Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam Di Taman Nasional Gunung Merbabu Jawa Tengah Dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis

(1)

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH

DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

TRI SATYATAMA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2008

Tri Satyatama NRP E 051054025


(3)

Nasional Gunung Merbabu dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan LILIK BUDI PRASETYO.

Taman Nasional Gunung Merbabu merupakan salah satu dari beberapa taman nasional baru di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2004. Kegiatan ekowisata di kawasan ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal oleh pengelola sebelumnya, yaitu Perum Perhutani, meskipun kawasan ini mempunyai peluang untuk dikembangkan menjadi lokasi interpretasi alam. Dengan perubahan status menjadi taman nasional, maka peluang pengembangan ekowisata menjadi lebih besar mengingat pengelolaan yang lebih intensif oleh sebuah Unit Pelaksana Teknis dan pengembangan ekowisata telah disebutkan dalam Rencana Pengelolaan sebagai salah satu kegiatan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Sebagai bagian dari ekowisata, interpretasi alam merupakan media untuk menjembatani pengunjung suatu kawasan dengan sumber daya alam yang ada pada kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan menyusun perencanaan beberapa jalur interpretasi alam di kawasan TNGMB berdasarkan potensi sumber daya yang ada dan demand penggunanya, dengan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis.

Pemilihan jalur interpretasi alam dengan berdasarkan kriteria potensi sumber daya alam dan kebutuhan (demand) pengguna dilakukan dengan menggunakan sarana Query Builder yang tersedia di dalam ArcView GIS 3.3.

Berdasarkan sintesis antara potensi jalur dan kebutuhan (demand) pengguna, terdapat 8 jalur yang memenuhi kriteria, yaitu jalur Selo - puncak, Tekelan - puncak, Selo II dan III, Tekelan IV, TWA - Krinjingan, TWA - Watu Tadah dan TWA - “Dufan”.


(4)

Merbabu National Park Central Java Using Geographic Information System. Under directions of E.K.S. HARINI MUNTASIB and LILIK BUDI PRASETYO.

Mount Merbabu National Park is one among several new national parks in Indonesia which was established in 2004. Ecotourism activities in this area have not been properly developed by Perum Perhutani, as the past management authority, although the area is very potential to be developed as an ecotourism site for activities such as nature interpretation, apart from camping and hiking which are already carried out. With the change of the area status into a national park, the opportunity of ecotourism development is increased as the area is presently managed by a focused management authority, The Mount Merbabu National Park Office. As a part of ecotourism, nature interpretation is a mean to relate visitors to natural resources, which is an urgent need for Mount Merbabu National Park. The objective of this research is to develop an interpretation plan of vaious tracks in the Park, based on the tracks’ resources and users’ demands.

The selection of user-oriented nature interpretation tracks done by using the Query Builder tool available in ArcView GIS 3.3.

The synthesis of tracks’ resources and users demand resulted in 8 criteria-fulfilling tracks, e.g. Selo - summit, Tekelan - summit, Selo II, Selo III, Tekelan IV, TWA - Krinjingan Waterfall, TWA - Watu Tadah Waterfall dan TWA - “Dufan”. The planning of these selected tracks includes mapping and interpretation scenarios.


(5)

c Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

TRI SATYATAMA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi

pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

NIM : E 051054025 Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, M.S. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

NIP. 131760834 NIP. 130891386

Tanggal Ujian : 19 Desember 2007 Tanggal Lulus :


(8)

karunia dan petunjuk-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih adalah perencanaan wisata alam, dengan judul Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Penelitian dilakukan di Taman Nasional Gunung Merbabu Jawa Tengah mulai bulan Juni hingga Agustus 2007.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Profesor Dr. E.K.S. Harini Muntasib, M.S. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku komisi pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Untung Suprapto selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu beserta staf, Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA selaku Ketua Sub Program Studi, dan rekan-rekan Magister Profesi 2006 serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2008


(9)

ayah Pararto S.D. (alm.) dan ibu Erlijani Siregar (almh.). Penulis merupakan putra ke-tiga dari tiga bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Solo jurusan Biologi. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor, mengambil jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 1997.

Penulis bekerja pada Departemen Kehutanan dan ditempatkan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah sejak tahun 2000 hingga sekarang.


(10)

x

Halaman HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Kerangka Pemikiran ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Interpretasi Alam ... 7

2.2. Perencanaan Interpretasi ... 12

2.3. Taman Nasional ... 19

2.4. Sistem Informasi Geografis ... 23

III. METODE PENELITIAN... 26

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

3.2. Bahan dan Alat ... 26

3.3. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 26

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 26

3.5. Metode Analisis Data ... 30

IV. KEADAAN UMUM LOKASI ... 34

4.1. Sejarah Kawasan TN Gunung Merbabu ... 34

4.2. Letak dan Luas TN Gunung Merbabu ... 34

4.3. Aksesibilitas ... 36

4.4. Keadaan Fisik dan Biologi ... 37

4.5. Iklim ... 38

4.6. Hidrologi ... 39

4.7. Topografi ... 40

4.8. Geologi dan Tanah ... 40

4.9. Tata Guna Lahan ... 42


(11)

xi

5.1. Jalur Verifikasi ... 44

5.2. Sarana dan Prasarana Interpretasi Alam ... 62

5.3. Aksesibilitas Jalur ... 65

5.4. Karakteristik dan Demand Pengguna (Pendaki) TN Gunung Merbabu ... 66

5.5. Karakteristik dan Demand Pengguna (Pengunjung) TN Gunung Merbabu ... 77

5.6. Aspek Sosial Budaya ... 84

5.7. Kebijakan Balai TN Gunung Merbabu ... 88

5.8. Analisis Potensi Flora dan Fauna ... 89

5.9. Analisis Pengembangan Interpretasi Alam ... 95

5.10. Sintesis ... 100

5.11. Perencanaan Jalur Interpretasi Alam ... 106

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 128

6.1. Kesimpulan ... 128

6.2. Saran ... 128


(12)

xii

Tabel 1 Target responden dan informasi yang ingin didapatkan ... 28

Tabel 2 Pengelompokan umur responden pendaki gunung ... 29

Tabel 3 Pengelompokan umur responden pengunjung ... 29

Tabel 4 Data yang diperlukan dan metode pengambilannya... 30

Tabel 5 Daftar wilayah administrasi yang berbatasan langsung dengan TN Gunung Merbabu ... 35

Tabel 6 Daftar jalur pendakian dan non pendakian dilakukannya verifikasi ... 44

Tabel 7 Rute jalur pendakian Selo... 45

Tabel 8 Data rekaman GPS Receiver jalur pendakian Selo ... 47

Tabel 9 Rute jalur pendakian Tekelan - Puncak ... 49

Tabel 10 Data rekaman GPS Receiver jalur pendakian Tekelan - Puncak ... 48

Tabel 11 Rute jalur Selo - Mata Air ... 51

Tabel 12 Data rekaman GPS Receiver jalur Selo - Mata Air ... 52

Tabel 13 Rute jalur Tekelan - Watu Tadah ... 53

Tabel 14 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - Watu Tadah ... 53

Tabel 15 Rute jalur TWA Tuk Songo - Tekelan ... 55

Tabel 16 Data rekaman GPS Receiver jalur TWA Tuk Songo - Tekelan ... 55

Tabel 17 Rute jalur Tekelan - Krinjingan... 56

Tabel 18 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - Krinjingan... 57

Tabel 19 Rute jalur Tekelan - “Dufan”... 58

Tabel 20 Data rekaman GPS Receiver jalur Tekelan - “Dufan”... 58

Tabel 21 Rute jalur Selo - Jurang Warung... 60

Tabel 22 Data rekaman GPS Receiver Jalur Selo - Jurang Warung... 60

Tabel 23 Data spasial obyek lainnya ... 61

Tabel 24 Karakteristik responden pendaki... 66

Tabel 25 Skoring terhadap nilai-nilai faktor yang mempengaruhi responden dalam memilih jalur pendakian ... 69

Tabel 26 Matriks hasil kuesioner pendaki... 75

Tabel 27 Karakteristik responden pengunjung ... 78

Tabel 28 Matriks hasil kuesioner pengunjung... 83

Tabel 29 Jumlah jenis flora fauna hasil verfikasi pada setiap jalur ... 90


(13)

xiii

Tabel 32 Alternatif jalur interpretasi alam ... 100

Tabel 33 Karakteristik jalur sesuai keinginan (demand) pengguna ... 101

Tabel 34 Preferensi pengguna TNGMB terhadap Interpretasi Alam ... 103

Tabel 35 Jalur Interpretasi Alam berdasarkan kriteria preferensi pengguna ... 104

Tabel 36 Jalur terpilih berdasarkan preferensi penggunanya ... 105

Tabel 37 Jalur tidak terpilih ... 105

Tabel 38 Rencana jalur Interpretasi Alam di TN Gunung Merbabu ... 105

Tabel 39 Rencana kegiatan Interpretasi Alam di TN Gunung Merbabu ... 126

Tabel 40 Klasifikasi jalur Interpretasi Alam berdasarkan kelompok umur pengguna ... 126


(14)

xiv

Gambar 1 Kerangka pemikiran perencanaan Interpretasi Alam di TNGMB

dengan menggunakan SIG... 6

Gambar 2 Bagan alir tahapan perencanaan interpretasi menurut Sharpe (1982) 17 Gambar 3 Bagan alir proses penelitian Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di TNGMB dengan menggunakan SIG... 33

