Penelitian Terdahulu Land Tenure

2.7 Penelitian Terdahulu Land Tenure

Pusat persoalan land tenure di Guatemala adalah ketidakadilan yang sangat ekstrim terhadap kepemilikan lahan, yang timbul dari sejarah tentang kebijakan anti-indegenous anti pribumi. Setelah perang yang terjadi di negara tersebut dan diskriminasi yang terus menerus, dimana kedua permasalahan tersebut bersama-sama menyebabkan kegagalan dalam memahami permasalahan ketidakadilan diatas. Selain itu keadaan sosial ekonomi dan konteks politik yang ada di negara tersebut memberikan pengaruh terhadap kebijakan sumberdaya alam dan reaksinya. Pada negara-negara lain, manajement kehutanan akan menekankan pada peningkatan kontrol terhadap penebagan kayu, tetapi negera Guatemala melakukan usaha yang serius untuk membuat regulasi lokal tentang konsumsi kayu bakar. Kontrol tersebut dikombinasikan atau digabungkan dengan kekhawatiran masyarakat lokal Guatemala akan kehilangan lahan dan adat istiadat yang melarang penebagangan kayu, namun hal ini kurang dimengerti oleh para pemimpin dan pakar kehutanan di negara tersebut. Ketidakadilan dalam kepemilikan lahan land tenure menyebabkan kurangnya partisipasi masyarakat lokal di Guatemala dalam program kehutanan untuk memperbaiki hutan Larson et al, 2007. Royo 2006 melihat model penyelesaian masalah land tenure di Filipina bisa dikatakan sebagai suatu upaya yang cukup rumit, karena sejarah hukum eksploitasi sumber daya alam 1850-1945 di kawasan public domain. Hukum pada periode itu sangat tidak mempertimbangkan hak-hak masyarakat. Di sisi lain, sebelum 1972, hampir tidak ada hukum untuk kepemilikan kawasan atau tanah bagi petani. Tanah yang dikonversi dari public domain menjadi tanah privat seringkali hanya menguntungkan bagi kepentingan orang-orang kelas menengah ke atas. Sehingga, ketegangan dalam pelepasan kawasan baik privat atau publik untuk kepentingan petani dan masyarakat adat selalu melekat dalam platform partai, pengorganisasian sektoral maupun spektrum gerakan pemberontakan Filipina. Kondisi ekonomi-politik-budaya masyarakat adatlokal di Filipina sangat menentukan politik riil pengakuan hak masyarakat adatlokal atas tanah. Pada zaman Spanyol, tahun 1521-1898, penguasaan hak atas tanah tidak berada di tangan masyarakat adatlokal melainkan berada di tangan encomiendero kepala wilayah perpajakan atau haciendero pemilik tanah luas untuk perkebunan. Masyarakat lokalnya dinamakan Indio dan hanya bekerja pada umumnya sebagai kuli di dalam hacienda orang Spanyol. Masyarakat adatnya dipaksa masuk ke reducciones pemukiman yang terkonsentrasi untuk diamankan, dan pada kenyataannya diperlakukan sebagai makhluk liar dan tidak mempunyai apa-apa. Maka, sejarah pemberontakan masyarakat Filipina melawan kolonialisme yang dinamakan KKK Ketaastaasang Kegaanggalangang Katipunan ng mga anak ng Bayan sangat didasari oleh masalah agraria. Satu pendekatan yang tetap digunakan dalam terobosan hukum adalah negosiasi on site dengan pendekatan kasus per kasus. Setiap wilayah yang berpotensi mempunyai kasus atau konflik dengan perusahaan atau proyek pemerintah, mendapatkan sebuah policy determining case atau kasus yang penting untuk menentukan atau merubah kebijakan yang bermasalah. Berangkat dari kasus yang nyata dan biasanya memancing demonstrasi panas dan aksi lain, pemerintah digerakkan untuk merespon secara cukup tajam. Perilaku civil society terhadap beberapa upaya dari ketiga pilar Eksekutif, Legislatif, Yudikatif dari pemerintahan Filipina itu bisa dikatakan terbuka untuk mengaktifkan retorika pemerintah terhadap hak dan hak asasi manusia. Ada kesadaran bahwa pada intinya, ada orang-orang opurtunis danatau politikus di dalamnya dan kesadaran itu membuat