Arah Perkembangan Imitasi Proses Sosialisasi

469 proses yaitu 1 belajar berperilaku sesuai dengan harapan sosial; 2 bermain sosial sesuai dengan peran yang diharapkan; 3 pengembangan sikap sosial.

1. Arah Perkembangan Imitasi

Tidak ada keraguan lagi bahwa peniruan yang bersifat selektif terjadi pada usia 7 atau 8 bulan yang kemudian akan menjadi lebih sering dan kompleks dalam beberapa tahun berikutnya. Bayi berusia 1 tahun meniru gerak siyarat,suara, dan perilaku lain yang dilihat dan didengar, walaupun mungkin mereka lebih meniru perilaku yang dapat mereka lihat sendiri misalnya gerakan tangan, disbanding tindakan yang tidak dapat mereka lihat sendiri misalnya mengeluarkan lidah. Aksi meniru yang terlambat mungkin terjadi sebelum usia 2 tahun. Seorang anak berusia 15 bulan, memandang dengan diam pada ibunya yang sedang memutar telpon,beberapa menit,jam atau minggu kemudian anak itu akan mengulangi tindakan tersebut diatas. Koordinasi motor yang diperlukan akan memutar nomor telepon telah lama ada didalam daftar pikiran anak sebelum tindakan meniru terjadi. Hal serupa terjadi jika seorang anak usia 20 bulan, melihat pada seorang peneliti laboraturium yang meletakan sebuah balok kayu pada sebuah tempat kayu dan berkata, boneka ini amat lelah dan kita harus meletakkannya ditempat tidur. Selama tidur boneka . Anak itu gagal meniru sebagian kejadian itu selama 20 menit berikutnya. Tetapi jika ia memasuki ruang yang sama sebulan kemudian dan melihat mainan yang sama, ia segera akan meletakkan balok kayu itu pada sebuah tempat kayu dan mengatakan, selamat tidur . Aksi meniru meningkat frekusensinya antara usia 1 dan 3 tahun, namun kemungkinan meniru suatu tanggapan tertentu tergantung dari jenis perilaku. Jenis perilaku ini ada 3 bentuk , yaitu : a Meniru sejumlah variasi dari gerakan. Contoh bentuk ini adalah jika ada seorang dewasa menggerakkan sebuah balok sepanjang meja. b Meniru perilaku social. Misalnya seorang dewasa meletakkan sebuah tirai didepan wajahnya dan mengintip dari samping dua kali. c Meniru yang membutuhkan koordinasi dua tindakan terpisah di dalam satu deretan gerak motorik. Contohnya adalah orang dewada yang mengangkat sebuah cangkir kuningan dengan sebuah tali dan memukulnya tiga kali dengan tangkai baja. Dari hasil penelitian dengan menggunakan jenis-jenis perilaku tersebut, dapat diketahui bahwa perilaku motorik akan segera ditiru, karena didapat hasil pada anak usia 2 tahun bahwa mereka meniru sebanyak 80 dari model yang diberikan, dan perilaku social merupakan perilaku selanjutnya yang sering ditiru. Sedangkan peniruan dari deretan yang terkoordinasi jarang terjadi sebelum 18 bulan, namun meningkat antara usia 1,5 dan 2 tahun. 470 Anak anak melihat model ditelevisi film dan contoh yang hidup. Sebelum ulang tahun yang kdeua, anak- anak meniru contoh di televisitidak sesering mecontoh orang dewasa yang hidup, tetapi pada saat menjelang usia 3 tahun mereka sama seringnya meniru kedua contoh tersebut. Penemuan ini menunjukkan bahwa anak mudah meniru sebagian besar perilaku dan mereka mendapatkan keterangan yang diberikan di televise pada usia muda. Dari hasil penelitian para ahli, terdapat beberapa hipotesismengenai faktor-faktor yang menentukan dalam imitasi, yaitu: 1. Pengaruh Ketidakpastian Salah satu pengaruh yang mungkin dalam meniru selama 2 tahun pertama adalah ketidakpastian anak mengenai kemampuannya dalam menjalankan suatu tindakan yang telah disaksikannya. Pengamatan anak-anak