85
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi tentang hasil penelitian serta saran teoritis dan saran praktis untuk penelitian selanjutnya.
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data pada bab 4, kesimpulan dari penelitian ini adalah “terdapat pengaruh variabel dukungan sosial, variabel loneliness dan variabel trait
kepribadian neuroticsm,
extraversion, agreeableness,
openness dan
conscientiousness terhadap
gejala depresi
narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan”.
Dilihat dari signifikan tidaknya koefisien regresi dari masing-masing independent variable, ditemukan bahwa terdapat empat independent variable
yang menghasilkan koefisien regresi signifikan, yaitu variabel dukungan sosial, variabel loneliness, variabel kepribadian extraversion dan variabel kepribadian
agreeableness. Masing-masing variabel tersebut mempunyai pengaruh terhadap gejala depresi. Jika dilihat dari signifikan atau tidaknya proporsi varians
sumbangan kontribusi masing-masing independent variable
ada empat
independent variable yang signifikan memberikan sumbangan dari nilai terbesar hingga terkecil ialah loneliness, dukungan sosial, kepribadian agreeableness dan
kepribadian extraversion.
5.2. Diskusi
Dari hasil penelitian ini diperoleh data bahwa secara umum, jumlah narapidana laki-laki lebih banyak dibandingkan narapidana perempuan, dengan data pada
penelitian ini sebanyak 193 orang laki-laki 88 dan 27 orang perempuan 12. Putwain dan Sammons 2002 mendukung data penelitian ini. Mereka
menyebutkan bahwa statistik pidana secara konsisten melaporkan prevalensi yang jauh lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Ada beberapa kemungkinan
alasan untuk hal ini. Salah satunya adalah bahwa perbedaan jenis kelamin dalam kejahatan mencerminkan perbedaan konstitusional antara pria dan wanita. Ini
lebih mungkin menjadi kasus kejahatan pribadi dan kekerasan di mana perbedaan jenis kelamin yang paling ditandai.
Selain itu, pada penelitian ini diperoleh data bahwa kelompok usia mayoritas yang menjadi narapidana adalah pada tahap perkembangan remaja akhir
dengan rentang usia 16 – 22 tahun 94. Kartono 2002 menyebutkan bahwa angka tertinggi tindak kejahatan pada remaja berada pada usia 15 – 19 tahun dan
setelah 22 tahun, kasus kejahatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok remaja bermasalah tersebut mengalami penurunan. Pengaruh sosial dan kultural
memiliki peran penting dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah laku kriminal anak-anak remaja. Remaja merupakan salah satu masa transisi dengan
tingkah laku anti-sosial yang potensial disertai dengan pergolakan hati atau kekisruhan batin. Maka segala tindak kejahatan yang muncul pada masa ini
merupakan akibat dari proses perkembangan pribadi anak yang mengandung
unsur dan usaha kedewasaan seksual, pencarian identitas kedewasaan, adanya ambisi materil yang tidak terkendali serta kurang adanya disiplin terhadap diri.
Selanjutnya, pada penelitian ini diperoleh data bahwa tingkat pendidikan SMA menjadi mayoritas narapidana sebanyak 140 orang 63. Hal ini sejalan
dengan data penelitian sebelumnya mengenai usia mayoritas subjek terbanyak pada penelitian ini yaitu usia 16 – 22 tahun yang rata-rata dari mereka memang
menduduki tingkat pendidikan SMA. Terakhir, pada penelitian ini diperoleh data bahwa tindak kejahatan
narkotika menjadi mayoritas tindak kejahatan pada narapidana remaja dengan jumlah sebanyak 124 orang 56,4. Data ini sesuai dengan data dari Badan
Narkotika Nasional BNN yang menemukan bahwa dari sekitar 5 juta pengguna narkotika di Indonesia saat ini, 22 persen di antaranya merupakan kelompok usia
remaja JPPN, 2014. Anak usia remaja memang paling rawan terhadap penyalahgunaan narkoba. Karena masa remaja adalah masa pencarian identitas
diri. Remaja selalu ingin tahu dan ingin mencoba, apalagi terhadap hal-hal yang mengandung bahaya atau resiko. Umumnya, anak atau remaja mulai
menggunakan narkoba karena ditawarkan kepadanya dengan berbagai janji atau tekanan kelompok Tanthowi, 2003.
Berdasarkan kategorisasi skor variabel diketahui bahwa narapidana remaja di Lapas cenderung memiliki tingkat gejala depresi yang rendah. Hal ini berarti,
narapidana remaja di Lapas ini memiliki tingkatan yang rendah pada perilaku dan perasaan yang secara spesifik muncul sebagai gejala awal munculnya depresi.
Narapidana ini memiliki gejala depresi yang rendah karena berhubungan dengan
hasil kategorisasi tingkat dukungan sosial yang tinggi 52,3 dan tingkat perasaan loneliness yang rendah 53,6. Sehingga dengan adanya dukungan
sosial yang tinggi dari keluarga maupun teman-teman narapidana di Lapas, membuat seorang narapidana bisa menyalurkan perasaan dan pikiran mereka
mengenai masalah yang sedang mereka hadapi. Selain itu pada hasil kategorisasi yang menunjukkan rendahnya tingkat loneliness pada narapidana ini juga menjadi
salah satu faktor rendahnya gejala depresi yang dihadapi oleh mereka. Mereka memiliki berbagai kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan solidaritas
antara sesama yang tinggi. Hal inilah yang membuat gejala depresi pada mereka berada pada tingkatan yang rendah.
Selanjutnya, dari hasil koefisien regresi pada penelitian ini, diketahui bahwa variabel dukungan sosial, variabel loneliness, variabel kepribadian extraversion
dan variabel kepribadian agreeableness secara konsisten mempengaruhi gejala depresi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel dukungan sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gejala depresi dengan koefisien negatif.
Artinya, pada penelitian ini menunjukkan bahwa narapidana yang memiliki dukungan sosial yang tinggi menunjukkan gejala depresi yang rendah. Hal
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Peirce, R.S et.al. 2000 yang mengungkapkan bahwa penelitian longitudinal terhadap hubungan antara
depresi dan penerimaan dukungan sosial memiliki hubungan yang negatif. Mereka menemukan bahwa depresi terjadi secara tidak langsung didahului dari kontak
sosial dan penerimaan dari dukungan sosial yang rendah. Selain itu, menurut