Kelembagaan Dalam Pengelolaan Hutan

kualitas lingkungan yang baik akan meningkat, pada keadaan demikian maka degradasi lingkungan akan menurun.

2.6 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Hutan

Institusi adalah sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya Pakpahan, 1989. Selanjutnya dinyatakan bahwa dari sudut individu, institusi merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Sedangkan North 1990 menjelaskan bahwa ada dua bentuk kelembagaan institution yaitu informal dan formal temasuk kesesuaian ukuran penyelenggaraannya. Sisi sosiologi, Babbie 1994 mengemukakan bahwa terdapat empat komponen utama dalam kelembagaan yaitu: norma norms, sanksi sanctions, nilai values, dan kepercayaan beliefs. Sedangkan Pakpahan dalam Kartodihardjo 1998 mendifinisikan institusi atau kelembagaan adalah suatu sistem yang kompleks, rumit dan abstrak, yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu perorangan atau organisasi atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Schmidt dalam Kartodihardjo 1998 mengartikan kelembagaan sebagai seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana mereka telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendifinisikan bentuk- bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Pengelolaan hutan secara tradisional di Indonesia begitu banyak sehingga Sardjono dan Samsoedin 1997 mengklasifikasikannya kedalam tiga kelompok yaitu: 1 pengelolaan tradisional hutan alam; 2 budidaya pohon tradisional; dan 3 aneka usaha budidaya hasil hutan nir-kayu. Dalam pengelolaan hutan tersebut apabila ada pihakindividu yang melanggar dari norma-norma yang telah ditetapkan maka akan diberikan sanksi, dimana bentuk sanksi berbeda untuk tiap daerah dan tiap bentuk pengelolaan hutan secara tradisional. Kartodihardjo 2002, mengatakan bahwa pembahasan mengenai pengelolaan hutan di Indonesia sejauh ini menunjukkan bahwa pokok permasalahannya adalah tidak berjalannya hampir semua rekomendasi teknis yang disarankan kepada berbagai instansi kehutanan. Oleh karena itu, untuk memperbaikinya perlu dilihat keterkaitan antara empat komponen pokok. Pertama, landasan dasar profesi, yang menjadi penyebab benar salahnya manajemen internal organisasi serta bentuk kebijakan publik dan instrumen kebijakan penyelenggaraan kehutanan. Kedua, manajemen internal setiap orgnaisasi yang mempunyai peran langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan kehutanan. Ketiga, bentuk kebijakan publik dan instrumen penyelenggara kehutanan. Keempat, sumber penyebab berbagai kejadian di lapangan illegal logging, kebakaran hutan, penjarahan hutan, over cutting, dan lain-lain yaitu hak atas hutan serta sistemmanajemen pengelolaan hutan. LEMAHNYA KINERJA BIROKRASI KETIDAKPASTIAN KEPEMILIKAN HUTAN NEGARA IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG TIDAK SINKRON KETIDAKTEGASAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASY. LOKAL LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM MULCULNYA “FREE RIDERS” DAN PLEAKU KKN KONFLIK PEMANFAATAN HUTAN NEGARA TUMPANG TINDIH KEWENANGAN PENGELOLAAN LEMAHNYA IMPLEMENTASI SISTEM PENGELOLAAN HUTAN YANG DIKELOLAH MASY. LOKAL PEMODAL DAN ORGANISASI PELAKU ILLEGAL LOGGING KONVERSI HUTAN ALAM PRODUKSI EKONOMI BIAYA TINGGI KETIDAKPASTIAN USAHA KEMISKINAN: MINIMALNYA ALOKASI MANFAAT HUTAN KEPADA MASY. LOKAL KEBAKARAN HUTAN IJIN PENEBANGAN BARU OLEH PEMDA PENEBANGAN MELEBIHI JATAH RESMI YANG DITETAPKAN PENCURIAN KAYU ILLEGAL LOGGING KERUSAKAN HUTAN PRODUKSI KERUSAKAN HUTAN LINDUNG DAN KAWASAN KONSERVASI SUMBER BAHAN BAKU RENDAHNYA NILAI TAMBAH INDUSTRI BERBASIS KAYU AKAR MASALAH GEJALA Gambar 5. Akar Masalah Pengelolaan Hutan di Indonesia Kartodihardjo, 2006.

2.7 Penelitian Terdahulu Land Tenure