Aspek Kebijakan dalam Produksi Cengkeh Aspek Tataniaga dan Kebijakan dalam Tataniaga Cengkeh

61 Wachyutomo, adalah untuk menganalisis dampak kebijakan dalam percengkehan nasional disusunlah beberapa alternatif kebijakan yang dianggap relevan.

3.1.2. Aspek Kebijakan dalam Produksi Cengkeh

Penelitian menyangkut kebijakan dalam produksi cengkeh pernah dilakukan oleh Dumais, Ruaw dan Talumingan 2002. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak yang dapat ditimbulkan apabila diterapkannya usulan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Minahasa berupa pajak terhadap komoditas cengkeh. Penelitian ini menggunakan analisis PAM Policy Analysis Matrix . Penelitian ini bertujuan untuk: 1 mengukur efek dari kebijakan pemerintah yang ada dan yang baru diusulkan dalam memproduksi cengkeh dengan tingkat teknologi tertentu pada beberapa sistem pola tanam dengan zone ekologi yang berbeda dan 2 menentukan I RR internal rate return pada teknologi yang ada sehubungan dengan pernyataan pemerintah bahwa pajak keuntungan dapat digunakan untuk meningkatkan teknologi dalam pertanaman cengkeh. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: 1 perbedaan antara harga privat dan harga sosial dalam produksi cengkeh sangat kecil mungkin disebabkan datanya yang kurang akurat dan 2 dalam beberapa zone ekologi yang berbeda dan dengan menggunakan sumberdaya yang ada, produksi cengkeh di Kabupaten Minahasa sangat efisien.

3.1.3. Aspek Tataniaga dan Kebijakan dalam Tataniaga Cengkeh

Studi tentang implementasi kebijakan dalam tataniaga cengkeh di Provinsi Sulawesi Utara, pernah dilakukan oleh Sarijowan dan Rumondor, pada kurun waktu yang berbeda. 62 Penelitian Sarijowan 1986, mengkaji tentang keberhasilan KUD di Sulawesi Utara dalam pelaksanaan tataniaga cengkeh berkaitan dengan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 tentang Tataniaga Cengkeh Produksi Dalam Negeri. Analisis data yang digunakan adalah analisis fungsi diskriminan dan analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 beberapa keragaan KUD koperasi seperti, perkembangan jumlah anggota, pelayanan kepada anggota dan peran serta anggota melunasi simpanan wajib dan pokok, akan menentukan keberhasilannya dalam melaksanakan tataniaga cengkeh dan 2 pemasaran cengkeh melalui KUD koperasi belum mampu meningkatkan peran serta anggota menjual cengkeh ke KUD koperasi, karena petani anggota belum menerima harga yang ditetapkan pemerintah. Selanjutnya, Rumondor 1993 mengkaji secara lebih komprehensif perkembangan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara. Dalam studinya tersebut, dibahas bagaimana perkembangan sistem tataniaga cengkeh sejak awal Repelita I serta bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap efisiensi tataniaga dan tingkat pendapatan petani cengkeh. Analisis data yang digunakan menggabungkan pendekatan deskriptif dan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitiannya menegaskan bahwa perkembangan pelaksanaan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara sejak awal Repelita I sampai tahun 1990 didominasi oleh lembaga tataniaga pedagang pengumpul dan pedagang antar pulau PAP yang merupakan perpanjangan tangan dari pabrik rokok kretek PRK. Namun, sejak diberlakukan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, peran lembaga tersebut cenderung berkurang digantikan oleh lembaga formal seperti KUD, PUSKUD dan BPPC. Namun, dampak kebijakan pemerintah tersebut, ternyata kurang berhasil apalagi pada saat panen raya tahun 1991-1992 diakibatkan belum efisiennya 63 tataniaga cengkeh sehingga pendapatan petani cenderung turun karena masih kurang disiplinnya para pelaksana tataniaga dalam menjalankan fungsinya serta tidak dilibatkannya PRK secara aktif dalam pelaksanaan tataniaga cengkeh. Selain studi-studi yang dikemukakan di atas, terdapat juga studi yang dilakukan oleh Gonarsyah et al . 1995 guna mengevaluasi pelaksanaan tataniaga cengkeh dalam negeri khususnya pelaksanaan tataniaga cengkeh menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992. Analisis data yang digunakan bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Beberapa kesimpulan penting yang diperoleh adalah: 1 pelaksanaan tataniaga cengkeh yang berlaku di lapangan, ternyata tidak sesuai dengan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992 dan 2 sistem tataniaga cengkeh cenderung menjadi semakin tidak efisien karena rantai tataniaga menjadi lebih panjang. Sementara, saran yang dikemukakan adalah memberikan beberapa alternatif kebijakan yang dapat ditempuh yaitu: 1 membatasi kegiatan penyanggaan dan 2 membatasi kegiatan penyanggaan dengan mengikut sertakan Gappri. Sebagai lanjutan dari studi di atas, Gonarsyah 1996 kembali menganalisis penyempurnaan kebijakan tata niaga cengkeh TNC untuk mengantisipasi periode pasca GATT. Data dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan yaitu : 1 PAM dan 2 ekonometrik berupa persamaan simultan. Temuan yang diperoleh adalah pengendalian pasokan cengkeh dapat dilakukan dengan menggunakan 4 instrumen kebijakan yaitu: 1 pengendalian impor, 2 pemantauan harga dasar cengkeh, 3 pengendalian luas areal, dan 4 mengarahkan kawasan timur I ndonesia sebagai wilayah pengembangan cengkeh. 64

3.1.4. Aspek I ndustri Rokok Kretek