menunjukkan bahwa mereka mungkin meniru perilaku yang sedang dalam proses pemahaman mereka. Mereka tampaknya kurang suka meniru tindakan yang telah dikuasainya dan yang terlalu kompleks, sehingga mereka merasa tidak mampu mencobanya. Contoh untuk ini adalah : Seorang wanita yang mengangkat telepon, merupakan contoh menarik bagi anak berusia 15 bulan, tetapi bukan untuk anak yang berusia 6 atau 36 bulan, yaitu usia dimana kemampuan motorik untuk mengangkat sebuah telepon mainan telah ada. Jadi, anak usia 15 bulan merasa kurang pasti akan kemampuannya melakukan tiap tanggapan, tetapi anak yang berusia 6 bulan tidak berharap untuk melakukannya, dan yang berusia 36 bulan 3tahun merasa pasti dapat melakukannya. Jika seorang anak dalam tahun kedua merasa tidak pasti akan kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan yang disaksikannya, maka mereka akan menunjukkan tanda-tanda tertekan, misalnya berhenti bermain, protes dan bergantung pada ibunya, bahkan menangis. Reaksi tertekan ini tidak akan terjadi bila tindakan yang diperlihatkan mudah ditiru atau jauh di bawah kemampuan anak tersebut. 2. Meniru untuk memajukan interaksi sosial Jika seorang bayi meniru orang tuanya, maka orang tuanya sering tersenyum, dan berseru betapa pandai dan cerdas bayinya, dan sebaliknya meniru sang bayi. Tangggapan orang tua dapat memperkuat perilaku meniru seorang bayi. Penguatan social semacam itu meningkatkan kecenderungan umum bayi untuk meniru dan juga mempengaruhi perilaku yang dipilih bayi untuk ditiru. Anak- anak lebih mungkin meniru suatu tindakan yang telah disetujui, misalnya makan dengan sendok, disbanding suatu tanggapan yang tidak diperhatikan misalkan memukul 2 garpu secara serentak. 471 3 Meniru untuk mempertinggi kemiripan terhadap yang lain Dasar ketiga untuk meniru, timbul pada saat anak memasuki tahun ketigadan mulai lebih meniru orang-orang tertentu disbanding dengan tindakan-tindakan tertentu. Pada ulang tahun kedua, kebanyakan anak sadar bahwa mereka mempunyai kualitas yang membuat mereka lebih mirip ke beberapa orang tertentu di banding ke yang lain misalnya seorang anak laki-laki mengenali dirinya dan ayahnya mempunyai cirri-ciri anatomis yang sama. Pengenalan kemirirpan dengan ayahnya dan laki-laki lain, menyebabkan anak itu mengambil kesimplan bahwa ia termasuk suatu kategori yang sama dengan laki- laki lain. Hal serupa terjadi pada anak gadis yang berkesimpulan bahwa mereka termasuk kategori yang sama dengan wanita lain. Pengetahuan ini membangkitkan usaha setiap anak yang aktif dalam mencari kemiripan tambahan dengan orang lain, sebagai usaha menegeskan kedalam jenis kategori apa mereka termasuk. Mereka melakukan hal ini dengan meniru tindakan orang-orang tersebut. 4. Timbulnya emosi sebagai dasar dari meniru Anak anak akan meniru orang tuanya lebih sering dibading meniru orang lain. Salah satu alasan mungkin disebabkan orang tua merupakan sumber timbulnya emosi yang lebih berkesinambungan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak dibandingkan dengan kebanyakan orang lain. Orang- orang yang mempunyai kekuasaan untuk menimbulkan emosi anak, apakah itu kegembiraan, ketidakpastian, kekuatan atau kemarahan, menerima perhatian anak, dan sebagai hasilnya anak itu mempelajari tindakan mereka secara lebih mendalam dibandingkan dengan orang yang kurang menarik perhatiannya. Proses tanpa terjadi di antara anak-anak yang bermain bersama. Jika pasangan anak-anak usia 2 tahun yang tidak saling kenal bermain bersama. Seringkali terjadi anak yang pasif dan pendiam meniru anak yang labih dominant dengan waspada. Jika anak yang dominant melakukan suatu tindakan yang berada dalam batas kemampuan anak ayang pasif misalnya meloncat dari meja maka anak yang pasif suka meniru tindakan tersebut dalam beberapa menit berikutnya. 