Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

54 pengelolaan hutan rakyat terjadi antar keluarga, antar desa, dan antar wilayah. Berdasarkan aspek variasi jenis, hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi: 1 hutan rakyat monokultur, yang didominasi oleh satu jenis pohon, 2 hutan rakyat campuran, yang tersusun oleh dua atau lebih jenis pohon. Berdasarkan lokasi dan bentuknya, hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian dibedakan menjadi: a. Sawah Sawah merupakan bentuk pemanfaatan lahan yang digunakan untuk budidaya tananam pangan. Sawah yang ada di lokasi penelitian adalah tanah tadah hujan, yang menggantungkan pengairannya terutama dari air hujan. Seiring dengan berkembangnya hutan rakyat, petani yang pada awalnya hanya menanam tanaman palawija jagung, ketela pohonsingkong, kedelai dan kacang tanah mulai tahun 1990-an petani dapat menanam padi, bahkan dalam dua tahun petani dapat melakukan panen sebanyak 7 kali 4 kali palawija dan 3 kali padi. Hal ini terjadi karena banyaknya mata air yang muncul di beberapa titik. Potensi sawah yang besar di lokasi penelitiaan adalah di Desa Platarejo karena wilayah ini bisa dikatakan lebih datar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Di sawah ini tanaman pangan lebih mendominasi dibandingkan dengan tanaman kayu. Biasanya petani menanami tananam berkayu di pematang sawah, dimana penanaman tersebut berfungsi sebagai batas kepemilikan dan mengurangi erosi tanah. Secara singkat pemanfaatan lahan sawah untuk tanaman pangan dan tanaman kayu atau pola tumpangsariagroforestry tersaji pada Gambar 6. 55 Sumber : PERSEPSI 2006 Gambar 6 Sketsa pemanfaatan lahan sawah dengan pola tumpangsari Gambar 7 Pemanfaatan lahan di lahan sawah dengan pola tumpangsari 56 b. TegalanTegal Gunung Tegal Gunung merupakan lahan kering yang berada lebih jauh dari tempat tinggal petani. Tegal Gunung inilah yang dijadikan petani untuk dikembangkan menjadi hutan rakyat. Selain itu Tegal Gunung ini kurang begitu cocok untuk ditanami tanaman pangan karena memiliki kelerengan yang cukup terjal dan tanahnya didominasi oleh batu-batuan berkapur batu bertanah. Secara singkat gambaran pemanfaatan Tegal Gunung dan jenis tanah yang ada dapat terlihat pada Gambar 8 dan 9. Sumber : PERSEPSI 2006 Gambar 8 Sketsa pemanfaatan lahan di Tegal Gunung 57 Gambar 9 Kondisi Tanah yang ada di Tegal Gunung c. Pekarangan Pekarangan merupakan lahan yang berada di sekitar bangunan rumah, petani biasanya menata sedemikian rupa untuk memaksimalkan lahan yang ada selain bangunan rumah, petani menanami lahan-lahan yang kosong dengan tanamam pangan, tanaman obatempon-empon, buah-buahan dan tanaman berkayu. Pemanfaatan lahan pekarangan ini biasanya memiliki ciri selain bangunan rumah terdapat kandang ternak baik itu ternak kambing maupun ternak sapi. Batas tanah ditanami dengan tanaman berkayu untuk menandakan kepemilikan. Lahan di depan rumah ditanami dengan tanaman buah-buahan dan sayur-sayuran, sedangkan di samping dan belakang rumah selain tanaman berkayu juga ditanami dengan tanaman obat-obatanempon-empon Gambar 10 dan 11. 58 Sumber : PERSEPSI 2006 Gambar 10 Sketsa pemanfaatan lahan Pekarangan Gambar 11 Pemanfaatan lahan Pekarangan 59

