119 Contoh lain culture lag adalah pemakain telepon selular hand phone atau internet dengan
fasilitas komunikasi canggih seperti facebook, twitter, dan media sosial lainnya, yang berangkat dari suatu konsep mempermudah dan memperlancar aktivitas interaksi antarmanusia.
Terciptanya produk budaya tersebut pada dasarnya berangkat dari pemikiran akan pentingnya waktu, seperti yang sering diungkapkan “time is money”, pada masyarakat pencipta kebudayaan
itu. Namun dalam kenyataannya sebagian masyarakat Indonesia malah menggunakan kemajuan teknologi informatika ini untuk kesenangan semata dan malah membuang waktu yang
sangat berharga itu. Bahkan karena begitu dikhawatirkannya penggunaan internet untuk kesenangan pribadi dan dianggap mengurangi kinerja, beberapa institusi di berbagai bidang,
seperti pendidikan, perusahaan, dan lain sebagainya membuat kebijakan pelarangan penggunaan internet pada jam-jam tertentu.
Demikianlah culture lag keterlambatan budaya, terjadi karena masyarakat pengguna kebudayaan itu bukanlah pencipta kebudayaan, melainkan penerima kebudayaan yang telah
dibuat oleh masyarakat bangsa lain, di mana proses penerimaan kebudayaan sebatas pada penerimaan wujud ketiga dari kebudayaan tertentu, tanpa diimbangi dengan pemahaman yang
baik tentang sistem budaya dan sistem sosial yang melatarbelakangi penciptaan kebudayaan itu. Poerwanto ibid.:180 menganjurkan agar fenomena culture lag ini tidak terjadi, maka pada
hakekatnya seseorang selalu dituntut untuk belajar tentang kebudayaan, baik melalui proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi, sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikut ini.
2.4 Belajar Kebudayaan
Setiap perilaku manusia ditentukan oleh lingkungannya. Situasi suatu lingkungan yang berada di luar manusia disebut stimulus S; situasi ini akan menimbulkan dorongan D untuk berbuat
sesuatu; dan akhirnya sesuatu yang ditampilkan seorang individu melahirkan respon R. Setiap kali ada suatu S tertentu menimbulkan dorongan D, maka akan diperoleh R, sehingga jika S dan
R yang sama terus-menerus menimbulkan R yang sama menghasilkan kebiasaan, yang selanjutnya menjadi kebudayaan. Demikian, dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah suatu R
120 yang berulang-ulang dari suatu S dan D yang sama, sehingga kebudayaan diartikan sebagai
learning behavior atau kelakuan yang diperoleh melalui proses belajar.
Rahyono Wacana, 2002:18 –19, menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan “bentuk” usaha
manusia dalam mengatasi segala keterbatasan yang dialami dalam kehidupannya. Manusia tidak begitu saja menerima keterbatasan-keterbatasan, baik yang ditimbulkan oleh alam maupun oleh
diri manusia itu sendiri. Dalam upaya mengatasi keterbatasan itu, manusia tidak melakukan kegiatan secara individual, melainkan secara kelompok. Dengan demikian, kebudayaan bukanlah
milik diri, melainkan milik kelompok. Melalui kesepakatan dan kegiatan kelompok itulah wujud kebudayaan menjadi ciri kelompok tertentu, dan diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya
melalui proses belajar. Kebudayaan yang dimiliki oleh individu-individu di dalam masyarakat diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga dianggap sebagai sesuatu yang diturunkan secara
genetis, padahal tidak demikian, manusia mempelajari kebudayaan itu sejak ia lahir sampai dengan menjelang ajal tiba, melalui proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi.
a. Internalisasi
Internalisasi, menurut Koentjaraningrat 2009:185 adalah proses panjang seorang individu menanamkan dalam kepribadiaannya segala perasaan, hasrat, napsu, dan emosi
yang diperlukannya, sepanjang hidupnya, sejak ia dilahirkan sampai menjelang ajalnya.
Berbagai perasaan dasar, seperti rasa lapar, rasa nyaman, rasa aman, dan lain sebagainya, memang dibawa dari dalam kandungannya secara genetik, namun demikian ekspresi atau
pewujudan, pengaktifan dan pengembangan perasaan-perasaan tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang ditemui dan dialaminya sejak lahir. Sebagai contoh
seorang bayi yang merasa lapar menyatakan rasa laparnya dengan menangis, yang ditanggapi oleh ibu atau pengasuhnya dengan memberi susu, sehingga rasa lapar yang
dialaminya hilang dengan mendapatkan susu, dan ia pun berhenti menangis. Lain waktu si bayi menangis lagi karena merasa kedinginan atau tidak nyaman. Tentu saja jika
menangis yang ini direspon dengan memberikan susu, tangis si bayi tidak akan berhenti; baru setelah ia diselimuti atau didekap ia merasa nyaman dan tangisnya berhenti. Demikian
seterusnya bayi belajar menyampaikan perasaaan dan menerima respon yang diberikan, sebagai bentuk belajar yang pertama.
121 Menangis adalah salah satu bentuk ekspresi yang
awal sekali ditampilkan oleh seorang individu, namun seiring dengan pertambahan usia, si bayi
juga menampilkan berbagai ekspresi lainnya seperti tersenyum, tertawa, atau ekspresi gerak
tubuh lainnya. Respon atau tanggapan luar yang ia terima juga merupakan suatu bentuk pelajaran
yang ia tangkap dan temui dari lingkungan terdekatnya. Seorang ibu yang tidak memahami
atau tidak mau belajar memahami apakah yang ingin disampaikan bayinya dengan menangis,
akan mengalami kerepotan jika ia hanya menganggap tangis bayi berhenti dengan memberikan susu atau makanan, karena tidak semua ekspresi menangis menandakan
lapar. Demikianlah seorang individu, belajar kebudayaan sejak ia dalam buaian hingga menjelang ajalnya, mengenai berbagai macam perasaan dan hasrat: lapar, haus, gelisah,
sedih, bahagia, cinta, benci, nyaman, dan lain sebagainya, sehingga semua hal yang ia alami sebagai suatu reaksi dan tanggapan yang diterimanya menjadi bagian dari
kepribadian individu.
b. Sosialisasi