Hazard And Risk Management On Surfing Tourism At Krui, West Lampung

(1)

PENGELOLAAN BAHAYA DAN RESIKO PADA

KEGIATAN WISATA SELANCAR DI KRUI,

LAMPUNG BARAT

CHITRA DARMAMURNI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

 


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Bahaya dan Resiko Pada Kegiatan Wisata Selancar di Krui Lampung Barat adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Chitra Darmamurni

NRP. E352080061


(3)

ABSTRACT

CHITRA DARMAMURNI. Hazard and Risk Management on Surfing Tourism at Krui, West Lampung. Under direction of E.K.S. HARINI MUNTASIB and AGUSTINUS M. SAMOSIR

Krui is a coastal town in West Lampung that is highly potential for surfing activities. As an outdoor activities surfing is vulnerable to many hazard and risks, especially those cause by the dynamics oceanography condition. For this reason, a study is carry out to formulate management plan for reducing tourism hazard and risk at Krui. The aims of this research were to identify hazard, to analyze risk and to establish hazard and risk reduction management on surfing activity at Krui, West Lampung; by using the risk assessment method. The results showed that of all the physical and biological factors; rip current, shore-forming material, wave, sunray and sea animal are the major hazards in Krui. Based on the risk evaluation matrix, the management plan that should be consider is avoiding risk of rip currents, reducing risk of sunbite and accept tolerable risk of wave, shore-forming material and sea urchin thorn.

Keywords: Hazard and risk management, surfing, activity.  


(4)

RINGKASAN

CHITRA DARMAMURNI. Pengelolaan Bahaya dan Resiko Pada Kegiatan Wisata Selancar Di Krui Lampung Barat. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan AGUATINUS M. SAMOSIR.

 

Krui merupakan suatu daerah di Lampung Barat dengan potensi kawasan pesisir yang cocok untuk kegiatan selancar. Potensi pesisir Krui sebagai kawasan selancar tersebut telah dikenal oleh peselancar asing yang memperoleh informasi lewat komunitas selancar yang diikutinya. Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri merupakan kawasan pesisir di daerah Krui yang memiliki kondisi alam yang sesuai untuk kegiatan selancar. Selancar tidak hanya memperhatikan kondisi alam untuk melakukan kegiatannya tetapi juga bahaya dan resiko yang dimiliki oleh kondisi alam tersebut. Namun sampai saat ini, pengelolaan terhadap bahaya dan resiko tersebut belum dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan bahaya dan resiko dapat dilakukan dengan mengidentifikasi bahaya dan resiko yang terdapat pada kegiatan selancar di kawasan Krui yang dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran dan pengamatan terhadap kondisi fisik dan biologi kawasan agar dapat diketahui bahaya dan resiko yang terdapat di kawasan tersebut sehingga dapat diketahui pengelolaan bahaya dan resiko yang dapat diterapkan di kawasan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan rekomendasi pengelolaan bahaya dan resiko yang dapat diterapkan pada kegiatan selancar di Krui, Lampung Barat. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan terhadap pihak pengelola termasuk masyarakat dan pemerintah setempat dalam melakukan pengelolaan kegiatan wisata selancar di Pantai Labuhan Jukng dan Pantai mandiri yang berada di daerah Krui, Lampung Barat. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam pengelolaan kawasan wisata selancar lainnya.

Penelitian dilaksanakan mulai bulan April 2010 sampai dengan Mei 2010. Penelitian ini dilakukan dengan metode risk assessment. Pengumpulan data dilakukan melalui: studi pustaka, pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan, dan wawancara mendalam. Analisis risk assessment dilakukan melalui tiga tahapan yaitu identifikasi bahaya dan resiko, analisis resiko dan rekomendasi pengelolaan untuk mengurangi tingkat resiko. Pada tahap ini diberikan sejumlah pilihan tindakan pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat resiko yang ada.

Hasil dari identifikasi bahaya dan resiko menunjukkan bahwa kondisi fisik dan biologi pada kawasan selancar di Krui, Lampung Barat yang menjadi sumber resiko atau bahaya bagi peselancar adalah arus, ombak dan materi pembentuk pantai, panas dan sinar matahari, seta fauna laut. Adapun resiko yang ada pada kegiatan selancar di Krui, Lampung Barat berupa memar, luka gores, kulit terbakar, kram otot, dehidrasi, luka tertusuk, kulit sobek, hipertemia, terkilir atau dislokasi pergelangan, kanker kulit dan, kematian. Rekomendasi pengelolaan untuk mengurangi tingkat resiko dan bahaya terdiri dari beberapa tindakan berdasarkan faktor bahayanya yaitu menghindari resiko untuk bahaya arus balik,


(5)

mereduksi resiko untuk bahaya matahari, menerima resiko untuk ombak dan materi pembentuk pantai dan bulu babi.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PENGELOLAAN BAHAYA DAN RESIKO PADA

KEGIATAN WISATA SELANCAR DI KRUI

LAMPUNG BARAT

CHITRA DARMAMURNI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala KaruniaNya sehingga penulisan tesis dengan judul Pengelolaan Bahaya dan Resiko Pada Kegiatan Wisata Selancar di Krui Lampung Barat ini berhasil diselesaikan.

Penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Ibu Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib selaku Ketua Komisi Pembimbing/ Ketua Program Studi MEJ dan Bapak Ir. Agustinus M. Samosir, M.Ph selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan dan arahan yang sangat berharga. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Dr. Ir. Burhanudin Masy’ud, MS selaku Penguji Luar Komisi pada ujian tesis.

Terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan MEJ Angkatan 2009 atas kebersamaannya selama menempuh pendidikan di MEJ IPB. Ucapan terima kasih dan penghargaan secara khusus penulis ucapkan untuk Keluarga Terkasih: Ibunda Dariani Djar dan Ayahanda Chaidir Wadjdi beserta saudara-saudara penulis Noviandi, Andaricha Setio Maulides, Brilianvi dan Rizal Tri Oktu Purwanto serta kemenakan penulis Azka Putri Viancha yang selalu memberikan semangat dan do’a yang tiada henti. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk keluarga Regina Bikini Bateng atas dukungan dan semangat yang selalu dialirkan kepada penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

Chitra Darmamurni


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Oktober 1986 dari Ayah Chaidir Wadjdi dan Ibu Dariani Djar. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bekasi dan pada tahun yang sama melanjutkan studi pada Program Studi Manajemen Hutan Universtitas Lampung dan lulus pada Tahun 2009. Setelah lulus pada tahun yang sama penulis meneruskan pendidikan S2 pada Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB.


(11)

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Pendekatan Masalah ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Kegunaan Penelitian ... 6

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Wisata Alam dan Selancar ... 7

2.1.1 Wisata Alam ... 7

2.1.2 Selancar ... 8

2.1.2.1 Kondisi Alam yang Mempengaruhi Kegiatan Selancar ... 9

2.1.2.1.1Ombak ... 9

2.1.2.1.2 Arus ... 11

2.1.2.1.3 Angin ... 12

2.1.2.1.4 Pasang Surut ... 14

2.1.2.1.4 Fauna Laut ... 15

2.2 Pengelolaan Resiko dan Bahaya ... 16

2.2.1 Resiko ... 17

2.2.2 Bahaya ... 19

2.2.3 Bahaya dan Resiko Dalam Kegiatan Selancar ... 20

III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.2 Alat dan Bahan ... 23

3.3 Jenis Data ... 24

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 24

3.4.1 Studi Literatur ... 25

3.4.2 Observasi Kawasan ... 25

3.4.3 Wawancara Mendalam ... 26

3.5 Analisis Data ... 26

3.6 Standar Variabel Resiko dan Bahaya ... 28

3.7 Sintesis Data ... 30

3.8 Pengelolaan Resiko dan Bahaya Pada Kegiatan Selancar di Krui 30

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 32


(13)

4.1.1 Iklim ... 33

4.1.2 Arus dan Pasang Surut ... 33

4.2.3 Materi Pembentuk Pantai dan Fauna Laut ... 34

4.2.4 Gelombang dan Ombak ... 36

4.2 Sarana dan Prasarana ... 37

4.3 Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 38

4.4 Karakteristik Responden Peselancar ... 39

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

5.1 Identifikasi Bahaya dan Resiko pada Kegiatan Selancar Krui ... 41

5.1.1 Panas dan Sinar Matahari ... 41

5.1.2 Ombak dan Materi Pembentuk Pantai ... 45

5.1.3 Pasang Surut ... 49

5.1.4 Arus ... 50

5.1.5 Fauna Laut ... 53

5.2 Analisis Resiko ... 55

5.2.1 Resiko Panas Terasa dan Sinar Matahari ... 55

5.2.2 Resiko Ombak dan Materi Pembentuk Pantai ... 57

5.2.3 Resiko Arus Balik ... 58

5.2.4 Resiko Bulu Babi... 58

5.3 Pengelolaan Penurunan Tingkat Resiko ... 61

5.3.1 Arus Balik ... 62

5.3.2 Panas dan Sinar Matahari ... 64

5.3.3 Ombak dan Materi Pembentuk Pantai ... 66

5.3.4 Bulu Babi ... 67

5.4 Rekomendasi Pengelolaan Wisata Selancar Krui ... 70

VI SIMPULAN DAN SARAN ... 72

6.1 Simpulan ... 72

6.2 Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Data dan informasi potensi bahaya dan resiko ... 24

2. Penilaian peluang ... 27

3. Penilaian keparahan bahaya ... 27

4. Matriks tingkatan resiko ... 28

5. Matriks bahaya dan resiko materi pembentuk pantai dan ketinggian ombak ... 29

6. Parameter dan nilai batas pasang surut ... 30

7. Parameter dan nilai batas arus ... 30

8. Alternatif rute Bandar Lampung – Krui ... 32

9. Sarana di Kecamatan Pesisir Tengah ... 37

10. Jumlah penduduk di setiap kelurahan pada Kecamatan Pesisir Tengah ... 38

11. Suhu dan kelembaban udara relatif di Pantai Labuhan Jukung ... 41

12. Suhu dan kelembaban udara relatif di Pantai Mandiri ... 42

13. Tinggi gelombang di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri .... 46

14. Kecepatan arus di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri ... 51

15. Tingkatan bahaya dan resiko ... 60

16. Bentuk pengelolaan yang telah ada, rekomendasi pengelolaan dan pihak pengelola berdasarkan jenis bahaya ... 69


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir pendekatan masalah ... 5

2. Jenis-jenis ombak ... 10

3. Arah angin dan bentuk ombak yang terbentuk oleh angin ke arah laut ... 13

4. Arah angin dan bentuk ombak yang terbentuk oleh angin ke arah pantai ... 13

5. Arah angin dan bentuk ombak yang terbentuk oleh sejajar garis pantai ... 14

6. Peta lokasi penelitian ... 23

7. Indeks panas ... 29

8. Matriks evaluasi resiko ... 31

9. Persentase penutupan karang di Pantai Labuhan Jukung ... 35

10. Posisi spasial kondisi fisik Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri ... 37

11. Pasang surut di kawasan penelitian selama 24 jam pada Bulan Mei 2011 ... 48

12. Arus balik yang terbentuk di Pantai Mandiri ... 51

13. Bulu babi (Arbacia lixula) yang berada di kawasan Pantai Labuhan Jukung ... 53

14. Resiko dari ombak dan materi pembentuk pantai berupa Terkilir/ dislokasi pergelangan dan bibir pecah ... 56

15. Resiko dari bulu babi berupa luka tertusuk ... 57

16. Letak bahaya pada kuadran matriks evaluasi resiko ... 58


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data responden peselancar ... 77 2. Contoh brosur kanker kulit ... 78 3. Contor brosur arus balik ... 79


(17)

I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Krui merupakan suatu daerah di Lampung Barat dengan potensi kawasan pesisir yang cocok untuk kegiatan selancar. Potensi pesisir Krui sebagai kawasan selancar tersebut telah dikenal oleh peselancar asing yang memperoleh informasi lewat komunitas selancar yang diikutinya. Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri merupakan kawasan pesisir di daerah Krui yang memiliki kondisi alam yang sesuai untuk kegiatan selancar. Selancar tidak hanya memperhatikan kondisi alam untuk melakukan kegiatannya tetapi juga bahaya dan resiko yang dimiliki oleh kondisi alam tersebut.