5.1.2 Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan antara lain pemupukan, penyiangan, pemangkasan, penyulaman dan penjarangan. Dari beberapa kegiatan tersebut sebagian besar petani baik yang telah mendapatkan sertifikasi maupun belum mendapatkan sertifikasi tidak melakukan pemeliharaan sebagaimana mestinya. Kegiatan pemupukan tidak dilakukan oleh petani hutan rakyat secara langsung. Mereka hanya menumpuk serasah-serasah yang ada dan dikumpulkan dibawah pohon yang masih berdiri dengan harapan serasah-serasah tersebut dapat digunakan sebagai pupuk. Kegiatan penyiangan atau pembersihan lahan dari tanaman yang mengganggugulma tidak dilakukan dalam periode waktu tertentu melainkan hanya pada saat sedang melakukan pemeliharaan tanaman palawija di tegalan sekaligus juga pemeliharaan bagi tanaman kayu, apabila lahan tersebut dimanfaatkan juga sebagai lahan untuk menanam tanaman panganagroforestry. Selain itu kegiatan petani mencari hijaun pakan ternakmerumput secara tidak langsung juga merupakan kegiatan penyiangan. Kegiatan pemangkasan dan penyulaman sangat jarang dilakukan oleh petani disebabkan karena keterbatasan tenaga dan ekonomi petani dalam mengelola hutan rakyat. Hal ini yang merupakan salah satu penyebab perkembangan pohon kurang maksimal. Kegiatan penjarangan juga hampir sama seperti pada kegiatan pengelolaan lainnya, bahkan petani tidak sama sekali melakukan kegiatan penjarangan ini. Hal ini terjadi karena para petani merasa sayang ”eman-eman” untuk melakukan penebangan pohon yang telah hidup, maka jarak tanam pada hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian tidak teratur dan sangat rapat. Sebagian besar tanaman yang tumbuh merupakan anakan dari pohon yang ada disekitarnya dan terubusan dari pohon yang telah ditebangsulen, dimana sulen ini dalam satu tonggak dapat mencapai 4 – 5 batang, secara jelas dapat terlihat pada Gambar 12. Oleh karena itu jarak tanamnya menjadi rapat, dari rapatnya tanaman-tanaman yang ada mengakibatkan pertumbuhan tanaman tersebut tidak maksimal. 60 Gambar 12 Bibit tanaman yang berasal dari terubusan sulen

5.1.3 Pemanenan

Pola pemanenan yang dilakukan oleh petani baik yang telah mendapatkan sertifikasi maupun belum mendapatkan sertifikasi hampir sama yaitu: a. Petani memanen menebang pohon untuk kebutuhan pribadi Pemanenanpenebangan pohon ini biasanya dilakukan ketika petani membutuhkan kayu untuk bangunan, baik untuk membangun rumah maupun membangun kandang ternak. Jumlah pohon yang dipanen disesuaikan dengan kebutuhan. Petani akan memilih pohon-pohon yang dirasa sudah layak tebang. Penebangan biasanya dilakukan di lahan pekarangan untuk meminimalisasi biaya produksi. Proses pemanenan dilakukan oleh petani sendiri dengan bantuan tetangga serta tenaga penggergaji yang ada di wilayah tersebut. Petani sudah memiliki gambaran pohon yang ditebang akan dijadikan ukuran-ukuran sesuai dengan kebutuhan dan pengolahannya dilakukan oleh tenaga penggergaji sesuai dengan permintaan petani. 61 Alat pengolahan kayu yang dimiliki oleh tenaga penggergaji sangat sederhana yang terdiri dari gergaji mesinchainsaw, gergaji pengolah dan kelengkapan lainnya kapak, tambang. Gergaji pengolahan ini dimodifikasi sedemikian rupa dari kendaraan roda empat yang telah rusak dan dijadikan sebagai mesin penggergaji yang mudah dipindahkangergaji portable. Biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani untuk pemanenan kayu sampai pengolahannya bisa dikatakan relatif terjangkau. Biaya yang dikeluarkan tergantung dari besar kecilnya batang yang akan dipanen dan