Gambar 4 Peta lokasi penelitian... 36

Gambar 5 Peta jalur dilakukannya kegiatan verifikasi... 45

Gambar 6 Profil jalur pendakian Selo - Puncak... 47

Gambar 7 Profil jalur pendakian Tekelan - Puncak ... 50

Gambar 8 Profil jalur non pendakian Selo - Mata Air ... 52

Gambar 9 Profil jalur non pendakian Tekelan - Watu Tadah ... 54

Gambar 10 Profil jalur non pendakian TWA Tuk Songo - Tekelan... 55

Gambar 11 Profil jalur non pendakian Tekelan - Krinjingan ... 57

Gambar 12 Profil jalur non pendakian Tekelan - ”Dufan”... 59

Gambar 13 Profil jalur non pendakian Selo - Jurang Warung ... 60

Gambar 14 Overlay jalur verifikasi pada kelas lereng TNGMB ... 63

Gambar 15 Overlay jalur verifikasi terhadap ketinggian kawasan TNGMB... 64

Gambar 16 Jalur yang pernah dilewati ... 67

Gambar 17 Sumber informasi jalur pendakian ... 68

Gambar 18 Modus pendakian ... 68

Gambar 19 Tujuan pendakian ... 69

Gambar 20 Faktor yang paling mempengaruhi dalam memilih jalur pendakian ... 69

Gambar 21 Alasan utama memilih jalur yang sering dilalui ... 70

Gambar 22 Jalur yang paling disukai ... 70

Gambar 23 Tingkat kemiringan jalur yang disukai ... 71

Gambar 24 Pola beristirahat dalam pendakian ... 71

Gambar 25 Preferensi tempat beristirahat dalam pendakian ... 72

Gambar 26 Kondisi responden ketika melakukan pendakian ... 72

Gambar 27 Obyek daya tarik jalur pendakian ... 72

Gambar 28 Pengetahuan responden pendaki mengenai Interpretasi Alam... 73

Gambar 29 Preferensi terhadap dasar kegiatan interpretasi alam ... 74


(15)

xv

Gambar 31 Preferensi kemiringan/slope jalur Interpretasi Alam ... 74

Gambar 32 Preferensi posisi jalur Interpretasi Alam ... 75

Gambar 33 Modus kunjungan ... 79

Gambar 34 Tujuan kunjungan ... 79

Gambar 35 Obyek daya tarik tempat wisata ... 79

Gambar 36 Kegiatan yang dilakukan di tempat wisata ... 80

Gambar 37 Bagian yang disukai dari tempat wisata ... 80

Gambar 38 Tingkat penghasilan responden pengunjung ... 80

Gambar 39 Pengetahuan responden pengunjung mengenai Interpretasi Alam ... 81

Gambar 40 Preferensi terhadap dasar kegiatan Interpretasi Alam ... 81

Gambar 41 Preferensi durasi jalur Interpretasi Alam ... 82

Gambar 42 Preferensi kemiringan/slope jalur Interpretasi Alam ... 82

Gambar 43 Preferensi posisi jalur Interpretasi Alam ... 83

Gambar 44 Overlay jalur verifikasi pada zonasi TNGMB ... 91

Gambar 45 Overlay jalur verifikasi terhadap tipe vegetasi kawasan TNGMB... 92

Gambar 46 Hasil dijitasi manual ... 101

Gambar 47 Pengisian atribut masing-masing jalur alternatif ... 102

Gambar 48 Pemililihan jalur Interpretasi Alam dengan Query Builder ... 103

Gambar 49 Pengubahan Vertex hasil dijitasi manual ke dalam bentuk Shapefile .. 106

Gambar 50 Peta obyek interpretasi alam pada jalur pendakian Tekelan-Puncak... 115

Gambar 51 Peta obyek interpretasi alam pada jalur non pendakian di Wilayah Seksi Pengelolaan I TN Gunung Merbabu ... 116

Gambar 52 Peta obyek interpretasi alam pada jalur pendakian Selo - Puncak ... 122

Gambar 53 Peta obyek interpretasi alam pada jalur Selo II dan Selo III... 123

Gambar 54 Peta pengelompokan jalur Interpretasi Alam berdasarkan Kelompok Umur peserta... 127


(16)

xvi Lampiran 1 Kuesioner untuk pengunjung Lampiran 2 Kuesioner untuk pendaki

Lampiran 3 Kuesioner untuk pengelola TNGMB Lampiran 4 Foto-foto

Lampiran 5 Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Selo - Mata Air Lampiran 6 Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Selo - Puncak Lampiran 7 Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Tekelan - Puncak Lampiran 8 Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Tekelan - Watu Tadah Lampiran 9 Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Tekelan - Krinjingan Lampiran 10 Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Tekelan - “Dufan” Lampiran 11 Tallysheet verifikasi flora dan fauna jalur Selo - Jurang Warung Lampiran 12 Data jumlah pendaki dan pengunjung

Lampiran 13 Hasil pengamatan flora jalur Selo - Mata Air (Non Pendakian) Lampiran 14 Hasil pengamatan flora jalur Selo - Puncak (Pendakian) Lampiran 15 Hasil pengamatan flora jalur Tekelan - Puncak (Pendakian)

Lampiran 16 Hasil pengamatan flora jalur Tekelan- Watu Tadah (Non Pendakian) Lampiran 17 Hasil pengamatan flora jalur Tekelan - TWA Tuk 9 (Non Pendakian) Lampiran 18 Hasil pengamatan flora jalur Tekelan - Krinjingan (Non Pendakian) Lampiran 19 Hasil pengamatan flora jalur Tekelan - Dufan (Non Pendakian) Lampiran 20 Hasil pengamatan flora jalur Selo - Jurang Warung (Non Pendakian) Lampiran 21 Hasil pengamatan satwa jalur Selo - Mata Air (Non Pendakian) Lampiran 22 Hasil pengamatan satwa jalur Selo - Puncak (Pendakian) Lampiran 23 Hasil pengamatan satwa jalur Tekelan - Puncak (Pendakian)

Lampiran 24 Hasil pengamatan satwa jalur Tekelan - Watu Tadah (Non Pendakian) Lampiran 25 Hasil pengamatan satwa jalur Tekelan - TWA Tuk 9 (Non Pendakian) Lampiran 26 Hasil pengamatan satwa jalur Tekelan - Krinjingan (Non Pendakian) Lampiran 27 Hasil pengamatan satwa jalur Tekelan - Dufan (Non Pendakian) Lampiran 28 Hasil pengamatan satwa jalur Selo - Jurang Warung (Non Pendakian) Lampiran 29 Perbandingan rekapitulasi hasil inventarisasi flora TN G. Merbabu Lampiran 30 Perbandingan rekapitulasi hasil inventarisasi fauna TN G. Merbabu


(17)

1.1. Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 dengan luas 5.725 Ha. Taman Nasional Gunung Merbabu merupakan alih fungsi kawasan hutan lindung di lereng Gunung Merbabu yang semula dikelola oleh Perum Perhutani serta Taman Wisata Alam (TWA) Tuk Songo Kopeng yang termasuk kawasan konservasi lingkup Balai KSDA Jawa Tengah menjadi sebuah taman nasional. Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu meliputi 3 (tiga) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Magelang (sebelah Barat), Kabupaten Boyolali (sebelah Timur) dan Kabupaten Semarang (sebelah Utara). Dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Merbabu (BKSDA Jawa Tengah 2006) disebutkan bahwa kawasan taman nasional ini memiliki nilai-nilai penting seperti keanekaragaman hayati, perlindungan fungsi hidro-orologi, potensi pariwisata alam dan religius, serta potensi pemberdayaan masyarakat.

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Dephut 1990), taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Dengan demikian maka kegiatan ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan yang diperbolehkan di dalam kawasan konservasi ini. MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa kawasan yang dilindungi dapat memberikan kontribusi banyak pada pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan ke wilayah pedesaan. Kawasan yang dilindungi memiliki daya tarik yang besar di banyak negara tropika, mendatangkan keuntungan ekonomi yang signifikan bagi negara, dan dengan perencanaan yang benar dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat.

Rancangan pengelolaan kawasan yang terdapat di dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Merbabu (BKSDA Jawa Tengah 2006) memuat pemanfaatan kawasan, yang salah satu kegiatannya adalah pengembangan wisata alam. Sebelum menjadi taman nasional, kawasan Hutan Lindung Gunung Merbabu dan sekitarnya telah dimanfaatkan sebagai tempat


(18)

melakukan aktivitas di luar ruang seperti berkemah dan mendaki gunung, khususnya oleh para pecinta alam. Hal ini dapat dilihat dengan adanya bumi perkemahan di TWA Tuk Songo Kopeng dan Wana Wisata Kopeng, serta beberapa jalur pendakian menuju puncak Gunung Merbabu. Namun ekowisata di kawasan ini belum dikelola atau dimanfaatkan secara optimal oleh Perum Perhutani selaku pemangku kawasan sebelumnya. Padahal kawasan tersebut mempunyai peluang untuk dikembangkan menjadi lokasi interpretasi alam. Dengan perubahan status menjadi taman nasional, maka peluang pengembangan ekowisata akan menjadi lebih besar mengingat pengelolaan yang lebih intensif oleh sebuah Unit Pelaksana Teknis dan pengembangan ekowisata telah disebutkan dalam Rencana Pengelolaan sebagai salah satu kegiatan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu.

Interpretasi alam walaupun di Indonesia belum banyak dikenal, sebenarnya bukan sesuatu hal yang benar-benar baru, terbukti dengan telah diterbitkannya berbagai publikasi mengenai interpretasi sejak tahun 1950-an. Salah satunya adalah Interpreting Our Heritage yang ditulis oleh Freeman Tilden pada tahun 1957, seseorang yang dianggap sebagai Bapak Interpretasi, yang mendefinisikan interpretasi alam sebagai suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan menunjukkan arti dan hubungan antara seseorang dengan alam lingkungannya dengan menggunakan benda-benda aslinya, melalui pengalaman langsung di lapangan dan dengan media ilustratif seperti foto, slide, film dan sebagainya. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa istilah interpretasi muncul karena keluhan pengunjung yang datang ke suatu kawasan. Semua keindahan, keunikan dan kekhasan kawasan tersebut hanya dapat dinikmati oleh sebagian orang saja, itupun kalau bertemu dengan orang-orang yang mengerti tentang flora, fauna, sejarah, tanah dan sebagainya. Akhirnya terjadi suatu kesepakatan bahwa pengunjung yang datang ke suatu kawasan memerlukan suatu pelayanan yang dapat mengungkapkan keindahan dan kekhasan kawasan tersebut, sehingga dapat mendatangkan suatu inspirasi sekaligus memenuhi keinginan pengunjung untuk mengetahui keadaan kawasan tersebut.

Interpretasi bukan hanya bertujuan untuk menjelaskan tentang alam saja namun juga untuk menjelaskan pengertian dan apresiasi terhadap lingkungan dengan cara menyampaikan nilai-nilai sumber daya alam serta nilai sejarah dan budayanya yang penting. Program interpretasi juga berusaha untuk menjelaskan dasar pembentukan lingkungan (Ditjen PHPA 1988).


(19)

Di Indonesia, khususnya di kawasan konservasi lingkup Departemen Kehutanan seperti taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya, program interpretasi alam masih sangat jarang disediakan oleh pengelola kawasan. Beberapa taman nasional yang telah mempunyai program interpretasi alam antara lain Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Karimunjawa. Kegiatan wisata alam di Taman Nasional Gunung Merbabu umumnya berupa perkemahan dan pendakian gunung, sehingga para penggunanya belum mendapat nilai tambah unsur-unsur wisata minat khusus lainnya, seperti rewarding, enriching dan learning.

Interpretasi alam sebagai salah satu kegiatan dalam ekowisata dapat dikembangkan di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu untuk memberikan nilai tambah yang belum didapatkan tersebut. Penyusunan perencanaan interpretasi alam dilaksanakan dengan melakukan identifikasi masalah, inventarisasi, verifikasi, analisis dan sintesis data serta pengambilan keputusan.

