52 5.
Motivasi spiritual: yang tak kalah pentingnya adalah mencerahkan anggota keluarga agar dapat mengenali diri sejati true self sehingga dapat mengenali Sang Pencipta dan selanjutnya
dapat memahami arti hidup serta memaknai kehidupan dengan bersungguh-sungguh sebagai pengabdi Tuhan sejati untuk menjaga alam dan seluruh isinya.
4.2 Bentuk Keluarga
Dilihat dari jumlah dan kelengkapannya, ada beberapa bentuk keluarga. a.
Keluarga inti nucleus family strukturnya terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak. Peran ayah adalah sebagai kepala keluarga, pencari nafkah utama bagi keluarga bread winner,
pemberi rasa aman dengan melindungi istri dan anak-anak, pendidik bagi istri dan anak-anak. Ibu berperan sebagai pendamping setia ayah, pengurus rumah-tangga, pengatur
asupan gizi yang memadai bagi ayah dan anak-anak, pelindung dan pendidik bagi anak-anak tatkala ayah absen bahkan saat kini juga pencari nafkah tambahan bagi keluarga.
Anak-anak sesuai tingkat perkembangannya berperan aktif sebagai subjek bagi terciptanya keluarga yang sehat dan sejahtera, lahir-batin.
b. Keluarga besar extended family strukturnya lebih luas di mana beberapa anggota
keluarga di luar keluarga batih dapat berkumpul dalam satu atap. Kakek-nenek, paman-bibi sepupu, bahkan anak yang sudah berumahtangga dapat pula berkumpul dalam
satu keluarga. Di desa-desa yang lahannya tidak lagi dimiliki oleh orang desa, biasanya dalam satu rumah dapat didiami oleh beberapa rumah tangga.
c. Keluarga dengan orang tua tunggal single parent family strukturnya hanya memiliki ayah
atau ibu sebagai kepala keluarga. Hal itu terjadi karena perceraian baik perceraian hidup maupun perceraian mati. Biasanya sebagai kepala keluarga, ayah atau ibu akan melakukan
peran ganda. Dengan demikian, walau tidak sempurna masih dirasakan peran dari pasangannya yang absen secara permanen dalam keluarga.
d. Dalam masyarakat Barat selain tiga bentuk keluarga di atas juga disebutkan keberadaan
keluarga kohabitasi cohabitation family yaitu pasangan yang tinggal serumah dan membina keluarga di luar pernikahan. Istilah populernya di Indonesia adalah kumpul kebo.
Juga disebutkan dalam literatur Barat jenis keluarga sesama jenis homosexual family yang akhir-akhir ini marak dengan istilah LGBT lesbian, gay, biseksual, dan transjender.
Tentunya karena kedua jenis “keluarga” ini tidak lazim dan melanggar norma agama dan
53 susila serta tidak sesuai dengan nilai Pancasila, maka di Indonesia secara tegas keberadaan
dua jenis keluarga ini dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus disembuhkan dan dihilangkan.
Kotak 1. Masa Kecil Bung Hatta dalam extended family di Bukittingi.
Dr. Mohammad Hatta, satu dari dua Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, semenjak lahir hingga berumur sebelas tahun tinggal serumah dengan nenek, kakek, dua paman, ibu, dan enam saudara
perempuannya. Ayahnya meninggal saat Hatta berumur delapan bulan. Dalam keluarga besar di
rumah milik neneknya inilah watak dan karakter Bung Hatta terbentuk.
Dalam memoir Bung Hatta dikatakan bahwa walaupun relatif singkat, suasana di rumah
neneknya dan pergaulannya dengan keluarga besar tersebut memberi kesan yang mendalam bagi Bung
Hatta. Kakeknya H. Ilyas Bagindo Marah, yang dipanggilnya
“Pak Gaek”
mengusahakan pengangkutan pos dari Bukittinggi ke Lubuk
Sikaping hingga ke Sibolga di Sumatera Utara. Cara kerja kakeknya dari menyiapkan segala
sesuatu hingga mengirimkan surat dan barang ini menjadi perhatian bagi Hatta kecil. Organisasi usaha
yang rapi, ketepatan waktu, ketelitian, kedisiplinan, kesungguhan, perawatan segala perlengkapan pengangkutan, ketekunan dan kasih sayang yang ditunjukkan kakeknya dalam bekerja, menjadi teladan yang
baik bagi Bung Hatta. Hal ini tergambar dari kesungguhan, ketekunan, ketelitian, dan kedisplinan Bung Hatta dalam belajar menggali ilmu serta kemampuannya berorganisasi secara baik, dan selanjutnya dalam
mempersiapkan seluruh perangkat bagi berdirinya Republik Indonesia.
Ketaatan beragama, keteguhan berprinsip menegakkan kebenaran, dan kesederhanaan dalam hidup diperoleh bung Hatta dari didikan dalam keluarga besarnya yang sangat religius. Jika dari pihak ibu, Bung Hatta
memperoleh darah pedagang, dari pihak ayah ia memperoleh darah ulama. Datuknya, H. Abdurahman 1777-1899, seorang ulama besar, tokoh sufi, guru tarekat yang diberi gelar Tuan Syeh Batuhampar, adalah
ayah dari H. Muhammad Jamil, kakeknya dari pihak ayah. Pamannya dari pihak ibu yang tinggal serumah, Syekh Muda, adalah seorang guru tarekat, guru kerohanian Islam yang menjalani kehidupan sederhana
zuhud, telah pula memberikan contoh yang baik bagi Hatta kecil. Watak dan perilaku sederhana, taat beragama shaleh secara spiritual dan sosial, teguh berprinsip, dan selalu menegakkan kebenaran terbawa terus
hingga akhir hayat Sang Proklamator.
4.3 Keluarga Sebagai Benteng Pengembangan Karakter