percengkehan nasional, baik dalam industri cengkeh maupun industri rokok
kretek nasional. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, masing-masing peneliti mencoba
mengkaji secara lebih spesifik lagi permasalahan dalam percengkehan nasional dengan memotretnya dari beberapa aspek yang terpisah, seperti aspek
permintaan dan penawaran cengeh, aspek usahatani cengkeh dan penerapan kebijakan di dalamnya, aspek tataniaga cengkeh dan penerapan kebijakannya,
serta aspek industri rokok kretek. Sementara itu, metode analisis yang digunakan masing-masing peneliti tersebut adalah: pendekatan deskriptif, pendekatan
ekonometrik, atau pendekatan
Policy Analysis Matrix
PAM. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji perkembangan percengkehan
nasional, secara lebih komprehensif lagi, mencakup aspek keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional, aspek interaksi antara kedua
industri tersebut yang direpresentasikan oleh interaksi antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek, hingga yang lebih spesifik lagi adalah aspek usahatani
cengkeh pada salah satu daerah sentra produksi cengkeh yang potensial di I ndonesia, yaitu Provinsi Sulawesi Utara. Sedangkan, metode analisis yang
73
digunakan dalam penelitian ini adalah menggabungkan beberapa pendekatan tersebut diatas, yakni: pendekatan deskriptif, ekonometrik, matriks analisis
kebijakan PAM serta teori permainan
game theory
. Secara umum, semua metode analisis yang digunakan bertujuan untuk
mengkaji keterkaitan antara perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional. Secara khusus, pendekatan deskriptif digunakan untuk
menggambarkan perkembangan percengkehan nasional. Selanjutnya keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek dianalisis dengan
menggunakan pendekatan ekonometrik yang bertujuan menggambarkan bentuk hubungan antara peubah-peubah utama dalam kedua industri tersebut, serta
menentukan peubah-peubah yang paling berpengaruh. Setelah itu, pendekatan
multi-period
PAM digunakan untuk menganalisis perkembangan usahatani cengkeh di Sulawesi Utara sebagai salah satu daerah sentra produksi yang
potensial, untuk mengkaji lebih jauh bagaimana rentabilitas dari usahatani tersebut, serta berapa sebenarnya biaya produksi cengkeh per kilogram, supaya
dapat diketahui apakah usahatani tersebut masih menguntungkan atau tidak, pada tingkat harga yang berlaku pada saat itu. Sedangkan untuk mengkaji
kemungkinan kerjasama antara kedua industri tersebut digunakan analisis
game theory
, yang bertujuan untuk melihat interaksi langsung antara industri cengkeh petani cengkeh dan industri rokok kretek PRK dalam pemasaran komoditas
cengkeh.
I V. METODOLOGI PENELI TI AN
4.1. Kerangka Pemikiran 4.1.1. Kerangka Konseptual