Penggunaan teknologi informasi, khususnya Sistem Informasi Geografis, dalam perencanaan maupun pengelolaan suatu kawasan konservasi merupakan suatu keharusan pada saat ini. Hal ini dikarenakan dengan Sistem Informasi Geografis dapat dilakukan pemetaan, analisis, pengelolaan atau pengubahan terhadap data kawasan menurut kondisinya yang terkini secara cepat, mudah serta dengan biaya yang relatif rendah. Penggunaan Sistem Informasi Geografis akan sangat membantu pengelola suatu kawasan konservasi dalam merencanakan kebijakan atau keputusan yang akan diambil berkaitan dengan pengelolaan kawasan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian mengenai perencanaan interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu ini dilaksanakan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis.

1.2. Perumusan Masalah

Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Dephut 1990).

Hingga saat ini pemanfaatan secara lestari kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu khususnya dalam hal ekowisata baru sebatas perkemahan dan pendakian gunung saja. Kenyataan tersebut merupakan peluang bagi pengelola untuk mengubah persepsi tentang konservasi sekaligus meningkatkan


(20)

kesadaran masyarakat dan memberikan manfaat atau nilai tambah yang lebih besar bagi masyarakat, khususnya para pengunjung dan pendaki Taman Nasional Gunung Merbabu. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan nilai tambah tersebut adalah dengan interpretasi alam. Hal ini sesuai dengan tujuan interpretasi alam yaitu sebagai media komunikasi antara sumber daya alam dan manusia yang berinteraksi dengannya. Dengan interpretasi alam diharapkan para pengunjung maupun pendaki atau siapapun yang berinteraksi dengan Taman Nasional Gunung Merbabu, kesadaran akan pentingnya pelestarian alam dapat ditingkatkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Agar interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dapat dilaksanakan secara optimal dengan memberikan manfaat, nilai tambah, kepuasan yang maksimal serta meningkatkan kesadaran bagi para pengunjung, maka diperlukan penelitian yang mendalam terlebih dahulu.

1.3. Kerangka Pemikiran

Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) mempunyai potensi fisik, biologis dan sosial budaya yang menyebar secara spasial di dalamnya. Sebagai implementasi fungsi pemanfaatan kawasan yang tertuang dalam Rencana Pengelolaannya, Taman Nasional Gunung Merbabu perlu melakukan pengembangan lebih lanjut terhadap ekowisata yang sudah berjalan di kawasan tersebut untuk memberikan nilai tambah bagi pengunjung sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengambil kebijakan akan pentingnya pelestarian alam dengan program-program interpretasi alam.

Suatu perencanaan, termasuk perencanaan interpretasi alam, perlu mengetahui terlebih dahulu sumber daya (supply) yang dimiliki dan kebutuhan (demand) pasarnya terlebih dahulu. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai interpretasi alam di Taman Nasional Gunung Merbabu yang dapat dilaksanakan secara optimal sesuai kondisi, potensi dan karakteristik kawasan yang merupakan sisi supply serta kebutuhan pengunjung dan pendaki yang merupakan sisi demand, sekaligus dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Penelitian dilakukan dengan tahap : inventarisasi data primer maupun sekunder serta survei karakteristik dan kebutuhan pengunjung, verifikasi data dan posisi spasialnya, analisis, sintesis dengan bantuan Sistem Informasi Geografis dan penyusunan perencanaan interpretasi alam.


(21)

Beberapa data dan survei yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain : kondisi & potensi ekosistem, flora & fauna, jalur pendakian & non pendakian, data spasial kawasan, sarana dan prasarana interpretasi alam, aksesibilitas, karakteristik dan kebutuhan/keinginan pengguna serta potensi sosial budaya di kawasan konservasi ini. Hasil penelitian berupa peta rencana interpretasi alam secara spasial yang dapat digunakan dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu khususnya pengembangan interpretasi alam oleh Balai Taman Nasional Gunung Merbabu.

Gambar 1 menunjukkan kerangka pemikiran Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menyusun perencanaan beberapa jalur interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu Propinsi Jawa Tengah, berdasarkan potensi sumber daya alam yang tersedia dan preferensi dari pengguna dengan menggunakan bantuan aplikasi Sistem Informasi Geografis.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan bagi perencanaan dalam upaya pengembangan ekowisata khususnya interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.


(22)

Gambar 1 Kerangka pemikiran Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis

Potensi Fisik

Potensi Biologis

Potensi Sosial Budaya

SPASIAL

PENGEMBANGAN

INTERPRETASI ALAM PENGELOLAAN

PENELITIAN - Pemberian nilai tambah

bagi pengunjung TNGMB

- Peningkatan kesadaran masyarakat dan

pengambil kebijakan

INVENTARISASI DATA & SURVEI - Kondisi & potensi ekosistem - Flora dan fauna

- Jalur pendakian dan non pendakian - Data spasial kawasan

- Sarana & prasarana interpretasi alam - Aksesibilitas

- Karakteristik dan demand pengguna - Sosial budaya kawasan TNGMB

PETA SPASIAL RENCANA INTERPRETASI ALAM SINTESA

TN GUNUNG MERBABU

PERENCANAAN INTERPRETASI ALAM ANALISIS DATA


(23)

2.1. Interpretasi Alam

Cara paling langsung bagi masyarakat umum untuk mempelajari kawasan yang dilindungi adalah melihatnya sendiri (MacKinnon et al. 1990). Penting artinya bagi mereka untuk mendapat kesan pertama yang baik. Harus selalu diingat bahwa mendidik bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan akhir. Kawasan konservasi memerlukan dukungan dan penghargaan dari pengunjung, dan pengunjung perlu dibuat senang. Cara untuk menyampaikan hal tersebut pada masyarakat adalah melalu jasa informasi dan interpretasi.

Tilden (1975) mendefinisikan interpretasi alam sebagai suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan menunjukkan arti dan hubungan antara seseorang dengan alam lingkungannya dengan menggunakan benda-benda aslinya, melalui pengalaman langsung di lapangan dan dengan media ilustratif seperti, foto, slide, film dan sebagainya. Selanjutnya Sharpe (1982) menyatakan interpretasi adalah suatu mata rantai antara pengunjung dan sumber daya alam yang ada.

MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa interpretasi dalam taman nasional berbeda dengan informasi. Interpretasi bukanlah sekedar daftar berisi fakta, melainkan mencoba mengungkapkan konsep, arti dan hubungan keterkaitan gejala alam. Interpretasi berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan tujuan dan kebijakan taman serta berusaha mengembangkan perhatian bagi keperluan perlindungan. Interpretasi juga harus mendidik pengunjung untuk menghargai kawasan perlindungan bagi wilayah dan bangsa.

Menurut Ditjen PHPA (1988), interpretasi konservasi alam adalah suatu kegiatan bina cinta alam yang khusus ditujukan kepada pengunjung kawasan konservasi alam dan merupakan kombinasi dari enam hal, yaitu pelayanan informasi, pelayanan pemanduan, pendidikan, hiburan dan inspirasi serta promosi. Kegiatan interpretasi itu diselenggarakan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pengunjung dan dengan cara mempertemukan pengunjung dengan obyek-obyek interpretasi, sehingga pengunjung dapat memperoleh pengalaman langsung melalui panca inderanya seperti penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman atau perabaan.

Muntasib (2003b) menyimpulkan bahwa interpretasi alam adalah suatu seni dalam memberikan penjelasan tentang suatu kawasan wisata alam kepada pengunjung sehingga dapat memberikan inspirasi, menggugah pemikiran untuk


(24)

mengetahui menyadari, mendidik dan bila mungkin menarik minat pengunjung untuk ikut melakukan konservasi. Kegiatan wisata alam dan ekowisata berkaitan erat dengan pembelajaran dan kesadaran lingkungan. Jika ekowisata dimaksudkan untuk mempromosikan suatu perjalanan yang bertanggung jawab maka penyelenggaraan ekowisata harus mempunyai bekal interpretasi dan pendidikan tentang kawasan yang akan ditawarkan.

2.1.1. Sejarah Perkembangan Interpretasi di Indonesia

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun maka tinjauan sejarah perkembangan interpretasi dapat dibagi ke dalam 3 periode, yaitu (Muntasib 2003b) :

1. Periode 1980 - 1990

Merupakan periode peletakan dasar interpretasi di Indonesia. Usaha pengembangan interpretasi tidak bisa dilepaskan dari pengalaman dan mengikuti mata kuliah dan merasakan langsung bagi para dosen serta para pengelola taman wisata alam dan taman nasional yang sekolah atau berkesempatan mengikuti kursus di negara-negara barat, terutama di Amerika Serikat. Pada periode tersebut mulai dikenalkan mata kuliah di Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Pendidikan Konservasi dan Interpretasi. Juga pada periode ini telah diterbitkan buku ”Pedoman Interpretasi Taman Nasional” oleh Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata (pada tahun 1988). Bahkan dalam struktur organisasi telah terdapat penugasan untuk interpretasi. Pelatihan-pelatihan interpretasi juga mulai diadakan di Pusdiklat Kehutanan. Beberapa taman nasional sudah pula mengembangkan berbagai program interpretasi serta tanda-tanda interpretasi di lapangan (papan nama, papan interpretasi, media interpretasi dan sebagainya).

2. Periode 1991 - 2000

Periode ini merupakan periode dorman dari interpretasi namun menjelang akhir 2000 dengan makin gencarnya pengembangan ekowisata, serta mulai disadarai oleh para pelaku ekowisata bahwa interpretasi merupakan salah satu kunci keberhasilan ekowisata, walaupun saat itu beberapa taman nasional mulai memiliki kegiatan-kegiatan berkaitan dengan interpretasi.

3. Periode 2000 - sekarang

Pada periode ini perhatian terhadap interpretasi mulai meluas bukan hanya di lingkungan Departemen Kehutanan dan Perguruan-perguruan Tinggi Kehutanan, namun sudah meluas kepada berbagai kegiatan yang berkaitan


(25)

dengan wisata alam dan ekowisata. Apalagi dengan Deklarasi Quebec serta Tahun Ekowisata dan Pegunungan Nasional Tahun 2002 dan rekomendasi dari lokakarya tersebut salah satunya interpretasi sebagai prioritas untuk dikembangkan. Diharapkan pada periode ini mulai diteruskan sosialisasi tentang perlunya interpretasi bagi pengembangan wisata alam dan ekowisata.

2.1.2. Unsur-unsur Interpretasi

Unsur-unsur interpretasi ada tiga (Ditjen PHPA 1988), yaitu : a). Pengunjung

Beberapa hal yang berkaitan dengan pengunjung yang perlu dianalisis dan diperhatikan dalam perencanaan dan pelaksanaan interpretasi antara lain :

1). Tempat-tempat yang paling banyak mendapat perhatian pengunjung 2). Asal sebagian besar pengunjung

3). Distribusi musiman pengunjung

4). Persentase jumlah pengunjung yang melewati pintu utama dan pintu lainnya.

