VI . PERKEMBANGAN SI STEM USAHATANI CENGKEH DI SULAWESI UTARA SERTA I NTERAKSI PETANI
CENGKEH DENGAN PABRI K ROKOK KRETEK
6.1. Perkembangan Tataniaga Cengkeh
Hingga kini, perkembangan tataniaga cengkeh di I ndonesia telah melalui beberapa periode yang sangat berbeda baik dalam bentuk maupun mekanisme
proses pelaksanaannya. Hal seperti ini pula yang berlaku di beberapa provinsi penghasil cengkeh di I ndonesia, termasuk provinsi Sulawesi Utara. Secara
umum, perkembangan pemasaran dan tataniaga cengkeh produksi dalam negeri dapat di bagi dalam tiga periode utama, yaitu: 1 periode sebelum
beroperasinya BPPC, 2 periode BPPC, dan 3 periode pasca BPPC. Secara historis, periode sebelum beroperasinya Badan Penyangga dan
Pemasaran Cengkeh BPPC pada tahun 1991, pabrik rokok kretek PRK membeli bahan baku cengkehnya langsung dari pedagang antar pulau PAP
dan atau koperasi unit desa KUD yang beroperasi pada saat itu. Beberapa PRK besar, bahkan membentuk mata rantai pembelian cengkeh hingga ke desa-desa
sentra produksi cengkeh di berbagai daerah sentra produksi cengkeh di I ndonesia. Sementara itu, PT Kerta Niaga yang ditetapkan pemerintah untuk
melaksanakan fungsi penyanggaan cengkeh di 9 propinsi sentra produksi, tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya karena keterbatasan dana
penyanggaan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab I I . Selanjutnya periode BPPC, yang mulai berlaku sejak ditetapkannya SK
Menteri Perdagangan RI Nomor 306 KP XI I 1990 tentang Pelaksanaan Tataniaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri, terhitung mulai 1 Januari 1991. Tugas-
tugas BPPC adalah: 1 melakukan kegiatan pembelian, 2 menjalankan fungsi
160
penyanggaan dan 3 melakukan stabilisasi harga cengkeh di tingkat petani. Sejak saat itu, BPPC merupakan satu-satunya lembaga yang berhak melakukan
pembelian cengkeh baik secara langsung maupun tidak langsung, di seluruh wilayah I ndonesia. Lebih dari itu, BPPC juga yang melakukan penjualan
pemasaran cengkeh kepada PRK dan konsumen cengkeh lainnya. Bahkan belakangan hanya BPPC satu-satunya yang mendapat ijin untuk melakukan
impor cengkeh. Pada awal beroperasinya BPPC, volume penjualan cengkeh ke PRK agak tersendat, namun sejak diberlakukan SK Bersama Menteri
Perdagangan RI Nomor 307 KPB XI 91 dan Menteri Keuangan RI Nomor 1180 KMK.00 1991 tentang Pengkaitan Penyerahan Cengkeh dengan Pemesanan
Pita Cukai, maka pemasaran cengkeh tampak cukup lancar karena tidak ada pilihan lagi bagi PRK untuk memperoleh bahan baku cengkehnya selain dari
BPPC. Kegiatan tata niaga cengkeh ini, dilaksanakan di 14 propinsi sentra produksi cengkeh, termasuk propinsi Sulawesi Utara.
Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, berkaitan dengan tata niaga cengkeh yang dituangkan dalam Keppres RI Nomor 12 Tahun
1998 tentang Perdagangan Cengkeh. Terdapat 2 butir pokok dari Keppres ini, yaitu: 1 petani dapat menjual cengkeh kepada dan pedagang dapat membeli
cengkeh dari pihak manapun secara bebas berdasarkan harga pasar, dan 2 BPPC wajib menyelesaikan semua hal yang menyangkut kegiatannya selambat-
lambatnya sampai dengan tanggal 30 Juni 1998 dan terhitung mulai saat itu BPPC telah dibubarkan.