diolah. Untuk membayar tenaga penggergaji pohon yang memiliki diameter kurang lebih 50 cm, biaya yang dikeluarkan oleh petani kurang lebih Rp 150.000,00. Secara rinci proses pemanenan yang dilakukan oleh petani tersaji pada Gambar 13 a dan b. a Proses penebangan pohon 62 b Proses pengolahan kayu Gambar 13 Proses pemanenan yang dilakukan oleh petani untuk kebutuhan pribadi b. Sistem tebang butuh Dalam sistem ini biasanya petani menjual langsung ke pedagang atau bakul. Kebanyakan petani akan melakukan pemanenan ketika membutuhkan biaya yang cukup besar untuk keperluan mendesak seperti untuk biaya masuk sekolah, biaya berobat ke rumah sakit dan sumbangankerukunan untuk pernikahan keluarga atau tetangga sehingga sistem pemanenan ini sering dinamakan dengan sistem tebang butuh. Ada dua pola dalam pemanenan sistem tebang butuh, yaitu: pertama petani menjual pohon yang besar dan meninggalkan pohon yang masih kecil atau tebang pilih dan kedua, petani menjual seluruh pohon yang ada di lahan miliknya dengan menebang seluruh pohon yang ada tanpa menyisakan sedikitpun yang sering disebut sistem tebasborong. Pada sistem pemanenan ini petani tidak terbebani biaya operasional maupun administrasi karena biaya ditanggung sepenuhnya oleh pedagangbakul. 63 Di lingkup Kecamatan Giriwoyo terdapat tiga bakul besar yang beroperasi, sedangkan pedagangbakul yang kecil kurang lebih 7 – 10 orang.

5.1.4 Pemasaran

Pemasaran kayu rakyat yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian dalam bentuk pohon masih berdiri, yaitu sistem penjualan dengan cara menghitung jumlah pohon yang akan dijual dengan satuan per pohon atau dengan sistem penjualan berdasarkan luasantebas. Untuk sistem penjualan per pohon, pohon yang akan dijual ditandai dengan cara menoreh sedikit kulit batang pohon sebagai tanda bagi pedagang untuk menunjukan pohon yang hendak dijual, sedangkan untuk sistem tebas, petani menjual seluruh tegakanpohon yang ada di sebidang lahan tanpa melihat jenis pohon maupun ukuran diameternya. Biasanya petani menjual kayu rakyat kepada pedagang kecil bakul dan pedagang besarpengepul. Bakul melakukan pembelian pohon berdiri dengan menanggung seluruh biaya produksi pemanenan, penyaradan dan pengangkutan, dan biaya administrasi pengurusan ijin tebangpengurusan Surat Keterangan Asal Usul SKAU yang diterbitkan oleh Kepala DesaLurah atau pejabat setingkat Kepala DesaLurah. Setelah membeli kayu rakyat dari petani, bakul menjual kembali kayu tersebut ke pedagang besarpengepul. Hal ini terjadi karena bakul tidak dapat menjual kayu rakyat tersebut keluar daerah sebelum memiliki badan hukum. Tidak berbeda dengan bakul, pengepul menanggung seluruh biaya produksi pemanenan, penyaradan dan pengangkutan biaya administrasinya yang meliputi pengurusan ijin tebangpengurusan Surat Keterangan Asal Usul Kayu SKAU di desa, pengurusan dokumen untuk pengangkutan kayu rakyat ke luar daerah Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat yang diterbitkan oleh petugas Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten. Pengepul yang ada di lokasi penelitian ada tiga dan ketiganya tergabung dalam sebuah organisasi yang dinamakan Asosiasi Pengusaha Kayu ASPEK yang didirikan di tingkat Kabupaten. Dengan keberadaan organisasi ini diharapkan dapat mendorong kerjasama antar pihak dalam pengusahaan pemasaranpenjualan kayu rakyat. Sesuai dengan keputusan Bupati Wonogiri 