Informasi yang harus dikumpulkan untuk mengetahui karakteristik pengunjung dalam rangka penyusunan program interpretasi adalah :

1). Proporsi pengunjung nusantara dan mancanegara 2). Ukuran kelompok, distribusi umur dan tingkat pendidikan

3). Distribusi musiman kunjungan, waktu berkunjung, lama tinggal dan frekuensi kunjungan ulang

4). Jenis transportasi, tema dan media yang paling menarik bagi pengunjung. b). Pemandu Wisata

Kualitas tenaga pemandu wisata sangat menentukan tingkat keberhasilan dalam interpretasi. Syarat pemandu wisata harus mempunyai kemampuan :

1). Menguasai beberapa ilmu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu (flora, fauna, sejarah, geologi atau budaya) yang berkaitan dengan obyek wisata 2). Menguasai pengetahuan di bidang pendidikan dan komunikasi masa

serta sekaligus mempraktekkannya

3). Menguasai cara-cara melaksanakan interpretasi secara baik dan benar. c). Obyek Interpretasi

Obyek interpretasi adalah segala yang ada di dalam kawasan bersangkutan dan digunakan sebagai obyek dalam menyelenggarakan interpretasi. Terdapat dua macam obyek interpretasi yaitu obyek sumberdaya alam, dan obyek sejarah dan budaya (Ditjen PHPA 1988). Agar program


(26)

interpretasi dapat berlangsung dengan baik, maka pemilihan dan penggunaan serta pemeliharaan obyek interpretasi perlu dilaksanakan.

Dalam pemilihan obyek interpretasi harus memperhatikan sifat dan keadaan pengunjung serta sifat sumberdaya alam, sejarah dan budaya yang menjadi obyek interpretasi. Ciri-ciri utama obyek interpretasi yang harus diperhatikan adalah (FAO 1976, diacu dalam Rahmat 1996) :

a). Ciri-ciri geologis

1). Strata geologis yang representatif

2). Strata yang menunjukkan asal-usul suatu daerah

3). Tanda-tanda kehidupan prasejarah dan perkembangan evolusi yang berasosiasi dengan geologis

4). Ciri-ciri fisiografis seperti gua, jembatan alam, kawah, air terjun, danau, mata air dan delta sungai.

b). Ciri-ciri biologis

1). Flora dan fauna yang khas dan penting 2). Tapak di mana satwa sering terlihat

3). Tanda-tanda yang menunjukkan hubungan ekologis yang penting

4). Spesimen yang menarik/khusus seperti pohon raksasa, pohon berumur ratusan tahun dan tanaman hibrida

5). Tanda-tanda yang menunjukkan hubungan penting antara manusia dengan lingkungan seperti perubahan vegetasi dan artefak (benda-benda sederhana seperti alat atau perhiasan yang menunjukkan keindahan). c). Ciri-ciri Sejarah Manusia

1). Tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan manusia primitif seperti tapak budaya prasejarah, reruntuhan, artefak dan piktograf sistem tulisan kuno

2). Tanda-tanda yang menunjukkan adanya budaya suatu suku

3). Tapak, artefak dan dokumen yang berhubungan dengan sejarah penghuni

4). Tanda-tanda yang menunjukkan penggunaan sumberdaya pada masa lalu seperti perubahan vegetasi, bekas penggergajian, pertambangan dan peternakan.

2.1.3. Tipe Interpretasi

Menurut kegiatannya, Aldridge (1972), diacu dalam Muntasib (2003a) membagi interpretasi alam ke dalam empat tipe, yaitu :


(27)

a). Interpretasi tempat historis (bersejarah)

Merupakan seni dalam menjelaskan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan masa lampau atau berhubungan dengan keadaan budaya

b). Interpretasi tempat alami

Menjelaskan karakteristik suatu daerah melalui hubungan antara batu-batuan, tanah, flora, fauna dan manusia

c). Interpretasi lingkungan hidup

Menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya d). Pendidikan pelestarian

Mengajarkan tentang tata lingkungan melalui disiplin ilmu bumi, kehidupan dan sosial serta seni.

2.1.4. Metode Interpretasi

Metode interpretasi adalah cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan interpretasi. Penentuan penggunaan metode interpretasi berdasarkan 2 (dua) faktor yaitu obyek interpretasi dan pengunjung (Ditjen PHPA 1988).

Menurut Berkmuller (1981), metode interpretasi terbagi atas :

a). Dengan pemandu (Guided Trails/GT), pengunjung mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai obyek-obyek interpretasi dengan bantuan pemandu

b). Pemanduan sendiri (Self Guided Trails/SGT), pengunjung mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai obyek-obyek interpretasi dengan bantuan tanda (Sign in Place, Audio Trail, Leaflet dan Marker Trail).

Sharpe (1982) menganjurkan agar metode SGT digunakan dalam keadaan frekuensi pengunjung tinggi dan ketersediaan pemandu terbatas.

Sedangkan menurut Soedargo et al. (1989), secara garis besar metode interpretasi lingkungan terdiri dari :

a). Pelayanan langsung (personal service), yaitu dilakukan langsung oleh petugas interpretasi kepada pengunjung

b). Pelayanan tidak langsung (non-personal service), yaitu dilakukan melalui suatu media di mana petugas interpretasi tidak berhubungan langsung dengan pengunjung.

2.1.5. Sarana Interpretasi

Menurut Muntasib (2003a), sarana interpretasi terdiri dari : a). Jalan setapak interpretasi


(28)

1) Jalan setapak yang memerlukan kehadiran pemandu wisata alam

2) Jalan setapak yang tidak memerlukan kehadiran pemandu wisata alam tetapi lengkap dengan petunjuk-petunjuk (guided trails)

b). Wisma cinta alam, yang merupakan tempat transit terprenting dari suatu kawasan karena disini pengunjung mendapat sambutan dan mendapat bekal informasi yang dibutuhkan

c). Pusat informasi, yang sebenarnya merupakan tempat transit kedua dari pengunjung untuk lebih memperjelas atau melengkapi informasi yang sudah didapatkan di wisma cinta alam

d). Jalur interpretasi, yang merupakan jalur khusus yang digunakan untuk orang-orang yang memeasuki kawasan dengan lingkungan yang sangat menarik untuk tujuan menghargai nilai-nilai kawasan yang dipandu oleh petugas kawasan tersebut

e). Bumi Perkemahan, yaitu tempat menikmati alam dengan santai, bermalam dalam tenda di tempat terbuka.

2.1.6. Program Interpretasi

Menurut Sharpe (1982), program interpretasi adalah pengetahuan dari seluruh usaha interpretasi, yaitu mencakup personil, fasilitas dan seluruh kegiatan interpretasi, kelembagaan serta tempat rekreasi itu sendiri. Intinya, bahwa program interpretasi menghubungkan sumberdaya alam atau budaya suatu areal dengan pengunjung yang menggunakan berbagai macam variasi.

Sedangkan menurut Ditjen PHPA (1988), program interpretasi merupakan suatu pola pelaksanaan interpretasi menurut waktu tertentu dan skenario cerita tertentu pula. Skenario cerita interpretasi adalah garis-garis besar cerita yang akan menjadi tuntunan dalam pelaksanaan interpretasi. Demikian pula dijelaskan bahwa “materi interpretasi” adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyusun suatu program interpretasi dan yang akan menjadi isi dan maksud interpretasi yang diprogramkan tersebut. Selain itu dijelaskan pula bahwa media interpretasi adalah alat untuk berkomunikasi dengan pengunjung dalam rangka penyelenggaraan interpretasi seperti foto, poster, slide, video, brosur, booklet dan leaflet.

2.2. Perencanaan Interpretasi 2.2.1. Sasaran Perencanaan


(29)

lokasi yang ada, maka menurut Bradley, diacu dalam Sharpe (1982) seharusnya suatu perencanaan memiliki ciri-ciri berikut :

a. Dapat dipergunakan

Program yang direncanakan terutama perkembangan fasilitas interpretasi, harus dapat dilaksanakan oleh semua orang. Perhatian utama ditujukan pada keselamatan pengunjung dan pemisahan penggunaan jalan angkutan umum dengan yang bukan angkutan umum, terutama dalam hal interaksi dengan subyek interpretasinya.

b. Efisien

Fasilitas yang dipergunakan seharusnya efisien dari segi pelayanan, penggunaan dan pembiayaan serta penggunaannya dapat membantu program interpretasi.

c. Dapat mengungkapkan keindahan

Menyediakan suatu paket yang bervariasi tetapi kompak pada sebuah karakteristik yang ada, indah dan sensitif serta menimbulkan bayangan atau gambaran dari subyek interpretasinya.

d. Fleksibel (lentur) dan selektif

Perencanaan interpretasi merupakan suatu proses dinamis, maka diperlukan kesederhanaan, fleksibilitas dan pemilihan sasaran dari perencanaan interpretasi. Fasilitas yang mendukung dapat dipilih sesuai dengan program yang disusun, tema yang baru atau teknik-teknik yang baru, bisa dikembangkan apabila fasilitas yang mendukung sudah tersedia. Pesan interpretasi sebaiknya berkembang, sehingga pengunjung dapat lebih tertarik, mengerti, merenungkan dan mengevaluasi sesuai dengan apa yang harus didapatnya. Program yang bagus akan selalu dipilih oleh pengunjung.

e. Kerugian atau kerusakan yang sekecil mungkin pada komunitas dan kebudayaan

Dilema dari pengembangan suatu kawasan wisata adalah tekanan pengunjung yang dapat menimbulkan kerusakan alam dan kebudayaan. Maka perencanaan interpretasi harus memperhitungkan supaya tekanan yang ditimbulkan oleh pengunjung sekecil mungkin, misalnya tumbuhan atau binatang dapat dilihat dari tempat-tempat tertentu yang tidak akan menimbulkan kerusakan, namun pengunjung tetap terpuaskan. Terutama untuk jenis-jenis yang langka dan jarang.


(30)

f. Penggunaan sumberdaya yang optimum

Problem utama dalam penyusunan perencanaan interpretasi adalah cara penempatan kegiatan manusia dengan sumberdaya yang ada, supaya seoptimum mungkin bisa ditunjukkan, nyaman tetapi sekecil mungkin menimbulkan kerusakan sumberdaya, sehingga selalu diperlukan perbaikan-perbaikan dari program-program yang sudah ada atau menyusun program yang baru sama sekali.

g. Partisipasi publik

Diperlukan pula pendapat umum atau saran-saran dari publik untuk menyusun suatu perencanaan program interpretasi. Sebagai suatu kritik sekaligus sebagai acuan dalam penyusunan program selanjutnya.

2.2.2. Prospektus Perencanaan

Grater (1976), diacu dalam Muntasib (2003a) mengatakan bahwa sebelum menyusun perencanaan program interpretasi disusun dulu suatu “prospektus” yang merupakan suatu perencanaan akhir tentang apa yang dipikirkan dan direncanakan oleh interpreter. Prospektus ini bisa panjang ataupun pendek, tetapi yang penting adalah mudah dimengerti dan merupakan suatu data dasar untuk perkembangan interpretasi.