Bahaya dan resiko yang ditentukan oleh kondisi alam suatu kawasan perlu diidentifikasi agar dapat ditentukan pengelolaannya untuk mengurangi tingkat bahaya dan resikonya. Pengelolaan ini merupakan hal penting dalam kegiatan wisata alam tetapi sekaligus menjadi daya tarik tersendiri bagi kegiatan selancar. Peselancar secara sengaja berhadapan dengan bahaya dan resiko perairan saat melakukan kegiatan selancar untuk mendapatkan kesenangan tersendiri saat adrenalinnya terpacu (Carter 2006). Hal ini bukan berarti bahwa bahaya dan resiko tersebut dapat diabaikan pengelolaannya, justru dengan adanya hal tersebut maka pengelolaan bahaya dan resiko menjadi suatu hal yang penting agar terpenuhinya kepuasan peselancar namun tetap terhindar dari insiden yang mungkin terjadi (Jubenville 1987).

Kondisi alam yang mempengaruhi kegiatan selancar terdiri dari kondisi fisik dan kondisi biologi. Kondisi fisik yang harus diukur dalam kegiatan selancar adalah suhu dan kelembaban, arus, pasang surut, batu atau karang tersembunyi, materi pembentuk pantai, dan gelombang/ombak (McKenny 2007). Adapun untuk kondisi biologi, WHO (2003) menetapkan perlunya untuk melakukan pengukuran terhadap organisme aquatik (fauna laut) yang berbahaya.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu diidentifikasi bahaya dan resiko yang terdapat pada kegiatan selancar di kawasan Krui. Identifikasi tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran dan pengamatan terhadap kondisi fisik


(18)

dan biologi di kawasan Krui, sehingga dapat diketahui kondisi fisik dan biologiapa yang menjadi bahaya pada kegiatan selancar dan resiko apa yang ditimbulkan oleh bahaya tersebut. Dengan demikian dapat diketahui dan ditentukan rekomendasi pengelolaan bahaya dan resiko yang sesuai untuk kawasan selancar di Krui, Lampung Barat.

1.2 Perumusan Masalah

Bahaya dan resiko merupakan hal yang penting dalam kegiatan wisata alam seperti kegiatan selancar, hal ini merupakan masalah sekaligus daya tarik bagi kegiatan tersebut. Peselancar secara sengaja berhadapan dengan bahaya dan resiko yang ada dalam kegiatan selancar untuk mendapatkan kesenangan tersendiri saat adrenalin mereka dipacu ketika berhadapan dengan bahaya dan resiko yang ada di air.

Hal ini bukan berarti bahwa resiko dan bahaya tersebut dapat diabaikan tanpa perlu diidentifikasi dan diketahui tingkatannya. Tetap ada keharusan untuk mengidentifikasi dan mengetahui bahaya dan resiko di lokasi selancar untuk menghindari adanya suatu insiden tertentu baik yang berkenaan dengan fisik maupun dengan kesehatan peselancar yang diakibatkan oleh ketidaktahuan atas bahaya dan resiko yang berada di suatu kawasan tersebut.

Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri sebagai dua kawasan selancar di daerah Krui memiliki bahaya dan resiko yang berbeda dengan pantai yang berada di daerah lain. Perbedaan tersebut terbentuk oleh adanya kondisi fisik dan biologi kawasan yang juga berbeda dengan kawasan selancar lainnya. Kondisi fisik dan biologi kawasan yang memiliki resiko dan bahaya bagi peselancar dalam kegiatan selancar memiliki keterkaitan utama dengan keadaan perairannya.

Keadaan perairan seperti ombak, arus, pasang surut, suhu dan kelembaban, materi pembentuk pantai, dan fauna laut memberikan bahaya dan resiko tersendiri yang bergantung pada karakteristik masing-masing hal tersebut. Pengetahuan mengenai keadaan atau kondisi fisik dan biologi suatu perairan merupakan hal yang dibutuhkan untuk menentukan pengelolaan bahaya dan resiko yang ada di suatu kawasan perairan. Sedikitnya informasi atau bahkan ketidaktahuan mengenai hal ini dapat menyebabkan peselancar yang berada di suatu kawasan


(19)

selancar berhadapan dengan bahaya dan resiko yang melebihi kemampuannya. Hal ini mengharuskan adanya kegiatan pengukuran terhadap kondisi fisik dan bahaya di suatu kawasan untuk mengetahui resiko dan bahaya tersebut.

Keharusan tersebut tidak memberikan pengecualian untuk daerah manapun, selama kawasan tersebut digunakan untuk kegiatan selancar, maka bahaya dan resikonya harus diketahui namun, Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri yang merupakan dua kawasan selancar yang berada di Krui, Lampung Barat hingga saat ini belum melaksanakan keharusan yang berkaitan dengan pengelolaan terhadap bahaya dan resiko tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah:

a. Kondisi fisik dan biologi apa yang menjadi bahaya pada kegiatan wisata selancar di Krui, Lampung Barat?

b. Resiko apa yang ditimbulkan oleh bahaya tersebut terhadap peselancar?

c. Pengelolaan bahaya dan resiko apa yang sesuai untuk kawasan selancar di Krui, Lampung Barat?

1.3 Pendekatan Masalah

Krui merupakan suatu daerah yang berada di Lampung Barat yang memiliki penekanan daya tarik pada daerah pesisirnya. Daya tarik kawasan pesisir Krui telah dikenal hingga tingkat internasional dalam hal lokasi selancar. Kawasan selancar yang berada di daerah Krui adalah Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri.

Selancar sebagai suatu bentuk wisata alam merupakan kegiatan yang memiliki interaksi secara langsung dengan bahaya dan resiko di kawasan selancar, terutama bahaya dan resiko yang berasal dari perairan (water hazard). Bahaya dan resiko selancar untuk setiap kawasan ditentukan oleh kondisi fisik dan biologi dari masing-masing kawasan tersebut.

Bahaya dan resiko pada kegiatan selancar di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri sampai saat ini belum pernah ditinjau secara khusus. Peninjauan ini dapat dilakukan dengan mengukur kondisi fisik dan biologi dari masing-masing pantai tersebut.


(20)

Kondisi fisik yang diukur meliputi suhu dan kelembaban udara, ombak, material pembentuk pantai, kecepatan dan jenis arus, serta pasang surut. Kondisi biologi yang diukur adalah fauna laut.

Dilakukan juga kegiatan wawancara secara mendalam terhadap pengunjung dan pengelola kegiatan selancar untuk mengetahui bahaya dan resiko apa saja yang ada pada kegiatan wisata selancar di Krui, Lampung Barat. Pengumpulan informasi menggunakan wawancara secara mendalam terhadap pengunjung dan pengelola kegiatan selancar dilakukan hingga jawaban yang diperoleh memiliki garis besar yang serupa. Pemilihan pengunjung dan pengelola dilakukan secara purposive sampling untuk setiap stratanya.

Hasil dari pengukuran kondisi fisik dan biologi kawasan dan wawancara secara mendalam terhadap pengunjung dan pengelola kegiatan selancar kemudian digunakan untuk menetukan tingkat potensi bahaya dan resiko (level of risk) kegiatan selancar di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri dengan cara mengombinasikan antara tingkat keparahan (severity) dan peluang kejadian (likelihood) (Health 2005). Dari hasil penentuan tersebut maka akan dilakukan sintesis untuk mengetahui bentuk pengelolaan bahaya dan resiko yang dapat diterapkan pada kegiatan selancar di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri yang berada di daerah Krui, Lampung Barat. Diagram alir dari pendekatan masalah ditampilkan pada Gambar 1.


(21)

Kegiatan wisata selancar

Identifikasi bahaya Identifikasi

resiko

Suhu dan kelembaban udara, ombak dan materi pembentuk pantai, kecepatan dan jenis arus, pasang surut, dan fauna laut

Kelompok resiko

Analisa Resiko

Sintesis

Pengelolaan bahaya dan resiko yang dapat diterapkan pada kegiatan wisata selancar di Krui, Lampung Barat


(22)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk memberikan rekomendasi pengelolaan resiko dan bahaya yang dapat diterapkan pada kegiatan selancar di Krui, Lampung Barat. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1 Identifikasi bahaya yang ada pada kegiatan selancar di Krui, Lampung Barat. 2 Analisis resiko pada kegiatan selancar di Krui, Lampung Barat.

3 Rekomendasi pengelolaan penurunan tingkat bahaya dan resiko yang dapat diterapkan pada kegiatan wisata selancar di Krui, Lampung Barat.

1.5 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai masukan terhadap pihak pengelola termasuk masyarakat dan pemerintah setempat dalam melakukan pengelolaan kegiatan wisata selancar di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri yang berada di daerah Krui, Lampung Barat. Selain itu, penelitian juga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan yang berkaitan dengan pengelolaan bagi kawasan wisata selancar lainnya.


(23)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wisata Alam dan Selancar

2.1.1 Wisata Alam

Bentuk-bentuk wisata dapat dikembangkan berdasarkan pada bentuk atraksi utama dari kegiatan wisata tersebut, diantaranya adalah ekowisata (ecotourism), wisata petualangan (adventure tourism), wisata berdasarkan waktu (gateway and stay), wisata budaya (cultural tourism), dan wisata alam (nature tourism) (Kelly 1998). Namun, pada prakteknya wisata alam sering disatukan dengan wisata petualangan karena sama-sama dilakukan di kawasan yang terbuka (outdoor).

Menurut Direktorat Pemanfaatan Alam dan Jasa Lingkungan (2002) wisata alam adalah suatu kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Taman Buru, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Sedangkan Gun (1994) menyatakan bahwa wisata alam merupakan kegiatan wisata dengan atraksi utamanya berupa lima bentuk dasar alam: air, perubahan topografi, flora, fauna dan iklim. Lebih jauh lagi Hiola (2004) menyatakan bahwa bentuk sumberdaya yang umum untuk dikembangkan adalah air, seperti danau, sungai, laut, pantai, dan sebagainya. Potensi alam seperti daerah yang memiliki perbedaan ketinggian tertentu dan mengalami modifikasi lanskap yang akan sangat menarik bagi pengunjung. Flora dan fauna endemik yang sangat bervariatif untuk dijadikan objek berbagai kegiatan seperti pengamatan, pemotretan hingga berburu. Bahkan perbedaan iklim juga bisa menjadi peluang terbentuknya suatu kegiatan wisata.

Dilihat dari beberapa pemaparan di atas maka dapat diketahui bahwa karakteristik wisata alam mengharuskan adanya kegiatan wisata yang dilakukan di alam, dimana bentuk interaksi yang dilakukan pengunjung dengan objek wisata tersebut dapat secara langsung (arum jeram, panjat tebing, selancar, dll) atau secara tidak langsung (birdwatching, melihat pemandangan alam, dll).


(24)

McKinnon dkk (1990) menyatakan beberapa faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung, yakni:

a. Letak, dekat atau jauh terhadap bandar udara internasional atau pusat wisata. b. Perjalanan ke kawasan tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha, sulit

atau berbahaya.

c. Kawasan tersebut memiliki atraksi yang menonjol misalnya satwa liar yang menarik atau khas untuk tempat tertentu.

d. Kemudahan untuk melihat atraksi atau satwa dijamin. e. Memiliki beberapa keistimewaan berbeda.

f. Memiliki budaya yang sangat menarik. g. Unik dalam penampilannya.

h. Mempunyai objek rekreasi pantai, danau, sungai, air terjun, kolam renang, atau tempat rekreasi lainnya.

i. Dekat dengan lokasi lain yang menarik wisatawan sehingga dapat menjadi bagian kegiatan wisata lain.

j. Pemandangan yang indah di sekitar kawasan. k. Ketersediaan makanan dan akomodasi.

2.1.2 Selancar

Kegiatan selancar merupakan suatu bentuk dari wisata petualangan yang memiliki peminat dalam jumlah yang cukup banyak. Buckley (2002) menyatakan bahwa terdapat lebih dari 10 juta orang yang melakukan kegiatan selancar di seluruh dunia. Kegiatan ini dilakukan di berbagai daerah pesisir dengan kondisi fisik yang sesuai.

Kegiatan selancar sendiri diprakarsai oleh orang Polinesian yang tinggal di Pulau Hawai yang terletak di pusat samudra Pasifik pada akhir tahun 1700-an (Longman 2000). Kegiatan selancar merupakan suatu seni untuk mengendarai ombak menggunakan papan selancar (Britton 2000).

Seiring berkembangnya ketertarikan terhadap kegiatan selancar, selancar kini mengalami perkembangan yang sangat pesat yang dimulai sejak tahun 1950-an. Sejak saat itu selancar bukan hanya sekedar kegiatan semata melainkan sudah mempengaruhi gaya hidup (Britton 2000). Penelitian terbaru yang dilakukan oleh


(25)

Neushul dan Westwick (2008) menemukan bahwa saat ini wisata selancar dilakukan oleh lebih dari dua puluh juta orang di seluruh dunia, dengan pendapatan bagi industrinya mencapai 15 juta dolar Amerika. Kegiatan selancar sendiri memiliki beberapa bagian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, baik dari peralatan, kemampuan hingga kondisi biofisik kawasan.

2.1.2.1 Kondisi Alam yang Mempengaruhi Kegiatan Selancar

2.1.2.1.1 Ombak

Walaupun ombak merupakan keadaan alam yang terbentuk oleh perpaduan berbagai kondisi fisik alam namun selancar merupakan suatu bentuk olahraga yang memiliki interaksi langsung dengan ombak. Keberadaan ombak dan pengetahuan tentang ombak merupakan kemutlakan yang harus dimiliki oleh setiap peselancar (Britton 2000).

Ombak yang tinggi tidak selalu menghasilkan kegiatan selancar yang baik, dan ombak yang rendah juga bukan berarti ketiadaan kegiatan selancar. Terdapat tiga jenis ombak yang didasarkan pada pecah gelombang yaitu (Robison 2010) : a. Plunging breaker

Ombak jenis ini merupakan ombak yang umumnya terbentuk oleh angin lepas pantai dengan cara menahan pecahnya puncak gelombang. Dengan tertahannya puncak gelombang tersebut maka yang dihasilkan dari gelombang ini akan memiliki barrel atau beban air yang cukup besar (Thurman dan Trujillo 2004). Berselancar menggunakan ombak jenis ini membutuhkan keahlian yang cukup tinggi karena beban yang tinggi pada puncak gelombangnya akan memberikan dorongan hempasan yang cukup kuat kearah permukaan pantai.

b. Spilling breaker

Ombak jenis ini terbentuk dari gelombang laut yang tertahan oleh dasar permukaan yang landai dan secara bertahap pecah menjadi ombak. Jenis ombak ini merupakan jenis ombak yang paling baik bagi pemula. Namun, ombak ini terbentuk pada jarak yang cukup jauh dari pantai.


(26)

Tetapi terdapat kemungkinan terbentuk dekat pantai akibat angin pantai, sehingga mempermudah pemula dan tidak perlu melakukan paddling (berenang diatas papan selancar dengan cara mengayuh menggunakan tangan), sayangnya hal tersebut jarang terjadi.

c. Surging breaker

Ombak jenis ini terbentuk oleh gelombang yang berada di kedalaman yang tinggi dengan bentuk permukaan laut yang curam. Gelombang ini baru akan pecah tepat dipinggir pantai. Keadaan inilah yang menyebabkan ombak tersebut sulit untuk digunakan pada kegiatan selancar, walaupun bentuknya menyerupai ombak spilling breaker (Thurman dan Trujillo 2004).


(27)

2.1.2.1.2 Arus

Arus dan gelombang serta ombak memiliki keterkaitan yang sangat kuat dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Hal ini menimbulkan keharusan bagi peselancar untuk memberikan perhatian yang cukup terhadap arus yang ada di suatu kawasan selancar sebelum mereka masuk kedalam kawasan tersebut dan berselancar di dalamnya. Terdapat beberapa arus yang terbentuk di kawasan pantai yaitu arus pesisir, arus bawah dan gelombang surut, dan arus balik (Robison 2010). Tiap-tiap arus memiliki arah dan memberikan pengaruh tersendiri bagi kegiatan selancar.

Arus pesisir (longshore currents) merupakan arus yang bergerak paralel ke arah pantai dan terbentuk pada saat ombak mendekati pantai dengan posisi tertentu yang mendorong air searah dengan arah pecahnya ombak. Arus ini umumnya sulit untuk dirasakan oleh peselancar karena air dan peselancar bergerak dengan kecepatan yang sama. Arus ini biasanya menyeret peselancar keluar dari zona selancar, untuk menghindari hal tersebut peselancar harus mengingat posisinya dan mengayuh (paddle) sesekali untuk mempertahankan posisinya.

Arus lain yang ada di kawasan pantai adalah arus bawah dan gelombang surut. Arus bawah merupakan arus yang terbentuk akibat pergerakan kembali massa air ke arah laut yang berasal dari puncak lengkungan ombak yang tinggi. Arus bawah merupakan suatu fenomena yang hanya terjadi sebentar. Pada saat puncak gelombang telah pecah, maka arus ini pun berhenti. Fenomena arus bawah ini sering terjadi pada pantai dengan kemiringan yang curam. Arus ini dapat berbahaya bagi anak kecil karena dapat menarik mereka ke perairan yang lebih dalam.

Gelombang surut merupakan ombak yang memantul dari pinggir pantai yang curam ke arah laut. Pada saat gelombang ini bertemu dengan gelombang datang maka akan membentuk gelombang ganda yang menyebabkan peselancar yang berada sedang berselancar di ombak tersebut terlempar.

Arus yang paling menarik perhatian peselancar berkaitan dengan resiko dan bahaya yang dihadapinya dalam berselancar adalah arus balik. Arus balik merupakan aliran air yang cukup kuat kearah laut dengan luas bidang area yang


(28)

sempit. Arus balik terbentuk akibat pecahnya ombak di pinggir pantai yang pergerakannya (momentum wave) berubah dari putaran menjadi lajur air. Lajur air tersebut kemudian bergerak kembali kearah laut pada satu bidang sempit (Yu 2003)

Peselancar umumnya dapat dengan mudah mengetahui letak arus balik dan memanfaatkannya untuk menuju ke zona selancar tanpa harus menghasbiskan banyak tenaga. Mereka juga dengan mudah mampu keluar dari arus balik tersebut yaitu dengan berenang atau mengayuh menyerong dengan arah arus atau paralel dengan garis pantai. Beberapa hal yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui letak arus balik adalah warna air yang lebih gelap dengan warna yang kecoklatan akibat adanya pasir yang tertarik, serta sebidang air yang berombak atau beriak sedangkan kondisi air disekitarnya tenang (Leatherman 2003).

2.1.2.1.3 Angin

Kegiatan selancar tidak hanya dipengaruhi oleh kecepatan angin saja, melainkan juga oleh arah angin tersebut. Angin yang berada jauh dari pantai memberikan pengaruh terhadap pembentukan gelombang yang pada akhirnya menghasilkan ombak, sedangkan kondisi angin yang berada didaerah pantai memberikan pengaruh terhadap bentuk dan tekstur ombak (Robison 2010). Angin yang ke arah laut dapat menahan penggulungan ombak lebih lama, memberikan kesempatan bagi peselancar untuk mengendarai ombak lebih lama sebelum akhirnya ombak tersebut pecah. Angin ini juga membentuk cekungan ombak bagi peselancar. Namun, apabila angin ini bertiup cukup kencang, maka akan memberikan kesulitan tersendiri bagi peselancar karena terbentuknya mogul-mogul kecil di muka ombak yang menyebabkan peselancar kesulitan untuk

Gambar 3. Arah angin dan bentuk ombak yang terbentuk oleh angin ke arah laut.


(29)

menangkap ombak karena dorongan angin pada ujung papan selancar (Robison 2010). Umumnya peselancar melakukan adaptasi dengan cara menempatkan dirinya lebih curam kearah air sehingga terbantu oleh gaya gravitasi dan dengan melakukan kayuhan yang lebih kuat.

Berbeda halnya dengan angin yang bertiup ke arah laut, angin yang bertiup ke arah pantai menyebabkan ombak pecah lebih awal karena adanya dorongan terhadap puncak ombak oleh angin tersebut. Ombak yang terbentuk oleh angin ini cenderung tidak teratur, bergelombang dan berombak, sulit untuk diduga, dan hanya dapat dikendarai dalam waktu yang singkat. Angin jenis ini cocok digunakan untuk latihan bagi peselancar pemula (Robison, 2010).

Kondisi angin lain yang dapat terjadi di pantai adalah angin yang melintasi pantai atau searah dengan garis pantai. Angin ini merupakan angin dengan periode yang kecil dan singkat serta bergerak dengan kisaran sudut 90 derajat dengan arah gelombang. Pada saat angin bertiup bersinggungan dengan gelombang yang besar dan belum pecah maka ombak yang terbentuk akan berupa ombak yang besar dengan waktu pecah yang cukup cepat, namun pada saat kekuatan angin rendah mengenai gelombang, maka pembentukan ombaknya akan lebih lambat. Hasil akhir yang didapatkan berupa beberapa seksi ombak yang berbeda yang secara dramatis memperkecil potensi lamanya ombak tersebut untuk dikendarai (Robison 2010).

Gambar 4. Arah angin dan bentuk ombak yang terbentuk oleh angin ke arah pantai.


(30)

2.1.2.1.4 Pasang Surut

Pasang surut memiliki keterkaitan dengan kedalaman air, faktor ini memiliki peranan yang penting dalam menentukan kapan, bagaimana dan dimana gelombak akan pecah menjadi ombak. Namun, terdapat beberapa ombak yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh pasang surut.

Jika pasang terlalu tinggi, ombak yang terbentuk dapat terlalu lemah atau bahkan tidak pecah sama sekali. Namun, jika terlalu rendah, maka kedalaman air akan sangat dangkal sehingga ombak akan pecah tepat dipinggir pantai atau hamparan karang, yang menyebabkan peselancar tidak dapat berselancar.

Pasang surut untuk setiap kawasan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh pergeseran waktu kemunculan bulan 50 menit lebih lambat dari hari sebelumnya, sehingga menyebabkan perubahan pasang surut disuatu kawasan untuk setiap harinya juga (Weaver dan Bannerot 2009).

Pasang surut memiliki kisaran yang bervariasi, dari beberapa inchi hingga mencapai ketinggian 40 kaki. Pengukuran pasang surut didasarkan pada mean ketinggian tinggi air terendah. Merupakan hal yang umum bagi peselancar untuk memeriksa keadaan pasang surut yang ada di kawasan selancarnya. Dibeberapa kawasan selancar bahkan menyediakan chart pasang surut untuk kawasannya.

Gambar 5. Arah angin dan bentuk ombak yang terbentuk oleh angin sejajar garis pantai.


(31)

2.1.2.1.5 Fauna Laut

Fauna laut turut memberikan pengaruh pada kegiatan selancar. Hal ini berpengaruh terhadap kemungkinan dapat berselancar atau tidak. Keberadaan fauna laut dalam kandungan air tertentu pada kawasan selancar dapat menyebabkan peselancar disarankan bahkan dilarang untuk berselancar.

Fauna laut yang cenderung diperhatikan keberadaannya dalam kegiatan selancar adalah ikan hiu. Terdapat lebih dari 400 jenis ikan hiu yang ada di dunia, namun yang sering menyebabkan terjadinya pelarangan kegiatan selancar adalah ikan hiu jenis Carchadoron carcharias, Galeocerdo cuvier dan Carcharihinus leucas (Leatherman 2003).

Ikan hiu cenderung tidak memangsa manusia, umumnya serangan yang dilakukan oleh hiu pada peselancar dikarenakan adanya kemiripan antara peselancar dengan mangsanya (Leatherman 2003). Beberapa kekeliruan tersebut dapat diakibatkan oleh warna pakaian peselancar yang umumnya berwarna hitam sehingga menyerupai warna singa laut atau siluet peselancar diatas papan selancar yang menyerupai penyu.

Ubur-ubur adalah fauna laut lain yang diperhatikan dalam kegiatan selancar. Ubur-ubur memiliki bisa yang dapat disuntikkan ke dalam tubuh peselancar melalui tentakelnya apabila bersentuhan dengan kulit peselancar yang dapat menyebabkan rasa sakit hingga kematian. Walaupun tidak semua bisa ubur-ubur berbahaya namun peselancar umumnya selalu diingatkan tentang keberadaan fauna tersebut.

2.2 Pengelolaan Bahaya dan Resiko

Pengelolaan bahaya dan resiko pada kondisi alam merupakan suatu hal yang dibuat secara seksama dengan memperhatikan berbagai bentuk bahaya dan resiko yang diberikan oleh kondisi alam dari kawasan tersebut. Pengelolaan bahaya dan resiko pada kondisi alam suatu kawasan melibatkan faktor ketidakpastian karena sifat alam yang tidak pasti.

Terdapat beberapa proses yang harus dilakukan dalam mengelola bahaya dan resiko. Proses yang pertama adalah melakukan identifikasi terhadap bahaya dan resiko yang terdapat di dalamnya, proses identifikasi ini ditentukan dengan cara


(32)

mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan bahaya dan resiko dari kawasan yang dikelola (O’Loughlin 2011). Informasi tersebut dapat berupa hasil pengukuran maupun informasi yang dikumpulkan dari pihak-pihak yang memiliki keterlibatan dengan kawasan tersebut.

Tahapan berikutnya adalah penurunan tingkat resiko dari bahaya yang ada (O’Loughlin 2011). Tahapan ini merupakan penentuan tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk menurunkan peluang terealisasinya resiko baik terhadap fisik maupun kesehatan peselancar yang diakibatkan oleh kondisi alam kawasan (Jubenville 1987).

Tahapan ini baru dapat dilakukan pada saat tahapan identifikasi terhadap bahaya dan resiko telah dilakukan, yaitu berupa pembuatan klasifikasi atau prioritas terhadap bahaya dan resiko untuk menentukan tindakan yang sesuai untuk tiap tingkatannya. Setiap tindakan yang ditentukan harus disesuaikan dengan bentuk bahaya yang akan diturunkan tingkat resikonya.

Bahaya dengan tingkatan resiko yang signifikan harus mendapatkan prioritas yang lebih tinggi dalam pengelolaan. Berbagai bentuk modifikasi atau tindakan lainnya yang ditentukan dalam pengelolaan harus dapat menurunkan tingkat resiko untuk setiap bahaya yang ada tanpa mengurangi daya tarik dari kawasan itu sendiri (Jubenville 1987).

Tahapan yang terakhir adalah pengawasan terhadap resiko-resiko tersebut sehingga dapat diketahui apabila terdapat perubahan bentuk ataupun peningkatan resiko dari suatu bahaya tertentu (Tweedale 1994), pada tahapan ini setiap elemen bahaya dan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menurunkan tingkat resiko diperiksa secara berkala baik perubahan bahayanya maupun keefektifan dari setiap tindakan-tindakan yang dilakukan. Oleh karena itu maka perlu dipahami sebelumnya tentang konsep dari bahaya dan resiko itu sendiri serta bahaya dan resiko apa saja yang terdapat pada kegiatan selancar.

2.2.1 Resiko

Resiko memiliki banyak definisi, tergantung pada aplikasi spesifik dan konteks yang digunakan, menurut Ricci (2006) resiko adalah peluang terjadinya efek yang merugikan terhadap suatu hal dengan tingkatan tertentu. Pada kegiatan


(33)

selancar, resiko yang dipaparkan bagi peselancar memiliki kisaran yang relatif besar, dari resiko yang sangat rendah hingga sangat tinggi, dimana masing-masing resiko tersebut bergantung pada tantangan dari tiap tingkat selancar yang dilakukan.

Resiko dalam kegiatan selancar terkait dengan peluang keberadaan suatu resiko dan kerentanan peselancar untuk terpapar pada resiko tersebut. Dalam analisis resiko, peluang tersebut dikaitkan dengan bentuk kerugian yang ada dan konteks dari kerugian tersebut (kesehatan atau fisik).

Peluang adalah kemungkinan terjadinya kejadian bahaya. Jika dalam mendefinisikan resiko menggunakan sudut pandang peluang, maka resiko dengan nilai peluang mendekati 1 (mengingat nilai probabilitas antara 0 dan 1) dapat dikatakan sebagai resiko dengan kategori tinggi. Kerugian atau yang disebut juga sebagai konsekuensi adalah hasil dari terjadinya kejadian resiko yang mencakup terganggunya kesehatan atau luka pada seseorang. Jika dalam mendefinisikan resiko menggunakan sudut pandang keparahan, maka resiko yang menghasilkan kerugian terbesar dapat dikatakan sebagai resiko dengan kategori tinggi. Dalam kegiatan selancar, resiko terbesar yang ada berupa kematian.

Selain itu, secara umum bila peluang suatu resiko bertambah atau kerugiannya meningkat maka resiko tersebut juga meningkat. Penilaian terhadap resiko tersebut sebelumnya harus didahului dengan identifikasi terhadap resiko yang ada, setelah seluruh resiko telah teridentifikasi maka dapat diketahui resiko mana yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari resiko lainnya. Penentuan hal tersebut didasarkan pada tingkat peluang dan kerugian yang dimiliki oleh masing-masing resiko.

Sebuah resiko dengan potensi kerugian yang besar dan peluang kemunculan rendah akan diperlakukan berbeda dengan resiko lain yang potensi kerugiannya rendah namun sering terjadi (peluangnya tinggi) (Tatsiopoulus et al 2005). Untuk menghindari atau mengurangi kesalahan dalam penilaian resiko, maka tiap-tiap tingkat peluang dan kerugian harus dapat diidentifikasikan dengan jelas dan dikonversikan kedalam angka-angka tertentu. Definisi yang jelas dari setiap level tersebut akan sangat membantu dalam menilai resiko-resiko yang ada.


(34)

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa kegawatan atau keparahan dari resiko yang memiliki dampak tinggi lebih diperhatikan daripada resiko dengan peluang tinggi, dalam mengevaluasi rata-rata tingkatan resiko (Kahneman dan Tversky 1982 dalam Baccarini et al 2000). Dengan kata lain resiko dengan peluang rendah dan dampak tinggi cenderung dianggap mempunyai nilai resiko yang lebih berbahaya daripada resiko dengan peluang yang tinggi dan keparahan yang rendah.

Carter (2006) menyatakan bahwa fungsi identifikasi terhadap resiko adalah untuk memahami skala dan konteks resiko tersebut karena paparannya yang bersifat acak. Selain itu, dengan memahami resiko yang ada maka dapat diketahui bentuk pengelolaan yang bisa dilakukan terhadapnya.

2.2.2 Bahaya

Bahaya merupakan suatu hal atau situasi yang pada kondisi tertentu dapat mengakibatkan suatu kerugian (Pritchard 2000) yang terkadang berkaitan dengan aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan kerugian bagi peselancar baik berupa gangguan terhadap kesehatan, luka atau cidera bahkan hingga kematian (Williams dan Micallef 2009).

Bahaya sendiri merupakan fungsi dari resiko, paparan dan reaksi yang bila tidak terdapat interaksi dengan manusia (dalam hal ini peselancar) maka bahaya tersebut tidak akan dikatakan ada (Smith dan Petley 2004). Penentuan bahaya dapat dilakukan berdasarkan kondisi alam suatu kawasan. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara melakukan pengukuran terhadap berbagai kondisi alam kawasan yang memiliki pengaruh keselamatan peselancar.

Bahaya dalam kegiatan selancar tidak dapat ditentukan secara pasti. Keadaan ini didorong oleh sifat dari pantai sebagai kawasan selancar yang tidak pasti dan selalu mengalami perubahan. Namun, ketidakpastian tersebut dapat diperkecil dengan cara melihat pola yang terbentuk dari alam kawasan.

Pada kegiatan selancar terdapat berbagai bentuk bahaya yang terpapar bagi peselancar karena interaksi yang dilakukannya secara langsung terhadap air yang merupakan sumber utama dari bahaya baik itu berupa arus balik, ombak yang


(35)

tinggi dan besar, zona selancar yang berkarang hingga paparan sinar UV. Kondisi biologi tertentu juga dapat menjadi sumber bahaya bagi peselancar.

Pada kawasan tertentu yang memiliki kondisi biologi yang tak seimbang dapat terjadi perkembangbiakan berlebihan (blooming) dari fauna tertentu seperti ubur-ubur jenis Aurelia aurita ataupun jenis Cortylorhiza tuberculata juga memberikan bahaya tersendiri bagi peselancar.

Walker dkk (2000) mengemukakan beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam identifikasi bahaya yaitu :

a. Identifikasi bahaya, menentukan lokasi dan potensi kejadian bahaya yang akan timbul di suatu kawasan termasuk sumber bahayanya.

b. Pendugaan bahaya, suatu tindakan untuk menduga tingkat kerugian dari paparan resiko tersebut terhadap peselancar apakah tinggi, sedang atau rendah.

c. Rekomendasi, pada tahap ini bentuk resiko dievaluasi dan ditentukan rekomendasi bentuk pengelolaan keselamatan yang dapat diaplikasikan pada kawasan tersebut.

d. Pengawasan, proses ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas bentuk pengelolaan keselamatan pengunjung yang telah dilakukan di kawasan.

e. Pengembangan, setelah pengawasan dilakukan, bagian-bagian pengelolaan keselamatan yang dianggap kurang baik diperbaiki dalam bentuk pengembangan pengelolaan keselamatan pengunjung.

2.2.3 Bahaya dan Resiko dalam Kegiatan Selancar

Kegiatan selancar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan di daerah pantai yang memiliki berbagai karakteristik bahaya dan resiko tertentu sesuai dengan kondisi alam kawasannya. Bahaya dan resiko yang ada dalam kegiatan selancar dapat berasal dari fisik kawasan seperti ombak dan arus ataupun dari biologi pantai berupa fauna lautnya.

Ombak merupakan potensi sumber resiko atau bahaya yang harus paling diperhatikan. Walaupun kegiatan selancar memang merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengendarai ombak setinggi mungkin dengan waktu yang selama mungkin, namun hal yang sering tidak disadari berkaitan dengan bahaya dan


(36)

resiko yang diberikan oleh ombak adalah energi yang dihasilkan dari suatu ombak. Energi yang dihasilkan oleh suatu ombak dengan ketinggian tertentu memiliki nilai kuadrat dari ketinggian ombaknya, sehingga ombak dengan ketinggian 3 kaki memiliki energi sembilan kali lebih besar dibandingkan dengan ombak dengan ketinggian satu kaki (Weaver dan Bannerot 2009).

Diantara ketiga jenis ombak yang ada, jenis ombak yang paling menantang bagi peselancar adalah jenis plunging breaker (Hutabarat dan Evans 1984), namun jenis ini juga merupakan jenis ombak yang paling berbahaya, kuat dan cepat. Ombak ini terbentuk secara tiba-tiba pada saat massa air dari gelombang laut memasuki kawasan dengan kedalaman rendah. Gelombang tersebut kemudian terdorong hingga membentuk puncak yang tajam kemudian pecah menjadi ombak secara tiba-tiba dengan pusat tumpahan massa air disatu tempat. Diketahui bahwa diantara jenis ombak lainnya, justru jenis plunging breaker merupakan ombak yang kerap menciptakan arus balik pada pantai yang landai (Leatherman 2003).

Arus balik sendiri disebabkan oleh sejumlah massa air yang cukup besar yang ditekan jauh ke arah laut akibat adanya pecahan gelombang. Pada saat gelombang pecah maka akan terbentuk swash atau massa air yang bergerak ke atas dan ke bawah pada muka pantai (Leatherman 2003). Semakin besar ombaknya maka massa airnya akan semakin besar pula, dan ombak jenis plunging breaker merupakan jenis ombak yang menghasilkan air putih (air laut dengan buih putih) yang kemudian mendorong swash lebih jauh dari pantai. Massa air tersebut yang tertekan ke arah pantai kemudian secara alami bergerak kembali ke arah laut, massa air tersebut kembali ke arah laut melalui area tertentu yang sempit, aliran air pada area sempit tersebut itulah yang disebut sebagai arus balik (Leatherman 2003).

Sinar matahari merupakan salah satu aspek yang memiliki bahaya dan resiko yang paling besar bagi peselancar, namun kerap diabaikan (Peattie et al 2003). Paparan sinar matahari yang diterima oleh peselancar dalam kesehariannya (diluar aktivitas selancar) menyebabkan mereka cenderung mengabaikan adanya bahaya dan resiko yang dapat ditimbulkan oleh sinar matahari. Kegiatan selancar yang sulit untuk dipisahkan dengan bermandikan sinar matahari juga turut mendorong pengabaian tersebut.


(37)

Sinar matahari masuk kedalam daftar teratas dari bahaya dan resiko di kawasan pantai. Hal ini karena sinar matahari dapat menyebabkan gangguan pada kulit mulai dari sunburn (kulit yang terbakar sinar matahari) hingga kanker kulit. Waktu puncak radiasi sinar UV adalah antara jam 11.00 hingga 13.00 (Williams dan Micallef 2009).

Bahaya dan resiko yang datang dari faktor biologi kawasan dapat berupa fauna laut yang berada di kawasan tersebut. Terdapat beberapa fauna laut yang berbahaya bagi peselancar diataranya adalah ular laut. Ular laut memiliki beberapa jenis racun yang berbahaya, dan sebagian besar gigitan dari jenisnya memiliki resiko dan bahaya yang cukup fatal. Walaupun pada dasarnya fauna laut ini tidak bersifat agresif, namun mereka akan tetap menyerang peselancar apabila merasa terganggu atau terancam.

Fauna lain yang juga sering dijumpai oleh peselancar dan memberikan bahaya dan resiko tertentu adalah ubur-ubur. Ubur-ubur jenis tertentu memiliki racun dengan tingkatan bahaya dan resiko yang beragam. Racun tersebut disuntikan kepada korbannya melalui tentakel yang memiliki 900 sel penyengat. Tentakel dari ubur-ubur sendiri dapat mencapai panjang hingga 50 kaki, sedangkan racun yang disuntikkan dari tentakel tersebut dapat menyebabkan rasa sakit yang sangat, hingga kematian, namun hal tersebut sangat jarang terjadi (Leatherman 2003).

Bulu babi juga merupakan fauna laut lainnya yang memiliki resiko dan bahaya bagi peselancar. Fauna ini umumnya tinggal disela-sela karang dan dapat melukai kaki peselancar apabila menginjak tubuhnya karena tubuh bulu babi yang dilindungi oleh duri-duri yang bervariasi panjangnya, tergantung pada jenis dan umur dari bulu babi tersebut (Robison 2010).

Kondisi biologi lain yang memberikan resiko dan bahaya bagi peselancar adalah kandungan mikroorganisme dalam air. Pada saat indeks keragaman mikroorganisme dalam air laut masih dibawah batas normal (3), maka hal tersebut tidak akan memberikan pengaruh apapun bagi peselancar, namun apabila terjadi perkembangbiakan yang berlebihan dari salah satu jenis mikroorganisme tertentu (blooming) maka hal tersebut dapat berubah menjadi suatu resiko dan bahaya


(38)

tersendiri bagi peselancar (Häder et al 2007). Umumnya, hal ini dapat menimbulkan ruam pada kulit yang disertai rasa gatal.


(39)

III METODE PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di dua daerah wisata Krui yaitu Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri. Penelitian dilaksanakan dari bulan April hingga Mei 2011, waktu tersebut dipilih karena pada saat itu banyak peselancar melakukan kegiatan selancar di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri.

Gambar 6. Peta lokasi penelitian

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : alat tulis, teropong/binokuler, thermometer, tali, tongkat pasang surut, pelampung, drifter, botol plastik, stopwatch dan kamera. Sedangkan bahan yang diperlukan pada penelitian ini yaitu: panduan wawancara, panduan penilaian peluang, panduan penilaian keparahan, matriks level resiko, dan peta.


(40)

3.3 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di kawasan, wawancara mendalam, dan studi literatur. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian, laporan, dokumen, peta dan bentuk publikasi lainnya yang didapat baik dari media cetak maupun media elektronik.

Data yang dikumpulkan berupa data potensi, bentuk dan variabel resiko bahaya yang ada di kawasan (Tabel 1).

Tabel 1. Data dan informasi potensi bahaya dan resiko

No. Potensi Bahaya

Kemungkinan Bentuk bahaya Cara/Sumber Pengukuran Bahaya Kondisi 1. 2. Pantai Air

• Panas dan sinar matahari

• Ombak • Pasang surut • Arus

• Fauna laut

• Materi pembentuk pantai

• Studi literatur • Observasi

kawasan • Wawancara

mendalam • Data Angkatan

Laut

• Studi literatur • Observasi

kawasan • Wawancara

mendalam • Data Angkatan

Laut

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian berupa studi literatur, observasi kawasan, wawancara mendalam dan pengukuran terhadap variabel-variabel kemungkinan bahaya dan resiko.


(41)

3.4.1 Studi literatur

Studi ini dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan informasi mengenai kondisi di pantai Krui termasuk kondisi fisik dan biologi pantai yang berguna sebagai data pendukung bagi penelitian ini. Literatur yang digunakan dapat berasal dari buku, data instansi terkait (Angkatan Laut, Pemerintah Daerah, Puskesmas dll), media cetak atau media elektronik.

3.4.2 Observasi kawasan

Observasi kawasan dilakukan untuk meneliti secara langsung bahaya dan resiko yang ada di kawasan. Selain itu observasi kawasan juga dilakukan sebagai bentuk verifikasi terhadap informasi tentang bahaya dan resiko yang diberikan oleh pengunjung dan pengelola. Observasi kawasan dilakukan di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri dan dilakukan kajian secara mendalam tentang berbagai potensi dan sumber bahaya dan resikonya.

Dari observasi kawasan dilakukan pengukuran terhadap kondisi fisik dan biologi kawasan sebagai berikut:

a. Materi pembentuk pantai

Materi pembentuk pantai dikelompokkan berdasarkan pada material yang membentuk kawasan pantai yang dilihat hingga titik surut terendahnya. Material pembentuknya tersebut berupa pasir, pasir dan pecahan karang dan karang.

b. Tinggi ombak

Jenis ombak ditentukan dari jenis pecah gelombangnya. Jenis ombak ini dibagi menjadi tiga yaitu spilling breaker, merupakan bentuk ombak yang curam dan menajam di puncaknya. Jenis yang kedua adalah plunging breakers yaitu ombak dengan dasar yang cembung ke belakang namun memiliki puncak gelombang yang cekung ke depan (Hutabarat dan Evans 1986) dan surging breaker yaitu ombak yang bentuknya menyerupai plunging breaker namun pecahnya tepat di pinggir pantai.

c. Pasang surut

Pengukuran terhadap ketinggian pasang surut dilakukan menggunakan alat ukur pasang surut otomatis yaitu A-OTT KEMPTEN R-20 Strip-Chart.


(42)

d. Arus

Pengukuran arus air dilakukan dengan menerapkan metode Lagrangian yaitu suatu cara mengukur arus laut dengan cara melepas benda apung atau drifter ke laut, kemudian diukur jarak dan vektor perpindahannya (Johnson dan Pattiaratchi 2004). Sedangkan penentuan jenis arus yang ada didasarkan pada arahnya.

3.4.3 Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dilakukan terhadap pengunjung dan pengelola yang mewakili pendapat sekelompok individu. Penentuan responden dari pengunjung dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling yang didasarkan pada keterwakilan dari stratifikasinya (umur, jenis kelamin, asal daerah, dan kemampuan dalam berselancar), sedangkan penentuan responden dari pengelola dilakukan berdasarkan keterwakilan dari jenis pengelolaan yang dilakukannya (kegiatan, penyewaan alat, pelatihan dan kawasan). Wawancara mendalam yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan panduan wawancara yang merujuk pada berbagai hal yang terkait dengan bahaya dan resiko di kawasan. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk mengetahui pengalaman kejadian yang pernah dialami atau dihadapi oleh pengunjung maupun oleh pengelola.

Wawancara mendalam tidak hanya mengumpulkan informasi mengenai bentuk bahaya dan resiko di kawasan tetapi juga mengumpulkan informasi mengenai berbagai kondisi fisik dan biologi kawasan yang diketahui dan informasi lain yang dapat mempengaruhi atau menjadi bahaya dan resiko bagi pengunjung.

3.5 Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah data yang dikumpulkan melalui studi literatur, observasi lapang dan wawancara mendalamtelah didapat. Tiap-tiap data bahaya dan resiko yang didapat diberi nilai dengan mengacu pada panduan kemungkinan resiko (likelihood). Kemudian dinilai juga tingkat keparahan bahaya (severity) yang telah teridentifikasi dari data sebelumnya (Bedford 2003).

Alokasi angka-angka kemungkinan dan keparahan bahaya dan resiko yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:


(43)

Tabel 2. Penilaian peluang

Peluang Nilai Keterangan

Sangat sering 5 Selalu muncul pada setiap keadaan

Sering 4 Muncul pada sebagian besar waktu

Cukup sering 3 Sering muncul pada saat-saat tertentu

Agak sering 2 Terkadang muncul pada saat tertentu

Jarang 1 Hanya muncul pada keadaan yang sangat ekstrim

Sumber: Australia/ New Zealand risk management guideline (2004); UNEP (2008)

Tabel 3. Penilaian keparahan bahaya

Keparahan Nilai Keterangan

Sangat parah 16 Gangguan bersifat permanen

Parah 8 Gangguan terjadi selama lebih dari 24 jam

Cukup parah 4 Terjadi gangguan dalam jangka waktu singkat

Agak parah 2 Ada gangguan kecil

Tidak parah 1 Tidak ada gangguan berarti

Sumber: Australia/ New Zealand risk management guideline (2004); UNEP (2008)

Indikator untuk tiap tingkatan peluang didasarkan pada kemunculan hariannya. Peluang sangat sering diperuntukan bagi bahaya yang keberadaannya ada setiap hari, kemunculan bahaya yang terjadi hampir setiap hari dikatakan sebagai sering, peluang cukup sering untuk bahaya yang hanya muncul dalam beberapa hari sekali, peluang agak sering untuk bahaya yang munculnya membutuhkan rentang waktu lebih dari 7 hari dan dikatakan jarang bila membutuhkan waktu berminggu-minggu. Sedangkan untuk penilaian keparahan ditentukan berdasarkan standar yang telah ada.

Pemaparan resiko dilakukan menurut fungsi dari kemungkinan (likelihood) dan keparahan (severity), (Krezner 1998) yaitu:

Resiko = f (peluang, keparahan)

Kemudian, berdasarkan hal tersebut maka dikembangkan penilaian resiko (risk assessment) dengan menghitung antara nilai peluang dan keparahan (Bedford 2003) sebagai berikut:

Resiko (risk) = Peluang (likelihood) x Keparahan (severity)

Dari perhitungan seluruh tingkat peluang dan keparahan tersebut, maka akan didapatkan matriks tingkatan resiko sebagai berikut:


(44)

Tabel 4. Matriks tingkatan resiko

Resiko = Peluang x Keparahan

Keparahan Rendah (R) Sedang (S) Tinggi (T) Peluang

Rendah Tingkat bahaya sangat rendah Tingkat bahaya rendah Tingkat bahaya sedang Nilai < 16

Sedang Tingkat bahaya rendah Tingkat bahaya sedang Tingkat bahaya tinggi 16 < Nilai < 51

Tinggi Tingkat bahaya sedang Tingkat bahaya tinggi Tingkat bahaya sangat tinggi 51< Nilai < 80

Sumber: Australia/ New Zealand risk management guideline (2004)

Berdasarkan tingkat resiko tersebut, selanjutnya dibuat seleksi prioritas keselamatan untuk menentukan bentuk penekanan kegiatan pengelolaan bahaya dan resiko yang sesuai.

Hasil dari seleksi prioritas pengelolaan tersebut digunakan untuk menentukan apa dan bagaimana menangani resiko sesuai dengan tingkat keparahan dan kemungkinan akan suatu bahaya berupa bentuk-bentuk pengelolaan bahaya dan resiko yang akan direkomendasikan bagi kawasan tersebut.

3.6 Standar Variabel Bahaya dan Resiko

a. Panas matahari (sensible heat)

Bahaya dan resiko yang ditimbulkan oleh panas matahari (sensible heat) ditentukan berdasarkan indeks panas (heat index) NOAA tahun 2010. Penentuan indeks panas didasarkan pada suhu dan kelembaban udara yang terukur di kedua kawasan penelitian (Gambar 7).


(45)

b. Materi pembentuk pantai

Pengukuran bahaya dan resiko yang berasal dari materi pembentuk pantai ditentukan dengan menyertakan ketinggian ombak di kawasan tersebut. Matriks resiko dan bahaya disajikan pada Tabel 5.

Wave height

Beach type

<0.5 m

0.5 m 1.0 m 1.5 m 2.0 m 2.5 m 3.0 m > 3.0 m

Dissipative 4 5 6 7 8 9 10 10

Long shore Bar Trough

4 5 6 7 7 8 9 10 Rhythmic

Bar Beach

4 5 6 6 7 8 9 10 Transverse

Bar Rip

4 4 5 6 7 8 9 10 Low Tide

Terrace

3 3 4 5 6 7 8 10

Reflective 2 3 4 5 6 7 8 10

Keterangan : 1-3 least hazardous 7-8 highly hazardous 4-6 moderately hazardous 9-10 extremly hazard

c. Pasang Surut

Parameter dan nilai batas pasang surut ditentukan dengan mengacu pada Dawes (2007) (Tabel 6).

Gambar 7. Indeks panas (NOAA, 2010)

Tabel 5. Matriks resiko dan bahaya materi penbentuk pantai dan ketinggian ombak (Hartman dan Meyer 2007).


(46)

Parameter Nilai batas

Jarang terjadi Umum Tetap

Tetap dan berbahaya

Kisaran pasang surut normal Kisaran pasang surut ekstensif

Potensi terjadinya perubahan pasang tiba-tiba

Potensi yang lebih akan terjadinya perubahan pasang tiba-tiba

d. Arus

Parameter dan nilai batas arus ditentukan dengan mengacu pada FEE (2011) (Tabel 7).

Parameter Nilai batas

Jenis Arus lateral

Arah Menuju laut

Kecepatan Perlahan hingga cepat

3.7 Sintesis data

Tahap ini merupakan penggabungan antara hasil analisis deskriptif dan analisis resiko. Pada tahap ini dirumuskan berbagai bentuk bahaya dan resiko yang ada di kedua kawasan penelitian.

3.8 Pengelolaan Resiko dan Bahaya Pada Kegiatan Selancar di Krui

Tahap ini merupakan tahap akhir penelitian berupa penentuan rekomendasi pengelolaan bahaya dan resiko yang tidak hanya sesuai dengan kondisi fisik dan biologi kawasan, namun juga sesuai dengan sisi pandang pengunjung dan pengelola. Rekomendasi pengelolaan disesuaikan dengan matriks evaluasi resiko (Gambar 8) yang penentuannya didasarkan pada peluang dan keparahan resiko. Selain itu penekanan pengelolaan didasarkan pada tingkatan resikonya.

Tabel 6. Parameter dan nilai batas pasang surut (Dawes 2007).


(47)

     

Tinggi  

Gambar 8. Matriks evaluasi resiko (UNEP 2008). F

R E K U E N S

Rendah  KEPARAHAN 

Tinggi 

Hindari resiko

Memindahkan resiko Terima

resiko Reduksi


(48)

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Fisik

Krui berada di Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat dengan luas sebesar 110,01 km2 yang merupakan hasil pemekaran pada tahun 1949. Secara geografis letak Kecamatan Pesisir Tengah berada diantara 103o-104o BT dan 5o-6oLS. Kecamatan Pesisir Tengah berada di ketinggian 15 m dpl dan berjarak 297 km dari ibu kota Provinsi. Suhu maksimum pada kawasan ini mencapai 28oC dan suhu minimumnya mencapai 26oC, dengan zona agroklimat A yang memiliki jumlah hari dengan curah hujan yang terbanyak dalam setahun adalah 180 hari yang berkisar antara 3.000 – 3.500 mm per tahun. Bentuk wilayah di Kecamatan Pesisir Tengah terbagi menjadi tiga yaitu datar sampai berombak 50%, berombak sampai berbukit 20% dan berbukit sampai bergunung 30% (Kecamatan Pesisir Tengah 2010). Kecamatan Pesisir Tengah memiliki batas wilayah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Karya Penggawa. 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pesisir Selatan. 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera India.

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Balik Bukit dan Batu Brak.

Untuk mencapai lokasi Krui, Kecamatan Pesisir Tengah dapat ditempuh melalui jalur darat. Terdapat dua alternatif jalur/ rute yang dapat ditempuh : Tabel 8. Alternatif rute Bandar Lampung – Krui.

Rute Transportasi Jarak

(km)

Waktu Tempuh (Jam)

Bandar Lampung (Tanjung Karang) – Bandara Raden Intan – Terbanggi Besar – Kota Bumi – Bukit Kemuning – Baradatu – Sumberjaya – Liwa – Krui

Kendaraan Roda empat

± 278 + 7

Bandar Lampung (Tanjung Karang) – Pringsewu – Kota Agung – Bukit Barisan – Bengkunat – Krui

Kendaraan roda empat

± 247 + 6

Kendaraan umum dari Bandar Lampung yang langsung menuju ke Krui adalah : 1. PO. Krui Putra


(49)

3. PO. Putra Raflesia 4. Travel

Kecamatan Pesisir Tengah memiliki panjang Garis Pantai 8,381 km (DKP Lampung Barat 2009). Jumlah tersebut kemudian dibagi menjadi 4 wilayah pantai yaitu Pantai Labuhan Jukung, Pantai Walur, Pantai Tanjung Setia dan Pantai Mandiri. Dari keempat pantai tersebut yang dijadikan sebagai lokasi berselancar hanyalah dua pantai yaitu Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri dengan keadaan alam dipaparkan dalam uraian sebagai berikut.

4.1.1 Iklim

Iklim di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri sangat dipengaruhi oleh Samudera Indonesia yang dicirikan oleh adanya angin musim dan curah hujan yang tinggi (2500-300 mm/tahun). Pada musim Barat angin berhembus dari arah Utara selama bulan November sampai Maret, dan pada musim Timur angin berhembus dari arah Selatan selama bulan Mei sampai September (DKP Lampung Barat 2010).

Secara umum temperatur udara maksimum di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri adalah 33oC dan temperatur minimum 22oC. Rata-rata kelembaban udara sekitar 80-88% (DKP Lampung Barat 2010).

4.1.2 Arus dan Pasang Surut

Dalam Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung (1999), berlawanan dengan arah angin, arus musim di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri sepanjang tahun mengalir ke arah Tenggara hingga Barat Daya. Kondisi ini diperkirakan disebabkan oleh gradien tekanan antara perairan di Barat Laut dengan perairan di bagian tenggara dari Pantai Barat Sumatera. Kekuatan arus berkisar antara 1 cm/s hingga 45 cm/s. Pada musim barat antara bulan November hingga bulan Maret, arus mengalir dengan kecepatan 27 cm/s hingga 45 cm/s dan mencapai kecepatan maksimum pada bulan Desember. Arus pada musim barat ini mengalir dengan tetap menuju ke arah tenggara. Sedangkan arus pada musim timur antara bulan April hingga Oktober melemah dengan kisaran kecepatan 1 cm/s hingga 36 cm/s. Pada bulan Juli arus mencapai minimum, berkisar antara 1 cm/s hingga 5 cm/s. Jenis arus balik yang terjadi di pesisir terbentuk di kedua


(50)

pantai. Suhu rata-rata permukaan laut adalah 28°C dan salinitas permukaan di perairan ini 32.8 psu (DKP Lampung Barat 2010).

Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur, dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari (harian). Jika perairan tersebut mengalami satu kali pasang dan surut per hari, maka kawasan tersebut dikatakan bertipe pasut tunggal. Jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari, maka pasutnya dikatakan bertipe pasut ganda. Tipe pasut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda, dan dikenal sebagai pasut campuran (Nazdan 2009).

Tipe pasut ini dapat berubah tergantung terutama pada kondisi perubahan kedalaman perairan atau geomorfologi pantai setempat. Di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri, tipe pasut yang ditemui akan mirip dengan tipe pasut Samudera Hindia, yaitu tipe pasut campuran dengan didominasi pasut ganda (Pariwono1985). Selain itu kisaran tinggi muka laut rata-rata di perairan Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri adalah 176 cm. Di perairan kedua pantai ini pasang tertinggi dicapai pada jam 02.00 WIB, sedangkan terendah dicapai pada 08.00 WIB (DKP Lampung Barat 2010).

Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri merupakan perairan yang terbuka dan langsung berhadapan dengan samudera Hindia, yang memiliki ciri khas perairan dengan gelombang yang besar dan merupakan perairan yang dalam. Perairan ini memiliki suhu rata-rata bulanan di permukaan laut 28 – 29oC, salinitas sebesar 32.5 – 33 permill dan pH 7 – 8,5 serta kecerahan 3 – 10 meter rata-rata 6 meter (DKP Lampung Barat 2010).

4.1.3 Materi Pembentuk Pantai dan Fauna Laut

Walaupun kedua pantai berada pada garis pantai yang saling berdekatan, namun materi pembentuk pantai di Pantai Labuhan Jukung berbeda dengan yang ada di Pantai Mandiri. Pantai Labuhan Jukung memiliki tutupan pembentuk pantai yang tidak hanya berupa pasir saja tetapi juga terumbu karang dan pecahan karang. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (2010) diketahui bahwa persen pentupan karang di Pantai Labuhan Jukung dikategorikan sedang dengan nilai persentase penutupan sebesar 33%. Sementara itu, persen pentupan


(51)

DCA (Dead Coral Algae) sebesar 12%, pasir sebesar 19% dan pecahan karang (Rubble) sebesar 36%. Kondisi ini menunjukkan adanya tekanan ekologi akibat faktor alami maupun buatan.

Berbeda dengan Pantai Labuhan Jukung yang memiliki hamparan karang sebagai bagian dari materi pembentuk pantainya, Pantai Mandiri secara keseluruhan materi pembentuknya hanya berupa pasir saja (DKP Lampung Barat 2010).

Kondisi materi pembentuk karang tersebut mempengaruhi fauna laut yang ada di masing-masing kawasan. Pantai Labuhan Jukung dengan keberadaan karangnya memiliki jenis fauna laut yang lebih beragam dibandingkan fauna di Pantai Mandiri yang hanya berupa kepiting dan ikan kecil saja, di Pantai Labuhan Jukung selain kepiting dan ikan kecil dapat juga ditemukan bintang getas, bintang laut bantal, belut laut, teripang dan bulu babi.

4.1.4 Gelombang dan Ombak

Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri keduanya merupakan pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia yang menyebabkan tidak adanya penghalang angin yang datang ke kedua pantai tersebut. Keadaan tersebut menghasilkan tinggi gelombang yang cukup besar karena memiliki fetch yang besar juga, selain itu kecepatan angin yang ada juga turut mempengaruhi tinggi gelombang tersebut.

Gambar 9. Persentase penutupan karang di Pantai Labuhan Jukung (DKP Lampung Barat 2010).


(52)

Berdasarkan data dari DKP Lampung Barat (2010) tinggi gelombang yang dimiliki kedua kawasan tersebut bertipe samudera, dimana gelombang tinggi dan arus yang kuat menjadi ciri khas perairan ini. Di kawasan ini pada musim barat angin yang bertiup merupakan angin tenggara yang memiliki kecepatan arus antara 27-45 cm/s yang terjadi antara bulan November hingga Maret dengan puncaknya pada bulan Desember. Sedangkan pada musim timur kecepatan arus maksimal hanya mencapai 36 cm/s yang terjadi antara bulan April hinga Oktober dan mencapai kecepatan minimumnya pada bulan Juli yaitu berkisar antara 1-5 cm/s (DKP Lampung Barat 2010).

Gelombang yang di kedua kawasan kemudian menghasilkan dua jenis ombak di masing-masing kawasan. Ombak yang terbentuk di Pantai Labuhan Jukung adalah jenis spilling breaker dan plunging breaker. Sedangkan ombak yang terbentuk di Pantai Mandiri adalah jenis plunging breaker dan surging breaker.

Spasial dari masing-masing kondisi fisik tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.


(53)

4.2 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang terdapat di Kecamatan Pesisir Tengah merupakan sarana dan prasarana yang umumnya berada di tingkat kecamatan. Terdapat keterbatasan sarana prasarana dalam hal ketersediaan sarana perekonomian seperti Bank, Anjungan Tunai Mandiri (ATM), pegadaian dan sarana perekonomian lainnya. Sarana transportasi 95% berada di darat berupa becak, ojek, angkot dan bis. Hanya 5% sarana transportasi yang berada di darat berupa kapal kecil dan hanya beroperasi pada waktu tertentu saja.

Tabel 9. Sarana di Kecamatan Pesisir Tengah.

No Sarana Jumlah

1 2 3 4 5 6 7 Sarana pemerintahan - Kelurahan - Kecamatan - Polsek - Koramil - Cabjari - Rutan - KUA Sarana kesehatan - Apotik - Dukun Bayi - POS klinik KB - Praktik Dokter Umum - Puskesmas Sarana Transportasi - Darat - Perairan Sarana Rekreasi - Pantai - Penginapan - Rumah makan - Toko souvenir Pasar Tradisional Jalan

Penerangan Komunikasi Sanitasi - Air bersih - Tempat sampah

8 1 1 1 1 1 1 1 14 1 2 1 95% 5% 4 6 2 1 1 Aspal Listrik PLN Seluler, TV, Radio

Sumur Ada

4.3 Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Kecamatan Pesisir Tengah terdiri dari 8 Kelurahan. Jumlah penduduk yang berada di kecamatan ini adalah berkisar 17.119 jiwa. Jumlah penduduk tertinggi terdapat di Kelurahan Pasar Krui sebesar 5.589 jiwa dan jumlah penduduk


(54)

terendah terdapat di kelurahan Sukanegara sebesar 880 jiwa (Kecamatan Pesisir Tengah 2011).

Tabel 10. Jumlah penduduk di setiap Kelurahan pada Kecamatan Pesisir Tengah (Kecamatan Pesisir Tengah 2011)

No Kelurahan Jumlah Kepala Keluarga Jumlah Penduduk

1 2 3 4 5 6 7 8 Way Redak Seray Kampung Jawa Rawas Pasar Krui Pasar Kota Krui Sukanegara Pahmungan 220 327 525 376 1.181 731 215 272 950 1.555 2.117 1.689 5.585 3.191 880 1.152

Mata pencaharian pendududuk di Kecamatan Pesisir Tengah di dominasi oleh petani dan nelayan. Mayoritas penduduk yang berada di Kecamatan Pesisir Tengah beragama Islam (Kecamatan Pesisir Tengah 2011).

Masyarakat Lampung mengikuti pola patrilinial yang dalam kehidupan sehari-hari mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Pi’il pasengiri maksudnya menghormati kemandirian dan reputasi seseorang atau kelompok orang. Hal ini ditunjukkan dengan masih berlakunya sistem tetua adat. Setiap kegiatan-kegiatan adat seperti pernikahan atau akikah harus dilakukan dengan menyertakan pertimbangan tetua adat di dalamnya.

2. Sakai Sembayan maksudnya meliputi kegiatan saling tolong menolong, gotong royong, kerjasama dengan orang lain dan mau menerima ide orang lain dalam musyawarah. Contoh prinsip ini terutama dapat dilihat dengan pada saat persiapan acara pernikahan. Acara persiapan pernikahan di Krui secara seluruhnya dilakukan oleh tetangga penyelenggara pernikahan.

3. Nemu Nyimah maksudnya ramah dan suka menolong orang lain termasuk pendatang.

4. Bejuluk Beadek maksudnya penghargaan yang diberikan oleh masyarakat melalui prosesi tradisi. Penyelenggaraan ini umum dilakukan pada saat pengangkatan tetua adat baru.

(BPS Lampung Barat 2010).

Dalam sistem sosial masyarakat Kecamatan Peisir Tengah, bentuk kekerabatannya sama dengan sistem kekerabatan Lampung pada umumnya yang terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu (BPS Lampung Barat 2010):


(55)

1. Keluarga Batih; terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah yang hidup dalam suatu rumah tangga.

2. Keluarga Luas; terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang sudah menikah maupun yang belum, yang hidup dalam suatu rumah.

3. Klen Besar; bentuk kekerabatan ini juga disebut buay, atau oorsprong kelijke boeay.

4. Klen Kecil; dapat disamakan dengan buay yang anggotanya terdiri dari para individu yang berada dalam ikatan pertalian darah.  

4.4 Karakteristik Responden Peselancar

Responden peselancar adalah pihak pengunjung wisata selancar di kawasan selancar Krui yang diwawancarai untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengelolaan bahaya dan resiko di kawasan wisat selancar Krui. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 27 orang.

Karakteristik responden peselancar didominasi oleh responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 66.67%, sedangkan untuk responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 33.33%. Berdasarkan usia, responden berusia dibawah 30 tahun sebanyak 51.85% sedangkan responden yang berusia diatas 30 tahun sebanyak 48.15%. Berdasarkan asal daerahnya, responden yang berasal dari Australia sebanyak 29.62%, dari Israel sebanyak 11.11%, dari Spanyol, Kanada, Portugis, Philadelphia, Austriadan Prancis masing-masing sebanyak 7.4% dan sisanya sebanyak 3.7% berasal dari Irlandia. Berdasarkan pengalaman berselancarnya, mayoritas peselancar memiliki pengalaman berselancar diatas 10 tahun yaitu sebanyak 88.89%, sedangkan 11.11% pengalaman berselancarnya kurang dari 10 tahun.


(56)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5. 1 Identifikasi Bahaya dan Resiko pada Kegiatan Selancar di Krui

Hasil identifikasi bahaya dan resiko di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis bahaya yang terdapat di kedua kawasan tersebut dipaparkan dalam uraian sebagai berikut.

5.1.1 Panas dan Sinar Matahari

Perhitungan bahaya panas matahari didasarkan pada suhu udara dan kelembaban yang terukur di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan selama 30 hari sejak tanggal 23 April hingga 22 Mei 2011 di Pantai Labuhan Jukung didapatkan data seperti pada Tabel 11 dan 12:

Hari Suhu Udara

(Co)

Kelembaban Relatif (%) Indeks Panas Hari Suhu Udara

(Co)

Kelembaban Relatif (%)

Indeks Panas

1 29 80 94 16 28 84 89

2 30 83 94 17 28 80 89

3 29 82 94 18 28 80 89

4 28 81 89 19 29 80 94

5 29 81 94 20 29 80 94

6 29 85 96 21 29 85 96

7 28 83 89 22 29 85 96

8 29 80 94 23 28 83 89

9 27 80 84 24 29 84 94

10 29 82 94 25 30 84 100

11 29 82 94 26 29 80 94

12 29 80 94 27 30 80 100

13 29 84 94 28 31 84 100

14 29 84 94 29 30 80 100

15 28 84 94 30 28 80 89

Diketahui bahwa rata-rata suhu yang terjadi pada waktu tersebut adalah sebesar 28oC untuk Pantai Labuhan Jukung dan 30oC untuk Pantai Mandiri. Suhu tertinggi yang terjadi selama periode tersebut di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri adalah sebesar 31oC, sedangkan suhu terendahnya adalah sebesar 27oC untuk Pantai Labuhan Jukung dan sebesar 28oCuntuk Pantai Mandiri.


(57)

Hari Suhu Udara

(Co)

Kelembaban Relatif (%)

Indeks Panas

Hari Suhu Udara (Co)

Kelembaban Relatif (%)

Indeks Panas

1 30 80 100 16 30 84 100

2 31 83 100 17 31 80 106

3 30 82 100 18 29 80 94

4 28 81 89 19 31 80 106

5 29 81 94 20 31 80 106

6 29 85 96 21 30 85 102

7 28 83 89 22 30 85 102

8 29 80 94 23 29 83 94

9 28 80 89 24 29 84 94

10 31 82 106 25 31 84 106

11 31 82 106 26 31 80 106

12 31 80 106 27 31 80 106

13 30 84 100 28 30 84 100

14 31 84 106 29 29 80 94

15 30 84 100 30 30 80 100

Hasil pengukuran terhadap kelembaban menunjukkan bahwa rata-rata kelembaban di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri adalah sebesar 82%. Kelembaban tertinggi sebesar 85%, sedangkan kelembaban terendahnya adalah sebesar 80%.

Pengambilan data dilakukan antara pukul 13.00 sampai 14.00 karena sensible heat (panas terasa) tertinggi terjadi setelah puncak pemanasan terjadi yaitu sekitar pukul 12.00, selain itu puncak radiasi dari sinar UV juga terjadi pada jam 13.00 (Leatherman 2003). Sensibleheat ditimbulkan bukan dari panas yang dipancarkan oleh matahari melainkan pancaran radiasi kembali dari bumi berupa gelombang pendek yang merupakan hasil konversi gelombang panjang yang dipancarkan oleh matahari, dengan begitu dapat diketahui bahwa bentuk bahaya yang diberikan oleh panas matahari berasal dari perpaduan suhu dan kelembaban yang terbentuk pada masa panas terasa tertingginya.

Bahaya dari panas terasa timbul karena tubuh memiliki batas toleransi tertinggi untuk berubah sesuai kondisi panas lingkungannya dan aktivitas yang dilakukannya (Zhao-Gui et al 2009). Batas tertinggi panas tubuh yang diakibatkan oleh panas lingkungannya adalah sebesar 41.6-42oC, sedangkan diketahui bahwa suhu normal dari tubuh manusia berkisar antara 34-37oC (Kosaka et al 2004). Kondisi suhu tubuh diatas 41oC dengan kelembaban relatif mendekati 100% dapat mendorong seseorang untuk mengalami gejala hipertermia dan beberapa gangguan funsional lainnya (Roth et al 1996) yang terbentuk akibat suhu Tabel 12. Suhu dan kelembaban udara relatif di Pantai Mandiri


(58)

lingkungan yang berada disekitarnya dan aktivitas yang sedang dilakukan. NOAA (2010) memaparkan bahwa pada saat suhu lingkungan diatas 28oC dengan kelembaban 40% maka dapat menyebabkan sunstroke, kram otot, dehidrasi dan hipertermia bila seseorang melakukan aktivitas tertentu seperti olahraga dan pada saat suhu udara diatas 40oC maka disarankan untuk menghentikan seluruh kegiatan olahraga diluar ruangan.

Peselancar dalam melakukan kegiatan selancar dapat menyebabkan suhu tubuh meningkat karena aktivitasnya yang dilakukan langsung dibawah matahari ditambah dengan panas yang timbul akibat pembakaran kalori yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan bagi kegiatannya.

Bahaya yang ditimbulkan oleh matahari selain dari panas terasanya juga dari radiasi sinar UV yang berada didalamnya. Kedua jenis bahaya ini merupakan bahaya yang terpapar bagi kulit peselancar dan berkaitan dengan kesehatan peselancar tersebut yang berada di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri.

Radiasi sinar UV yang berada dalam sinar matahari yang dapat menyebabkan kulit terbakar yang juga merupakan bentuk pemicu awal terjadinya kanker kulit (Peattie et al 2005). Resiko radiasi sinar UV lebih besar di kawasan pantai dibandingkan dikawasan lain karena didorong oleh adanya refleksi sinar matahari dari pasir pantai dan air yang dapat memperbesar refleksi dari radiasi sinar UV pada kulit. Variasi topografi lokal juga dapat memberikan pengaruh terhadap paparan radiasi sinar UV karena pengaruh materi pembentuk suatu permukaan pantai yang reflektif (Peattie et al 2005).

Kanker kulit merupakan jenis kanker yang paling umum ditemui di dunia, lebih banyak tiga kali lipat dibandingkan kanker paru-paru (Armstrong dan Kricker 1995). Ketika seseorang berada dibawah paparan sinar matahari dan menerima radiasi UV yang berlebihan (>300 nm) maka hal tersebut akan memicu terjadinya reaksi (foto-)kimia pada kulit yang mengakibatkan gangguan (epigenetik) pada kulit (Gruijl et al 2001).

Kanker ini memiliki kecenderungan menyerang orang-orang berkulit putih dibandingkan orang yang berkulit gelap. Hal ini disebabkan oleh kandungan melanosit yang berada di bawah lapisan epidermal kulit mampu untuk menghasilkan warna kulit yang lebih gelap yang juga memberikan perlindungan


(1)

McKenny, T. 2007. Tasmanian Adventure Activity Standard – Surfing. Sport and Recreation Tasmanian. Tasmanian.

McKinnon, J. K. MacKinnon, G. Child. Thorsell, J. 1990. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi Di Daerah Tropika (Diterjemahkan Oleh Amir) Gadjah Mada University Presss.Yogya.

Nazdan. 2009. Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah di Kabupaten Lampung Barat. DKP Kabupaten Lampung Barat.

Neushul, P. Westwick, P. 2008. History of Surfing. Australia.

NOAA. 2010. Heat Index Charts. National Oceanic and Atmospheric Administration. New York.

O’Loughin M. 2011. Hazard and Risk Management For Coastal Tourism: A Practical Guide For Decision Makers. New Zealand.

Pariwono J I. 1998. Kondisi Oseanografi Perairan Pesisir Lampung. BAPENNAS. Jakarta.

Peattie S, Clarke P. Peattie K. 2005. Risk and Responsibility In Tourism: Promoting Sun-Safety. Tourism Management Journal.

Pritchard P. 2000. Environmental Risk Management. Earthscan Publications. United Kingdom.

Ricci P F. 2006. Environmental and Health Risk Assessment and Management: Principles and Practices. Springerlink.

Robison, J. 2010. Surfing Illustrated: An Illustrated Guide To Wave Riding. McGraw-Hill.

Roth R N, Verdile V P, Grollman L J, Stone D A. 1996. Agreement Between Rectal and Tympanis Membrane Temperatures in Marathon Runners. Annals of Emergency Medicine Journal.

Smith K, Petley D N. 2004. Environmental Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster. Routledge. New York.

Supangat A, Susanna. 2003. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati.

Tatsiopoulus. Capon, N. 2005. Alternative Methods Of Forecasting Risk In Naval Manpower Planning. International Journal Of Forecasting.

Thurman H V, Trujillo A P. 2004. Introductory Oceanography. Prentice Hall. New Jersey.

Tweedale. 1994. An Optimizing Hazard/ Risk Analysis Review Planning (HARP) Framework For Complex Chemical Plants. Journal of Loss Prevention In The Process Industries.


(2)

For Decision Makers. UNEP.

Walker, G. Mooney, J. Pratts, D. 2000. The People and The Hazard: The Spatial Context of Major Accident Hazard Management In Britain. Applied Geography Journal.

Weaver R, Bannerot S. 2009. Wingnut’s Complete Surfing. McGraw-Hill.

Whitaker J D, King R, Knott D. 2008. Sea Science: an Information and education Series From The Marine Resources Division. South Carolina Department of Natural Resources. Carolina.

Wibisono M S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta.

Williams, A. Micallef, A. 2009. Beach Management: Principles and Practice. Earthscan. London.

World Health Organization. 2003. Guidelines for Safe Recreational Water Environments. WHO. Malta.

Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. Naya Reports Volume 2. California University. La Jolla.

Yu J, Slinn DN. 2003. Effects of Wave-Current Interaction On Rip Currents. Journal of Geophysical Research.

Zhao-Gui S, Zhong-an J, Zhong-qiang S. 2009. Study on Heat Hazard of Deep Exploitation In High-Temperature Mines and It’s Evaluation Index. Procedia Earth and Planetary Science Journal.


(3)

                                                   


(4)

No Nama P/L Umur Asal daerah Pengalaman berselancar

1 Lana P 28 Kanada 5 tahun

2 Kelly P 26 Australia 11 tahun

3 Sebastian L 26 Portugis 16 tahun

4 Greg L 45 Australia 30 tahun

5 Tony L 28 Australia 18 tahun

6 Miles L 25 Spanyol 14 tahun

7 Jennifer P 23 Spanyol 7 tahun

8 Tim L 32 Philadelphia 19 tahun

9 Suzanne P 30 Philadelphia 14 tahun

10 Mark L 32 Austria 19 tahun

11 Nick L 27 Austria 17 tahun

12 Dani L 26 Australia 11 tahun

13 Paul L 31 Australia 19 tahun

14 Pat P 21 Irlandia 9 tahun

15 Yale L 21 Irlandia 13 tahun

16 Ryan L 35 Belanda 17 tahun

17 Sara P 27 Belanda 10 tahun

18 Brad L 25 Australia 13 tahun

19 Steve L 33 Kanada 21 tahun

20 Daniel L 29 Israel 14 tahun

21 Yael P 30 Israel 16 tahun

22 Arami P 27 Israel 12 tahun

23 Susan P 33 Prancis 18 tahun

24 Robinson L 35 Prancis 22 tahun

25 Ray L 41 Australia 29 tahun

26 Scott L 29 Australia 14 tahun


(5)

(6)

Lampiran 3. Contoh brosur arus balik