negosiasi civil society lebih tajam, dan selalu menggunakan prosedur check and balance di antara ketiga pihak pemerintah dan sekaligus menjadi arena belajar untuk pejabat dan para legislator. Lama-lama, retorika pengakuan hak masyarakat adat melekat dan menjadi pengetahuan umum kepada seluruh kalangan pemerintahan Filipina. Banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa di dalam kawasan hutan Indonesia terdapat kampung, dusun dan bahkan desa-desa definitif. Banyak kampung dan dusun yang keberadaannya mendahului penunjukan atau penetapan kawasan hutan. Ada sebagian kampung yang mendapatkan status enclave terutama kampung-kampung yang ada di dalam kawasan konservasi, namun tidak sedikit kampung lainnya yang tidak dalam status enclave tetapi berada di dalam kawasan hutan. Contoh-contoh persoalan antara masyarakat adat maupun non adat yang berada di sekitar kawasan hutan dengan pihak pemerintah dan swasta tentang land tenure antara lain: 1. Masyarakat adat Seko di kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan. Setelah lepas dari kolonial Belanda, permasalahan yang dihadapi masyarakat adat Seko semakin melemahnya lembaga adat dan hak-hak untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pada tahun 1950-an wilayah Seko juga tidak lepas dari imbas pergolakan DITII. Kemudian pada era orde baru sebagaian besar hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagian besar diambil alih oleh negara yang dikonsesikan sebagai HPH kepada PT Kendari Tunggal Timber KTT seluas 105.000 hektar dan HGU untuk PT Seko Fajar sekitar 25.000 hektar. Kemudian pada tahun 1997 hingga sekarang hadir lagi masalah baru dengan adanya kontrak karya pertambangan yang diberikan Pemerintah kepada PT. North Mining. Pada tahun 1998 masyarakat melakukan perlawanan kepada PT KTT sebagai pemegang HPH. Sejak saat itu hingga sekarang kegiatan HPH PT KTT praktis terhenti. Tapi masyarakat masih belum tahu pasti apakah kegiatan HPH itu akan terus berhenti dicabut izinnya atau akan kembali beroperasi Suwito, 2006. 2. Masyarakat di sekitar kawasan hutan Register 45B di desa Sukapura kabupaten Lampung Barat. Kabupaten Lampung Barat dengan wilayah daratan seluas 495.040 hektar, dengan 65 persen didalamnya merupakan kawasan hutan. Sejarah penetapan kawasan yang telah disahkan melalui penunjukan Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK pada tahun 1994 dimana wilayah-wilayah yang dahulunya tanah marga adat ditetapkan menjadi tanah kawasan hutan tanpa sepengetahuan dan persetujuan sebagian besar masyarakat setempat. Salah satu contoh masalah “land tenure” yang hingga saat ini tidak diakui oleh masyarakat di Pesisir Krui, adalah keberadaan kawasan Hutan Produksi Terbatas HPT seluas ± 52.000 hektar di atas tanah marga di Lampung Barat terdapat 22 Marga, 16 diantaranya berada di Pesisir Krui. Selain itu, kebijakan kependudukan yang ditempuh oleh pemerintah masa lalu telah meninggalkan konflik land tenure di dalam “kawasan hutan lindung” misalnya di daerah Kecamatan Sumberjaya. Register 45 B Bukit Rigis yang memiliki luas 8.295 hektar saat ini didiami oleh kurang lebih 2.076 KK “perambah ?”. Hingga saat ini masyarakat tidak menerima dikategorikan sebagai perambah, mengingat penempatan mereka di wilayah ini Biro Rekonstruksi Nasional - BRN tahun 1951 dilakukan oleh pemerintah dan pada saat itu di daerah tersebut bukan merupakan kawasan hutan hingga ditetapkan TGHK Lampung. Upaya penyelesaian konflik diatas dilakukan dengan dialog dengan dinas kehutanan propinsi lampung yang menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain: a untuk menentukan kebijakasanaan apa yang akan ditempuh dalam peyelesaian masalah kehutanan, diperlukan pertemuan internal