Garis besar prospektus adalah sebagai berikut :

a. Tinjauan umum tentang lokasi yang akan dibuat interpretasinya b. Pernyataan tentang ringkasan tujuan program interpretasi c. Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh :

1). Pernyataan umum tentang lokasi yang akan dibuat interpretasikan untuk dapat membuat ruang lingkup perencanaannya

2). Pernyataan tentang ringkasan tujuan dari program interpretasi 3). Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi :

a. Lingkungan

1). Cuaca dan iklim

2). Lokasi

3). Letak geografis

4). Sejarah alam (geologi, biologi dan ekologi) 5). Nilai sejarah

6). Nilai arkeologi


(31)

b. Pengunjung

1). Asal

2). Tingkat ekonomi

3). Latar belakang

(a). Umum (b). Peneliti 4). Pola kunjungan

5). Aktivitas interpretasi, melalui biro perjalanan atau suatu organisasi.

4). Program Interpretasi

a. Sekarang (memilih aktivitas dan fasilitas yang teliti)

1). Pusat pengunjung

2). Tempat pemberhentian

3). Tanda-tanda interpretasi

4). Peralatan pelayanan sendiri (self-guiding devices), 5). Pelayanan personal :

(a). Jalan kaki, mendaki, wisata

(b). Penugasan di tempat asalnya (on-site assignment) (c). Penugasan di luar tempat aslinya (off-site assignment)

(d). Demonstrasi

(e). Panggung terbuka dan program api unggun. e. Fasilitas audio visual

f. Publikasi untuk publik :

1). Folder, peta dan sebagainya

2). Publikasi yang berhubungan dengan lokasi dan menggunakan gambar-gambar

3). Petunjuk atau pemandu dengan booklet atau leaflet 4). dan lain-lain.

g. Perpustakaan :

1). Dapat digunakan oleh umum sepuas-puasnya 2). Bagaimana cara penggunaannya

h. Koleksi buku-buku

Tipe daftar dan garis besar dari koleksi yang ada (biologi, geologi, historis, sejarah dan sebagainya).


(32)

dibuat tingkatan perencanaan interpretasi dan programnya 7). Peningkatan keahlian staf

a. Saat ini

b. Rencana peningkatan keahlian selanjutnya.

8). Perkiraan harga untuk rencana program sebagai suatu tindak dari fasilitas dan aktivitas yang diberikan pada poin 5

9). Peta lokasi secara keseluruhan dengan garis besar fasilitas dan aktivitas yang jelas.

Prospektus ini akan menggambarkan perkembangan semua program interpretasi untuk seluruh wilayah atau kawasan dan merupakan suatu garis besar. Prospektus ini sebaiknya dibuat untuk paling sedikit 3 tahun atau setiap tahun fiskal, sehingga dapat digunakan juga pegangan bagi kelompok-kelompok yang ikut menangani, misalnya arsitektur lansekap, arsitek, teknisi dan sebagainya. Prospektus ini merupakan inti program interpretasi.

2.2.3. Tahap Perencanaan

Menurut Sharpe (1982) tahapan-tahapan dalam perencanaan interpretasi yaitu :

Tahap 1. Menentukan tujuan

Tujuan adalah pemandu untuk tindakan-tindakan spesifik yang diperlukan dalam sebuah perencanaan interpretasi.

Tahap 2. Inventarisasi dan pengumpulan data

Tujuan dalam tahap inventarisasi ini adalah mengidentifikasi lokasi untuk menemukan sumberdaya serta keindahan alam. Aspek-aspek yang diidentifikasi antara lain : fisik, biologi dan lingkungan budaya. Inventarisasi yang baik sangat diperlukan untuk memberikan sebuah data dasar, yang berfungsi dalam efektivitas penyampaian informasi interpretasi. Selain itu, inventarisasi ini diperlukan sebagai sebuah pertimbangan dalam pemakaian lahan dan kesempatan untuk memasukkan kegiatan interpretasi di dalamnya.

Teknik-teknik inventarisasi yang digunakan tergantung terhadap sumber informasinya. Sebagai prosedur standar adalah : mencari literatur yang terbaru, menguji kembali data yang telah dipetakan, wawancara terhadap pengelola, masyarakat dan orang-orang yang sudah berpengalaman di lapangan.

Tahap 3. Analisis


(33)

kondisi yang berbeda untuk seluruh elemen yang mencakup alam dan sistem budaya. Dalam analisis data, informasi-informasi yang didapatkan harus diuji dan dievaluasi sehingga menghasilkan kritik dan saran untuk pengembangan rencana interpretasi dan disusun dalam sistem yang interaktif.

Hal lain yang diperlukan dalam tahap analisis yaitu mengidentifikasi potensi dan tema-tema interpretasi. Dasar tema bisa saja berupa seputar ciri khusus dari suatu daerah, atau yang sifatnya lebih umum dan unik.

Tahap 4. Sintesa dan alternatif perencanaan

Tahap ini merupakan tahapan untuk memadukan berbagai alternatif kegiatan dan mengidentifikasikan masing-masing penerapannya. Rancangan dan ide imajinatif menjadi penting, penyediaan selang pemilihan antara alternatif yang sama baiknya dengan basis untuk seleksi program.

Tahap 5. Perencanaan

Tahap dan proses perencanaan menitikberatkan pada pemilihan alternatif, yaitu sesuatu yang lebih memuaskan untuk semua kepentingan. Dalam tahap ini perencana harus melakukan perbaikan yang diperlukan dan mulai melengkapi semua aspek dan rencana yang diperoleh, termasuk pendugaan secara terperinci dan dampak implementasinya.

Tahap 6. Implementasi

Mencakup kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemilihan cara dan tempat pelaksanaan interpretasi. Langkah ini bertujuan untuk melaksanakan penyampaian cerita sekaligus memecahkan masalah yang timbul.

Tahap 7. Evaluasi dan perbaikan rencana

Kegiatan monitoring dan pemantauan diperlukan dalam melihat kelanjutan dari suatu rencana yang dibuat sehingga tujuan dapat tercapai. Evaluasi dilakukan terhadap para pengguna dan dampak fasilitas yang dibangun terhadap sumberdaya serta dampak program terhadap para pengguna.

Gambar 2 Bagan alir tahapan perencanaan interpretasi menurut Sharpe (1982)

Sintesis Rencana Implementasi

Analisis Inventarisasi

& Pengumpulan

Data

Masukan

Evaluasi Tujuan


(34)

Knapp dan Benton (2004) menyimpulkan 4 hal pokok sebagai syarat suatu interpretasi alam yang berhasil, yaitu :

a). Harus berhubungan dengan pengunjung

b). Harus mencoba mencapai tujuannya melalui teknik-teknik yang inovatif c). Memenuhi kebutuhan dasar program interpretasi

d). Lebih menjangkau masyarakat luas.

Hal tersebut sejalan dengan Rachmawati dan Muntasib (2002) yang menyatakan bahwa dalam menyusun interpretasi maupun berbagai program interpretasi, pelibatan masyarakat sekitar maupun pengunjung sangatdiperlukan sehingga perencanaan maupun program yang disusun dapat dipergunakan oleh pengunjung.

Menurut Ditjen PHPA (1988), hal-hal yang perlu disiapkan dalam sebuah interpretasi adalah :

a. Rencana satuan atau unit interpretasi

Satuan unit interpretasi yang pokok meliputi : 1). Lokasi interpretasi

Lokasi interpretasi merupakan bagian dari kawasan yang digunakan untuk kegiatan interpretasi. Perencanaan lokasi interpretasi sangat berkaitan dengan analisa potensi sumberdaya alam, situs, topografi, keselamatan dan kenyamanan pengunjung serta analisa pengunjung kawasan yang bersangkutan.

2). Jalan setapak interpretasi

Dalam perencanaannya jalan setapak interpretasi harus lengkap dengan obyek-obyek interpretasi.

3). Papan informasi dan pal-pal interpretasi

Papan informasi dan pal-pal informasi ini meliputi : papan penunjuk arah, papan nama, papan informasi (informasi khusus untuk interpretasi yang ditampilkan dalam bentuk papan), dan pal-pal interpretasi (informasi khusus untuk interpretasi yang ditampilkan dalam bentuk pal-pal).

4). Pusat informasi

Pusat informasi ini harus dapat berfungsi sebagai pengubah alam pikiran pengunjung dari suasana luar ke dalam lingkungan kawasan yang dikunjungi. Di dalam pusat informasi disajikan materi mengenai kondisi dan segala sesuatu yang sedang terjadi dalam kawasan yang dikunjungi.


(35)

b. Rencana kegiatan

Rencana kegiatan dalam interpretasi disusun dengan melaksanakan beberapa hal pokok, yaitu :

1). Menyiapkan tinjauan terhadap maksud, tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan yang bersangkutan sebagai materi dasar interpretasi keseluruhan.

2). Mengumpulkan dan menganalisa data tentang obyek-obyek interpretasi dan data tentang pengunjung. Data obyek interpretasi hendaknya mencakup seluruh potensi alam, dan potensi sejarah serta budaya yang dapat diungkap.

3). Mengidentifikasi kebutuhan tenaga untuk penugasan, unit interpretasi yang digunakan dan sarana lain yang diperlukan.

4). Menyiapkan materi interpretasi untuk masing-masing program interpretasi. c. Rencana penugasan

Rencana penugasan yang perlu disiapkan meliputi : penjadwalan, pokok-pokok masalah spesifik yang akan dikomunikasikan, penyusunan skenario cerita, dan penentuan personil untuk pelaksanaan interpretasi.

2.2.4. Obyek Interpretasi

Menurut kegiatannya, Soewardi (1978), diacu dalam Rahmat (1996) membagi interpretasi alam ke dalam 4 (empat) tipe, yaitu :

a. Interpretasi tempat historis (bersejarah)

Menjelaskan hal-hal masa lampau dalam hubungannya dengan tata lingkungan dan kondisi sosial

b. Interpretasi tempat alami

Menjelaskan karakteristik suatu daerah melalui hubungan antara batu-batuan, tanah, flora, fauna dan manusia

c. Interpretasi lingkungan hidup

Menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya d. Interpretasi pendidikan pelestarian

Mengajarkan tentang tata lingkungan melalui disiplin ilmu bumi, kehidupan dan sosial serta seni.

