b. Kepemilikan individu private tenure, sistem ini didasarkan pada hak
seseorang terhadap lahan, dimana perijinan, pemanfaatan dan perubahan terhadap penggunaan lahan ini tergantung pada individu tersebut untuk
mengefisienkannya. Hal ini merupakan dasar pembatas sehingga kelompok dengan pendapatan rendah sulit untuk mengakses lahan
tersebut. c.
Kepemilikan umum public tenure, konsep dari kepemilikan lahan secara umum public adalah sebuah reaksi secara umum untuk membatasi
kepemilikan secara individu sehingga memungkinkan masyarakat umum untuk ikut dalam mengakses lahan tersebut, dimana hal ini akan
mengakibatkan peningkatan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Pada negara-negara sosialis socialist countries semua hak atas tanah
ditetapkan oleh negara, sedangkan untuk negara-negara kapitalis capitalist countries hak-hak tersebut dibatasi sehingga lahan dapat
digunakan secara umum. d.
Kepemilikan keagamaan religious tenure, sistem kepemilikan ini didasarkan pada aturan-aturan keagamaan.
e. Kepemilikan non-formal non-formal tenure, sistem ini meliputi kategori
yang sangat luas dan mengalami perubahan-perubahan dalam aturan- aturan baik secara formal maupun non-formal.
2.3 Pemanfaatan Sumberdaya Hutan dan Legistimasi Land Tenure.
“Human beings have always dependen on forests. Initially, we used them as places to live. We hunted in them for game, foraged for fruits and nuts
and gathered for fuel. Our relationship with our habitat was essentially no different than that of any other animal. The development of settled
agriculture economies to replace those base on hunting and gathering required the clearing of forest Drushka dan Konttinen, 1997”.
Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa hutan sangatlah penting bagi kehidupan manusia baik untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosal maupun
lingkungan.
“We have two principal means on how to control allocation, production and distribution of tropical forest resources in order to satisfy human
wants for various forest foods and services: the public and private means Palo, 2003”.
Pada sisi public means akan menggambarkan instrument atau aturan hukum, perencanaan, keuangan, pajak dan subsidi. Sedangkan pada sisi private
means akan menggambarkan pasar, kontrak dan adat istiadat yang merupakan aturan yang sangat penting.
Using Forest Resources Public means
Private means Political process
Markets, contracts, traditions Laws, plans, budgets
Pricing process Public wants
Private wants Human wants: wood, biodiversity, carbon stocks, water, wildlife, range,
wilderness, aesthetics, tourism, and other Gambar 2. Dua Sistem Kontrol Terhadap Produksi, Distribusi dan Komsumsi
Barang Dan Jasa Yang Berasal Dari Hutan Palo, 2003. Kegagalan kedua sistem kontrol diatas sering disebut dengan government
failures dan market failures yang akan menyebabkan tragedy of the commons terhadap sumberdaya hutan, dimana penyebabnya utamanya adalah korupsi Palo,
2003. Lebih lanjut dikatakan bahwa jika korupsi terus berlanjut maka luas areal hutan tropis pada tahun 2010 akan mengalami penurunan sebesar 14.5 juta ha per
tahun; tahun 2020 sebesar 13 juta ha per tahun walaupun kebijakan global dan badan independent dunia mengatakan “stop deforestation”.
Selain korupsi, persoalan land tenure kawasan hutan juga mempengaruhi degradasi hutan yang terus menerus, dimana pada suatu lahan di dalam kawasan
memiliki kepemilikan ganda bahkan lebih. Persoalan ini semakin kompleks karena dipengaruhi oleh banyak sistem seperti; sistem politik, ekonomi, sosial,
budaya, hukum, dan yang menyangkut soal kekuasaan. Keterlibatan para stakeholder dalam penyelesaian masalah land tenure tidak hanya negara saja
melainkan dari komunitas yang sedang bermasalah. Sehingga tidak hanya hukum formal saja yang berlaku tetapi hukum adat istiadat juga harus diperhatikan dalam
penyelesaian masalah land tenure. Persoalan
land tenure akan mengacu pada legistimasi kepemilikan dimana sebidang tanah akan terdapat kepemilikan de jure dan de facto. Seringkali cara-
cara kepemilikan atau penguasaan de jure atas tanah tidak sama dengan tata cara penguasaan secara de facto sehingga muncullah konflik.
Persoalan utama yang umumnya di hadapi di Indonesia terkait dengan persoalan land tenure adalah bukti tertulis dari suatu pemilikan tanah lebih kuat
dihargai sebagai alat bukti kepemilikan dari sisi hukum dibandingkan dengan bukti-bukti tidak tertulis seperti: cerita story, dan tanda-tanda alam dan bukti-
bukti fisik lainnya. Ada banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa meskipun masyarakat telah membuka hutan secara turun temurun dan telah memanfaatkan
tanah tersebut untuk kegiatan pertanian bahkan membayar pajak atas tanah itu kepada negara, tetapi seringkali hak-hak mereka dikalahkan oleh pemilik baru
yang mempunyai sertifikat tertulis tentang kepemilikan tanah tersebut dari instansi yang berwenang. Sehingga tidaklah mengherankan bila kemudian ditemukan
banyak daerah di Indonesia yang lebih berpihak kepada mereka yang dapat menunjukkan bukti tertulis seperti izin dan sertifikat. Persoalan legistimasi land
tenure dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Tanah yang diklaim sebagai tanah negara
Tanah adat yang telah dimanfaatkan oleh
masyarakat secara terun temurun
Hak Guna Usaha HGU perusahaan yang
diberikan oleh pemerintah Konflik
land tenure
Gambar 3. Ilustrasi Konflik Land Tenure Pada Kawasan Hutan di Indonesia Afiff, 2002
2.4 Jenis BarangSumberdaya, Klasifikasi, dan Kepemilikannya.