Kerangka Pemikiran KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Pengakuan kepemilikan tanah secara de facto klaim oleh masyarakat di Indonesia belum diakui keberadaannya. Hal ini yang menyebabkan insecurity tenure ketidakpastian kepemilikan terhadap sebidang tanah yang di akui oleh masyarakat, dimana tanah tersebut merupakan tumpuan hidup mereka. Hal ini telah terjadi sejak era penjajahan sampai pada pemerintahan Orde Baru, khususnya sejak tahun 1967, dimana negara secara sepihak mengkalim hampir 75 persen tanah-tanah di Indonesia sebagai kawasan hutan negara Affif, 2002. Bahkan secara ekplisit dalam Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa di dalam tanah negara dapat dimasukkan tanah-tanah yang diklaim masyarakat sebagai tanah adat atau ulayat. Pada era tersebut, secara jelas dinyatakan bahwa selama penduduk setempat tidak dapat menunjukkan legilitas kepemilikan mereka lewat hak-hak milik, guna usaha, dan hak pakai yang harus dibuktikan lewat sertifikat dan izin usaha, maka pada dasarnya pemerintah lewat Departemen Kehutanan dapat mengalokasikan tanah-tanah yang dikuasai rakyat ini kepihak lain. Akibat kebijakan pemerintah ini, maka banyak sekali tanah-tanah yang diklaim oleh masyarakat berpindah kepemilikan akibat dari kebijakan pemerintah untuk mengalokasikannya untuk penggunaan kegiatan pembangunan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Banyak sekali masyarakat yang baru menyadari bahwa mereka tidak memiliki kepemilikan atas tanah tersebut setelah kegaitan pembangunan telah dilaksanakan diatas tanah mereka. Menurut Affif 2002 bahwa di lapangan banyak ditemukan kasus-kasus dimana pengalihan kepemilkan lahan dilakukan lewat cara-cara rekayasa, manipulasi dan atau kekerasan. Setelah tahun 2001 atau setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi sektor kehutanan maka gerakan rakyat untuk menuntuk kembali kepemilikan mereka atas tanah-tanah yang dulu dialokasikan pemerintah seperti untuk perusahaan-perusahaan pemegang HPH Hak Pengusahaan Hutan, HPHTI Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dan HGU Hak Guna Usaha, serta untuk kegiatan pembangunan lain mulai bermunculan. Namun kekuatan suara rakyat di pengadilan untuk mengklaim kepemilikan atas tanah mereka yang telah di beralih kepemilikan secara tidak benar seringkali mengalami hambatan. Hal ini disebabkan, kepemilikan masyarakat dalam bentuk cerita story, tanda-tanda alam dan bukti-bukti fisik lainnya belum diakui secara hukum di Indonesia sehingga masyarakat seringkali kalah bila permasalahan tersebut sudah sampai ke pengadilan. Namun untuk melakukan proses eksekusi keputusan pengadilan yang memenangkan pihak lain di luar masyarakat seringkali tidak mudah bahkan sering mengalami keributan. Dengan demikian, hampir di seluruh pelosok tanah air masyarakat menduduki tanah-tanah secara de facto namun tanpa perlindungan hukum. Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja secara de jure di miliki oleh pemerintah pusat yang didelegasikan kepada Balai Konservasi Sumberdaya Alam Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari. Sedangkan de facto kawasan ini dimiliki oleh masyarakat adat suku besar Arfak. Namun setelah adanya pembayaran ganti rugi terhadap kawasan ini yang mana pembiayaannya di keluarkan oleh pemerintah daerah maka terjadilah tumpang tindih pengelolaan di mana pemerintah daerah Manokwari mengklaim bahwa mereka yang berhak mengelola kawasan. Penelitian ini akan mengkaji beberapa hal: pertama, analisis deskriptif untuk menganalisis kelembagaan land tenure formal dan informal yang terdapat di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja menurut persepsi masyarakat. Kelembagaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aturan-aturan; hukum formal, adat istiadat, dan kebiasaan di dalam masyarakat yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan ini serta sebundel hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah. Kedua, analisis deskriptif untuk kebijakan pembayaran ganti rugi terhadap Taman Wisata Alam Gunung Meja yang menggunakan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah APBD tahun 20002001 dan 20012002. Hal ini perlu untuk di evaluasi untuk mengatahui sejauh mana pembayaran tersebut berpengaruh terhadap akses masyarakat akan lahan dan sumberdaya lainnya yang terdapat di kawasan ini. Sehingga dapat disimpulkan apakah pembayaran tersebut sudah mencapai sasaran yang di harapkan atau belum dan kendala-kendala apa yang dihadapi. Ketiga, analisis deskriptif untuk mengetahui peran dari kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja terhadap pembangunan kota Manokwari. Hal ini dapat dilihat dari peran secara ekonomi dan ruang. Dari analisis ini dapat menjadi salah satu indikator untuk pengelolaan kawasan yang berkelanjutan. Keempat, analisis binary logistic regression digunakan untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi apa saja yang berpengaruh terhadap kelembagaan land tenure yang terdapat di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja. Semua analisis diatas dapat dijelaskan pada kerangka operasional penelitian sebagai berikut: PERTUMBUHAN EKONOMI SUATU WILAYAH: RUANG DI LUAR KAWASAN TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA KEBUTUHAN AKAN RUANG Gambar 6. Kerangka Operasional Penelitian - Sarana dan Prasarana perdagangan, transportasi, perbankan, pemerintahan, pendidikan, dll RUANG DI DALAM KAWSAN TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA - Perumahan, pertanian, perkebunan dan peternakan KETIDAKPASTIAN KEPEMILIKAN LAHAN de jure versus de facto BINARY LOGISTIC REGRESSION KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN ANALISIS 4R BENTUK PENGELOLAAN LAHAN DI TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA KEBIJAKAN PEMBAYARAN HAK ULAYAT EVALUASI FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT UMUR LAMA TINGGAL PENDAPATAN BATAS WILAYAH HAK AKSES DAN PEMANFAATAN HAK PENGELOLAAN HAK PEMBATASAN HAK PELEPASAN KELEMBAGAAN LEGAL FORMAL KLAIM ADAT DESKRIPTIF SUKU PERANAN KAWASAN TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI RUANG HUBUNGAN ANTAR STAKEHOLDER RELATIONSHIPS REVENUES RESPONSIBILITIES RIGHTS DESKRIPTIF DESKRIPTIF

3.2 Hipotesis