64 nomor 1 tahun 2012, para pengepul ditarik sumbangan, dan sumbangan tersebut langsung disetorkan ke Kas Daerah Pemerintah Kabupaten Wonogiri. Besar kecilnya sumbangan tersebut telah diatur dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Kayu Jati : Rp 15.000m3 2. Kayu Mahoni, Akasia dan Sonokeling : Rp 10.000m3 3. Kayu Jenis Lainnya : Rp 5.000m3 4. Kayu BakarRantingBongkaran Rumah : Rp 5.000m3 Petani yang akan menjual kayu rakyat cukup menghubungi beberapa bakul atau pengepul. Pemanggilan tersebut bertujuan untuk mendapatkan harga penawaran yang terbaik, harga jual akan ditentukan atas dasar kesepakatan bersama. Harga kayu berbeda-beda tergantung pada jenis, kualitas, diameter dan jarak lokasi kayu dengan jalan transportasi. Dilihat dari jenisnya kayu jati relatif lebih mahal dibandingkan jenis yang lainnya akasia, mahoni dan kayu lokal. Demikian juga dengan besar kecilnya diameter, dimana semakin besar diameter semakin mahal harganya. Sebagai contoh harga kayu jati yang diperoleh dari pengepul di tingkat kecamatan adalah: Rp 600.000 – Rp 1.500.000 per meter kubik untuk diameter 10 – 15 cm; Rp 1.000.000 – Rp 2.250.000 untuk diameter 16 – 19 cm; Rp 2.000.000 – Rp 2.750.000 untuk diameter 22 – 28 cm; Rp 3.200.000 – Rp 5.500.000 untuk diameter 30 – 38 cm. Selain beberapa kondisi diatas, yang menentukan harga jual dari kayu rakyat, ada beberapa kepercayaanmitos petani yang membuat harga jual kayu rakyat menjadi sangat jatuhtidak ada nilainya yaitu: a. Pohon yang yang terkena sambaran petir Masyarakat yang ada di lokasi penelitian mempercayaimitos bahwa kayu yang tersambar petir merupakan kayu yang terkena kutukan. Oleh karena itu mereka enggan menggunakan kayu tersebut untuk bahan bangunan ataupun mebel. Mereka beranggapan jika menggunakan kayu tersebut takut terkena dampak dari kutukan tersebut, sehingga petani menjual kayu dengan harga yang murah. 65 b. Pohon yang roboh Pemanfaatan pohon yang roboh merupakan salah satu pantangan bagi petani untuk digunakan sebagai bahan pembangunan rumah yang terjadi di lokasi penelitian. Hal ini terjadi karena masyarakat beranggapan bahwa dengan menggunakan kayu hasil dari pohon yang roboh akan membuat bangunan rumah yang dibuat juga akan mengalami hal yang sama seperti bahan yang mereka gunakan. c. Pohon yang tumbuh di pemakaman Masyarakat memiliki anggapanmitos bahwa pohon yang tumbuh di pemakaman menjadi tempat tinggal bagi mahluk halus yang ada di pemakaman tersebut. Oleh karena itu masyarakat tidak memanfaatkan kayu-kayu tersebut untuk kebutuhan rumah tangga, karena mereka beranggapan bila menggunakan kayu-kayu tersebut akan menyebabkan adanya gangguan yang ditimbulkan oleh mahluk halus dari penghuni kayu tersebut. Hal tersebut dimanfaatkan oleh para bakul dan pengepul membeli kayu rakyat dengan harga murah. Saluran pemasaran kayu rakyat yang ada di lokasi penelitian dapat terbagi dalam tiga yaitu: a. Saluran pemasaran pertama Pada saluran pertama ini, petani menjual kayu rakyat dalam bentuk pohon berdiri langsung ke bakul yang juga sekaligus langsung mengolah kayunya menjadi kayu bangunan, kusen untuk dijual kepada konsumen lingkup dusun dan desa. b. Saluran pemasaran kedua Pada saluran pemasaran kayu rakyat pola kedua, petani menjual kayu rakyat dalam bentuk pohon berdiri kepada bakul yang kemudian menjualnya ke bakul yang lain yang berprofesi selain menjadi bakul juga memproduksi kayu rakyat tersebut menjadi mebel dan kayu bangunan untuk kebutuhan masyarakat, instansi swasta dan pemerintah di lingkup kecamatan. 