5 Meniru untuk mencapai tujuan Meniru dapat merupakan suatu usaha hati nurani seseorang untuk mencapaiu kesengan,kekuasaan, milik, atau sejumlah tujuan lain yang diinginkan. Sebagai contoh, seorang anak mencoba membangun rumah dengan balok kayu, akan mengamati secara seksama anak atau orang lain yang membangun struktur serupa untuk kemudian menirunya. Anak usia 3 tahun akan meniru perilaku yang menganggu dari anak lain, karena dengan perilaku tersebut ia berhasil mendapatkan mainan yang dinginkannya dari anak lain. Dasar dari meniru ini 472 khususnya timbul setelah tahun ke dua. Kini tepat untuk mengatakan bahwa anak-anak mempunyai motivasi untuk meniru orang lain , karena mereka mempunyai gagasan dalam mencapai suatu tujuan melalui tindakan meniru. 2. Arah Perkembangan Identifikasi Sejalan dengan perkembangannya, anak mendapatkan banyak sifap dan pola perilaku yang sama dengan sikap perilaku orang tua mereka. Kadang-kadang persamaan mereka ditunjukkan dalam karakteristik seperti cara berjalan,gerak tangan, serta perubahan lagu suara yang cukup mencolok. Dalam hal demikian anak dikatakan identik dengan ibu atau ayahnya. Kondisi identifikasi berasal dari aliran Psikoanalisa dan memegang memegang peranan penting dalam teori Freud. Dalam teori Psikoanalitik, identifikasi dihubungkan dengan proses tidak disadari yang dilalui seseorang dalam meniru karakteristik sikap, pola, perilaku, emosi orang lain. Anak-anak, dengan meniru sikap serta ciri orang tua mereka, akan merasa bahwa mereka telah menyerap sebahagian kekuatan dan persyaratan yang dimiliki orang tuanya. Identitifasi menurut pandangan Psikioanalitik, lebih dari penjiplakan perilaku orang tua; anak itu memberi respon seolah-olah ia adalah ibu atau ayah. Jadi seorang anak perempuan yang mengidentifikasikan dirinya dengan ibunya, merasa bangga jika ibunya menerima penghargaan atau kehormatan seolah-olah ia sendiri yang menerimanya. Melalui proses identifikasi,anak memperolah perilaku yang berbeda-beda yang terlibat dalam perkambangan kontrol diri, pertimbangan yang baik buruk dibentuk dengan cara menggabungkan standar perbuatan orang tua sehingga anak berbuat menurut standar tersebut meskipun pada waktu ibu atau ayah sedang tidak ada, dan anak akan merasa berdosa jika melanggar standar itu. Beberapa ahli psikologi meragukan pandangan psikoanalitik mengenai identifikasi sebagai proses tidak disadari yang menyatu. Mereka menyatakan bahwa tidak semua anak menyamai orang tua mereka dalam semua hal. Sebagai contoh, seorang anak perempuan mungkin akan mencoba menyamai kemampuan bergaul dan rasa humor seperti ibunya., tetapi bukan nilai-nilai moralnya. Para ahli psikologi memandang identifikasi sebagai suatu bentuk kegiatan belajar ; anak-anak menirukan perilaku tertentu dari orang tua mereka, karena mereka diberi ganjaran untuk melakukan itu. Saudara kandung, teman sebaya, guru dan tokoh TV merupakan model lain yang berperan sebagai sumber imitasi atau identifikasi. Menurut pandangan ini, identifikasi merupakan proses yang berkesinambungan pada saat respon baru diperoleh sebagai hasil pengalaman langsung dan tidak langsung bersama orang