Masyarakat Dusun Tekelan Masyarakat Sekitar TWA Tuk Songo Kopeng Kerajaan Merbabu

1 2 3 4 11. Preferensi Durasi Jalur Interpretasi Alam 1 Jam 13,3 1 Jam 30 Menit 16,7 2 Jam 23,3 3 Jam 23,3 3 Jam 23,3 12. Preferensi Kemiringan Jalur Interpretasi Alam Landai 13,3 Terjal 3,3 Kombinasi 83,3 13. Preferensi Posisi Jalur Interpretasi Alam Hingga puncak 43,3 Pendek Dekat Batas Kawasan 43,3 Hingga ketinggian menengah 13,3 5.6. Aspek Sosial Budaya

5.6.1. Kesiapan Masyarakat Setempat

Kesiapan masyarakat setempat dalam hal wisata alam dapat dilihat dari keberadaan masyarakat yang melayani pengunjung atau pendaki, seperti penyediaan sarana penginapan homestay atau persinggahan sebelum melakukan pendakian base start, pembuatan suvenir, ketersediaan pemandupenunjuk jalan dan pembawa barang porter dalam pendakian serta inisiatif pembuatan paket wisata pendakian.

a. Masyarakat Dusun Tekelan

Kesiapan masyarakat Desa Tarubatang jalur Selo tercermin dari penyediaan base start bagi para pendaki yang berjumlah 4 rumah. Base start- base start tersebut sejatinya merupakan rumah tinggal pribadi namun dibuka bagi para pendaki yang memerlukan tempat beristirahat sejenak sebelum melakukan pendakian dengan mengutip biaya sekitar Rp. 5.000,- untuk setiap pendaki. Umumnya para pemilik base start juga bersedia melayani apabila pendaki memerlukan makanan. Sebuah warung di dusun ini menjual suvenir seperti kaos, pin dan stiker yang bertema pendakian Gunung Merbabu melalui jalur Selo. Selain itu beberapa pemuda setempat tergabung dalam Maspala Masyarakat Pemuda Selo Pecinta Alam yang melayani pendaki yang memerlukan jasa pemandu dan porter. Maspala juga berperan dalam merawat jalur pendakian serta turut menangani korban kecelakaan pendakian maupun kebakaran di Gunung Merbabu. Pihak Balai Taman Nasional Gunung Merbabu juga telah merangkul para pemuda ini untuk disiapkan menjadi sukarelawan volunteer taman nasional tersebut. Selain itu beberapa anggota Maspala telah mendapat pelatihan pemandu wisata yang diselenggarakan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2006.

b. Masyarakat Sekitar TWA Tuk Songo Kopeng

Adapun kesiapan masyarakat sekitar TWA Tuk Songo Kopeng lebih kepada wisata massal dengan banyaknya penginapan homestay yang tersedia di sekitar taman wisata alam tersebut. Selain itu banyak penduduk yang menjajakan makanan dan minuman dengan cara diasong sambil menawarkan tikar sewaan bagi pengunjung. Namun muncul keluhan dari pengunjung terhadap cara para pengasong dalam menjajakan dagangannya yang tidak menyenangkan.

c. Masyarakat Dusun Tekelan

Sedangkan kesiapan Dusun Tekelan dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya adalah adanya base start pendaki yang dikoordinir KOMPPAS Komunitas Peduli Puncak Syarif. Seperti base start di Selo Desa Tarubatang, base start KOMPPAS merupakan rumah penduduk yang dibuka bagi para pendaki sebagai tempat persinggahan sebelum melakukan pendakian sekaligus menyediakan makanan. KOMPPAS yang merawat jalur pendakian Tekelan telah mencoba merintis paket wisata pendakian yang diberi nama Seven Summit atau Tujuh Puncak. Paket ini merupakan paket pendakian melalui jalur Tekelan menuju puncak Gunung Merbabu yang melewati 7 buah puncak lebih tepatnya 4 puncak semu yang berupa puncak bukitpunggungan dan 3 puncak sebenarnya yaitu puncak Syarif, puncak Kenteng Songo dan puncak Trianggulasi. Suvenir pendakian juga dibuat oleh KOMPPAS namun produksinya tidak kontinyu. Kelompok yang telah dibina Balai KSDA Jawa Tengah sebagai Kader Konservasi jauh hari sebelum terbentuknya organisasi Balai TN Gunung Merbabu ini juga menyediakan jasa pemandu dan porter bagi pendaki yang membutuhkan. Beberapa anggota KOMPPAS juga telah mengikuti pelatihan pemandu wisata yang diselenggarakan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2006. 5.6.2. Mitos di Gunung Merbabu Secara umum terdapat mitos yang berkembang di kawasan Gunung Merbabu, yaitu dilarang memakai pakaian berwarna hijau atau merah ketika melakukan pendakian serta dilarang mengeluh atau mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan ketika melakukan pendakian.

