I . PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi perekonomian nasional. Dikatakan unik karena I ndonesia adalah negara
produsen sekaligus konsumen bahkan merupakan pengimpor cengkeh terbesar di pasar cengkeh dunia yang tipis
thin market
, yang hanya dapat memenuhi maksimal seperempat dari kebutuhan nasional Gonarsyah, 1996. Dikatakan
strategis karena komoditas ini berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, berupa
penyerapan tenaga kerja dalam usahatani cengkeh secara keseluruhan, yang dimulai dari kegiatan budidaya sampai dengan proses panen dan pascapanen
serta pemasaran cengkeh. Sementara itu, secara tidak langsung, melalui penyerapan tenaga kerja, dalam keseluruhan kegiatan di dalam pabrik rokok
kretek. Selain itu, penyerapan tenaga kerja juga dalam kegiatan lain yang terkait dengan industri rokok kretek, seperti: percetakan, pedagang pengecer maupun
petani tembakau dalam kegiatan usahatani tembakau. Gonarsyah 1998 mengemukakan bahwa usahatani cengkeh mampu
menghidupi sekitar 6 hingga 8 juta orang dan menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi sebagian besar daerah sentra produksi cengkeh. Di lain
pihak, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok I ndonesia atau Gappri 2003, menyatakan bahwa industri rokok kretek yang merupakan industri khas
I ndonesia mampu menghidupi sekitar 18 hingga 20 juta orang dalam kegiatan memproduksi dan memasarkan produk rokok kreteknya yang terdiri dari sigaret
kretek tangan SKT, sigaret kretek mesin SKM dan klobot KLB.
2
Selain itu, bagi perekonomian nasional, industri rokok kretek juga mempunyai peranan strategis karena memiliki kontribusi yang signifikan
terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN, khususnya melalui penerimaan pajak dalam negeri yang bersumber dari cukai dan pajak
penghasilan.
5 10
15 20
25 30
94 95
96 97
98 99
00 01
02 03
04
TAHUN P
E NG
G UNA
AN P
IT A CU
KAI
T RI
L Y
U N RU
P IA
H
Sumber: Gappri, 2005
Gambar 1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek, Tahun 1994-2004 Gambar di atas menunjukkan bahwa penggunaan pita cukai rokok kretek,
selama kurun waktu tahun 1994-2004, cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya produksi rokok kretek serta searah dengan
ditingkatkannya target penerimaan negara yang bersumber dari cukai. Pada tahun 2005, penerimaan pemerintah dari cukai mencapai Rp. 33.3 trilyun dimana
sebagian besar atau sekitar 98 persen merupakan kontribusi dari cukai hasil tembakau, yakni sebesar Rp. 32.6 trilyun. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan industri rokok kretek cukup signifikan kontribusinya terhadap penerimaan negara Siregar dan Suhendi, 2006. Disamping itu, pabrik rokok
kretek PRK merupakan salah satu industri nasional yang mampu bertahan dan
3
terus berkembang hingga kini, tampak bahwa setelah berlangsungnya krisis moneter pada tahun 1998, penggunaan cukai rokok kretek justru mengalami
peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan sebelum krisis, artinya industri ini mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Malah belakangan ini, pada
tanggal 19 Mei 2005, PT. Phillip Morris, salah satu produsen rokok dunia mengakuisisi saham PT. H.M. Sampoerna Tbk, salah satu dari 3 produsen utama
rokok kretek
1
.
50 100
150 200
250
1975 1978 1981 1984 1987 1990 19993 1996 1999
2002
TAHUN P
RO DU
KS I RO
KO K K
RE T
E K
M IL
Y AR BAT
AN G
SKT SKM
KLB TOTAL
Sumber: Gappri, 2005
Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek, Tahun 1975-2004 Sementara itu, data yang kemukakan Gappri 2005, menunjukkan bahwa
dalam kurun waktu sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1994 hingga 2004, total produksi rokok kretek meningkat sebesar 30.6 persen. Pada tahun 1994, total
produksi masih sekitar 156.3 milyar batang, yang didominasi oleh SKM sebesar 69.2 persen, diikuti SKT sebesar 30.4 persen dan KLB sebesar 0.4 persen.