tua atau model lain. Sebagian besar ahli psikologi tanpa memandang cara mereka mengidentifikasikannya memandang identifikasi sebagai proses dasar melatih 473 pergaulan anak-anak. Dengan cara menirukan orang penting dalam lingkungan mereka, anak-anak memperoleh sikap dan perilaku yang diharapkan orang dewasa dalam masyarakat mereka. Orang tua, karena merupakan sekutu yang paling awal dan paling bertemu. Merupakan sumber utama identifikasi salah satu orang tua yang jenis kelaminnya sama merupakan model untuk perilaku seks yang dicontoh. Jika pada masa kanak-kanak dahulu anak-anak selalu menemukan setiap perbuatan ibu dan ayahnya, dengan bermain ibu-ibuan atau ayah-ayahan, suka memakai baju dan sepatu ibu serta ayah melakukan identifikasi terhadap orang tuanya,,maka pada usia prapuber, dan dengan ditemukan AKU-nya, anak berusaha melepaskan identifikasi lama itu. Anak mulai bersikap kritis terhadap orangtuanya, terutama sekali terhadap ibunya. Anak lalu melebih-lebihkan kemampuan sendiri, dan berusaha keras untuk berbeda dengan orang tuanya. Dan sebagai substitusi pegganti orangtuanya, anak mengadakan identifikasi dengan salah seorang kawan, guru di sekolah, bintang film, tokoh pahlawan, dan seterusnya. Sebab pribadi-pribadi tersebut dianggap sebagai substitusi identifikasi atau sebagai Aku ideal aku ideal ini dianggap mempunyai sifat-sifat yang unggul dari orang tuanya. Usaha ini ada baiknya, sebab peleketan menyeluruh atau identifikasi total terhadap orang tua bisa menjadi penghalang bagi proses kemandirian anak. Identifikasi ekstrim terhadap salah satu kedua orang tuanya mengakibatkan anak tetap dalam status infantilisme- psikis, dan tidak mampu menjadi dewasa secara penuh. Gejala infantilisme psikis tersebut sering terdapat pada orang dewasa, sebagai bentuk penlekatan pada figure ibu atau ayahnya tidak bisa di sublimasikan atau diselesaikan selama periode pra purbertas. Selanjutnya selama pra-purbetas ini proses subtitusi identifikasi tadi lebih banyak peniruan, seperti bermain main saja, dan berganti-ganti bentuknya. Karena itu anak sering berganti teman dang anti pacar ; dan cintanya berupa cinta monyet. Perbuatan identifikasi ini diharapkan untuk membeikan rasa aman atau rasa kehangatan pada diri anak yang masih labil mentalnya itu. Sebab, sungguhpun anak-anak sudah mengangkat diri sendiri sebagai dewasa , dan merasa lebih besar, lebih pandai atau lebih mengerti dari pada orangtuanya, namun jauh dalam lubuk hatinya masih banyak bersarang perasaan lemah takut dan bimbang ragu. Oleh karena itu dia memberikan rasa aman atau rasa kehangatan pada diri anak yang masih banyak bersarang perasaan lemah takut dan bimbang ragu. Oleh karena itu dia memerlukan seorang duplikat; yaiyu seorang kawan yang keadaannya hamper sama dengan dirinya sebagai penyangga EGO-nya. 474 Agaknya peristiwa memajukan diri- mendua kalikan diri dengan mencari seorang kawan substitusi, untuk menyangga kepribadiannya itu, dianggap perlu, untukmemberikan dukungan moril agar dirinya menjadi lebih kuat. Dapat dipahami kalau anak-anak puer ini memerlukan seseorang untuk dijadikan kawan berbincang dan tempat curahan suka-dukanya , kawan untuk membagikan rasa kecemasan dan permusuhan, untuk ikut memikul semua rahasia dan dambaan hati, rasa dosa dan pedih dan sebagainya. Dengan membagikan mencurahkan beban hati serta pikiran yang kompleks itu akan terasa oleh anak bahwa penderitaannya bisa terungkit lepas. Banyak kualitas pribadi yang sama sekali