66 c. Saluran pemasaran ketiga Pada saluran pemasaran kayu rakyat pola ketiga, petani menjual kayu rakyat dalam bentuk pohon berdiri kepada bakul yang kemudian menjualnya kepada pedagang pengumpul dalam bentuk kayu gelondongan. Pedagang pengumpul besar menjual kepada industri lingkup kabupaten bahkan luar kabupaten. Daerah tujuan utama dalam pemasaran kayu ini adalah Kabupaten Jepara, Kota Solo, dan Kabupaten Pacitan. Secara singkat saluran pemasaran kayu rakyat yang ada di lokasi penelitian baik yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi tersaji pada Gambar 14. Gambar 14 Saluran pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian Simulasi Perbandingan Pengeloaan Hutan Rakyat yang Dikelola dengan Baik dan Dikelola secara Tradisional Untuk mendapatkan gambaran perbandingan pengelolaan hutan rakyat dengan menggunakan teknik silvikultur dibandingkan dengan pengelolaan hutan rakyat secara tradisional maka dilakukan simulasi perhitungan hasil pengelolaan hutan rakyat. Perbandingan ini dengan menggunakan asumsi biaya yang dikeluarkan dari Kementerian Kehutanan dengan daur tebang selama 20 tahun. Kelayakan pengelolaan hutan rakyat ini dapat diketahui dengan analisis finansial. Menurut Gittinger 1986 salah satu cara untuk melihat kelayakan dari analisis finansial adalah menggunakan Cast Flow Analysis. Alasan penggunaan metode ini Bakul + Sawmill Desa Saluran 1 Petani Bakul Pengepul+ Sawmill + Meubel Saluran 2 Konsumen Bakul Industri DalamLuar Kota Pengepul Saluran 3 67 adalah adanya pengaruh waktu terhadap nilai uang selama umur ekonomis kegiatan usaha. Cast Flow Analysis dilakukan setelah komponen-komponen biaya dan pendapatan ditentukan dan diperoleh nilainya. Untuk mendapatkan nilai sekarang dari masing-masing komponen maka dikalikan dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Dalam penelitian ini dibuat skenario tingkat suku bunga yang digunakan yaitu 15, penggunaan suku bunga tersebut untuk mengetahui kelayakan pengelolaan hutan rakyat pada berbagai fluktuasi tingkat suku bunga saat ini. Suku bunga pinjaman dipakai untuk menentukan nilai kini dari biaya dan penerimaan yang didasarkan pada tingkat biaya investasi jangka panjang yang diberikan oleh bank. Dua komponen yang perlu dianalisis untuk mengetahui pendapatan bersih sekarang yaitu komponen biaya dan pendapatan. Konsep biaya yang digunakan adalah biaya pembangunan atau pengelolaan hutan rakyat establishment cost. Biaya tersebut dihitung seluruhnya sepanjang waktu pengelolaan hutan rakyat. Komponen biaya yang dihitung adalah biaya penyiapan lahan, penanaman, perawatan, dan biaya tahunan Biaya-biaya ini dihitung dengan mengasumsikan banyaknya atau lamanya hari orang kerja HOK yaitu waktu dan tenaga yang dikeluarkan petani untuk mengerjakan komponen tersebut. Komponen biaya yang yang dikeluarkan dalam pengelolaan hutan rakyat diasumsikan sesuai dengan standar biaya Kementerian Kehutanan. Secara lengkap komponen biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan hutan rakyat tersaji pada Tabel 13. Tabel 13. Komponen biaya untuk pengelolaan hutan rakyat per hektar No Kegiatan Volume Biaya Satuan Total Biaya A Persiapan lapangan penanaman 1 Pengadaan Bibit btg 440 1.250 550.000 2 Pelabelan Bibit HOK 5 35.000 