Sedangkan pada tahun 2004, produksi rokok kretek menjadi 204.2 milyar
1
Kompas, 28 Juni 2005
4
batang, yang tetap didominasi oleh SKM sebesar 59.1 persen, diikuti SKT sebesar 40.6 persen dan KLB sebesar 0.3 persen. Hal menarik yang tampak pada
peningkatan produksi rokok kretek ini adalah meskipun produksi rokok kretek masih tetap didominasi oleh rokok jenis SKM namun tingkat produksinya justru
mengalami penurunan sebesar 10.1 persen, sementara produksi rokok jenis SKT meningkat sebesar 10.2 persen dan produksi rokok jenis KLB cenderung tetap.
Pesatnya peningkatan produksi rokok kretek produksi dalam negeri, didorong oleh dua hal, yaitu: 1 meningkatnya potensi pasar rokok kretek di
dalam negeri. Ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata konsumsi rokok kretek per kapita per bulan, baik untuk daerah pedesaan maupun daerah perkotaan,
dari 2.4 batang SKT dan 4.0 batang SKM pada tahun 1990 menjadi 3.7 batang SKT dan 6.0 SKM pada tahun 2003 dan 2 meningkatnya potensi ekspor rokok
kretek terlihat dari nilai ekspor rokok kretek. Ditunjukkan oleh meningkatnya sumbangan devisa dari ekspor rokok kretek, dari 100 juta US tahun 1998, 113
juta US tahun 1999, 137 juta US tahun 2000, dan 172 juta US tahun 2001, serta bertambahnya negara-negara tujuan ekspor baru yang cukup potensial
bagi rokok kretek produksi I ndonesia BPS, 2003. Tabel 1. Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Yang
Digunakan Pabrik Rokok Kretek mg batang
Jenis Rokok Kretek Tahun
Sigaret Kretek Tangan SKT
Sigaret Kretek Mesin SKM
Klobot KLB 1989 800
600 1
000 1995 640
480 880
2004 650 350
880
Sumber: Gonarsyah, 1996 ; Gappri, 2004
Meningkatnya produksi rokok kretek, secara teoritis mestinya berarti akan meningkatkan permintaan akan cengkeh sebagai salah satu bahan baku
5
utamanya karena permintaan akan cengkeh merupakan permintaan turunan
derived demand
dari permintaan akan rokok kretek. Kebutuhan akan cengkeh pabrik rokok kretek PRK, yang merupakan konsumen utama cengkeh karena
menyerap sekitar 90 persen produksi cengkeh nasional, tergantung pada besarnya kandungan cengkeh jenis-jenis rokok kretek yang diproduksinya. Rokok
jenis SKM menggunakan cengkeh lebih sedikit dibandingkan jenis SKT dan KLB. Perkembangan penggunaan cengkeh PRK menurut jenis rokok kretek, yang
diproduksinya, dapat dilihat pada Tabel 1. Tampak bahwa terjadi penurunan kandungan cengkeh yang cukup signifikan terutama untuk rokok jenis SKM,
sementara untuk rokok jenis SKT dan KLB kandungan cengkehnya cenderung tidak berubah.
Dibandingkan dengan produksi rokok kretek PRK yang menunjukkan peningkatan pesat, maka konsumsi cengkeh PRK cenderung stagnan. Dalam
periode tahun 1994 hingga 1999, konsumsi cengkeh mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 1.9 persen per tahun. Sedangkan untuk periode tahun 2000
hingga 2004 pertumbuhan rata-rata tersebut mengalami
levelling off
hingga hanya mencapai 0.7 persen per tahun.
