68
eugenol dan pestisida nabati serta penyediaan bibit untuk keperluan
replanting
peremajaan, 3 pengaturan kembali regulasi berbagai peraturan perundang- undangan yang menyangkut harga, tata niaga, perizinan dan permodalan, 4
mendorong upaya pengembangan agribisnis cengkeh. Kegiatan ini perlu didukung penelitian dan pengembangan serta intensifikasi, rehabilitasi maupun
peremajaan tanaman. Dalam lima tahun ke depan, kegiatan tersebut perlu difokuskan pada penelitian produk-produk berbahan baku cengkeh serta
pengembangan program intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan di 16 provinsi sentra penghasil cengkeh, 5 untuk mendukung pembiayaan kegiatan tersebut,
disamping APBN, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pungutan dana yang bersumber dari CESS, 6 menciptakan hubungan kemitraan yang adil dan
harmonis antara petani dan industri rokok pedagang agar tercapai kesepakatan harga yang menguntungkan semua pihak, dan 7 untuk melindungi,
meningkatkan pendapatan dan memperkuat posisi tawar petani cengkeh, perlu segera dibentuk Dewan Cengkeh Nasional.
3.2.2. Aspek Kebijakan dalam Percengkehan Nasional
Simatupang 2004, dalam salah satu tulisannya, mengemukakan bahwa pada kondisi normal, anjloknya harga cengkeh tidak semestinya terjadi karena
neraca cengkeh I ndonesia masih defisit dalam arti kebutuhan dalam negeri masih lebih besar dari produksi dalam negeri, sementara volume perdagangan
cengkeh di pasar dunia amat kecil pasar tipis. Oleh karena itu, akar penyebab gejolak harga cengkeh adalah perubahan kebijakan tataniaga yang menimbulkan
perubahan mendasar pada struktur pasar cengkeh, yaitu: 1 pencabutan hak monopsonistik dan monopolistik Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh
69
BPPC serta liberalisasi perdagangan cengkeh pada akhir tahun 1998 kesepakatan dengan I MF. Kebijakan ini mendorong meningkatnya impor
cengkeh dari sebelumnya tidak ada menjadi sekitar 20 000 ton per tahun atau sekitar 70 persen dari volume perdagangan dunia. Akibatnya harga dunia
langsung melonjak tajam dari US 0.99 per kg tahun 1997 menjadi US 7.8 per kg pada awal tahun 2002 sehingga harga cengkeh dalam negeri sempat
mencapai Rp. 80 000 per kg dan 2 pembatasan importir cengkeh hanya oleh importir produsen dan importir terbatas Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 528 MPP Kep 7 2002 tanggal 5 Juli 2002. Tanpa disadari, kebijakan ini memberikan hak oligopsonistik kepada pabrik rokok sehingga
mampu mengendalikan harga cengkeh di tingkat petani, tak ubahnya seperti BPPC pada periode tahun 1990 hingga 1998. Dengan rasional untuk meraih laba
sebesar-besarnya, pabrik rokok menghentikan impor cengkeh yang menjadi hak eksklusifnya, sehingga harga cengkeh dunia anjlok dan bertahan sekitar US 1.8
per kg, yang berarti sepadan dengan harga di tingkat petani Rp. 15 000 per kg pada akhir-akhir ini.
Opsi kebijakan yang dapat dipilih antara lain: 1 menetapkan harga pembelian di tingkat petani cengkeh dengan dukungan dana talangan dari
pemerintah, 2 menetapkan tarif dan liberalisasi impor cengkeh, 3 meminta asosiasi pabrik rokok menetapkan harga pembelian cengkeh minimum di tingkat
petani, dan 4 membentuk wadah masyarakat dan kemitraan strategis tripartit Petani- Gappri- Pemerintah Dewan Percengkehan Nasional.
Sementara itu, Siregar dan Suhendi 2006 dalam makalahnya, menyatakan bahwa cengkeh merupakan salah satu komoditas pertanian yang
erat keterkaitannya dengan beberapa sektor ekonomi, terutama industri rokok
70
kretek. Permasalahan yang terkait dengan agribisnis cengkeh yaitu ketidakpastian harga fluktuasi harga. Selain dari sisi teknis, permasalahan juga
dapat terjadi dari sisi kebijakan. Pada kondisi fiskal yang cukup ketat defisit anggaran, terdapat kecenderungan bahwa pemerintah menaikkan penerimaan
negara, termasuk yang bersumber dari cukai dan salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah menaikkan Harga Jual Eceran HJE rokok.
Beberapa kesimpulan yang dikemukakan dalam makalah tersebut adalah: 1 dengan melihat potensi lahan yang tersedia cukup besar dan persyaratan
tumbuhnya relatif terpenuhi serta indikator finansial yang cukup baik maka dapat disimpulkan bahwa komoditas cengkeh layak diusahakan. Agribisnis cengkeh
memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan mengingat besarnya peranan komoditas tersebut dalam menggerakkan perekonomian nasional. I ndustri rokok
sebagai salah satu subsistem dalam agribisnis cengkeh memberikan sumbangan penting bagi penerimaan negara, 2 I ndonesia merupakan ”negara besar” dalam
perdagangan internasional cengkeh, sehingga fluktuasi produksi dan konsumsi, yang bisa terjadi karena aspek alam, aspek perilaku industri, maupun aspek
kebijakan domestik, dapat mempengaruhi tatanan perdagangan tersebut. Dengan kata lain, perubahan yang tidak diingingkan pada ketiga aspek tersebut
dapat menjadi sumber ketidakstabilan fluktuasi yang dapat merugikan para pelaku pasar terutama petani sebagai pelaku terlemah, dan 3 kebijakan
pemerintah untuk menaikkan penerimaan negara dengan menaikkan HJE diperkirakan akan mengganggu peran agribisnis cengkeh terhadap
perekonomian. Setidaknya jumlah produksi rokok dan pembelian cengkeh dan tembakau akan berkurang, sehingga pendapatan petani kedua tanaman tersebut
diperkirakan akan berkurang. Penyerapan tenaga kerja juga akan berkurang,
71
baik dalam usahatani cengkeh dan tembakau maupun dalam industri rokok kretek.
3.2.3. Aspek Kesehatan