175.000 3 Pengukuran Lapangan dan pemasangan Patok Batas HOK 24 35.000 840.000 4 Pembuatan lobang tanam dan pemasangan ajir HOK 50 35.000 1.750.000 5 Pengangkutan bibit dan penanaman HOK 32 35.000 1.120.000 6 Perawatan penyiraman, pemupukan dan pemberantasan hama HOK 12 35.000 420.000 7 Pengadaan pupuk dan obat-obatan paket 1 1.350.000 1.350.000 68 Tabel 13. Komponen biaya untuk pengelolaan ………………….. lanjutan No Kegiatan Volume Biaya Satuan Total Biaya B Pemeliharaan Tahun I 1 Penyiangan, pemupukan dan pemberantasan hama penyakit HOK 20 35.000 700.000 2 Upah Penyulaman dan pengankutan bibit HOK 20 35.000 700.000 3 Pembelian Bibit sulaman paket 1 500.000 500.000 C Pemeliharaan Tahun II 1 Penyiangan, pemupukan dan pemberantasan hama penyakit HOK 20 35.000 700.000 2 Pengadaan pupuk dan abat-obatan paket 1 1.000.000 1.000.000 D Pemeliharaan Tahun III 1 Penyiangan, pemupukan dan pemberantasan hama penyakit HOK 20 35.000 700.000 2 Upah pembersihan jalan pemeriksaan dan jalur isolasi HOK 20 35.000 700.000 3 Upah Pemeliharaan pagar HOK 10 35.000 350.000 E Pemeliharaan Tahun IV 1 Penyiangan, pemupukan dan pemberantasan hama penyakit HOK 20 35.000 700.000 2 Upah pembersihan jalan pemeriksaan dan jalur isolasi HOK 20 35.000 700.000 3 Upah Pemeliharaan pagar HOK 10 35.000 350.000 F Pemeliharaan Tahun V 1 Penyiangan, pemupukan dan pemberantasan hama penyakit HOK 20 35.000 700.000 2 Upah pembersihan jalan pemeriksaan dan jalur isolasi HOK 20 35.000 700.000 3 Upah Pemeliharaan pagar HOK 10 35.000 350.000 Total Biaya Pengelolaan 15.055.000 Sumber : Kemenhut 2011 Komponen kedua adalah pendapatan petani hutan rakyat. Dalam kajian pengelolaan hutan rakyat ini, diasumsikan kayu yang dipanen oleh masyarakat adalah tanaman jati. Petani sebenarnya tidak mempunyai waktu yang pasti untuk memanen kayu dari hutan rakyatnya, namun pada pembuatan simulasi ini daur tebang yang dilakukan oleh petani untuk tanaman jatinya adalah 20 tahun. Jumlah perolehan tebangan yang diperoleh jika tanaman tersebut dikelola dengan baik dan tidak dikelola dengan baik dengan jumlah tanaman sebanyak 440 batang tersaji pada Tabel 14. 69 Tabel 14 Komponen pendapatan petani dari pengelolaan hutan rakyat. No Uraian Kegiatan Dikelola Tidak Dikelola Volume Kayu Harga Kayum3 Rp Jumlah Rp Volume Kayu Harga Kayum3 Rp Jumlah Rp 1 Biaya Penanaman dan Pemeliharaan 15.055.000 6.205.000 Jumlah Perngeluaran 15.055.000 6.205.000 1 Hasil Penjarangan Pertama tahun kelima - - - - - - 2 Hasil Penjarangan Kedua tahun kesepuluh - - - - - - 3 Hasil Penjarangan Ketiga tahun kelimabelas - - - - - - 4 Hasil penebangan 42,04 1.500.000 63.057.496 30,90 800.000 24.718.471 Jumlah Pendapatan 63.057.496 24.718.471 Total Pendapatan dari hutan rakyat dengan daur 20 tahun 48.002.496 18.513.471 Perbandingan NPV, BCR dan IRR dalam Pengeloaan Hutan Rakyat yang Dikelola dengan Baik dan Dikelola Secara Tradisional Menurut Gittinger 1986 kriteria-kriteria yang digunakan dalam suatu evaluasi terhadap investasi adalah Net Present Value NPV, Benefit Cost Ratio BCR dan Internal Rate of Return IRR. - Net Present Value NPV diperoleh dari hasil pengurangan pendapatan bersih saat ini dengan total biaya saat ini, yang sudah dikalikan dengan faktor diskon pada tingkat suku bunga dengan asumsi tingkat suku bunga 15 . - Benefit Cost Ratio BCR merupakan angka perbandingan ratio jumlah manfaat benefit terhadap jumlah biaya investasi