bukan tipe menurut jenis kelamin, misalnya antusiasme, rasa humor, keramahtamahan, dan kesatuan karakteristik yang dibagi antara laki-laki dan perempuan. Seorang anak dapat mempelajari karakteristik semacam itu dari salah satu orangtuanya tanpa melanggar kebiasaan peran jenis kelamin. Ketika mahasiswa perguruan tinggi diinterview mengenai persamaan perilaku mereka dengan orang tua mereka dalam hal temperamen dan minat, seperempat dari jumlah laki-laki percaya bahwa mereka menyerupai ibunya dalam hal itu dan jumlah yang sama dipihak perempuan merasa menyerupai bapak mereka, banyak juga yang menyatakan persamaan dengan kedua orang tua mereka H.Hilgard,1980. Eksperimen yang pernah dilakukan memberi kita beberapa petunjuk mengenai jenis variable yang mempengaruhi identifikasi, diantaranya adalah: 1. Beberapa studi menunjukkan bahwa orang dewasa yang hangat dan mendidik lebih cenderung ditiru daripada mereka yang tidak hangat dan tidak mendidik. Anak laki-laki yang memperoleh skor tinggi dalam tes kejantanan condong memiliki hubungan yang lebih hangat dan lebih penuh kasih sayang dengan ayah mereka dibandingkan dengan anak laki-laki yang memperoleh skor anak perempuan yang dinilai cukup feminim juga memiliki hubungan yang lebih hangat dan inti, dengan ibu mereka daripada anak perempuan yang dinilai kurang feminism Mussen dan Rutherford, 1963. 2. Kekuasaan orang dewasa dalam mengontrol lingkungan anak juga mempengaruhi kecenderungan terhadap proses identifikasi. Jika pihak ibu dominant, anak perempuan cenderung lebih menyamai ibu daripada bapak, dan anak laki-laki mungkin akan menghadapi kesulitan mengembangkan peran berdasarkan jenis kelamin yang bersifat maskulin. Dalam keluarga dengan dominasi dipihak ayah, anak perempuan lebih menyamai ibunya pada tingkat derajat yang tinggi. Bagi anak perempuan, kehangatan dari kepercayaan diri ibunya nampaknya lebih penting daripada kekuasaannya Hetherington dan Frankie,1967. 3. Faktor ketiga yang mempengaruhi identifikasi adalah persamaan persepsi antara anakindividu dan model contohnya. Sampai pada taraf dimana seorang anak mempeunyai dasar yang obyektif dalam memandang dirinya sama dengan salah 475 seorang tuanya, anak itu akan cenderung menyamakan dirinya dengan ibu atau ayahnya. Seorang anak perempuan yang tinggi dan berangka tubuh besar dengan bagian muka yang sama dengan ayahnya akan menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam menyamakan dirinya dengan ibunya yang perawakannya mungil dibandingkan dengan adik perempuannya yang perawakannya sama dengan ibunya. f. Tahapan Bermain Sosial 1 Solitary Play 0-2 years: Anak cenderung bermain sendiri. Anak senang bermain dengan orang yang lebih dewasa tetapi kurang berinteraksi dengna teman sebaya 2 Parallel Play 2+ years: Anak mulai duduk bersama dengan teman lain yang sebaya. Namun anak tidak banyak melakukan interaksi satu sama lain. 3 Associative Play 3+ years: Anak menunjukkan ketertarikan pada teman sebaya dan ingin bermain dengan anak lain. Pada tahap ini anak bermain dalam kelompok kecil dan mengikuti arahan guru 4 Group Play 4+ years: anak siap berpartisipasi dan bekerjasama dalam melakukan suatu kegiatan di kelompok kecil. Anak juga sudah siap untuk belajar mengatur dirinya dan bermain secara mandiri 5 Games with Rules 6+ years: anak dapat memahami aturan dalam bermain. Permainan yang bersifat teamwork dan kompetitif baru dapat diberikan setelah tahap ini tercapai.

g. Karakteristik Perkembangan Sosial