5.6.3. Cerita Rakyat

Selain itu terdapat kepercayaan atau cerita rakyat mengenai kerajaan di Gunung Merbabu, tokoh nenek moyang yang bernama Mbah Syarif dan cerita tentang Galar Wutah dan asal muasal Dusun Tekelan.

a. Kerajaan Merbabu

Menurut salah satu versi cerita yang berkembang, pada jaman dahulu ketika masa Mataram kawasan Gunung Merbabu ini merupakan sebuah kerajaan yang pusat pemerintahannya di Puncak Kenteng Songo. Salah satu tokoh kerajaan kemungkinan Ratu tersebut bernama Dewi Retno Asih. Setiap mengadakan perjalanan ke Gunung Merapi pasti melewati Taman Keputren yang mempunyai keistimewaan yaitu memiliki 9 mata air, yang sekarang menjadi Umbul Songo. Kerajaan tersebut mempunyai 2 kelompok pasukan, yaitu pasukan yang berseragam merah dan pasukan yang berseragam hijau. Konon siapapun yang menyamai atau memakai pakaian berwarna merah akan diusir oleh pasukan merah ini. Oleh karena itu para pendaki disarankan tidak menggunakan baju berwarna merah. Berdasarkan pengalaman, pendaki yang mengalami kecelakaan di gunung ini umumnya menggunakan pakaian berwarna merah. Sedangkan orang yang memakai pakaian berwarna hijau akan dianggap teman oleh pasukan hijau, sehingga akan dituntundigiring masuk ke dalam pasukan ini. Seperti pakaian berwarna merah, para pendaki sebaiknya tidak menggunakan baju berwarna hijau. Kejadian yang sering menimpa orang yang berpakaian hijau antara lain kesurupan dan kehilangan jalur. Di kawasan Gunung Merbabu dipercaya juga terdapat sarana dan prasarana sebagaimana sebuah ibukota kerajaan, seperti gerbang, alun-alun, pasar dan menara pengintai untuk pertahanan. Yang disebut alun-alun adalah Pos IV Lempong Sampan yang berfungsi sebagai tempat beristirahat sebelum menghadap raja sekaligus tempat berlatih para prajurit. Posisi pasarnya berada di sebelah barat Lempong Sampan, disebut Pasar Setan. Sedangkan yang menjadi gerbang adalah Watu Gubug, yang dahulu disebut Gunung Pertapan yang menjadi tempat berkumpulpertemuan rakyat yang akan menghadap raja. Rakyat atau orang-orang yang akan menuju pusat kerajaan diintai melalui menara pengintai yang pada saat ini menjadi tempat berdirinya menara TNI yang di dekatnya terdapat Watu Tulis. Konon dahulu terdapat prasasti di lokasi ini, namun sudah tidak ditemui pada saat ini. Setelah itu baru masuk ke lingkungan keraton, yaitu Puncak Kenteng Songo. Beberapa pendapat berbeda pengertian mengenai batu berlubang kenteng yang terdapat di Puncak Kenteng Songo. Ada yang menyebutkan bahwa batu-batu tersebut merupakan tungku perapian, ada yang menganggapnya sebagai tempat menyimpan harta, dan ada pula yang berpendapat bahwa kenteng tersebut pada jaman dahulu kala merupakan pondasi tiangsokoguru Bahasa Jawa = umpak. Pada saat ini batu-batu berlubang di Puncak Kenteng Songo hanya 5 buah, 1 buah berada di sekitar Sabana II Jalur Selo, dan beberapa diambil oleh paranormal dan dibawa turun ke Salatiga dan kota-kota lainnya. Namun dikatakan apabila seseorang