2.3. Taman Nasional

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Dephut 1990), taman nasional adalah


(36)

kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. MacKinnon et al. (1993) mengutarakan bahwa taman nasional adalah kawasan alami dan berpemandangan indah yang dilindungi atau dikonservasi secara nasional atau internasional serta memiliki manfaat bagi ilmu pengetahuan, pendidikan dan rekreasi. Kawasan tersebut relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan. Taman nasional merupakan salah satu bentuk dari kawasan yang dilindungi. Ciri taman nasional adalah : 1) Adanya karakteristik atau keunikan ekosistem; 2) Terdapat spesies tertentu yang endemik, terancam punah atau langka; 3) Merupakan tempat yang memiliki keanekaragaman spesies; 4) Terdapat lanskap atau daerah yang bergeofisik dengan nilai estetik seperti gletser, mata air panas, dan lainnya; 5) Berfungsi sebagai perlindungan hidrologi, air tanah dan iklim; 6) Memiliki fasilitas wisata alam; dan 7) Terdapat peninggalan budaya.

Fungsi taman nasional sesuai dengan Strategi Konservasi Sedunia (IUCN 1991, diacu dalam Roslita 2001) adalah sebagai berikut :

1. Perlindungan proses-proses ekologi dan sistem-sistem penyangga kehidupan 2. Perlindungan keragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga

mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah)

3. Pemanfaatan spesies atau ekosistem secara lestari, yang mendukung kehidupan penduduk serta menopang sejumlah industri.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, taman nasional merupakan salah satu bentuk Kawasan Pelestarian Alam, selain Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Dephut 1998). Berdasarkan sistem zonasi pengelolaannya Kawasan Taman Nasional dapat dibagi atas : a). zona inti; b). zona pemanfaatan; c). zona rimba; dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan taman nasional, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;


(37)

b. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;

c. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;

e. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Kawasan hutan Gunung Merbabu ditunjuk sebagai taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135 / Menhut-II / 2004 tanggal 4 Mei 2004 dengan luas 5.725 Ha. Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan alih fungsi kawasan hutan lindung di lereng Gunung Merbabu yang semula dikelola oleh Perum Perhutani dan TWA Tuk Songo Kopeng yang termasuk kawasan konservasi lingkup Balai KSDA Jawa Tengah menjadi sebuah taman nasional.

Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu meliputi 3 (tiga) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Magelang (sebelah Barat), Kabupaten Boyolali (sebelah Timur) dan Kabupaten Semarang (sebelah Utara). Kawasan ini mempunyai fungsi yang penting baik secara ekologis, hidrologis, ekonomis maupun sosiokultural. Selain sebagai habitat berbagai flora dan fauna. Gunung Merbabu merupakan daerah tangkapan air yang sangat besar pengaruhnya bagi ketersediaan air pada daerah-daerah yang berada di bawahnya. Kawasan hutan di lereng Gunung Merbabu telah mengalami degradasi karena penjarahan dan perambahan (BKSDA Jawa Tengah 2006).

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional adalah organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan. UPT Taman Nasional dipimpin oleh seorang Kepala. UPT Taman Nasional melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UPT Taman Nasional menyelenggarakan fungsi-fungsi


(38)

(Dephut 2007) :

a. Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional

b. Pengelolaan kawasan taman nasional

c. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional d. Pengendalian kebakaran hutan

e. Promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya f. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya

alam hayati dan ekosistemnya

g. Kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan

h. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional

i. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam j. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Klasifikasi UPT Taman Nasional adalah sebagai berikut (Anonim 2007): a. Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas I, yang disebut dengan Balai

Besar Taman Nasional;

b. Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas II yang disebut dengan Balai Taman Nasional.

2.3.1. Konsep dan Strategi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Setyono (2003) menyatakan bahwa untuk lebih mengoptimalkan program ekowisata di taman nasional maka konsep pengembangan ekowisata tersebut harus bertumpu pada hal-hal sebagai berikut :

- Pengembangan ekowisata disesuaikan dengan kondisi kawasan taman nasional itu sendiri dengan memprioritaskan unggulan atau spesifikasi dari potensi kawasan tersebut, dan unggulan tersebut harus siap untuk dipasarkan dan memiliki nilai jual tinggi

- Pengembangan dan pengelolaan ekowisata di kawasan taman nasional tetap mengacu kepada fungsi utama taman nasional sebagai wahan penelitian, perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta sistem penyangga kehidupan

- Pengembangan dan pengelolaan ekowisata di taman nasional harus mampu memicu pertumbuhan industri pariwisata alam yang ramah lingkungan, memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan mendorong


(39)

perluasan, pemerataan pekerjaan dan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan

- Pengembangan dan pengelolaan ekowisata di taman nasional merupakan bagian dari pembangunan wilayah yang memerlukan perhatian dan kontribusi semua instansi dan lembaga swadaya masyarakat yang terkait

- Pengembangan dan pengelolaan ekowisata pada kenyataannya di lapangan masih mengandalkan fenomena alam yang kurang bisa dijual, sehingga bila perlu melakukan modifikasi sedikit yang tujuannya untuk meningkatkan daya jual tanpa mengurangi nilai kealamian dari kawasan tersebut

- Mengadakan kolaborasi dengan masyarakat sekitar kawasan sehingga menjadi suatu ekosistem pengelolaan yang baik dan berkelanjutan, melalui berbagai program kerjasama dan pelibatan masyarakat lokal baik secara langsung atau tidak langsung dalam pengelolaan ekowisata di taman nasional.

2.4. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) mula-mula dikenal pada awal tahun 1980-an (Puntodewo et al. 2003). Sejalan dengan berkembangnya perangkat komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras, Sistem Informasi Geografis (SIG) berkembang sangat pesat pada era 1990-an.

Aronoff (1991), diacu dalam Roslita (2001) mengutarakan definisi SIG adalah sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk memasukkan dan memanipulasi informasi geografis. Empat komponen dasar SIG : 1) Masukan data (data input), komponen pengubah data yang ada (existing) menjadi data yang dapat digunakan oleh SIG, kegiatan ini biasanya membutuhkan waktu dan ketepatan; 2) Manajemen data (data management); 3) Manipulasi dan analisis (manipulation and analysis); dan 4) Keluaran (output). Bentuk hasil dari SIG sangat beragam kualitas, kecepatan dan kemudahannya, baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy. Sistem Informasi Geografis adalah alat yang mampu menangani data spasial. Pada SIG, data yang berformat dijital dalam jumlah besar dapat dikelola dan diubah dengan cepat dan biaya rendah per unit.

Sejalan dengan Aronoff, Puntodewo et al. (2003) menyatakan bahwa secara harafiah, SIG dapat diartikan sebagai suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang


(40)

bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbarui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis.

Informasi spasial memakai lokasi, dalam suatu system koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Karenanya SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisis dan akhirnya memetakan hasilnya. Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti : lokasi, kondisi, tren, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya.

SIG merupakan alat bantu dalam perencanaan, yang akan mempermudah perencana untuk melakukan berbagai analisis tata ruang yang menggunakan fungsi-fungsi pemodelan peta seperti penelusuran data, tumpang tindih peta. Selain SIG, alat bantu lainnya yang dapat digunakan dalam pembangunan dan peremajaan basis data dari SIG dan mendukung aplikasi SIG seperti penjejakan (tracking), pengumpulan data (inventory) adalah GPS (Global Positioning System). Menurut Abidin (1998), diacu dalam Roslita (2001), kegunaan GPS untuk SIG antara lain : sebagai pengkorelasi data, untuk ground truthing, sebagai pedijitasian bumi, untuk pemanggilan data dan analisa.

2.4.1. Fungsi dan Kegunaan SIG

SIG bukan sekedar sebagai alat atau tools dalam membuat peta, kelebihan atau kekuatan SIG yang sebenarnya terletak pada kemampuannya dalam menganalisa suatu data geografis, walaupun produk-produk SIG sering disajikan dalam bentuk peta (Prahasta 2002).

Aronoff (1989), diacu dalam Nanggara (2005) mengklasifikasikan fungsi analisis dari SIG sebagai berikut :

a. Pemeliharaan dan analisis spasial

Terdiri dari konversi format, transformasi geometrik, transformasi antara dua proyeksi peta, konflaksi, edge matching, mengedit elemen grafik dan penipisan garis koordinat.

b. Pemeliharaan dan analisis dari data atribut

Fungsi pengeditan data atribut dan fungsi query atribut c. Analisis integrasi data spasial dan data atribut

Klasifikasi pencarian keterangan, operasi overlay, operasi tetangga dan fungsi konektivitas


(41)

d. Format keluaran

Anotasi peta, label, penentuan tekstur dan jenis garis serta simbol grafik.

Maryadi (2003) menyatakan SIG dapat digunakan untuk melakukan zonasi daerah tujuan wisata berdasarkan fungsi kawasan. Dengan SIG dapat dipetakan daerah-daerah yang rawan berdasarkan kondisi lingkungannya : curah hujan, kemiringan lereng, serta jenis tanah. Penggabungan informasi ini bertujuan untuk kepentingan keamanan wisatawan maupun untuk mencegah kerusakan lingkungan. Sehingga walaupun suatu kawasan dijadikan daerah tujuan wisata namun kemampuan lingkungan untuk tetap menerima wisatawan perlu diperhatikan sehingga keberlanjutan pemanfaatan tetap terjaga.

2.4.2. Komponen SIG

Komponen SIG menurut Prahasta (2002) adalah sebagai berikut :

a. Perangkat keras, berkaitan dengan peralatan yang dipakai. Dalam hal ini perangkat keras yang sering digunakan adalah komputer, mouse, digitizer, printer, plotter dan scanner

b. Perangkat lunak, berkaitan dengan sistem operasi SIG yang mengandung program-program yang mengawasi jalannya operasi-operasi sistem

c. Data dan informasi geografis, SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan.

2.4.3. Perangkat Lunak ArcView

ArcView merupakan salah satu perangkat lunak SIG dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh ESRI (Prahasta 2002). Salah satu versi dari perangkat lunak ini adalah ArcView GIS 3.3. ArcView memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab query (pertanyaan) basisdata spasial maupun non-spasial, menganalisis data secara geografis, dan sebagainya. Kemampuan ArcView secara umum antara lain sebagai berikut : a. Pertukaran data : membaca dan menuliskan data dari dan ke dalam format

perangkat lunak SIG lainnya

b. Melakukan analisis statistik dan operasi matematis c. Menampilan informasi (basisdata) spasial maupun atribut d. Menjawab query spasial maupun atribut

e. Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG f. Membuat peta tematik

g. Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG lainnya dengan menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat lunak SIG ArcView.


(42)

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2007, bertempat di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB). Taman Nasional Gunung Merbabu secara geografis terletak pada 7o 27’ 13” LS dan 110o 26’ 22” BT dengan ketinggian mencapai ± 3.142 meter di atas permukaan laut. Secara administratif, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu berada di dalam wilayah Kabupaten Magelang (sebelah Barat), Kabupaten Boyolali (sebelah Timur) dan Kabupaten Semarang (sebelah Utara), Propinsi Jawa Tengah.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah lain peta-peta tematik kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, baik dalam bentuk dijital maupun print out, alat tulis, kamera, GPS (Global Positioning System) Receiver, teropong, buku-buku pengenal jenis flora dan fauna, perangkat keras berupa komputer beserta perangkat lunak pendukungnya.

