53 susila serta tidak sesuai dengan nilai Pancasila, maka di Indonesia secara tegas keberadaan
dua jenis keluarga ini dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus disembuhkan dan dihilangkan.
Kotak 1. Masa Kecil Bung Hatta dalam extended family di Bukittingi.
Dr. Mohammad Hatta, satu dari dua Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, semenjak lahir hingga berumur sebelas tahun tinggal serumah dengan nenek, kakek, dua paman, ibu, dan enam saudara
perempuannya. Ayahnya meninggal saat Hatta berumur delapan bulan. Dalam keluarga besar di
rumah milik neneknya inilah watak dan karakter Bung Hatta terbentuk.
Dalam memoir Bung Hatta dikatakan bahwa walaupun relatif singkat, suasana di rumah
neneknya dan pergaulannya dengan keluarga besar tersebut memberi kesan yang mendalam bagi Bung
Hatta. Kakeknya H. Ilyas Bagindo Marah, yang dipanggilnya
“Pak Gaek”
mengusahakan pengangkutan pos dari Bukittinggi ke Lubuk
Sikaping hingga ke Sibolga di Sumatera Utara. Cara kerja kakeknya dari menyiapkan segala
sesuatu hingga mengirimkan surat dan barang ini menjadi perhatian bagi Hatta kecil. Organisasi usaha
yang rapi, ketepatan waktu, ketelitian, kedisiplinan, kesungguhan, perawatan segala perlengkapan pengangkutan, ketekunan dan kasih sayang yang ditunjukkan kakeknya dalam bekerja, menjadi teladan yang
baik bagi Bung Hatta. Hal ini tergambar dari kesungguhan, ketekunan, ketelitian, dan kedisplinan Bung Hatta dalam belajar menggali ilmu serta kemampuannya berorganisasi secara baik, dan selanjutnya dalam
mempersiapkan seluruh perangkat bagi berdirinya Republik Indonesia.
Ketaatan beragama, keteguhan berprinsip menegakkan kebenaran, dan kesederhanaan dalam hidup diperoleh bung Hatta dari didikan dalam keluarga besarnya yang sangat religius. Jika dari pihak ibu, Bung Hatta
memperoleh darah pedagang, dari pihak ayah ia memperoleh darah ulama. Datuknya, H. Abdurahman 1777-1899, seorang ulama besar, tokoh sufi, guru tarekat yang diberi gelar Tuan Syeh Batuhampar, adalah
ayah dari H. Muhammad Jamil, kakeknya dari pihak ayah. Pamannya dari pihak ibu yang tinggal serumah, Syekh Muda, adalah seorang guru tarekat, guru kerohanian Islam yang menjalani kehidupan sederhana
zuhud, telah pula memberikan contoh yang baik bagi Hatta kecil. Watak dan perilaku sederhana, taat beragama shaleh secara spiritual dan sosial, teguh berprinsip, dan selalu menegakkan kebenaran terbawa terus
hingga akhir hayat Sang Proklamator.
4.3 Keluarga Sebagai Benteng Pengembangan Karakter
Dalam meneruskan nilai-nilai budaya dan adat istiadat, keluarga berperan untuk membentuk kepribadian bagi generasi muda. Generasi muda berhadapan dengan nilai budaya
dan kebiasaan Barat atau luar yang sangat liberal, individualistik, dan cenderung menggoyahkan
Rumah Kelahiran Bung Hatta di Bukittinggi
54 sendi-sendi keluarga. Gerakan feminism, LGBT, consumerism, materialism, liberalism, dan yang
lainnya telah dengan gegabah mereduksi peran keluarga sebagai wadah untuk mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai luhur. Akibatnya generasi muda kehilangan kepribadian dan malah
mengadopsi budaya negatif Barat dalam arus globalisasi yang jelas menggerus nilai budaya luhur Indonesia.
Salah satu nilai luhur yang semakin luntur adalah tatakrama dan sopan-santun dalam keluarga. Sopan-santun dan tatakrama merupakan aturan tidak tertulis yang secara turun-temurun
diwariskan melalui keluarga agar timbul saling pengertian, hormat menghormati, saling menyayangi, dan saling menghargai sesuai adat istiadat yang berlaku di suatu tempatwilayah. Di
kalangan orang Jawa misalnya, sangat dipentingkan tatakrama dan sopan-santun. Anggota keluarga yang bersikap atau berperilaku melanggar tatakrama dan sopan-santun akan dianggap
“tidak tahu adat” dan akan dihukum secara sosial bahkan bisa terkena sanksi adat. Untuk itu perlu diperhatikan kembali beberapa nilai-nilai kesopanan dan tatakrama dalam keluarga:
a. Menghormati yang lebih tua: kakek-nenek, ayah-ibu, paman-bibi, guru, kakak, siapapun
yang lebih tua harus dihormati dan tidak berkata keras atau kasar kepada mereka, tidak peduli seberapa
tinggi pangkat dan kedudukan sosial kita. Presiden Soekarno, “Panglima Besar Revolusi”, saat jayanya
mencontohkan bagaimana
ia sungkem
pada ibundanya dan gurunya. Demikian pula yang
dilakukan oleh para Presiden RI berikutnya, memberikan contoh dengan sungkem kepada
orangtua, sering kita saksikan di media televisi.
Gambar 2. 3 Soekarno sungkem kepada Ibunda
b. Bersikap sopan dan santun kepada siapa pun dan di mana pun: dapat mengendalikan diri, tidak
emosional, tidak senang atau marah berlebihan sehingga mengganggu orang lain, dan mampu menjaga perasaan orang lain.
55 c.
Mempunyai toleransi yang tinggi dan sikap mau membantu tanpa pamrih: dapat berempati yaitu mendudukkan diri pada posisi orang lain sehingga bisa memahami orang lain, dan mau
membantu orang lain yang sedang kesusahan.
Penyiapan generasi yang baik dimulai dari keluarga. Pendidikan di dalam rumah merupakan modal dasar bagi setiap anggota keluarga untuk dapat berkiprah di luar rumah. Peran
penting keluarga dalam pembangunan masyarakat yang sejahtera lahir-batin perlu disadari oleh semua pihak yang berkepentingan. Memperkuat sendi-sendi keluarga agar dihasilkan keluarga
yang tangguh dan anggota keluarga yang berkarakter baik sangat penting dilakukan dalam pembangunan masyarakat sejahtera berkeadilan. Kecukupan secara ekonomi, pendidikan
terutama pendidikan karakter, kesehatan fisik dan psikiskejiwaan, keterampilan dan kemampuan bertahan hidup perlu menjadi perhatian bersama. Pemberdayaan keluarga miskin agar dapat
mandiri dalam pemenuhan seluruh kebutuhan dasar ini juga perlu menjadi perhatian bersama mengingat masifnya jumlah keluarga yang hidup di bawah standar hidup layak di Indonesia.
56
5. Membangun Hubungan Antarpribadi