mempunyai kemampuan lebih seperti paranormal maka akan melihat bahwa kenteng di puncak tersebut berjumlah 9 Bahasa Jawa = songo. Mengenai 1 buah kenteng yang terpisah dan berada di sekitar Sabana II, diceritakan bahwa pada suatu ketika ada orang yang berniat membawanya turun melalui jalur Selo dengan cara menggelindingkannya ke bawah, namun orang tersebut menderita sakit dan tidak meneruskan niatnya sehingga kenteng tersebut dibiarkan ditinggal di lokasinya yang sekarang. Kata Merbabu sendiri berasal dari kata ”meru” yang berarti gunung dan ”babu” yang berarti budak atau perempuan, sehingga Gunung Merbabu dianggap sebagai gunung perempuan, sedangkan pasangannya adalah Gunung Merapi yang diposisikan sebagai gunung laki-laki. Anggapan tersebut masih dipercaya hingga saat ini dan dikaitkan dengan korban kecelakaan pendakian di Gunung Merbabu yang umumnya berjenis kelamin laki-laki. Konon apabila seseorang mempunyai hajat tertentu maka untuk mendaki Gunung Merapi wajib melewati Gunung Merbabu terlebih dahulu dengan rute Puncak Kerto atau yang sekarang disebut Puncak Syarif - Kenteng Songo - Gunung Merapi agar hajat tersebut terkabul. b. Mbah Syarif Mbah Syarif yang bernama asli Syarifudin ini merupakan tokoh antagonis dari Demak yang dipercaya mempunyai kesaktian tinggi. Suatu ketika Mbah Syarif ini berurusan dengan pihak yang berwenang sehingga melarikan diri buron ke kawasan Gunung Merbabu kemudian tinggal dan membuat rumah di salah satu puncak Gunung Merbabu, yaitu Puncak Kerto sehingga puncak tersebut diganti namanya menjadi ”Puncak Syarif”. Konon kabarnya bukti keberadaan Mbah Syarif ini dapat dilihat dengan adanya peralatan dapur dan tanaman sayuran yang terdapat di lereng timur Puncak Syarif. Makam Mbah Syarif dipercaya berada di lingkungan Puncak Syarif. c. Galar Wutah dan Asal Muasal Dusun Tekelan Konon di jalur Tekelan - puncak terdapat lokasi yang dinamakan Galaran karena banyak tumbuh pohon Galar atau Awar-awar Ficus septica. Pohon Galar ini tidak pernah berbunga, namun pada suatu ketika berbunga dan meneteskan madu dari bunga tersebut. Tetesan madu pohon Galar tersebut menjelma menjadi sesosok manusia sakti yang bernama ”Galar Wutah” dan menguasai Bahasa Jawa = bahurekso daerah tersebut. Pada sisi lain, terdapat sebuah dusun di kaki Gunung Merbabu bernama Gili Busung yang pada suatu saat mengalami bencana kekeringan dan banyak penduduknya yang meninggal. Pemimpin dusun yang bernama Kyai Tekel menemui Galar Wutah dan meminta air untuk dialirkan ke dusunnya. Si Galar Wutah bersedia memberikan air dengan syarat mereka harus pindah dari dusun mereka yang sekarang, yaitu Gili Busung. Kyai Tekel menyetujui dan akhirnya Galar Wutah mengeluarkan air dari tanah dengan menancapkan tongkat ke dalam tanah. Untuk memenuhi janjinya Kyai Tekel kemudian memindahkan dusun ke tempat yang sekarang menjadi Dusun Tekelan. 5.7. Kebijakan Balai TN Gunung Merbabu 5.7.1. Kebijakan Terkait Pembagian Wilayah Pengelolaan