3.3. Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang diambil dalam pelaksanaan penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis,yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah seluruh data yang diperoleh dari kegiatan pemeriksaan (verifikasi), pengamatan di lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder meliputi seluruh informasi yang berhubungan dengan penelitian.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 3.4.1. Studi Literatur

Metode ini bertujuan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian. Data yang diperlukan tersebut antara lain berupa informasi mengenai kawasan seperti Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Merbabu, peraturan/regulasi yang berkaitan dengan kawasan taman nasional dan pemanfaatannya, peta-peta tematik kawasan, aksesibilitas, data flora dan fauna, tipe ekosistem, obyek alam lainnya, data keadaan kawasan seperti iklim, curah hujan, data jumlah pengunjung dan pendaki, sarana dan prasarana


(43)

interpretasi alam, serta sejarah, ritual maupun mitos yang berkembang di tengah masyarakat sekitar kawasan.

3.4.2. Pemeriksaan (verifikasi) dan Pengamatan Langsung

Metode ini bertujuan untuk memeriksa kesesuaian (verifikasi) antara data sekunder yang diperoleh dengan kondisi kenyataan di lapangan, sekaligus untuk mengamati dan mencatat segala sesuatu yang dapat dipergunakan dalam penyusunan skenario interpretasi alam. Kegiatan pemeriksaan dan pengamatan langsung ini juga bertujuan untuk merekam track jalur dan koordinat posisi flora fauna dan objek yang menarik dengan menggunakan GPS Receiver.

a. Verifikasi jalur pendakian dan non pendakian

Data jalur pendakian dan non pendakian hasil studi literatur maupun wawancara dengan pendaki, petugas Perhutani dan masyarakat setempat diverifikasi keberadaan, kondisi, dicatat karakteristik dan waktu tempuhnya. Track jalur-jalur tersebut dicatat dengan alat GPS Receiver.

b. Verifikasi Flora

Verifikasi dilakukan di sepanjang jalur pendakian dan jalur non pendakian TNGMB untuk mendata keberadaan dan jenis-jenis flora berdasarkan data hasil studi literatur. Pencatatan koordinat posisi dengan alat GPS Receiver dilakukan pada lokasi-lokasi yang terdapat jenis-jenis flora yang penting/khas/langka atau ekosistem yang menarik. Bagi jenis-jenis flora yang penting/khas/langka dilakukan pencatatan untuk studi lanjutan tentang manfaat/kegunaan serta perannya dalam ekosistem.

Pengenalan jenis di lokasi/lapangan dilakukan bersama pengenal jenis dari Balai KSDA Jawa Tengah.

c. Verifikasi Fauna

Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui potensi fauna terkini di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu di sepanjang jalur pengamatan (jalur pendakian maupun jalur non pendakian) dan membandingkannya dengan data dari hasil studi literatur. Data yang diambil dalam kegiatan ini antara lain : nama jenis, waktu penjumpaan dan lokasinya. Titik perjumpaan dicatat dengan alat GPS Receiver. Waktu pengamatan dilakukan pada siang hari (pukul 06.00 WIB - 18.00 WIB).

d. Verifikasi sarana dan prasarana interpretasi alam

Sarana dan prasana interpretasi alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu diverifikasi keberadaan dan lokasinya dalam kegiatan ini. Lokasi


(44)

sarana dan prasarana interpretasi alam direkam posisinya dengan alat GPS Receiver.

e. Verifikasi obyek-obyek alam dan fenomena alam yang menarik

Pengamatan dilakukan untuk verifikasi keberadaan obyek-obyek alam dan fenomena alam yang terdapat di kawasan seperti mata air, sungai dan sebagainya. Lokasi obyek-obyek alam dan fenomena alam yang menarik kemudian dicatat dengan alat GPS Receiver.

f. Pengamatan Aspek Sosial Budaya

Dalam kegiatan ini dilakukan pengamatan kesiapan masyarakat di sekitar jalur pendakian dan non pendakian terhadap aktivitas wisata alam pada umumnya dan interpretasi alam pada khususnya.

Pelaksanaan kelima verifikasi dilakukan secara bersamaan. Dalam kegiatan verifikasi tersebut juga dilakukan pengambilan dokumentasi (foto) jalur-jalur pendakian dan non pendakian, flora fauna, sarana dan prasarana interpretasi alam yang ada serta obyek-obyek alam dan keindahan alam yang dijumpai.

3.4.3. Wawancara

Metode ini dilakukan terhadap target responden tertentu untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan responden terhadap aspek tertentu dari Taman Nasional Gunung Merbabu. Tabel 1 memperlihatkan target responden dan informasi yang ingin didapatkan.

Tabel 1 Target responden dan informasi yang ingin didapatkan

No. Target Responden Informasi yang diinginkan

1. Pendaki - Karakteristik pendaki

- Kebutuhan / keinginan (demand) pendaki - Preferensi jalur pendakian

- Alasan pemilihan jalur pendakian 2. Pengunjung - Karakteristik pengunjung

- Kebutuhan / keinginan (demand) pengunjung 3. Pengelola TNGMB - Rencana pengembangan kawasan TNGMB di masa

yang akan datang

4. Tokoh Masyarakat - Sejarah, ritual, mitos dan lain-lain yang berhubungan dengan kawasan TNGMB

Kriteria dari target responden adalah sebagai berikut : 1. Pendaki

Pendaki gunung yang memenuhi syarat sebagai responden di sini adalah pengunjung Taman Nasional Gunung Merbabu yang pernah melakukan


(45)

pendakian hingga puncak Gunung Merbabu melalui minimal 2 (dua) jalur yang berbeda, dengan pendakian yang terakhir dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan.

Tabel 2 menunjukkan pengelompokkan umur responden pendaki gunung dapat dilihat pada.

Tabel 2 Pengelompokan umur responden pendaki gunung

No. Kelompok Umur (KU) Kisaran Umur

1. KU 1 < 15 tahun

2. KU 2 15-24 tahun

3. KU 3 25-35 tahun

4. KU 4 >35 tahun

2. Pengunjung

Kriteria pengunjung di sini adalah orang yang memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dengan tujuan berwisata, pendidikan atau penelitian; datang sendirian atau lebih; bermalam (berkemah) maupun tidak; tetapi tidak melakukan kegiatan pendakian sekalipun pendakian tersebut tidak dimaksudkan hingga sampai puncak.

Tabel 3 menujukkan pengelompokan umur responden pengunjung dapat dilihat pada.

Tabel 3 Pengelompokan umur responden pengunjung

No. Kelompok Umur (KU) Kisaran Umur

1. KU 1 < 15 tahun

2. KU 2 15-24 tahun

3. KU 3 25-35 tahun

4. KU 4 >35 tahun

3. Pengelola Taman Nasional Gunung Merbabu

Yang dimaksud pengelola di sini adalah Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu.

4. Tokoh masyarakat

Responden ini terdiri dari warga desa-desa sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang dianggap sebagai sesepuh atau dihormati oleh masyarakat dan mengetahui sejarah dan mitos yang terdapat di Gunung Merbabu.

Daftar pertanyaan atau kuesioner bagi masing-masing target responden dapat dilihat pada lampiran.


(46)

Tabel 4 Data yang diperlukan dan metode pengambilannya

No. Data Jenis

Data Metode

Lokasi Pengambilan

1. RPTN TNGMB Sekunder Studi Literatur Kantor BTNGMB 2. Peta tematik kawasan Sekunder Studi Literatur Kantor BTNGMB 3. Jalur pendakian dan

non pendakian Sekunder Primer Studi Literatur Verifikasi Kantor BTNGMB Lokasi

4. Data flora dan fauna Sekunder Primer

Studi Literatur Verifikasi

Kantor BTNGMB Lokasi

5. Tipe ekosistem Sekunder Primer

Studi Literatur Verfikasi

Kantor BTNGMB Lokasi

6. Obyek alam lainnya Sekunder Primer

Studi Literatur Verfikasi

Kantor BTNGMB Lokasi

7. Sejarah kawasan Sekunder Studi Literatur Kantor BTNGMB 8. Aksesibilitas Sekunder Studi Literatur Kantor BTNGMB 9. Sarana dan prasarana

Interpretasi Alam Sekunder Primer Studi Literatur Verfikasi Kantor BTNGMB Lokasi

10 Jumlah pengunjung Sekunder Studi Literatur Kantor BTNGMB Perum Perhutani 11. Karakteristik pengunjung

dan pendaki

Primer Wawancara Lokasi 12. Kebutuhan / keinginan

pengunjung dan pendaki

Primer Wawancara Lokasi 13. Preferensi jalur pendakian Primer Wawancara Lokasi 14. Alasan pemilihan jalur Primer Wawancara Lokasi

15. Sejarah, ritual dan mitos Primer Wawancara Tokoh masyarakat 3.5. Metode Analisis Data

Setelah tahap pengumpulan dan verifikasi data, dilakukan pengolahan data dengan tahap : analisis data dan sintesis data yang sekaligus merupakan penyusunan perencanaan interpretasi alam.

3.5.1. Analisis Data

Dalam tahap ini dilakukan pengolahan terhadap data yang berhasil dikumpulkan. Data-data potensi sumberdaya alam, pengunjung dan sebagainya kemudian diuraikan dan dianalisa sesuai dengan kriteria masing-masing.

Analisis yang dilakukan antara lain sebagai berikut :

a. Analisis jalur pendakian dan non pendakian serta kondisi dan potensi sumberdaya alam

Posisi spasial track jalur pendakian maupun non pendakian, flora, fauna dan obyek alami lainnya yang tercatat dalam GPS Receiver dipindahkan ke dalam komputer dengan perangkat lunak GPS Utility. Kondisi jalur dan sumber daya alam dianalisis untuk bahan pertimbangan perencanaan interpretasi alam. Manfaat/kegunaan, peran serta informasi penting lain dari ekosistem, flora dan fauna yang penting/unik/langka dicari melalui studi literatur sebagai bahan perencanaan interpretasi alam.