Dengan demikian, periode setelah BPPC dibubarkan disebut periode pasca beroperasinya BPPC. Sejak tahun 1998 hingga kini, komoditas cengkeh tidak di
atur lagi tataniaganya dan cengkeh dapat diperdagangkan secara bebas. Sejak
161
saat itu juga impor cengkeh dapat dilakukan oleh siapa saja, namun dampak yang timbul adalah, tingkat harga cengkeh di pasar dalam negeri, terlebih di
tingkat petani menjadi sangat fluktuatif, di lain pihak impor cengkeh cenderung menunjukkan peningkatan. Sehingga pada tahun 2002, pemerintah melalui
Departemen Perindustrian dan Perdagangan menetapkan Surat Keputusan Menperindag Nomor 528 MPP 7 2002, tentang Ketentuan I mpor Cengkeh. I ni
merupakan tindakan antisipastif dari terjadinya lonjakan impor cengkeh yang mengakibatkan penurunan harga cengkeh dan pendapatan petani cengkeh di
dalam negeri, dan untuk meningkatkan kesejahteraan petani cengkeh dengan tetap memperhatikan kepentingan industri pengguna cengkeh.
Sementara itu, kondisi yang berlaku saat ini khususnya di provinsi Sulawesi Utara, mekanisme tataniaga cengkeh telah kembali seperti sebelum
beroperasinya BPPC. Pabrik rokok kretek membeli cengkeh secara langsung dari pedagang antar pulau PAP yang memiliki jaringan hingga ke desa-desa sentra
produksi cengkeh. Dengan kata lain, para pedagang cengkeh tersebut merupakan perpanjangan tangan dari PRK.
Gambar 14, menyajikan pola tataniaga cengkeh yang berlaku di Sulawesi Utara. Pola tataniaga ini sangat bervariasi tergantung pada kondisi yang berlaku
saat itu, pada saat panen raya cengkeh pola tataniaganya berbeda dengan pada saat paceklik. Namun, secara umum, peran pedagang cengkeh sangat besar dan
penting dalam tataniaga cengkeh, di tingkatan manapun. Meningkatnya peran para pedagang ini, seiring dengan berkurangnya peran koperasi unit desa KUD
sebagai lembaga tataniaga penting pada periode sebelumnya. Dominasi pedagang dalam pola tataniaga cengkeh di daerah penelitian
sudah berlaku sejak dahulu, sebagaimana temuan Gonarsyah 1996, dimana
162
pada saat itu, meskipun tataniaga cengkeh telah diatur lewat Keppres Nomor 20 Tahun 1992 tentang Tataniaga Cengkeh Produksi Dalam Negeri, namun peran
pedagang cengkeh tetap dominan. Kondisi seperti ini pula yang hingga kini kerap ditemui di daerah-daerah sentra produksi cengkeh, seperti di daerah penelitian
ini. Gambar berikut ini menunjukkan, pola tataniaga yang sering dijumpai di
lokasi penelitian,
Gambar 14. Pola Tataniaga Cengkeh di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 2005
Pola di atas dapat diringkaskan menjadi: 1. Petani Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Kabupaten PRK
2. Petani Pedagang Kabupaten PRK 3. Petani PAP PRK
4. Petani PRK Dari keempat pola di atas, ternyata pola 1 dan 2 adalah pola yang
berlaku, baik pada saat musim panen raya maupun setelah musim panen Petani
Pedagang Kabupaten
Pedagang Antar Pulau PAP
Pabrik Rokok Kretek PRK
Pedagang Pengumpul Desa
163
berakhir paceklik, sedangkan pola 3 dan 4, sering dijumpai pada saat berlangsungnya musim panen raya. Pada keempat pola di atas, tidak terlihat
adanya peran lembaga tataniaga seperti koperasi unit desa KUD, dimana perannya telah digantikan oleh pedagang. Sementara itu, volume cengkeh yang
dikumpulkan pedagang tingkat desa dan yang disalurkan kepada pedagang tingkat kabupaten, semuanya didistribusikan langsung kepada pabrik rokok
kretek, karena saat ini belum ada konsumen lain selain PRK yang mampu menyerap cengkeh dalam jumlah yang besar.