pemerintah, dalam hal ini Dinas Kehutanan Propinsi dan Pemda Kabupaten instansi terkait, hal ini bertujuan untuk menyamakan persepsi dalam mensikapi persoalan yang ada, setelah ini didapat baru kemudian dikomunikasikan dengan masyarakat. b Pada dasarnya pihak dinas kehutanan propinsi setuju untuk melepas kawasan hutan yang sudah menjadi pemukiman permanen yang keberadaannya lebih dahulu dibanding penetapan TGHK, namun untuk ini yang perlu diperhatikan adalah adanya aturan UU no 41 yang menyatakan bahwa minimal 30 perswn wilayah daratan harus berupa hutan dan c pihak dinas kehutanan propinsi membuka diri untuk mendiskusikan persoalan-persolan dilapangan dan akan mendukung upaya penyelesaian masalah kehutanan di Lampung Barat yang sedang dijalankan. Tindak lanjut dari pertemuan diatas adalah revisi tata ruang kabupaten Lampung Barat dan penataan ulang batas kawasan hutan secara partisipatif Fathulah, 2003. 3. Komunitas adat Sando Batu di desa Leppangeng kawasan pegunungan Latimojong kabupaten Sulawesi Selatan. Komunitas adat Sando Batu di desa Leppangeng berjumlah sekitar 1.732 jiwa, wilayahnya meliputi kampung-kampungtua Wala-wala, Tammappole dan Botto Pasang. Menurut tutur mereka, teritorial yang dianggap sebagai wilayah adatnya seluas sekitar 20 000 hektar, dan sekitar 95 persen dari wilayah adat itu berupa hutan. Jadi hutan memang merupakan sumber kehidupan komunitas yang konon telah mendiami wilayah itu sejak sebelum Belanda masuk ke Sulawesi Selatan. Salah satu bukti fisik yang dapat menunjukkan keberadaan komunitas Batu sudah lama mendiami wilayah itu adalah masih adanya Lontara’ Batu, yakni naskah tulisan kuno yang berisi silsilah, kejadian, asal mula wilayah, kearifan lokal dan lain-lain. Komunitas adat Sando Batu menyebut dirinya bagian dari Suku Lumika, di luar suku Bugis yang merupakan penduduk mayoritas di kabupaten Sidrap. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan bahasa lokal yang disebut bahasa Batu yang memiliki kemiripan dengan bahasa To Dori di kabupaten Enrekang, Toraja dan Luwu. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda pernah ada kesepakatan antara masyarakat dengan Mantri Kehutanan yang kala itu dijabat oleh seorang yang bernama Nukman. Nukman adalah bapak dari Arifin Nukman mantan Bupati Sidrap, dan juga kakek dari Agus Arifin Nukman yang sekarang menjabat sebagai Ketua DPRD Propinsi Sulawesi Selatan. Sebagian isi dari kesepakatan itu adalah masyarakat diberikan wilayah kelola yang dibatasi oleh patok-patok dan jalan yang lebarnya 1 sampai 3 meter yang mengelilingi wilayah itu. Masyarakat menyebutnya sebagai batas Ton Toga atau Bos Wasen BW dalam tata batas hutan oleh pemerintah kolonial Belanda. Masyarakat yang membuka lahan di luar garis batas Ton Toga akan dikenakan hukuman 15 tahun penjara. Sampai sekarang masyarakat menyatakan masih tetap mematuhi kesepakatan itu dan tidak ada yang mengelola lahan di luar batas Ton Toga Suwito at al, 2006. 4. Konflik dan Sengketa Tanah di Lebak, Banten: Pasca Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kabupaten Lebak terletak di bagian Selatan Propinsi Banten dan berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Barat. Sebagian besar penduduk kabupaten Lebak adalah masyarakat suku Sunda dan sebagian kecil masyarakat pendatang, terutama suku Jawa. Di Lebak, terdapat pula masyarakat adat yang masih mempraktekkan cara hidup leluhur mereka tatali paranti karuhun dengan memanfaatkan kawasan pertanian hutan ngahuma. Masyarakat adat ini menamakan dirinya sebagai masyarakat Kasepuhan. Mereka memiliki cara pengelolaan sumberdaya hutan yang berbeda dengan masyarakat lain. Pada tahun 2003, Pemerintah Menteri Kehutanan RI menerbitkan SK No. 1752003 tentang perluasan Taman Nasional Gunung Halimun dari luas 40.000 ha menjadi 113.357 ha, yang kemudian dinamakan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kebijakan ini telah mengangkat kembali konflik tenurial antara masyarakat Kasepuhan dengan Pemerintah. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanah-tanah tersebut merupakan Kawasan Hutan Negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak, masyarakat adat mengaku, bahwa mereka telah menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1910. Oleh karena itu, pemaparan penelitian sejarah diharapkan dapat membantu menjelaskan dan memahami peristiwa konflik tenurial tersebut. Berdasarkan hasil penelusuran dokumen Berita Acara Tata Batas BATB, terdapat 18 kelompok hutan di Lebak yang ditunjuk dan ditata batas pada masa kolonial Hindia Belanda. Dari 18 kelompok hutan tersebut, 3 diantaranya yaitu kelompok Hutan Sanggabuana Selatan, Sanggabuana Utara dan Bongkok menjadi landasan hukum bagi penunjukan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Dari hasil penelusuran dokumen tersebut, terbukti bahwa hutan-hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah ditata batas dan dikukuhkan, sehingga nampaknya pemerintah memiliki kekuatan hukum atas hutan-hutan tersebut. Di lain pihak, berdasarkan catatan statistik di Residen Banten tahun 1934 Staat der op 31 December 1934 in de Residentie Bantam Aanwezige Boschreserve, dua kelompok hutan, yaitu Sanggabuana Selatan dan Bongkok, bersengketa dengan tanah-tanah huma garapan masyarakat. Catatan statistik ini menunjukkan bahwa, walaupun hutan-hutan tersebut telah ditata batas dan dikukuhkan, proses penataan batas tersebut tidak berhasil menyelesaikan hak-hak masyarakat atas tanah garapan mereka. Sengketa tanah ini berawal dari pengakuan tanah-tanah huma sebagai hak sewa oleh Residen Banten pada tahun 1912, sesuai dengan ketentuan Gouvernement Besluit van 8 November 1909 No. 8. Pada tahun 1924, tanah-tanah huma tersebut diakui keberadaannya melalui Besluit van den Resident van Bantam van 12 September 1924 no. 104537. Residen Banten bersikukuh bahwa huma-huma garapan tersebut memiliki kekuatan hukum. Di lain pihak, Dinas Kehutanan Dienst van het Boschwezen tidak mengakui bentuk-bentuk pengakuan dari Residen Banten dan memasukkan tanah-tanah tersebut ke dalam Kawasan Hutan Negara. Hal ini dikarenakan proses penataan batas dan pemetaan kawasan hutan telah diselesaikan sebelum tahun 1924. Oleh karena itu, Dinas Kehutanan memandang bahwa bentuk pengakuan dari Residen Banten atas tanah- tanah huma garapan masyarakat adalah cacat hukum. Gubernur Jenderal berusaha menengahi dan menyelesaikan sengketa tanah tersebut, namun hingga akhir masa penjajahan Belanda tahun 1942, tidak ada penyelesaian hukum atas sengketa tanah tersebut. Ditinjau dari catatan sejarah, nampak bahwa permasalahan sengketa tanah di Lebak disebabkan oleh ketidakpastian hukum atas penyelesaian sengketa tanah-tanah huma garapan masyarakat di masa kolonial Hindia Belanda. Tiadanya penyelesaian sengketa tanah tersebut berlanjut hingga kini. Pemerintah saat ini perlu menyelesaikan sengketa tanah ini agar pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tidak terganggu dengan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat atas tanah-tanah huma mereka Galudra, 2006. Permasalahan-permasalahan land tenure yang terjadi di Indonesia mendapat titik terang dimana mulai tumbuhnya kesadaran baru dari para pihak, bahwa kasus-kasus land tenure di kawasan hutan tidak bisa diabaikan begitu saja dan bahkan telah tumbuh komitmen baru untuk memperkuat proses pembelajaran bersama guna menemukan solusi yang terbaik.

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN