Tanpa konflik. Dalam keadaan umum, kondisi ini adalah lebih baik. Namun Konflik laten. Jenis konflik ini sifatnya tersembunyi dan untuk penangannya Konflik di permukaan. Jenis konflik ini memiliki akar yang dangkal atau Teori hubungan masyarakat, yang men

pembangunan atau pertambangan akan dapat berjalan dengan lancar apabilia tidak terdapat konflik-konflik yang berakibat negatif. Gambar 6. Dimensi Ruang dan Sumber Konflik 2.6.3. Tipe-Tipe Konflik Tipe konflik tidak ada yang ideal, masing-masing memiliki potensi dan tantangan sendiri Fisher et al, 2001. Selajutnya tipe-tipe konflik itu dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Tanpa konflik. Dalam keadaan umum, kondisi ini adalah lebih baik. Namun

setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin keadaan ini terus berlangsung mereka harus hidup bersemangat dan dinamis

2. Konflik laten. Jenis konflik ini sifatnya tersembunyi dan untuk penangannya

perlu diangkat ke permukaan agar penangannya lebih efektif. Dicirikan dengan adanya tekanan yang tidak tampak sepenuhnya berkembang dan belum terteskalisasi kedalam polarisasi konflik yang tinggi

3. Konflik di permukaan. Jenis konflik ini memiliki akar yang dangkal atau

tidak berakar dan munculnya hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi

4. Konflik terbuka. Konflik dimana pihak-pihak yang berselisih secara aktif

terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai bernegosiasi dan mungkin juga mencapai jalan buntut menuju konsiliasi. Jenis konflik ini berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Konflik berubah menjadi kekerasan atau konflik manifes jika: 1. Saluran dialog atau wadah untuk menyalurkan perbedaan pendapat tidak memadai 2. Suara-suara ketidaksepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar dan diatasi. 3. Banyak ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat yang lebih luas. 4. Tekanan terhadap konflik juga merupakan lahan subur yang dapat dieksploitasi oleh para politikus, tentara dan pemeras yang mungkin akan merekrut mereka yang menderita dan tertindas untuk membantu mendapatkan kekuasaan dan pengaruh mereka sendiri di tingkat nasional dengan menggunakan kekerasan. Budaya kekerasan muncul dan berkembang, karena konflik selalu ditangani dengan kekerasan.

2.6.4. Teori-Teori yang berkaitan dengan konflik

Fisher et al 2001 mengatakan teori-teori mengenai penyebab konflik sangat membantu dalam memahami cara-cara cara-cara mengelola konflik, karena masing-masing teori tersebut mempunyai metode dan sasaran yang berbeda. Secara ringkas, teori-teori yang berkaitan dengan konflik :

1. Teori hubungan masyarakat, yang menanggap bahwa konflik disebabkan

oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat

2. Teori negosiasi prinsip, yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh

posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan oleh pihak-pihak yang berkonflik 3. Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik berakar pada kebutuhan dasar manusia fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi

4. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang

terancam, yang sering berakar pada hilangnya suatu penderitaan dimasa lalu yang tidak terselesaikan 5. Teori kesalah pahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda. 6. Teori transformasi, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah- masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi

2.7. Teori Social Capital

Social capital merupakan konsep yang dewasa ini berkembang dalam diskusi dan studi pembangunan. Konsep ini dipopulerkan oleh Puttman dan Fukyama yang menaruh perhatian besar terhadap pembangunan masyarakat. Di Indonesia konsep yang aslinya “social capital” diterjemahkan oleh sebagian menjadi “modal sosial’, dan sebagian yang lain menterjemahkan menjadi “kapital sosial”. Meskipun ada perbedaan dalam penterjemahannya, namun kedua pihak memiliki pemahaman yang sama, bahwa capital social merupakan institusi nilai dan jaringan-jaringan yang menjadi sumber bagi masyarakat lokal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kapital sosial ini diyakini juga sebagai satu komponen utama untuk menggerakkan kebersamaan, pertukaran pendapat, kepercayaan dan saling membantu untuk mencapai kemajuan bersama Ancok 2005 Sementara itu James Coleman dalam Ancok 2005 berpendapat modal sosial memfasilitasi kegiatan individu dan kelompok yang dikembangkan oleh jaringan hubungan, timbal balik, kepercayaan dan norma sosial. Menurut Putnam 1993, modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara individu-individu. Fukuyuma 1999 mengatakan modal sosial adalah sebagai prakondisi untuk keberhasilan pembangunan. Fukuyama mengupas pentingnya modal social berbasis pada kepercayaan. Bentuk modal inilah yang memungkinkan terjadinya kesepahaman dan kerja sama serta memiliki hubungan erat dengan tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat atau bangsa.