Hutan Rakyat Analysis Of Problems And Management Strategies Of Old Wells In The Cepu Block (A Case Study Of Petroleum In The Mining Village Of Wonocolo, Bojonegoro)

10 diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat. Hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam di setiap daerah, baik pemilihan jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Suharjito 2000 mengemukakan bahwa keberagaman pola tanam struktur dan komposisi jenis tanaman hutan rakyat merupakan hasil kreasi budaya masyarakat. Pola tanam yang dikembangkan oleh petani pada umumnya dapat diklasifikasikan menjadi dua pola tanam, yaitu: murni monokultur dan campuran polyculture. 1. Hutan Rakyat Monokultur Hutan rakyat yang terdiri atas satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen monokultur. Harjanto 2000 menegaskan bahwa upaya budidaya dilakukan lebih intensif pada hutan rakyat monokultur, karena pada sistem ini lahan secara sengaja diperuntukkan menjadi hutan rakyat. 2. Hutan Rakyat Campuran Polyculture a. Hutan Rakyat Campuran polyculture dengan 2 – 5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan. Cara ini lebih baik dari segi silvikultur daripada hutan rakyat murni, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih fleksibel. Hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan yang lebih baik dan terampil. b. Hutan Rakyat Campuran dengan sistem agroforestrywanatani. Pola ini merupakan kombinasi usaha tanaman kehutanan dengan cabang usaha lainnya, seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional, baik dari aspek ekonomis maupun aspek ekologis. Pola pengembangan hutan rakyat terdiri atas tiga pola, yaitu : 1. Pola Swadaya; hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini Petani didorong agar mau dan mampu untuk 11 melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan. 2. Pola subsidi model hutan rakyat; hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah melalui Inpres penghijauan, padat karya dan dana bantuan lainnya atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.

3. Pola kemitraan Kredit Usaha Hutan Rakyat; hutan rakyat dibangun atas

kerjasama petani dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama itu adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan petani membutuhkan bantuan modal kerja. Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang dilakukan di beberapa daerah oleh Lembaga Penelitian IPB, Suharjito 2000 menyimpulkan beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut: 1. Pelaku. Pelaku dalam hutan rakyat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: petani dan bukan petani hutan rakyat. Petani hutan rakyat adalah pelaku utama penghasil hutan rakyat dari lahan miliknya. Sedangkan bukan petani adalah pihak-pihak lain yang terkait dalam usaha hutan rakyat, yaitu: buruh, penyedia jasa tebang, jasa angkutan dan pihak yang bergerak dalam pemasaran. 2. Distribusi lokasi. Distribusi lokasi hutan rakyat menurut lokasi kepemilikan lahan pada umumnya berada pada lahan-lahan kering. Distribusi lokasinya ternyata terdapat pada seluruh tipe pemanfaatan lahan yaitu sawah, pekarangan, kebun, talun, ladangtegakan. 3. Teknik budidaya. Budidaya hutan rakyat pada dasarnya telah dikuasai oleh para petani hutan rakyat, walaupun dalam pengertian apa adanya. Maksud dan tujuan pengembangan hutan rakyat adalah : 1. Meningkatkan pendapatan petani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan dalam upaya mengentaskan kemiskinan. 2. Memenuhi kebutuhan petani pengguna bahan baku kayu untuk industri, kayu pertukangan dan kayu energi. 12 3. Terpeliharanya kondisi tata air dan lingkungan yang baik, khususnya lahan milik rakyat. 4. Memberdayakan masyarakat pedesaan.

2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan dalam arti umum merupakan suatu usaha yang didalamnya meliputi beberapa aspek, seperti perencanaan, organisasi pelaksanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi yang setiap fungsi saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Jadi, pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya bertujuan untuk melestarikan sumberdaya hutan agar tetap terjamin kesinambungan persediaannya dimasa yang akan datang. Pencapaian fungsi pengelolaan hutan berdaya guna dan berhasil guna, perlu dilakukan pendekatan terpadu dan partisipatif dengan keseimbangan antara ekologis dan ekonomis Awang et al. 2001. Pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya sudah dikuasai oleh para petani secara turun-temurun. Hardjanto 2000 mengatakan bahwa teknik budidaya hutan rakyat yang dikuasai oleh para petani masih sebatas dalam pengertian apa adanya. Artinya mulai dari penyediaan biji, bibit, penanaman, pemeliharaan sampai siap jual, dilakukan secara sederhana. Hardjanto 2000 menjelaskan sistem pengelolaan hutan rakyat dimulai dengan kegiatan pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil. Pola tanam hutan rakyat sangat menentukan dalam peningkatan pendapatan bagi petani pemilik lahan. Pola tanam monokultur akan berhasil jika dilakukan secara kemitraan dengan perusahaan industri yang memerlukan bahan baku kayu. Pola tanam campuran, terutama dengan sistem agroforestrywanatani bermanfaat secara ganda, di samping meningkatkan pendapatan petani juga menjaga kelestarian lingkungan ekologi karena pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari aspek ekologi, ekonomi, maupun aspek sosial budaya. 13

2.1.1 Aspek Ekologi

Penggunaan lahan pada permukaan tanah akan sangat berpengaruh pada kualitas lahan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan hutan rakyat adalah model agroforestry. Mahendra 2009, pengaruh penerapan sistem agroforestry terhadap aspek ekologi adalah signifikan. Tanaman pohon-pohon akan memiliki peranan terhadap peningkatan kesuburan tanah, mengurangi laju erosi karena serasah yang ada dipermukaan tanah, terciptanya iklim mikro, membaiknya karakteristik hidrologi, melimpahnya keragaman flora dan fauna tanah dan lain-lain. Secara umum disebutkan bahwa secara ekologi agroforestry terbukti dapat menjaga kelestarian lingkungan. Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH Wilayah XI Jawa Madura 2009 menyebutkan bahwa ada beberapa fakta tentang peran hutan rakyat terhadap lingkungan terutama dengan ketersediaan sumber air secara lokal. Beberapa fakta menunjukkan bahwa keberadaan hutan rakyat telah memunculkan sumber-sumber air yang menjadi sumber air bersih dan untuk keperluan irigasi, seperti di Dusun Pagersengon Wonogiri, Hutan Bambu di Malang Selatan, Dusun Kedungkeris dan Dusun Sendowo Kidul Gunung Kidul. Awang et al. 2007 menyebutkan bahwa umumnya masyarakat menanam jenis kayu-kayuan dan buah-buahan pada lahan kering pekarangan dan tegalan, dimana pengembangan lahan kering ini adalah lahan-lahan kurang produktif, kurang subur, dan umumnya kondisi kritis. Dengan hutan rakyat, kegiatan ini dapat memulihkan kesuburan tanah dan produktivitas lahan-lahan kritis dapat pulih sehingga dapat memberikan manfaat pada keseimbangan lingkungan. 2.2.2 Aspek Ekonomi Hutan rakyat dikembangkan petani apabila memberikan kenaikan pendapatan. Manfaat ekonomi akan sangat dirasakan oleh petani khususnya pada pola agroforestry karena pendapatan yang diperoleh dapat berkelanjutan dari hasil pertanian dan tanaman kayu-kayuan. Sedangkan pola monokultur hanya memberikan penghasilan jangka panjang dan memenuhi kebutuhan mendesak. Pada berbagai hasil penelitian di beberapa tempat di Pulau Jawa, hutan rakyat