Tabel 2. Konsumsi Cengkeh untuk Rokok Kretek, Tahun 1994-2004
Ton
Tahun Konsumsi Cengkeh Tahun Konsumsi
Cengkeh 1994 95
378 2000 96 818
1995 98 703 2001 96
106 1996 92
298 2002 86 823
1997 96 777 2003 85
245 1998 99
906 2004 95 670
1999 93 410
Sumber: Gappri, 2005
6
Sementara itu, perbandingan perkembangan produksi dan konsumsi cengkeh nasional, dapat dilihat pada Gambar 3. Tampak bahwa, perkembangan
produksi cengkeh cenderung fluktuatif bila dibandingkan dengan perkembangan konsumsi cengkeh yang cenderung stagnan. Terjadinya fluktuasi produksi
cengkeh, terutama disebabkan oleh perilaku produksi tanaman cengkeh itu sendiri yang mengikuti siklus empat tahunan. Produksi cengkeh mencapai
puncaknya pada saat panen raya berlangsung, setelah itu produksi akan kembali turun drastis pada tahun berikutnya karena tanaman cengkeh dalam tahap
pemulihan, setelah itu terjadi panen kecil pada dua tahun berikutnya, dan begitu seterusnya.
20,000 40,000
60,000 80,000
100,000 120,000
94 95
96 97
98 99
00 01
02 03
04
TAHUN VO
L U
M E
T O
N
PRODUKSI KONSUMSI
Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan, Gappri dan FAO 2005
Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh, Tahun 1994-2004
Selain itu, gejala penurunan produksi juga disebabkan oleh kurang intensifnya pemeliharaan tanaman di sebagian besar daerah sentra produksi
cengkeh, sebagai dampak dari rendahnya tingkat harga cengkeh pada beberapa tahun yang lalu, terlebih disaat panen raya. Sehingga dilaporkan, banyak
7
tanaman cengkeh yang mati karena diserang hama dan penyakit seperti bakteri pembuluh kayu cengkeh BPKC, cacar daun cengkeh CDC dan gugur daun
cengkeh GDC. Sedangkan konsumsi cengkeh nasional dari pabrik rokok kretek yang menguasai sebagian besar produksi cengkeh dunia, cenderung mengalami
peningkatan sejalan dengan meningkatnya produksi rokok kretek Gonarsyah, 1998; Ditjen Perkebunan, 2000.
Tabel 3. Produksi Cengkeh Dunia, Tahun 1997-2004
Ton
Tahun Produksi Negara
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Asia
62 194 70 227
57 003 76 247
83 384 92 759
92 809 92 809
I ndonesia 59 194
67 177 52 903
74 047 80 684
87 909 87 909
87 909 China
300 350 400 500 500 550 600 600 Malaysia
200 200 200 200 200 200 200 200 Srilanka
2 500 2 500
3 500 1 500
2 000 4 100
4 100 4 100
Afrika 19 046
20 844 25 535
28 732 29 275
31 419 31 563
31 550 Komoro
2 000 2 294
2 438 2 582
2 725 2 869
3 013 3 000
Grenada 20
20 20 20 20 20 20 20
Kenya 40 50 70 550 550 550 550 550
Madagaskar 14 500
13 500 15 000
15 600 15 500
15 500 15 500
15 500 Tanzania
2 506 5
000 8 027 10
000 10 500 12
500 12 500 12
500 Dunia
81 204 91 071
82 538 104 979
112 659 124 178
124 372 124 359
Sumber: Food and Agriculture Organization FAO, 2005
Produksi cengkeh I ndonesia tahun 2004 sekitar 87.9 ribu ton, sedangkan produksi cengkeh dunia pada tahun yang sama mencapai sekitar 124.4 ribu ton
Tabel 3. Dari tahun 2000-2004, tampak bahwa I ndonesia memberikan kontribusi produksi cengkeh rata-rata sebesar 71 persen terhadap total produksi
dunia. Sedangkan untuk Asia, I ndonesia memberikan kontribusi produksi rata- rata sebesar 95 persen. Dua negara lain yang cukup potensial sebagai penghasil
cengkeh adalah Madagaskar dan Tanzania Zanzibar yang total produksinya mencapai sekitar 20 000 hingga 27 000 ton per tahun. Disamping itu, terdapat
enam negara sebagai produsen kecil, yaitu Komoro, Srilanka, Malaysia, China, Grenada, Kenya dan Togo, dengan total produksi mencapai sekitar 5 000 hingga
7 000 ton per tahun.
8
1.2. Perumusan Masalah