Pembentukan Masyarakat Memahami Konsep Masyarakat

89

1.3 Pembentukan Masyarakat

Perbincangan mengenai bagaimana masyarakat terbentuk sudah ada sejak zaman Plato, seorang filosof Yunani yang hidup pada 429 –347 SM. Menurut Plato di dalam Gazalba, 1976:65 —68, masyarakat terbentuk secara kodrati. Masyarakat tumbuh dan berkembang secara mandiri di dalam keteraturan dan hukum alam yang terlepas dari tanggung jawab individu-individu di dalam masyarakat itu. Kepentingan individu ditentukan oleh masyarakat. Seseorang individu dilahirkan di dalam masyarakat dan pertumbuhannya tidak terlepas dari pengaruh masyarakat. Bagimana pola pikir individu, tingkah laku atau kebiasaanya, serta apa yang ia hasilkan sangat dipengaruhi oleh pola pikir dan tingkah laku masyarakatnya. Cara pandang tersebut lebih mementingkan masyarakat daripada individu. Kepentingan masyarakat kepentingan bersama berada di atas kepentingan individu sehingga dikenal dengan paradigma kolektivisme Wuradji, 1987. Pandangan kolektivisme tersebut ditentang oleh pandangan individualisme ibid., yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk karena manusia. Menurut pendapat kedua ini, manusia yang berlainan jenis membentuk keluarga dan melahirkan. Entitas keluarga ini lama kelamaan membentuk kekerabatan. Kekerabatan inilah yang dikenal dengan suku bangsa, dan selanjutnya membentuk kesatuan masyarakat yang lebih luas yang dikenal sebagai bangsa. Berdasarkan pendapat kedua ini, manusia adalah elemen yang penting dalam pembentukan masyarakat. Baik atau buruknya seseorang individu dapat memengaruhi baik buruknya masyarakat. Menurut pandangan tersebut, individu-individu di dalam masyarakatlah yang menyebabkan perubahan pada masyarakat itu. Pandangan ini disebut individualisme ibid.. Pandangan lain tentang masyarakat dikemukakan oleh Herbert Spencer di dalam Poloma, 1979, yang menganalogikan masyarakat sebagai tubuh organisme; masyarakat merupakan tubuh, sedangkan manusia merupakan organ-organ bagian tubuh. Keduanya sama penting dan bersama-sama tumbuh. Rasa sakit pada salah satu organ tubuh dapat memengaruhi organ tubuh lainnya, bahkan dapat menyebabkan kesakitan pada seluruh tubuh. Demikian juga yang terjadi di dalam masyarakat ketika individu sebagai bagian dari masyarakat menentukan keburukan, 90 kebaikan, kemunduran, dan kemajuan masyarakat. Sebaliknya, kondisi masyarakat dapat juga memengaruhi kondisi individu-individu di dalam masyarakat itu. Dalam kajian kontemporer, perdebatan tentang apakah masyarakat yang membentuk kebudayaan atau kebudayaankah yang membentuk masyarakat melahirkan pandangan sintesis, yaitu pandangan konstrukstivisme yang melihat baik masyarakat maupun kebudayaan saling membentuk secara berkelindan. Jadi, menurut pandangan tersebut, kebudayaan memang berpengaruh kepada pola tingkah laku dan ekspresi kebudayaan masyarakatnya. Namun demikian, manusia di dalam masyarakat itu tidaklah pasif atau menerima pengaruh kebudayaan secara taken for granted melainkan ada individu-individu yang secara aktif, mengambil elemen-elemen kebudayaan tertentu, dan mereproduksi kebudayaannya dengan juga aktif mengambil pengaruh-pengaruh positif kebudayaan-kebudayaan luar yang dianggap membangun. Dengan pandangan itu, perubahan baik kemajuan maupun kemunduran suatu kebudayaan merupakan hasil dari upaya masyarakat pemilik kebudayaan itu. Suatu kebudayaan pada kenyataannya dapat menghilang karena memang kebudayaan itu ditingalkan oleh pemiliknya yang lebih tertarik mengembangkan kebudayaan baru yang dianggap lebih progesif. Suatu kebudayaan mungkin terus bertahan bahkan berkembang mengikuti perkembangan zaman, karena si pelaku kebudayaan secara aktif terus mengkonstruksi kebudayaannya. Pandangan konstuktivisme ini juga menempatkan individu-individu di dalam masyarakat berkebudayaan tertentu sebagai aktor-aktor yang aktif mengkonstruksi. Proses konstruksi itu tidak keluar dari kebudayaan yang memang melingkupi individu-individu di dalam masyarakat dan juga pengalaman individu-individu tersebut di dalam kehidupan global. Kotak 3. Bahasa Daerah Semakin Punah REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ratusan bahasa daerah yang ada di Indonesia, kian terancam punah. Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 746 bahasa daerah. Namun yang berhasil dipetakan oleh Balai Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada 594 bahasa daerah. Kepala Balai Bahasa DI Yogyakarta, Tirto Suwondo mengatakan, kebanyakan bahasa daerah yang punah berada di luar pulau Jawa. ‘Kemungkinan bahasa daerah yang belum dipetakan tersebut punah karena tidak ada pemak ainya lagi,’’ kata Tirto di kantornya, Selasa 43. Pemetaan bahasa daerah tersebut dilakukan sekitar tiga atau empat tahun lalu. Jumlah bahasa daerah di Indonesia, menurut peneliti asing maupun dari Indonesia , jumlahnya tidak sama. Data terakhir menyebutkan jumlahnya sekitar 726 bahasa. Tirto mengatakan, dari 400 lebih bahasa daerah yang berhasil dipetakan, jumlah penutur yang lebih dari satu juta orang hanya ada 13 bahasa. Antara lain Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bugis, Bahasa Minang, Bahasa Bali. Salah satu penyebab punahnya bahasa daerah karena jumlah penuturnya semakin sedikit. Biasanya, kata Tirto, bahasa daerah hanya dikuasai oleh para orang tua. Sedangkan anak dan cucu mereka, kehidupannya sudah modern sehingga banyak yang menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. Tirto mengakui, bahasa daerah bisa tetap hidup selama penuturnya masih ada. sumber: http:www.republika.co.id, dikutip pada 20 April 2016 91

1.4 Bentuk Masyarakat