Pada umumnya, cengkeh yang dijual petani di Sulawesi Utara dikategorikan dalam kualitas asalan, yakni kualitas dengan kadar air dan kadar
kotor lebih besar 14 dan 5 persen. Menurut Gonarsyah
et al
. 1995 dan berdasarkan informasi di lapangan, bahwa untuk mengeringkan cengkeh kualitas
asalan menjadi cengkeh kering dengan kadar air sekitar 14 persen diperlukan waktu sekitar 6 hari, berarti untuk mencapai kadar air yang lebih rendah dari 14
persen dibutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Ditambah lagi dengan musim panen biasanya berlangsung hingga awal musim penghujan dan petani tidak
memiliki fasilitas mesin pengering. Selain itu, sifat dari komoditas cengkeh yang hidroskopik mudah menyerap air serta iklim Sulawesi Utara yang memiliki
tingkat kelembaban udara yang relatif tinggi menyebabkan sulit untuk mempertahankan kadar air yang rendah. Dengan demikian, sangatlah sulit bagi
petani untuk mencapai kualitas cengkeh 5: 0 kadar air 5 dan kadar kotor 0 yang disyaratkan untuk memperoleh harga minimim pembelian cengkeh yang
ditetapkan pemerintah sebesar Rp. 30 000 per kilogram, yakni harga kesepakatan petani cengkeh dan Gappri yang difasilitasi oleh Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian RI Runtu, 2006.
164
Tabel 28. Struktur Marjin Tataniaga Cengkeh di Sulawesi Utara, Tahun 2005 Rp kg
Saluran Tataniaga LEMBAGA TATANI AGA
1 2 PETANI
Harga Jual 26 000
27 000 PEDAGANG PENGUMPUL DESA
Biaya Transportasi 50
Biaya Pengolahan -
Biaya penyimpanan dan lain-lain 450
Marjin Laba 1 000
Harga Jual 27 500
PEDAGANG KABUPATEN Biaya Transportasi
250 300
Biaya Pengolahan 500
500 Biaya penyimpan dan biaya lain
1 250 1 250
Marjin Laba 2 500
2 950 Harga Jual
32 000 32 000
Tabel di atas menunjukkan bahwa, apabila petani menjual cengkehnya kepada pedagang kabupaten maka tingkat harga yang diterimanya lebih tinggi
daripada apabila menjual kepada pedagang pengumpul tingkat desa, namun petani harus mengeluarkan biaya transportasi. Sementara itu, pedagang
pengumpul tingkat desa, tidak mengadakan fungsi pengolahan karena tidak adanya fasilitas pengolahan seperti gudang atau tempat penampungan
sementara serta alat pengering cengkeh. Sedangkan pedagang tingkat kabupaten, meskipun memiliki fasilitas yang jauh lebih memadai daripada
pedagang pengumpul tingkat desa, tapi hanya melaksanakan fungsi tataniaga seperti pengolahan dan penyimpanan yang bersifat sementara, karena pada saat
panen raya, biasanya cengkeh yang telah terkumpul langsung dikirimkan ke pulau Jawa.
Faktor-faktor yang menyebabkan relatif besarnya peranan pedagang cengkeh dalam tataniaga cengkeh yang berlaku saat ini, bila dibandingkan
dengan pola tataniaga yang pernah berlaku sebelumnya, adalah sebagai berikut:
165
1. Keberadaan pedagang yang telah berlangsung lama, bahkan banyak yang
mewarisi usahanya secara turun temurun dari keluarganya sehingga mereka paham betul seluk beluk tataniaga cengkeh
2. Kebanyakan pedagang memiliki hubungan yang telah terjalin baik dengan
para petani, bahkan ada yang merupakan keluarga dan atau kerabat dekatnya
3. Pedagang menawarkan kemudahan proses bertransaksi, bahkan pada saat
panen cengkeh, dengan leluasanya mereka bergerak keluar masuk hingga ke pelosok desa sentra produksi cengkeh dan membeli cengkeh tanpa
memperdulikan kualitasnya kadar air dan kadar kotor 4.
Dengan kurang baiknya
image
koperasi selama ini membuat petani merasa lebih nyaman bertransaksi dengan pedagang.
Seiring dengan semakin rendahnya peran koperasi atau KUD dalam tataniaga cengkeh maka peran pedagang cengkeh menjadi semakin kuat dan
penting. Berikut ini, struktur marjin tataniaga berdasarkan saluran tataniaga yang berlaku di daerah penelitian.
6.2. Perkembangan Usahatani dan Pemasaran