(47)

b. Analisis karakteristik pengguna (pendaki dan pengunjung)

Data hasil wawancara yang telah dilakukan selanjutnya diuraikan dengan statistik deskriptif untuk mendapatkan karakteristik pendaki dan pengunjung, seperti komposisi (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan), preferensi terhadap obyek/sumberdaya alam tertentu serta kebutuhan/keinginan tertentu dalam melakukan kegiatan interpretasi alam.

c. Analisis preferensi penggunaan jalur pendakian

Hasil kuesioner terhadap pengguna jalur pendakian (dalam hal ini adalah para pecinta alam di kota/kabupaten sekitar Taman Nasional Gunung Merbabu) dianalisis dengan statistik deskriptif untuk mendapatkan jalur yang menjadi preferensi, kemampuan menjelajah alam, waktu tempuh pada jalur pendakian, preferensi terhadap obyek/sumberdaya alam tertentu serta kebutuhan/keinginan tertentu dalam melakukan kegiatan interpretasi alam.

d. Analisis sejarah dan mitos

Data mengenai sejarah dan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dianalisis potensinya untuk digunakan dalam perencanaan interpretasi alam.

e. Analisis pengembangan interpretasi alam pada jalur pendakian dan non pendakian

Data kondisi dan potensi biofisik jalur-jalur yang telah dikumpulkan dan dianalisis pada tahap-tahap sebelumnya dianalisis kemungkinan atau potensinya untuk dikembangkan menjadi jalur interpretasi alam.

f. Analisis Aspek Sosial Budaya

Aspek sosial budaya masyarakat di sekitar jalur pendakian dan non pendakian dianalisis untuk menilai kesiapannya dalam menghadapi pengembangan wisata alam dan interpretasi alam.

Perangkat lunak ArcView GIS 3.3. digunakan untuk melakukan penampalan (overlay) pada peta dijital terhadap berbagai data yang diperoleh dari tahap sebelumnya, seperti jalur pendakian dan non pendakian yang diverifikasi, flora dan fauna serta obyek lainnya, sehingga dapat diketahui posisinya secara geografis, kondisi topografi, posisi pada zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dan berbagai informasi lainnya.


(48)

3.5.2. Sintesis Data

Tahap ini merupakan tahap penggabungan antara potensi sumber daya yang tersedia (supply) di jalur-jalur yang telah diverifikasi dengan kebutuhan/keinginan (demand) pengguna untuk selanjutnya dipilih alternatif interpretasi alam.

Data yang telah dikumpulkan dan dianalisis pada tahap-tahap sebelumnya seperti kondisi dan potensi biofisik jalur serta preferensi atau kebutuhan/keinginan (demand) pendaki dan pengunjung dalam melakukan kegiatan interpretasi alam diubah menjadi atribut dalam perangkat lunak ArcView GIS 3.3.

Sarana Query Builder yang tersedia di ArcView GIS 3.3. digunakan untuk mendapatkan jalur-jalur yang terpilih untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam dengan menggabungkan antara kondisi jalur dan preferensi pengguna.

Selanjutnya dibuat peta rencana jalur-jalur interpretasi alam dari jalur-jalur yang telah terpilih dengan menggunakan Query Builder tersebut di atas. Rencana jalur-jalur interpretasi alam tersebut dapat dikembangkan oleh pengelola kawasan menjadi berbagai program interpretasi alam yang sesuai ketersediaan obyek interpretasi, sarana dan prasarana pemanduan yang akan dibangun, serta sesuai jumlah personil dan tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.


(49)

INV E N T ARI SASI DATA (S tu di Lit e ra tu r)

Gambar 3 Bagan alir proses penelitian Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis

POTENSI

TN GUNUNG MERBABU

FISIK BIOLOGIS SOSIAL BUDAYA

- Mata air - Sungai - Gua - Jalur, dll

- Flora - Fauna - Tipe

Ekosistem, dll

- Sejarah - Mitos - Ritual - Kesiapan, dll

ANALISIS DATA

SINTESA DATA

PETA RENCANA BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TNGMB INVENTARISASI DATA

(Wawancara)

- Karakteristik pengunjung

& pendaki

- Kebutuhan pengunjung

& pendaki

- Preferensi penggunaan

jalur pendakian

- Sejarah, mitos & ritual Kebijakan TNGMB

Peta Dasar

- Topografi - Zonasi TN - Sungai - Jalan, dll

VERIFIKASI DATA


(50)

Kawasan hutan Gunung Merbabu sebelum menjadi kawasan konservasi yang berbentuk taman nasional, merupakan Hutan Lindung di lereng Gunung Merbabu yang semula dikelola oleh Perum Perhutani serta Taman Wisata Alam (TWA) Tuk Songo Kopeng yang termasuk kawasan konservasi lingkup Balai KSDA Jawa Tengah. Hingga pada tanggal 4 Mei 2004 terbit Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 135/Menhut-II/2004, tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merbabu Seluas ± 5.725 (Lima Ribu Tujuh Ratus Dua Puluh Lima) hektar, yang terletak di Kabupaten Magelang, Semarang dan Boyolali, Propinsi Jawa Tengah menjadi Taman Nasional Gunung Merbabu (BKSDA Jawa Tengah 2006).

Dengan diterbitkannya SK Menteri Kehutanan tersebut di atas, maka untuk sementara pengelola Taman Nasional Gunung Merbabu adalah Balai KSDA Jawa Tengah sampai terbentuknya UPT Taman Nasional dan ditunjuknya Kepala Balai Taman Nasional definitif. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor : SK.140/IV/Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2005 tentang Penunjukkan Pengelola Taman Nasional Kayan Mentarang, Lorentz, Manupeu - Tanah Daru, Laiwangi - Wanggameti, Danau Sentarum, Bukit Dua Belas, Sembilang, Batang Gadis, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Tesso Nilo, Aketajawe - Lolobata, Bantimurung - Bulusaurung, Kepulauan Togean, Sebangau dan Gunung Ciremai.

Akhirnya mulai tahun 2006 kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Taman Nasional Gunung Merbabu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P29/Menhut-II/2006 tanggal 2 Juni 2006, tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002 tentang organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional.

4.2. Letak dan Luas Taman NasionalGunung Merbabu

Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu mempunyai luas 5.725 ha yang secara geografis terletak pada 7º 27’ 13’’ LS dan 110º 26’ 22’’ BT dengan ketinggian dari + 600 ± 3.142 meter di atas permukaan laut, berada dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah.


(51)

KABUPATEN SEMARANG

KECAMATAN PAKIS

KECAMATAN GETASAN KECAMATAN GRABAG

PETA KAWASAN TN. GUNUNG MERBABU

U

1 0 1 2 Km

J l P i i

KETERANGAN :

2

5' 7°25

'

110°20' 110°25'

pada 7 kecamatan yang masuk wilayah 3 kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang, Semarang dan Boyolali.

Tabel 5 Daftar wilayah administrasi yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Merbabu

No. KABUPATEN KECAMATAN DESA KETERANGAN

Kopeng Jetak Batur 1. Semarang Getasan

Tajuk Enklave Enklave Njlarem Ngadirojo Sampetan Ngargoloko Candisari Ampel Ngagrong Jeruk Senden Tarubatang Selo Samiran Lencoh 2. Boyolali Selo Jrakah Wonolelo Wulunggunung Sawangan Banyuroto Ketundan Kaponan Kenalan Gondangsari Jambewangi Muneng Munengwarangan Daleman Kidul Petung Banyusidi Pakis Kragilan Pakis Pogalan Candimulyo Surodadi Genikan Jogonayan 3. Magelang Ngablak Tejosari


(52)

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian

4.3. Aksesibilitas

Perjalanan dari Semarang (ibukota Propinsi Jawa Tengah) ke kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dapat dicapai melalui beberapa alternatif, antara lain :

- Semarang - Magelang - Selo, dengan jarak ± 115 km dengan waktu ± 3 jam

- Semarang - Boyolali - Selo, dengan jarak ± 90 km dengan waktu tempuh ± 2 jam, atau

- Semarang - Salatiga - Getasan, dengan jarak ± 60 km dengan waktu tempuh + 1,5 jam.

Kondisi jalan menuju lokasi cukup baik dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum/pribadi.

Sedangkan untuk mencapai puncak Gunung Merbabu dapat dilakukan dari jalur-jalur pendakian yang dimulai dari beberapa desa, yaitu :

- Desa Tarubatang (Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali) - Desa Lencoh (Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali) - Desa Ngagrong (Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali) - Desa Jlarem (Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali) - Desa Candisari (Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali) - Desa Guolelo (Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali) - Dusun Tekelan (Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang)


(53)

- Desa Genikan (Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang) - Desa Wonolelo (Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang).

Sebenarnya pada setiap desa-desa terakhir di kaki Gunung Merbabu terdapat jalan setapak yang dapat digunakan sebagai jalur untuk mencapai puncak Gunung Merbabu, baik secara langsung (jalur tunggal) maupun bertemu dengan jalur lain pada ketinggian/titik tertentu. Namun biasanya jalan setapak tersebut merupakan jalur penduduk setempat dalam mencari kayu bakar serta keperluan lainnya, dan bukan merupakan jalur pendakian resmi atau yang umum digunakan para pendaki gunung.

4.4. Keadaan Fisik dan Biologi 4.4.1. Keadaan Fisik

Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu terletak pada ketinggian + 600 - 3.142 m di atas permukaan laut dengan topografi sebagian besar merupakan daerah pegunungan dengan bentuk lapangan berbukit-bukit sampai bergunung-gunung dengan adanya jurang dan tebing yang curam dengan derajat kemiringan mulai 30° hingga 80°.

Secara umum Gunung Merbabu memiliki bentuk lahan lereng atas berbatuan piroklastik (bersifat lepas-lepas) yang tidak terkikis kuat. Dari segi potensi hidrogeologis, bentuk lahan ini lebih mampu menyimpan air karena didasari oleh aliran lava dan pecahan-pecahan batuan lava yang menjadi media masuknya air hujan ke dalam tanah. Dengan demikian banyak dijumpai sumber-sumber air yang mampu memenuhi ketersediaan air hingga musim kemarau.

Namun di sebagian lereng, bentuk lahan piroklastik ini disebabkan oleh bentuk fisiknya yang merupakan daerah bayangan hujan (leeward side) sehingga tidak mempunyai tenaga potensial untuk mengangkut materi vulkan kecuali banjir yang terjadi pada waktu-waktu tertentu. Akibatnya secara hidrogeologis daerah ini kurang mampu menyimpan air, karena itu sumber-sumber air yang ada hanya memiliki debit yang kecil.

4.4.2. Keadaan Biologi

Kawasan Taman NasionalGunung Merbabu terdiri dari beberapa tipe ekosistem, yaitu :

- Ekosistem Hutan Hujan Tropika Pegunungan Rendah, - Ekosistem Hutan Hujan Tropika Pegunungan Tinggi, dan


(1)

Lampiran 4 Foto - foto

Foto 1. Bumi Perkemahan (Selo) Foto 2. Mata Air (Selo)

Foto 3. Kantung Semar (Selo) Foto 4. G. Merapi dilihat dari Sabana

Foto 5. Puncak Triangulasi Foto 6. Puncak Kenteng Songo


(2)

Foto 9. Base Start Tekelan Foto 10. Hutan Pinus (Tekelan)

Foto 11. Air Terjun Watu Tadah Foto 12. Air Terjun Krinjingan

Foto 13. Pos III Gumuk Mentul (Tekelan) Foto 14. Watu Gubug (Tekelan)


(3)

(4)

(5)

(6)