dan operasional pada tingkat suku bunga 15. - Internal Rate of Return IRR merupakan tingkat pengembalian internal dari suatu investasi pada saat NPV = 0. Dengan menggunakan tiga kriteria yaitu NPV, BCR dan IRR diatas kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian baik yang di kelola dengan baik maupun yang dikelola dengan tradisional didapatkan hasil 70 analisis kelayakan finansial berdasarkan tiga kriteria sebagaimana tersaji pada Tabel 15. Tabel 15 Analisis kelayakan finansial No Analisis Nilai Dikelola Tidak Dikelola 1 NPV Net Present Value Rp8,311,099 Rp4,694,699 2 BCR Benefit Cost Ratio 0.32 0.24 3 IRR Internal Rate of return 9.21 8.63 Tabel 15 menunjukkan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani menunjukkan hasil yang kurang memuaskan jika dilihat dari jeda waktu yang panjang. Oleh karena itu, agar pengelolaan hutan rakyat layak secara finansial maka perlu adanya subsidi dari pemerintah dalam pengelolaan hutan rakyat berupa pinjaman lunak dengan suku bunga rendah, maksimal 9 untuk hutan rakyat yang dikelola dengan baik dan 8 untuk hutan rakyat yang dikelola secara tradisional. Dengan tingkat suku bunga tersebut pengusahaan hutan rakyat layak secara finansial, dengan syarat tidak ada oportunitas pemanfaatan lahan dengan jenis tanaman pertanian, perkebunan, atau pengunaan lain yang lebih menguntungkan.

5.2 Karakteristik Individu Petani

5.2.1 Jenis kelamin, Agama, Etnis dan Mata Pencaharian

Penelitian ini dilakukan pada dua kelompok petani, yaitu petani di lokasi yang memiliki status telah mendapatkan sertifikasi dalam pengelolaan hutan rakyat sebanyak 57 petani dan yang belum memiliki status sertifikasinon sertifikasi dalam pengelolaan hutan rakyat dengan jumlah responden sebanyak 58 petani. Seluruh responden beretnis Jawa, dengan pekerjaan utama sebagai petani Lampiran 2. Identifikasi individu responden berdasarkan jenis kelamin, agama, etnis dan mata pencaharian tersaji pada Tabel 16. 71 Tabel 16 Identifikasi individu berdasarkan Jenis Kelamin, Agama dan Etnis No Identifikasi Individu Sertifikasi Non sertifikasi Jumlah orang Persentase Jumlah orang Persentase 1. Jenis Kelamin - Laki-laki 46 80,70 51 87,93 - Perempuan 11 19,30 7 12,07 2. Agama - Islam 57 100 46 79,31 - Katolik - 12 20,69 - Lainnya - - - - 3. Etnis - Jawa 57 100 58 100 - Lainnya - - - - Jumlah Pada Tabel 16 terlihat bahwa sebagian besar responden baik yang memiliki hutan rakyat yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi adalah laki-laki 80,70 dan 87,93. Hal ini terjadi karena laki-laki merupakan penanggung jawab penuh dalam pengelolaan lahan yang mereka miliki.

5.2.2 Jumlah Anggota Keluarga

Rata-rata jumlah anggota keluarga responden baik yang sertifikasi maupun non sertifikasi adalah 3 jiwakeluarga dengan selang 2 sampai 6 jiwakeluarga. Secara rinci jumlah anggota responden tersaji pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga No Jumlah anggota keluarga jiwa Sertifikasi Non sertifikasi Jumlah Persentase Jumlah Persentase 1. 2 21 36,84 19 32,76 2. 3 17 29,83 23 39,66 3. 4 14 24,56 12 20,69 4. 5 3 5,26 4 6,90 5. 6 2 3,51 0,00 Jumlah 57 100,00 58 100,00 Mayoritas jumlah anggota dalam keluarga responden berjumlah 2 dan 3 jiwakepala keluarga. Hal ini terjadi karena banyak masyarakat di lokasi penelitian akan keluar dari daerah tersebut setelah lulus pendidikan untuk mencari pekerjaan ke kota-kota besar.